Saturday, December 13, 2008

Interview BBC soal temus

Oleh: Arwani Syaerozi

BBC yang bermarkas di London ibukota Inggris adalah pusat berita dan informasi yang tergolong raksasa. Media ini beroperasi melalui frekuensi Radio, channel TV dan jaringan internet. Menyajikan berita dalam 32 bahasa dunia termasuk bahasa Indonesia.

Perkenalan dengan BBC :

Ketika saya tinggal di propinsi Hadramaut Republik Yaman (antara 2000 - 2004), radio BBC siaran Indonesia adalah “menu wajib” bagi saya dalam rangka meng-update informasi seputar bumi pertiwi. Saat itu saya lebih akrab dengan frekuensi radio, setidaknya karena dua faktor, yaitu mudah dan terjangkau, mudah diakses murah di biaya., hanya dengan sebuah radio transistor persegi empat merk Panasonic made in Japan yang saya miliki, saya bisa “puas” menyimak sajian berita di BBC.

Ternyata, saat saya berada di Tunisia (rentang waktu 2005 - 2007), media BBC masih menjadi pilihan utama untuk mengakses informasi aktual. Kali ini saya rutin mengikuti perkembangan dunia melalui channel televisi BBC world, sebab pesawat televisi 21 inch lengkap dengan antena parabola-nya tersedia di salah satu ruang tempat tinggalku. Maka sajian berita dengan pengantar bahasa Inggris 24 jam yang terkadang diselingi dengan program talk show dan wawancara dengan tokoh-tokoh ternama dari berbagai belahan dunia saya anggap sangat menarik.

Begitu juga ketika saya pindah ke Maroko (2007 - sekarang), BBC masih menjadi media pilihan untuk mengakses berita, namun kali ini saya lebih akrab dengan sajian online internetnya, yaitu situs http://www.bbc.co.uk/, di bumi Maroko saya sangat jarang mengakses chanel TV BBC world atau radio BBC versi Indonesia. Hal ini karena murahnya akses internet yang akhirnya saya akrab dengan jaringan ini, di samping itu, saya juga tidak memiliki pesawat TV dan Radio.

Obrolan untuk audiens Radio BBC :

Bung Achmad Marzuq adalah salah seorang wartawan BBC di London, dari profil dan perjalanan karirnya yang disajikan di situs www.bbc.co.uk/indonesian/ (versi Indonesia), saya yakin beliau adalah seorang wartawan kawakan yang telah banyak makan “garam” di dunia jurnalistik. Mengenai perkenalanku dengannya, hanya lewat dunia maya dan komunikasi via telepon saja, itu pun terkesan “kebetulan” yang telah disetting dalam kerangka takdir Tuhan.

Melalui blogs pribadiku ini, beliau pernah mampir dan membaca salah satu tulisan yang berkaitan dengan temus, judulnya “Mahasiswa Tim-Teng dalam misi haji”. Momen haji yang selalu menarik untuk diliput oleh berbagai media juga dianggap menarik oleh para wartawan radio BBC versi Indonesia untuk diliput dan disajikan dalam salah satu program acaranya.

Di antara dimensi yang diangkat oleh radio BBC berkaitan dengan musim haji kali ini adalah fenomena temus alias perekrutan tenaga musiman dari kalangan pelajar dan mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di negeri Arab.

Karena tahun ini saya terlibat dalam petugas temus dan karena tulisan ringan berkaitan dengan temus yang pernah saya posting dalam blogs ini, oleh Achmad Marzuq saya pun diminta bersedia untuk mengungkapkan suka-duka menjadi temus haji, menjelaskan kepada para pendengar radio BBC mengenai bagaimana proses perekrutan, jenis pekerjaan, lama masa tugas, honorium, dan tetek bengek lainnya. Untuk melengkapi “nara sumber” dalam interview via telepon ini, dua orang mahasiswa lainnya dilibatkan, yaitu Harun ar Rasyid (mahasiswa Yordania) dan Maemunah Ghani (mahasiswi Sudan).

Sebagai nara sumber ke empat, bapak Dr. Nur Shamad Kamba, konsul haji di Kantor Teknis Urusan Haji (TUH) Departemen Agama RI di Jeddah, turut melengkapi perbincangan seputar temus saat itu. Acaranya sendiri disiarkan oleh radio BBC pada Minggu malam tanggal 16 November 2008.

Friday, November 28, 2008

Para pionir kajian maqasid syari'ah

Oleh: Arwani Syaerozi*

Maqasid syari'ah
(esensi syari'ah) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan The objectives of Islamic law atau The philosophy of Islamic law selalu hangat diperbincangkan oleh para sarjana muslim, khususnya mereka yang berkonsentrasi dalam bidang hukum Islam.

Kapan kajian maqasid ini pertama kali digulirkan dalam literatur Islam? pertanyaan ini telah dijawab secara diplomatis oleh Nuruddin al Khadimi, dalam bukunya al Maqasid fi al Mazdhab al Maliki (2003).

Pertama, Apabila maqasid syari'ah adalah sekedar wacana ilmiyah yang pembahasannya disinggung dalam berbagai disiplin keilmuan Islam seperti Tafsir, Hadits, Fiqh, dan Ushul Fiqh. Maka sejarah awalnya dikembalikan pada periode ke-Rasulan (masa turunnya wahyu pada nabi Muhammad Saw), sebab kata al maqasid (esensi) dan sinonimnya, seperti kata al hikmah, al illat (motif), al asrar (rahasia), dan al ghayat (tujuan akhir) banyak disinggung baik dalam al Qur'an maupun as Sunnah yang keduanya merupakan sumber utama literatur Islam. Akan tetapi, fase ini hanya sekedar timbulnya istilah maqasid, bukan dalam bentuknya yang telah dibakukan apalagi dibukukan secara spesifik.

Kedua, Apabila yang dimaksud dengan maqasid syari'ah adalah sebuah disiplin keilmuan yang independen, keilmuan yang memiliki devinisi, kerangka pembahasan dan target kajian tersendiri. Maka sejarah awalnya dinisbatkan pada Imam Syatibi (w: 790 H / 1388 M) tokoh asal Andalusia (Spanyol) yang telah menjadikan satu bab dalam bukunya al Muawafaqat sebagai lembaran khusus membahas secara tuntas maqasid syari'ah.

Kesimpulan sejarah kajian maqasid syari’ah ini diambil oleh Nuruddin al Khadimi, dengan pertimbangan karena sebelum imam Syatibi, para ulama semisal Abu Bakar al Qaffal (w: 365 H / 975 M), al Juwaini (w: 478 H / 1185 M) al Ghazali (w: 505 H / 1111 M), al Izz bin Abd. Salam (w: 660 H / 1261 M), al Qarrafi (w: 684 H / 1285 M), dan Ibn al Qayyim (w: 751 H / 1350 M), hanya menyinggung tentang maqasid secara sekilas di tengah pembahasan mereka seputar masalah fiqh atau ushul fiqh. (hlm. 35-36).

Kronologi sejarah yang demikian, lantas siapakah tokoh-tokoh penting dalam perkembangan kajian maqasid syari'ah hingga sekarang? Adakah kawasan tertentu di yang menjadi sentral pemasok sarjana Islam yang berdedikasi terhadap kajian maqasid? Dalam tulisan ini, saya mencoba untuk memetakan secara global tokoh_tokoh yang dianggap menjadi pionir dalam kajian ini, kemudian diambil konklusi berkaitan dengan peta geografisnya.

Abu Ishak as Syatibi, tokoh penggagas:

Sosok ulama Andalusia (saat itu termasuk wilayah Maghrib Arabi) yang hidup pada abad ke 8 Hijriyah / 14 Masehi ini, adalah rujukan primer bagi siapa saja yang berbicara tentang kajian maqasid. Imam Syatibi melalui bukunya al Muwafaqat telah meletakkan pondasi untuk kajian ini. Ide brilyannya adalah dengan mengkatagorikan maqasid syari'ah ke dalam dua kelompok besar. pertama, maqasid as syari' (tujuan pembuat syari'ah yaitu Allah Swt dan Rasul-Nya), kedua, maqasid al mukallaf (tujuan para hamba yang menjadi target hukum).

Dengan dua katagori pokok ini, imam Syatibi kemudian menekankan kajiannya seputar maqasid syari'ah pada enam point berikut.

1- Tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam membuat syari'at agama bagi umat manusia
2- Tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam memberikan pemahaman tentang syari'at kepada umat manusia
3- Tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam membebankan hukum syari'at pada umat manusia
4- Tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam mentargetkan hukum syari'at hanya pada kalangan mukallaf (orang dewasa dan berakal sehat) saja.
5- Tujuan manusia dalam menjalankan hukum-hukum syari'at.
6- Metode untuk menguak maqasid syari' (tujuan Allah dan Rasul-Nya)

Pembahasan maqasid syari'ah secara tuntas dan komprehensif seperti ini sama sekali belum pernah dijamah oleh ulama-ulama sebelumnya. Bahkan – menurut Ahmad Raisuni – pembahasan maqasid dalam kitab al Muwafaqat karya imam Syatibi ini, sepatutnya menjadi buku tersendiri di luar kitab tersebut (Nadzariyat al Maqasid inda as Syatibi: 315)

Thahir Ibn Asyur dan Alal al Fasi, generasi penerus:

Sepeninggal imam Syatibi, kajian maqasid syari'ah ini sempat redup, dalam arti tidak ada sarjana Islam yang khusus mendedikasikan diri dalam bidang ini. Kemudian, pada separoh akhir dari abad ke 20 masehi, wacana maqasid syari'ah kembali digulirkan oleh ulama asal Tunisia syaikh Muhammad Thahir Ibn Asyur (w: 1393 H / 1973 M) dan tokoh asal Maroko Muhammad Alal al Fasi (w: 1394 H / 1974 M). Mereka berdua hidup dalam satu masa, yang pertama mutakharij Ezzitouna dan yang kedua mutakhorij al Kairouiyien, di tangan mereka berdua inilah proyek maqasid syari'ah yang telah dicanangkan jauh hari oleh imam Syatibi diteruskan.

Thahir Ibn Asyrur menuangkan ide maqasidnya secara khusus dalam buku Maqasid as Syari'ah al Islamiyah (tebal 216 halaman), dan secara kondisional dalam karya lainnya semisal tafsir at Tahrir wa at Tanwir, buku Ushul an Nidzam al Ijtima'i dan Alaisa as Shubhu bi Qarib. Sedangkan syaikh Alal al Fasi mengkajinya secara komprhensif dalam buku Maqasid as Syari'ah al Islamiyah wa Makarimuha (tebal 288 halaman) juga menyinggung secara parsial dalam karyanya yang lain, semisal Difa' an as Syari'ah, buku Hal Insan fi hajatin ila al falsafah dan bukunya yang berjudul an Naqd ad Dzati.

Banyak kesamaan ide dan pemikiran dari dua tokoh asal Maghrib Arabi ini, satu contohnya adalah: pandangan yang menyatakan bahwa maqasid syari'ah berdiri di atas fitrah manusia. Berangkat dari firman Allah Swt dalam surat ar Ruum ayat 30 dan surat al A'raf ayat 119, Thahir Ibn Asyur dan Alal al Fasi sepakat bahwa menjaga fitrah manusia adalah termasuk dalam maqasid syari'ah, untuk itu syari'at Islam tidak akan pernah bertentangan dengan akal manusia, selama ia dalam kondisi normal. (Thahir Ibn Asyur: hlm. 57 dan Alal al Fasi: hlm. 70)

Hanya saja sisi perbedaan dari keduanya adalah: bahwa Thahir Ibn Asyur lebih berkonsentrasi pada proyek meng-independenkan maqasid syari'ah sebagai sebuah disiplin keilmuan tersendiri lepas dari kerangka ilmu ushul fiqh, dengan merumuskan konsep, kaidah serta substansi kajiannya. Sedangkan Alal al Fasi lebih berkonsentrasi pada penjabaran tuntas seputar tujuan syar'iat Islam, hikmah dan rahasianya, tidak mewacanakan integrasi atau independensinya dari ilmu ushul fiqh.

Melalui ide-ide dalam bukunya tersebut, kedua ulama ini pada akhirnya disepakati oleh para sarjana muslim kontemporer sebagai tokoh sentral maqasid syari'ah pasca imam Syatibi. Salah satu buktinya adalah, setiap diskursus seputar maqasid yang diangkat oleh kalangan ulama sekarang, banyak merujuk pada dua tokoh ini. Bahkan secara khusus Muhammad Habib Balkhoujah mantan sekjend Majma' Fiqh Islami (komunitas pakar fiqh Islam) berpusat di Jeddah, mengungkap kerangka pemikiran Ibn Asyur dalam bukunya Ibn Asyur dan proyek maqasid syari'ah (2004), dan Husni Ismail intelektual Maroko menyusunnya dalam buku yang berjudul Konsep Maqasid Syari'ah menurut Ibn Asyur (1995), sedangkan disertasi doktoral seputar Konsep Maqasid Syari'ah menurut Alal al Fasi dan disertasi seputar kajian komparatif antara kedua tokoh ini pun telah dirampungkan di universitas Ezzitouna Tunisia, atau makalah berjudul Fiqh al Maqasid fi al Maghrib al Arabi; baina Ibn Asyur wa Alal al Fasi yang ditulis oleh Ahmidah an Naifar.

al Kahdimi dan ar Raisuni: ulama maqasidi

Pada akhir abad ke 20 Masehi hingga saat ini, tepatnya sepeninggal dua tokoh Muhammad Thahir Ibn. Asyur dan Muhammad Alal al Fasi, kajian maqasid syari'ah semakin banyak digandrungi oleh para sarjana muslim diberbagai belahan dunia Islam. Yang menarik, ternyata ulama wilayah Maghrib Arabi (Barat Arab) tetap menjadi rujukan dalam bidang ini. Ada dua tokoh penting lain dalam fase zaman kali ini, yaitu Nuruddin al Khadimi dan Ahmad ar Raisuni pertama asal Tunisia dan yang kedua asal Maroko, keduanya memiliki dedikasi tinggi terhadap kajian maqasid.

Nuruddin al Khadimi adalah guru besar bidang maqasid dari universitas Ezzitouna Tunsia, adalah tokoh penting yang kerap dijadikan nara sumber dalam berbagai seminar dan lokakarya nasional dan internasional yang berkaitan dengan kajian ini.

Karya monumental yang menjadi start point-nya dalam menekuni kajian maqasid syari'ah adalah disertasi doktoral yang berjudul: al Maqasid fi al Madzhab al Maliki; Khilal al Qarnain al Khamis wa as Sadis al Hijriyain (Maqasid syari'ah perspektif ulama madzhab Maliki pada abad kelima dan keenam Hijriyah). Dalam disertasi yang kemudian dicetak menjadi buku (1996) atas instruksi dewan pengujinya saat itu, al Khadimi mengupas bagaimana pemahaman dan interaksi para ulama madzhab Maliki dengan maqasid syari'ah baik pada saat berijtihad, berfatwa maupun berdebat seputar masalah-maslah keagamaan khususnya lingkup fiqh

Khas pemikiran Nuruddin al Khadimi sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang telah diusung oleh pendahulunya, guru besar masjid jami' Ezzitouna syaikh Muhammad Thahir Ibn Asyur. Yaitu cenderung untuk menjadikan maqasid syari'ah sebagai disiplin keilmuan independen lepas dari ushul fiqh. Hal ini bisa dilihat dari salah satu bukunya yang diberi judul: Ilmu maqasid syari'ah (2001), bahkan dalam rangkaian empat buku yang dilaunching secara bersamaan, ia menuangkan kembali impiannya untuk proyek independensi ilmu maqasid syari'ah. "Melihat urgensitas dan perannya yang signifikan dalam lingkup hukum Islam, sudah sepatutnya kajian ini menjadi sebuah disiplin keilmuan yang independen, sejajar dengan ilmu Akidah, Fiqh, Tafsir, dan ilmu Hadits" (al Maqasid as Syar'iyah ta'rifuha, amtsilatuha, hujjiyatuha: 7)

Ada indikasi lain yang menjadikan kepakarannya dalam bidang ini diakui oleh publik intelektual, yaitu setumpuk karya seputar maqasid yang telah dihasilkannya, ide-idenya banyak dituangkan dalam buku, di antaranya adalah: 1- al Ijtihad al maqasidi (2000), 2- al Istinsakh fi Dhou'i al Maqasid (2001), 3- al Maqasid as Syar'iyah: ta'rifuha, amtsilatuha, hujjiyatuha (2003), 4- al Maqasid as Syar'iyah: wa shillatuha bi al adillah as syar'iyah wa al musthalahat al ushuliyah (2003), 5- al Mashlahah al Mursalah (2004), 6- al Istiqra wa Dauruhu fi ma'rifati al Maqasid (2005), 7- al Munasabah as Syar'iyah (2006), 8- al Maqasid a Syar'iyah fi al Hajj (2007), 9- Abhats fi al Maqasid as Syar'iyah (2008).

Tokoh lain dalam fase zaman kali ini adalah Ahmad ar Raisuni, ulama besar bidang maqasid yang juga dosen senior di universitas Mohammed V Rabat Maroko. Seperti halnya dengan Nuruddin al Khadimi yang memulai konsentrasinya dengan garapan disertasi doktoral, Ahmad Raisuni pun demikian, disertasinya yang berjudul Nadzariyat al Maqasid inda as Syatibi (Konsep maqasid syari'ah perspektif imam Syatibi) mendapat nilai cume laude dan dianggap layak untuk naik cetak menjadi sebuah buku.

Di antara kesimpulan penting dari disertasinya adalah; bahwa imam Syatibi yang dianggap sebagai founding father kajian maqasid syari'ah ternyata dalam membangun idenya ia tidak berangkat dari ruang kosong, akan tetapi ada pengaruh dari diskursus ulama fiqh dan ushul fikih sebelumnya, baik dalam setting ideologi maupun dalam penggunaan terminologi, dan unsur ini telah memberikan andil cukup besar dalam ide maqasidnya.

Ahmad Raisuni mencontohkan, bahwa kemaslahatan yang dibagi ke dalam dhoruriyah (primer), hajiyah (sekunder) dan tahsiniyah (tersier) adalah istilah yang sebelumnya pernah digunakan oleh al Ghazali dalam bukunya al Mustashfa. Begitu juga lima perkara yang dianggap dalam katagori kemaslahatan dhoruriyah yaitu; hifdz ad Dien (menjaga keyakinan), hifdz an Nafs (menjaga nyawa), hifdz al 'Aql (menjaga akal), hifdz an Nasl (menjaga keturunan) dan hifdz al Mal (menjaga harta) adalah terminologi yang sebelumnya pernah diungkapkan oleh al Juwaini dalam bukunya al Burhan. Kemudian pembagian masyaqah (kesukaran) ke dalam dua katagori, yaitu; mulazimah li at Taklif (selalu mengikuti pembebanan hukum) dan ghoiru mulazimah laha (tidak selalu mengikuti pembebanan hukum) adalah istilah yang pernah digunakan oleh al Izz bin Abd. Salam dalam bukunya Qawaid al Ahkam. (Nadzariyat al maqasid inda as Syatibi: 292-310)

Buah pemikiran Ahmad Raisuni sendiri, dapat kita kenali melalui buku-bukunya yang mayoritas berada pada lini maqasid, di antaranya adalah; 1- Nadzariyat at taqrib wa at Taghlib fi al Ulum al Islamiyah (1995), 2- al Fikr al Maqasidi Qawaiduhu wa Fawaiduhu (1999), 3- al Ijtihad; an Nash wa al Mashlahah wa al Waqi' (2002), 4- Min A'lam al Fikr al Maqasidi (2003), 5- Madkhal ila Maqasid as Syari'ah (2004), 6- al Kulliyat al Assasiyat li as Syari'ah al Islamiyah (2008).

Maghrib Arabi (Barat Arab) sebagai lumbung pionir:

Masih banyak sarjana muslim dewasa ini yang turut memberikan kontribusi dalam kajian maqasid syari'ah, pasca imam Syatibi sebagai penggagas awal, pasca Syaikh Muhammad Thahir Ibn Asyur dan Muhammad Alal al Fasi dua tokoh penerus proyek imam Syatibi yang wafat pada dekade 70-an.

Sebut saja misalnya; Muhammad Sai'd Ramadhan al Buthi, ulama Syria penulis buku Dhowabit al Mashlahah fi as Syari'ah al Islamiyah (2005), Yusuf al Qardhawi, ulama Qatar, yang dianggap oleh Ahmad Raisuni sebagai pakar fikih berorientasi maqasid syari'ah, Jamaluddin Athiyah, ulama Mesir penulis buku Nahwa Taf'il Maqasid as Syari'ah (2003) atau Hassan Turabi, ulama Sudan yang termasuk dalam tokoh "dialog seputar maqasid" yang diterbitkan oleh Dar al Fikr (2005)

Lantas mengapa mereka tidak dikatagorikan pionir kajian maqasid? Secara kapabilitas saya tidak meragukannya, namun orientasi perhatian dan mainsterm pemikiran mereka lebih dominan pada kajian ushul fiqh, fiqh kontemporer atau bahkan pemikiran Islam secara umum, sehingga ide khusus dalam bidang maqasid syari'ah tidak menjadi trademark, atau bahkan hanya dikupas oleh mereka di sela-sela pembahasan topik lainnya.

Sedangkan dedikasi ulama Maghrib Arabi (Barat Arab) yang dimotori oleh Nuruddin al Khadimi (Tunisia) dan Ahmad ar Raisuni (Maroko), telah terbukti dengan berlimpahnya karya khusus mereka, baik dalam bentuk buku, makalah, artikel, maupun audio visual yang memperkaya khazanah maqasid syari'ah. Kalau kita telusuri, proyek pemikiran kedua tokoh ini lebih dominan dalam bidang maqasid, disamping turut kontribusi dalam kajian ushul fiqh dan masalah fiqh kontemporer. Di tangan merekalah, kajian maqasid syari'ah terus digulirkan.


* Tulisan ini dipublikasikan situs http://www.fahmina.or.id/ dan situs BKPPI www.jurnalislam.net/id

Friday, November 7, 2008

Mahasiswa Tim-Teng dalam misi haji

Oleh: Arwani Syaerozi

Musim haji tahun 1429 H / 2008 M adalah kali kedua bagi saya dalam keterlibatan di misi haji Indonesia. Sebagai pelajar Indonesia di Maroko (salah satu negara Arab), kami diberi kesempatan untuk bergabung dan direkrut oleh kantor Teknis Urusan Haji (TUH) Departemen Agama RI ke dalam tim yang dipersiapkan untuk melayani dan membimbing jama'ah haji kita selama di tanah suci.

Keberadaan komunitas pelajar dan mahasiswa Indonesia yang berada di Timur Tengah dan sekitarnya sangat signifikan untuk dilibatkan dalam aktivitas ini. Dengan kemampuan bahasa Arab dan penguasaan lapangan, para pelajar dan mahasiswa akan membantu Panitia Pelaksana Ibadah Haji (PPIH) dalam menjalankan misinya. Tidak heran jika pada musim haji kali ini, porsi rekrutmen mahasiswa dan pelajar lebih banyak jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yaitu sekitar 220 orang, hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh ketua panitia pada sambutannya saat penataran para petugas di hotel Medina Palace Jeddah.

Bahasa jendela dunia:

Adagium yang menegaskan bahwa "bahasa adalah jendela dunia" akan semakin nyata validitasnya saat musim haji tiba. Di Saudi Arabia yang merupakan negara berbahasa resmi Arab, jelas membutuhkan personal yang mumpuni dalam bahasa Arab untuk interaksi dan komunikasi dengan berbagai instansi, petugas, dan masyarakatnya. dengan menggunakan bahasa lokal tentunya akan lebih efektif dalam mengkomunikasikan kepentingan. Dari sisi ini, peran mahasiswa dan pelajar di Timur Tengah dan sekitarnya yang dilibatkan dalam tugas misi haji menjadi urgen dan signifikan.

Ada beberapa realitas yang saya alami dan saya saksikan dengan mata kepala sendiri berkaitan dengan pentingnya rekrutmen mahasiswa dan pelajar kita di negara Arab dalam tugas misi haji, yaitu saat petugas-petugas inti dari Jakarta (baik instansi Depag maupun Depkes) yang kurang menguasai bahasa Arab berkomunikasi dengan petugas dan instansi Saudi Arabia, pada momen inilah peran mereka dibutuhkan sebagai penerjemah dan "penyambung lidah" antar kedua belah fihak.

Peran mahasiswa sangat menentukan:

Di samping itu, kondisi fisik para mahasiswa kita yang masih energik dikarenakan faktor usia yang rata-rata masih muda, jika kita bandingkan dengan petugas dari unsur lainnya, akan berpengaruh besar pada tingkat optimal kinerja petugas haji, di mana secara lapangan, kondisi udara dan kultur masyarakat Saudi Arabia jauh berbeda dengan di tanah air. Yang jelas, dengan fisik yang masih kuat dan daya pikir yang masih segar, tidak lah berlebihan jika para mahasiswa dan pelajar kita ini dianggap sebagai salah satu faktor pendukung suksesnya pelaksanaan misi haji Indonesia.

Melihat urgensitanya ini, kantor Teknis Urusan Haji (TUH) sebagai pihak perekrut para mahasiswa dan pelajar dalam setiap misi haji, diharapkan mampu memposisikan mereka secara proporsional baik berkaitan dengan kewajiban maupun haknya. Bagaimanapun, mereka adalah kaum terpelajar yang selalu menjaga profesionalisme dan berharap akan adanya transparansi dalam berbagai hal.

Saturday, October 25, 2008

Konferensi mu'jizat angka

Akan diadakan Konferensi internasional pertama seputar mu’jizat angka dalam al Qur’an, hal ini terinspirasi oleh firman Allah (yang artinya) “dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu” (Qs. al Jin: 28)
Tema konferensi : “Mu’jizat angka dalam al Qur’an: sebuah terobosan dalam metode da’wah”.

Tempat: Auditorium fakultas sastra dan ilmu humaniora universitas Mohammed V Rabat Maroko. Waktu: tanggal 7 - 9 November 2008 bertepatan dengan 9 - 11 Dzul Qo’dah 1429 H.

Di antara tujuan konferensi:
1- Upaya untuk menjawab kritik dan pertanyaan seputar rahasia penyebutan angka-angka dalam al Qur’an 2- Menciptakan kerangka pembahasan dan target kajian secara komprehensif berkaitan dengan bidang “mu’jizat angka” 3- Menjadikan manfaat “mu’jizat angka” dalam al Qur’an sebagai metode da’wah di era teknologi digital. 4- Mensosialisasikan kepada komunitas intelektual dan sarjana muslim di dunia (khususnya yang konsentrasi di bidang kajian al Qur’an) akan urgensitas kajian al I’jaz al Adadi (kemukjizatan angka).

Informasi lanjut bisa diakses di situs penyelenggara, yaitu Lembaga Keilmuan Maroko untuk kajian mu’jizat ilmiyah dalam al Qur’an dan as Sunnah. (http://www.comijaz.org/)

Follow up:
Melalui konferensi internasional yang pertama dalam bidangnya ini, diharapkan akan lahir satu disiplin keilmuan baru, cabang dari kajian ilmu al Qur'an, yaitu ilmu al I'jaz al Adadi (ilmu kemukjizatan angka).

Tapi sayang, saya tidak bisa ikut menghadiri acara tersebut, karena pada tanggal 29 Oktober ini, saya harus terbang ke Saudi Arabia dalam rangka tugas Misi Haji Indonesia 2008-2009 selama kurang lebih tiga bulan. Maka, bagi yang berminat dan memiliki kesempatan menghadiri “momen penting” ini dipersilahkan saja…

Saturday, October 11, 2008

Tiga kebahagiaan menyambut Idul fitri

Oleh: Arwani Syaerozi*

Tidak terasa satu bulan penuh kita telah menjalankan ibadah puasa Ramadhan, satu bulan kita telah berhasil menahan lapar dan dahaga dari terbitnya fajar hingga terbenam matahari. Di saat bulan penuh berkah, rahmat dan ampunan itu telah pergi, hari ini kita dipertemukan dalam momen kegembiraan, yaitu hari raya idul fitri. Kalau kita artikan secara tekstual, bermakna "hari berbuka" atau "hari kembali kepada fitrah", fase kehidupan manusia yang dianggap suci, bersih dan terbebas dari segala dosa.

Di hari kemenangan ini, mungkin di antara kita ada yang bertanya-tanya: kegembiraan apa yang patut kita rayakan pada saat idul fitri tiba? Apakah hanya sekedar datang dan berlalunya "suatu hari" tanpa ada arti sebagimana hari-hari yang lain? Atau ada sebuah keistimewaan yang patut kita banggakan di hari ini?

Pada kesempatan kali ini, saya akan mengupas tentang tiga kebahagiaan bagi komunitas muslim dalam menyambut datangnya idul fitri. Yaitu; Bahagia telah sempurna menemui bulan Ramadhan, dengan menjalankan perintah puasa, bahagia telah berbagi kepada saudara se-iman, dengan menunaikan kewajiban zakat fitrah, dan bahagia dengan kesempatan halal bi halal atau bersilaturrahim, saling mema'afkan segala kesalahan menghapus luka yang pernah tergores dan mempererat hubungan persaudaraan.

Bahagia telah sempurna menjumpai Ramadhan:

Harus kita akui bahwa berhasil menjumpai bulan Ramadhan, dengan kondisi fisik dan mental yang sehat, sehingga mampu melaksanakan perintah puasa dengan khidmat, adalah anugerah besar dari yang maha kuasa, sahabat Ali bin Abi Thalib Ra (w: 40 H / 661 M) berkata: "Sehat jasmani adalah anugrah yang paling indah"

Kita bisa membayangkan, bagaimana orang-orang yang pergi ke alam baqa' (meninggal dunia) sesaat menjelang datangnya bulan Ramadhan, mereka tidak bisa menjumpai bulan yang penuh berkah, rahmat dan ampunan. Padahal, melalui ibadah di bulan Ramadhan, kita diberi bonus pahala berlipat dan kesempatan untuk melebur dosa-dosa yang pernah dilakukan. Rasulullah Saw - dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim - menjelaskan bahwa Ramadhan adalah bulan penuh ampunan.

Atau tidak sedikit saudara-saudara kita yang pada saat tiba bulan Ramadhan dalam keadaan sakit, fisik maupun mentalnya tidak sehat, sehingga tidak bisa menjalankan kewajiban ibadah puasa, atau kalaupun tetap menjalankan, tidak dengan khidmat sebagaimana orang yang normal kesehatannya. Tentu saja dengan uzur sakit, mereka itu tidak bisa merasakan bagaimana nikmatnaya saat berbuka, saat bersahur, bagaimana nikmatnya kita mampu mengendalikan hawa nafsu dengan sedikit mengekang hasrat jasmani dan biologis.

Dalam satu kesempatan, ulama besar di zaman tabi'in (setelah zaman para sahabat Nabi) imam Ibnu Sirin, (w: 110 H / 728 M) berterus terang bahwa urusan hawa nafsu adalah urusan yang paling pelik dalam hidup ini, ia berkata: “Aku tidak pernah mempunyai urusan yang lebih pelik ketimbang urusan jiwa”. Betapa urusan jiwa yang menyangkut pengendalian hawa nafsu adalah kendala besar yang kerap merintangi hidup manusia, Rasulullah Saw dalam hal ini mengingatkan: "Jalan ke sorga dilapangkan dengan mengendalikan hawa nafsu, sedangkan jalan ke neraka dilapangkan dengan menuruti hawa nafsu" (HR. Bukhori dan Muslim)

Dengan tibanya idul fitri ini, sangatlah wajar jika kita berbahagia menampakkan kegembiraan bersama, bukan atas dasar telah berlalunya bulan suci Ramadhan, akan tetapi kebahagiaan ini dilandaskan pada keberhasilan kita dalam mengekang hawa nafsu dalam kadar dan rentang waktu tertentu.

Bahagia dengan peduli terhadap sesama:

Kebahagiaan kedua yang semestinya kita rasakan pada momen datangnya hari raya idul fitri adalah, kita telah mengeluarkan zakat fitrah. Sebuah ibadah yang tidak lain sebagai bentuk penyucian diri setiap muslim sekaligus sebagai penyempurna puasa Ramadhan.

Zakat fitrah merupakan salah satu ibadah yang berdimensi horisontal. kalau kita perhatikan secara kasat mata, sangatlah sepele, tidak membutuhkan jumlah harta yang berlimpah, akan tetapi setiap muslim yang pada saat tibanya idul fitri memiliki kebutuhan pokok untuk dirinya, keluarga dan orang yang harus dinafkahinya, maka dia berkewajiban untuk mengelurakan zakat. Nominasi harta yang dikeluarakan pun sangat sedikit, hanya 1 Sha' sekitar 2,5 kg makanan pokok setempat, atau bisa diuangkan sesuai dengan standar harganya.

Berbeda dengan zakat harta, zakat hewan ternak, zakat hasil bumi, zakat profesi dan zakat niaga, jenis-jenis zakat ini hanya bisa ditunaikan oleh kalangan berada saja. Maka dari itu, prosentasi muslim yang berkewajiban mengeluarkan zakat fitrah jauh lebih banyak dari pada zakat-zakat tersebut, hal ini sesuai dengan maqasid (tujuan) disyari'atkannya zakat fitrah yaitu untuk mengembalikan setiap manusia pada fitrahnya.

Kalau sejenak kita menengok maqasid (tujuan) dan hikmah diwajibkannya ibadah zakat secara umum, ternyata ajaran Islam, disamping mengupayakan kesucian diri setiap insan, juga mengharapkan kesucian dan keberkahan harta benda yang dimilikinya. Dalam al Qur'an di jelaskan, saat Allah Swt memerintahkan Muhammad Saw untuk merealisasikan kewajiban zakat kepada para sahabatnya: "Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan – dan mensucikan - mereka" (Qs. at Taubah: 103).

Dalam kesempatan lain Allah Swt menjelaskan: " Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah di sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridha'an Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan " (Qs. Ar Ruum: 39)

Kalau demikian kenyataannya, maka kesempatan kita untuk menjalankan kewajiban zakat fitrah, adalah suatu kebahagiaan tersendiri. Kita telah diberi kesempatan oleh Allah Swt untuk mensucikan jiwa sekaligus mewujudkan rasa peduli terhadap kondisi di sekitar kita. Bagaimanapun kebahagiaan dalam menyambut datangnya idul fitri, juga berhak dirasakan oleh kaum miskin yang sama sekali tidak memiliki makanan pokok saat hari raya tiba.

Bahagia dengan bersilaturrahim:

Tradisi “halal bi halal” yang ada di setiap hari raya idul fitri adalah kesempatan bagi kita untuk bersilaturrahim. Tentunya silaturrahim dalam maknanya yang luas, yaitu saling memafkan atas segala kesalahan yang pernah dilakukan, saling mempererat hubungan persaudaraan atas dasar keimanan dan kebangsaan, bukan hanya sebatas persaudaraan atas dasar kekerabatan dan hubungan nasab keturunan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al Qur’an: "Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu" (Qs. Al Hujurat: 10)

Sebagaimana kita semua sadari, bahwa interaksi keseharian dalam komunitas umat manusia akan selalu di warnai dengan berbagai hal, sesuai dengan situasi dan kondisi. Adakalanya baik ada kalanya buruk, kadang damai kadang konflik. Implikasi dari hubungan keseharian antar sesama manusia ini tidak selamanya menyakitkan sehingga menimbulkan kebencian, begitu juga tidak semuanya menyenangkan sehingga menimbulkan kecintaan, pada saat-saat tertentu emosi, egois dan kesombongan bisa saja menguasai diri kita.

Implikasi buruk yang kita terima dari sikap orang lain, begitu juga kelakuan tidak bersahabat yang kita tunjukkan kepada orang lain, baik dengan penuh kesadaran maupun dalam ketidaksadaran, harus kita netralisir dengan bersilaturrahim. Kita percaya, bahwa hari raya idul fitri sebagai momen yang tepat untuk menetralisir atau paling tidak meminimalisir ketegangan hubungan antar sesama umat manusia. Rasulullah Saw bersabda : "Wahai manusia, tebarkanlah kedamaian dan sambunglah persaudaraan" (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Melalui silaturrahim, kita juga akan mendapatkan hikmah dan faedah yang luar biasa. Di antaranya; akan mempermudah segala urusan, bisa menjalin partner usaha, dan memperbanyak kolega yang tentunya akan saling menguntungkan dalam bekerjasama. Dalam satu kesempatan Rasulullah Saw bersabda: "Barangsiapa yang ingin dijembarkan rezekinya dan dipanjangkan usianya maka sambunglah persaudaraan" (HR. Bukhori dan Muslim). Sebagian ulama mengartikan kalimat "panjang usia" dalam hadist di atas dengan makna "keberkahan hidup".

Akhir tulisan:

Kita semua berharap, mudah-mudahan hari raya idul fitri kali ini adalah momen yang dapat mengembalikan pada fitrah keimanan kita, di mana idul fitri datang setelah kita menyelesaikan proses latihan mengendalikan jiwa melalui puasa Ramadhan, ia tiba dibarengi dengan kewajiban zakat fitrah yang merupakan wujud kepedulian, dan ia juga datang dengan tradisi “halal bi halal” sebagai upaya mempererat tali persaudaraan dan persahabatan. Tidak lain, tiga kebahagian yang kita rasakan sekaligus dalam momen hari raya idul fitri adalah anugerah dari Allah Swt yang wajib kita syukuri. "Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. " (Qs. Yunus: 58)


* Tulisan ini disarikan dari teks khutbah idul fitri 1429 H / 2008 M di KBRI Rabat Maroko yang disampaikan oleh penulis, dipublikasikan di situs www.pesantrenvirtual.com

Tuesday, October 7, 2008

Munajat di hari kemenangan

Oleh: Arwani Syaerozi*

Ya Allah….Dzat yang maha pengampun, tidak bisa kami hitung keluputan yang telah kami lakukan, kekhilafan terhadap sesama makhluk maupun kelalaian kami dalam menjalankan perintah dan menjahui larangan Mu, maka ampunilah kami atas semua itu, karena tanpa ampunan-Mu, kepada siapa kami mengharapkan pengampunan.

Ya Allah….Tuhan yang maha pemerhati, masih banyak saudara-saudara se-iman kami yang tersebar di berbagai belahan dunia, terutama yang hidup di negeri kami, Indonesia tercinta, mereka hidup dalam belenggu kebodohan, hidup dalam cengkraman kemiskinan, maka kami memohon kepada-Mu agar kami diberi kekuatan dan kemampuan untuk peduli kepada mereka, mendidik dan membantu sesuai dengan batas kemampuan kami.

Ya Allah….Dzat yang maha penolong, hingga detik ini, berbagai kesulitan terus bertubi-tubi dan silih berganti mendera bangsa kami, bangsa Indonesia, sampai detik ini pula kami belum bisa memahami, apakah itu semua sebagai coba'an yang akan mengangkat derajat, ataukah sebuah adzab yang merupakan balasan atas kedzaliman. Maka, berilah kami dan para pemimpin bangsa kami pertolongan dalam menghadapi kesulitan-kesulitan itu, sebab hanya Engkaulah sang penolong yang hakiki.

Ya Allah….Tuhan yang maha pendengar, inilah do'a kami, para hamba-Mu yang kerap lalai saat menerima karunia, para hamba-Mu yang selalu mengeluh saat menerima coaba'an, dengan segala kekurangan ini, kami berharap panjatan do'a kami untuk dikabulkan, karena hanya Engkaulah tempat sandaran kami.


* Kutipan dari do'a khutbah idul fitri 1429 H / 2008 M di KBRI Rabat Maroko yang disampaikan oleh penulis

Saturday, October 4, 2008

Ibnu Hazm dan kaum tekstualis kontemporer

Oleh: Arwani Syaerozi *

Bagi umat Islam, al Qur’an dan as Sunnah merupakan referensi utama yang dijadikan rujukan dalam menyikapi problematika hidup. Sebenarnya, pembacaan terhadap teks syar'i – yang pada akhirnya memunculkan konklusi hukum - bisa diartikan sebagai interpretasi manusia terhadap pesan-pesan tuhan. Metode pendekatan yang digunakan pun beragam, di antaranya pendekatan maqasidi (menitik beratkan pada esensi), dimana al maqasid (tujuan teks), asbab an nuzul / al wurud (kronologi sejarah), realitas sosial dan budaya masyarakat menjadi bagian tidak terpisahkan dalam corak penafsiran ini.

Ada juga manhaj harfi (metode tekstual), apa yang tersurat dalam teks adalah hasil final pesan tuhan, peran akal manusia dalam hal ini tidak lebih hanya ibarat kedua telinga yang menangkap gelombang suara, tidak memiliki hak untuk menalar dan mendialogkan teks dengan realitas.

Berbeda dengan pendekatan yang pertama (manhaj maqasidi), menurut pendekatan harfiah (literal), kemaslahatan umat manusia dengan memperhatikan dimensi waktu, tempat, dan kondisi, sama sekali tidak bisa dijadikan pertimbangan dalam memahami “pesan gamblang” sebuah teks keagamaan. Otomatis makna gamblang firman Allah “apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik dimana saja kamu jumpai mereka“ (Qs. at Taubah: 5) adalah perintah untuk melakukan holocaust (pemusnahan satu komunitas) yang tidak bisa ditafsir ulang sesuai dengan situasi dan kondisi.

Catatan kaum tekstualis:

Sudut pandang harfiyah ini telah sejak lama berkembang dalam sejarah Islam, bias awalnya adalah pada masa hidupnya Rasulullah, dimana kisah bani Quraidzah yang di situ muncul multi penafsiran dari para sahabatnya terhadap komando Rasul “Kalian jangan sholat Ashar kecuali di kampung bani Quraidzah” (Hr. Bukhori: 904), sebagian memahami secara tekstual, sholat Ashar di kampung tersebut walaupun telah keluar dari waktu sholat. Sebagian lain memaknai dengan ta’wil melakukan sholat Ashar di perjalanan pada waktunya, sebab mereka memahami ucapan tersebut sebagai perintah untuk segera tiba di lokasi.

Kemudian deklarasi kaum Khawarij “tidak ada hukum kecuali dari Allah“ pada tahun 37 H / 657 M saat pemerintahan Ali bin Abi Thalib, adalah fase berikutnya. Hingga pada abad ketiga Hijriyah / kesembilan Masehi, madzhab Dzahiri (literal) sebagai organisasi fiqh resmi kaum tekstualis, dideklarasikan oleh Daud bin Ali (w: 271 H / 883 M) di kota Isfahan Iran. Madzhab ini eksis sampai kemudian surut dan lenyap secara formal dari dunia Islam pada akhir abad ke 8 Hjiriyah / 14 masehi. Madzhab ini sempat didukung resmi oleh beberapa penguasa Negara, di wilayah timur oleh pemerintahan dinasti al Buwaihi, dan di wilayah barat oleh dinasti al Muwahidiyah.

Tokoh-tokoh klasik yang tercatat sebagai pengusung aliran ini adalah Ibn Hazm Ali bin Ahmad (w: 456 H), Abdullah bin Muhammad bin Hilal (w: 272 H), Ibn Mughlis Abu al Hasan (w: 324 H), Abu al Khattab bin Dakhiyah (w: 633 H), mereka inilah yang tersebar dari Isfahan, Baghdad dan Andalusia yang sepeninggal Daud bin Ali (pendirinya) berusaha mengeksiskan sekte ini.

Bahkan Abu Zuhrah dalam bukunya “Sejarah dan Pemikiran Ibn Hazm“ menganggap sufi besar Ibn Arabi (w: 638 H / 1240 M) termasuk dalam list nama pengusung madzhab tekstual, Walaupun dalam lingkup akidah – sebagaimana menjadi maklum – ia adalah pelopor kaum Bathiniyah, dan pengusung aliran tasawuf wihdatul wujud. (hlm: 578).

Secara umum, identitas kaum tekstualis bisa terbaca dalam tiga point berikut; pertama: Membatasi dalil agama hanya pada al Qur’an dan as Sunnah, Islam adalah dzowahir an nushush (sisi lahir teks), selain itu tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum.

Kedua: Menolak penggunaan dalil Qiyas (Analogi), Daud bin Ali menegaskan: “yang pertama kali menggunakan dalil analogi adalah Iblis, saya menemukan argumen untuk membatalkan Istihsan, ternyata ia juga dapat dijadikan sebagai dalil untuk membatalkan Qiyas“ (Tarikh Baghdad, jld. 8 hlm. 374). Senada dengan statemennya, Ibn Hazm menguatkan: “dalam memecahkan masalah agama tidak boleh menggunakan al Qiyas dan ar Ra’yu, sebab perselisihan pendapat dalam Islam harus dikembalikan pada al Qur’an dan as Sunnah“ (al Muhalla, jld. 1 hlm. 56).

Ketiga: Bahwa dalam syari’at tidak ada istilah Ta’lil atau illat (alasan atau motif), Allah bebas melakukan dan tidak melakukan apa saja tanpa harus disertai alas an. Dalil mereka dalam hal ini adalah firman Allah: “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai “ (Qs. Al Anbiya: 23). Point ini berimbas signifikan pada corak mereka dalam memahami teks al Qur'an dan as Sunnah secara tekstual.

Namun, dalam hal identitas ini, Abu Thoyib al Mauludi merampingkannya hanya pada satu point saja, yaitu penolakan terhadap dalil analogi (al Qiyas), alasannya karena hanya point ini yang paling krusial dalam pembedaan madzhab Dzahiri dengan lainnya, dimana dengan tidak menerima dalil analogi berarti tidak menerima ta'lil atau illat. (Mashadir at Tasyri’ al Islami Inda Ibn Hazm: 11).

Ibn Hazm: tekstualis reformis

Sosok Ibn. Hazm yang telah saya sebutkan sebagai pengusung madzhab Dzahiri (tekstual) di atas, ternyata menurut beberapa sarjana muslim kontemporer seperti Nuruddin al Khadimi (Tunisia), Muhammad Abid al Jabiri (Maroko) dan Abu Zuhrah (Mesir) dianggap sebagai salah seorang tokoh pembaharu dalam Islam. Bahkan Abd. Hadi Abd. Rahman dalam bukunya The Authority of the text menobatkannya sebagai "mega mujtahid" dalam sejarah fiqh Islam.

Umumnya mereka melabelkan status “pembaharu“ karena melihat metodologi Ibn Hazm dalam memahami agama. Di sini muncul pertanyaan: apakah metode harfiyah (tekstual) yang dianut Ibn Hazm merupakan copy-paste (jiplakan) metode Daud bin Ali sebagai pendiri madzhab Dzahiri? Apakah kaum harfiyah di Andalusia (barat Islam) adalah kaderisasi kaum tekstualis di Persia (timur Islam) yang muncul lebih dulu? hasil riset beberapa penulis menyatakan bahwa metode harfiyah Ibn Hazm yang hidup di Andalusia berbeda dengan kaum tekstualis di wilayah timur, bahkan dengan Daud bin Ali pendiri madzhab Dzahiri sekalipun.

Di antara indikasinya, keputusan Ibn Hazm untuk memilih jalur tekstual dalam memahami syari’at Islam adalah sebagai bentuk revolusi bermadzhab, sebagai implikasi ketidakpuasan terhadap madzhab Maliki yang menjadi mainsterm saat itu, bukan karena motif taqlid (mengikuti) kepada madzhab Dzahiri, hal ini sebagaimana yang ditegaskannya dalam ketidakbolehan taklid kepada para pemimpin madzhab (al Ihkam Fi Ushul al Ahkam: jld. 1 hlm. 99)

Ibn. Hazm beranggapan bahwa madzhab yang berpengaruh - saat itu - telah mempolitisir hakikat ajaran Islam, secara continue ia pun mensosialisasikan pandangannya melalui forum kajian dan media tulisan. Dalam hal dakwahnya ini, ia sering menggunakan ungkapan provokatif, hal ini bisa kita lihat dalam beberapa bukunya seperti; al Muhalla, an Nubdzah al Kafiyah, al Fisal fi al Milal wa an Nihal dan al Ihkam fi Ushul al Ahkam.

Gugatan Ibn. Hazm terhadap madzhab Maliki yang berpengaruh saat itu ditampakkan juga dalam bentuk “debat publik“, sisi ini mendapat perhatian khusus dari Abd. Majid Turki guru besar kajian Islam dari universitas Sorbone Perancis, dia berhasil merangkum data - data perdebatan antara Ibn Hazm dan Abu al Walid al Baji - tokoh madzhab Maliki yang saat itu disegani - dalam sebuah buku yang diberi titel al munadzarat fi ushul as Syari’ah baina Ibn hazm wa al Baji (Perdebatan seputar dasar syari’at antara Ibn Hazm dan al Baji).

Indikasi lain atas label "pembaharu" bagi Ibn. Hazm adalah universalitas proyek pemikirannya jika kita bandingkan dengan gagasan pemikiran Daud bin Ali. Menurut Abid al Jabiri, proyek pemikiran Ibn. Hazm bukan hanya sebatas pemahaman harfiyah terhadap teks keagamaan, akan tetapi juga mencakup segala aspek kebudayaan dan peradaban Arab / Islam hingga lingkup filosofisnya. (surat kabar al Ittihad al Imaratiyah, 22/11/2005)

Kaum tekstualis kontemporer: cenderung jadi ekstrimis

Berbeda dengan kaum tekstualis klasik yang hanya berkonsentrasi pada wacana intelektual melalui debat ilmiyah secara lisan dan tulisan, kaum tekstualis kontemporer yang akhir-akhir ini marak pengorganisasiannya, lebih menitik beratkan pada implementasi atas model beragama yang diyakininya. Perusakan infrastruktur, penutupan paksa atas tempat kegiatan publik, dan pemberangusan ketentraman masyarakat melalui tindakan anarkis atas nama Islam adalah aktivitas mereka. Massa militan kaum tekstualis ini hanya mengikuti komando para pimpinannya, yang sebenarnya kita pun mempertanyakan kapabilitas keilmuan para pimpinan mereka.

Dalam konteks Indonesia, kaum tekstualis - pasca reformasi - yang turut bersemi dengan berani menampakkan identitasnya, tidak semuanya berpandangan cupet. Mereka yang terjun ke dunia politik dengan terlibat dalam partai politik berhaluan Islam semisal PPP, PKS, PBB dll bisa dikatagorikan sebagai representasi kaum tekstualis moderat. Jalur diplomasi politik dan dialog adalah pilihan dalam menegoisasikan misinya. Berbeda dengan kaum tekstualis yang tidak turun berpolitik, semisal organisasi MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), Laskar Jihad, HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), FPI (Front Pembela Islam) dll, seringnya kalangan ini lebih mengedepankan sikap konfrontatif dan emosional saat menghadapi perbedaan pandang.

Benang merah yang mempertemukan semua organisasi ini adalah “pemahaman tekstual“ terhadap ajaran Islam. Walaupun bentuk penekanan atas model beragamanya berbeda, Laskar Jihad berkonsentrasi pada jalur komando jihad menebar sentimen anti non muslim, MMI fokus memberangus bid'ah dan khurafat (penyimpangan akidah), HTI berambisi mendirikan Dinasti atau kekhilafahan sebagai solusi Islami dalam membangun negara, dan FPI berjalan pada rel pemberangusan kemaksiatan dalam masyarakat atau yang lebih popular dengan istilah Pekat (penyakit masyarakat).

Lantas, apakah munculnya para pimpinan kaum tekstualis di tanah air semisal Abu Bakar Ba'asyir, Ja'far Umar Thalib dan Habib Riziek yang cenderung radikal sebagai bentuk revolusi bermadzhab?, hal ini sebagaimana yang pernah terjadi pada Ibn Hazm di Andalusia? ataukah hanya karena faktor politis dan dangkalnya penyelaman terhadap substansi ajaran Islam?

Apabila kemunculannya merupakan “revolusi bermadzhab“ sebagai mana yang dialami oleh Ibn Hazm, maka dari kerangka logis semestinya para pemimpin aliran tekstual ini telah jauh menjelajahi Islam baik dari sisi doktrin, sejarah, psikologi, dan filsafatnya. Sebab sosok Ibn Hazm kapasitasnya bukan hanya sebagai seorang pakar fiqh dan ushul fiqh saja, akan tetapi ia juga seorang teolog, filsuf, sejarawan, sastrawan, sekaligus pakar perbandingan agama. Bagaimana dengan pimpinan kaum tekstualis di tanah air? Adakah bukti tertulis kepiawaian mereka dalam memahami Islam, sebagaimana Ibn. Hazm yang telah mewarisi setumpuk karya ilmiyah?

inilah titik krusial yang bisa dijadikan pembeda antara proyek pemikiran Ibn Hazm dan pemikiran kaum tekstualis kontemporer, sehingga efek tekstual gaya Ibn Hazm tidak sampai merambah pada tindakan fisik yang merugikan rivalnya, justeru imbasnya positif, Ibn. Hazm telah berhasil merangsang komunitas intelektual dan cendekiawan saat itu untuk lebih tajam dalam bernalar.

Dari sini, saya pun melihat maraknya pengorganisasian kaum tekstualis (yang cenderung radikal) di tanah air, tidak lebih akibat dangkalnya pemahaman masyarakat kita terhadap ajaran agama, atau bahkan karena faktor politis. Semestinya, Indonesia - sebagai negara mayoritas muslim paling demokratis yang telah memberikan hak penuh bagi rakyatnya untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran agama - harus bisa terbebas dari segala bentuk teror dan intimidasi atas nama agama, sebab pemahaman paripurna atas esensi agama akan meredam tindakan garang para penganutnya.



* Tulisan ini dipublikasikan di http://www.fahmina.or.id/ dengan judul: Belajar dari Ibnu Hazm: seharusnya Islam tekstualis tidak menjadi ekstrimis

Sunday, September 28, 2008

Menyambut lailatul qadar di Maroko

Oleh: Arwani Syaerozi

Lailatul qadar
(malam kemuliaan) adalah momen yang sangat berkah bagi kaum muslim, keberkahannya telah diabadikan dalam al Qur'an melalui surat al Qadar. Namun, kapan tepatnya lailatul qadar itu tiba? Jawabannya masih misteri, kita tidak bisa memastikan pada tanggal berapa ia tiba. Rasulullah Saw sendiri hanya memberi sinyal kepada kita bahwa lailatul qadar jatuh pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.

Di Maroko, masyarakat antusias menyambut tanggal dua puluh tujuh Ramadhan, orang-orang menyambutnya secara spesial. Di rumah - secara sederhana – mereka mempersiapkan penyambutan dengan membakar bukhur (jenis kayu beraroma wangi), menyediakan menu untuk berbuka puasa berbeda dari hari-hari biasanya, sore ini menu makanan lebih variatif.

Pada malam harinya, masjid-masjid dipenuhi dengan kegiatan religius. Hampir seluruh masjid besar di Maroko dipadati masyarakat untuk mengikuti ritual khusus pada malam tersebut. Kegiatannya berkisar pada tadarrus al Qur'an, pembacaan amdah nabawiyah (pujian kepada nabi Muhammad), syair-syair sufi dan siraman ruhani.

Menjelang waktu Isya' tiba, masyarakat berbondong-bondong mengunjungi masjid, seperti Masjid al Umrah yang berada di kelurahan Ya'kub Manshur Rabat. Kegiatan di masjid ini hampir sama dengan masjid-masjid lainnya di bumi Maghribi. Sebelum sholat Isya', diisi ceramah agama oleh seorang Kyai seputar lailatul qadar dan nuzul al Qur'an. Usai sholat taraweh 20 raka'at mereka antri untuk masuk ke dalam tenda besar di halaman masjid yang disediakan oleh panitia, ternyata di situ telah disediakan meja-meja bundar dengan bangku-bangku melingkar. Untuk sekedar minum teh naknak dan menikmati kue ringan khas Maroko. Dan bagi yang berminat - usai menikmati hidangan - bisa bergabung dengan para qurra' (pembaca al Qur'an) mendengarkan baca'an alqur'an di dalam masjid hingga sepertiga akhir malam, untuk kermudian mereka melanjutkan sholat malam secara berjama'ah hingga menjelang terbit fajar.

Di luar aktivitas yang berkaitan dengan masjid, ada keunikan tersendiri dalam menyambut malam dua puluh tujuh ini. Yaitu bertebarannya studio photo dadakan di pinggir-pinggir jalan, lengkap dengan tanduk artistik layaknya singgasana seorang raja. Di setiap studio-studio photo berkerumun anak-anak kecil dengan dandanan narsis (pakaian, aksesoris, dan tampilan rambut serba baru) mereka antri untuk bergaya di depan kamera, para orang tua mereka pun harus rela meluangkan waktunya hanya untuk mengantar buah hati menuju studio photo.

Konon, tradisi photo-photo di malam dua puluh tujuh Ramadhan adalah salah satu usaha mereka dalam mengharap keberkahan lailatul qadar, malam yang kualitasnya lebih baik dari seribu bulan, satu malam yang teka-teki jatuhnya hanya bisa dijawab oleh mereka yang bersungguh-sungguh dalam meraihnya.

Friday, September 19, 2008

al Muwafaqat: referensi maqasid syari'ah

Oleh: Arwani Syaerozi

Maqasid syar'iah adalah kajian yang berkonsentrasi pada pembedahan esensi di balik teks keagamaan baik al Qur'an maupun as Sunnah, penjabaran atas hikmah dan tujuan hukum-hukum syari'at yang telah dibebankan kepada umat manuia. Dengan menguasai maqasid syari'ah, pemahaman kita terhadap teks al Qur'an dan as Sunnah akan lebih maksimal. Kajian ini pertama kali digulirkan - secara eksplisit - oleh Abu Ishak as Syatibi (w: 790 H / 1388 M), ulama Andalusia (Spanyol) yang hidup pada abad ke delapan Hijriyah atau empat belas Masehi.

Masyarakat muslim Andalusia saat itu mayoritas bermadzhab Maliki dan sangat fanatik terhadap madzhabnya. Pada saat yang sama, di sana juga terdapat minoritas muslim madzhab Syafi'i, Hanafi, Dzahiri, dan sekte Islam lainnya. Fanatisme kaum Maliki di Andalusia saat itu ternyata membawa jejak buram bagi kelangsungan kerukunan hidup masyarakat. Bagaimana tidak, pengikut madzhab Hanafi yang identik dengan penggunaan nalar dan akal dalam beragama dianggap menjadi seteru bagi mereka (kaum Maliki) yang dikenal dengan ahl al hadits. Konflik ideologi antar kedua aliran fiqh tersebut mencapai klimaks-nya, hingga tidak jarang diwarnai dengan bentrok fisik dan pemberangusan buku-buku referensi kaum Hanafi.

Melihat kondisi riil di masyarakat demikian, Abu Ishak as Syatibi sebagai salah satu ulama Maliki yang progresif, tergerak mencoba mendewasakan masyarakatnya, dengan mengusung misi memberangus fanatisme yang menjadi motif perpecahan umat.

Pada momen inilah bukunya al Muwafaqat disusun, sebagai salah satu upaya untuk meredam konflik ideologi, mencoba untuk mendewasakan pemahaman masyarakatnya dalam beragama. Pada mulanya buku tersebut akan diberi judul Inwan at Ta'rif bi Asrar at Taklif karena di dalamnya banyak mengupas tentang rahasia dan tujuan syari'at, akan tetapi dengan petunjuk dari salah seorang gurunya - melalui mimpi - akhirnya kata al Muwafaqat yang ia jadikan sebagai judul. Konon, karena misi yang dibawa adalah "perdamaian intelektual", kalau kita artikan secara tekstual kata al Muwafaqat bermakna "yang diselaraskan".

Dalam bukunya, Abu Ishak as Syatibi membagi pembahasan ke dalam lima sub judul: 1- pendahuluan seputar tujuan penulisan buku, 2- tentang hukum dan relasinya, mencakup hukum taklif dan hukum wadh'i, 3- maqasid syari'ah dan korelasinya dengan hukum, 4- ringkasan dalil syar'i dan proses aplikasinya terhadap hukum, 5- seputar ijtihad dan taklid, juga membahas masalah kontradiksi antara dalil dan proses pengunggulan salah satunya.

Sasaran buku ini - sebagaimana dijelaskan oleh penulis dalam prolognya - hanya diperuntukkan untuk komunitas high class, yaitu kalangan yang telah memiliki pemahaman luas dalam bidang fiqh dan ushul fiqh. Hal ini sepertinya sebagai upaya penulis agar tidak terjadi kerancuan dalam memahami isinya.

Pandangan-pandangan progresif Abu Ishak as Syatibi yang dirangkum dalam al Muwafaqat ini pada awalnya mendapat kecaman dan serangan dari ulama-ulama zamannya. Ide seputar maqasid syari'ah yang mendapat porsi luas dalam bukunya menuai reaksi keras, dianggap mengada-ada dan melakukan destruksi dari dalam terhadap syari'at Islam. Namun seiring dengan putaran waktu, masyarakat menjadi dewasa dengan setiap "ide baru" yang muncul ke permukaan, hingga saat ini, buku al Muwafaqat tetap beredar di pasaran, bahkan menjadi rujukan utama bagi kalangan yang menekuni bidang maqasid syari'ah, ushul fiqh dan kajian fiqh.

Mutiara pemikiran Abu Ishak as Syatibi yang dirangkum dalam al Muwafaqat ini pertama kali diterbitkan - dalam bentuk kitab - di Tunisia pada tahun 1302 H bertepatan dengan 1884 Masehi. Buku ini mendapat perhatian luas di kalangan pakar fiqh dan ushul fiqh dari dulu hingga sekarang. Karena volumenya tebal, dua orang murid Abu Ishak as Syatibi memodifikasi substansinya dengan membuat ringkasan. Yang pertama diberi judul: al Muna fi Ikhtisar al Muwafaqat, dan yang kedua, Nail al Muna min al Muwafaqat. Sementara dari kalangan ulama kontemporer, syaikh Ma'al Ainain merangkum substansi al Muwafaqat dalam gubahan bait-bait syair yang diberi judul Muwafiq al Muwafaqat.

Ahmad Baba dalam komentarnya mengatakan: "kitab al Muwafaqat sangat fantastis, menunjukkan kapabilitas penulisnya dalam bidang ushul fiqh dan maqasid syari'ah" (Nail al Ibtihaj: 48), di kesempatan lain, pakar maqasid asal Maroko Ahmad Raisuni (2003) menegaskan: "karena kualitasnya, buku ini telah mendapat perhatian publik intelektual cukup luas dari dulu hingga sekarang".

Friday, August 29, 2008

Kondisi Maroko 2007-2008

Oleh: Arwani Syaerozi

Tema tulisan kali ini adalah judul dari sebuah buku, buku yang saya dapat dari pedagang kaki lima di sudut trotoar Jl. Mohammed V Rabat (Rabu, 27/8/08). Usai menyelesaikan satu urusan di kantor L'agence Marocain de Cooperation Internationale (Agen Maroko untuk kerjasama internasional) saya menyempatkan diri untuk menikmati suasana sore hari di pusat kota Rabat. Tidak sia-sia, di samping buku ini, saya juga berhasil memboyong tujuh buku lainnya dari toko buku "Alfiyah Tsalitsah" (Millenium ke tiga), semua buku tersebut berkaitan dengan kajian Maqasid Syari'ah, diskursus yang selama ini saya geluti melalui penulisan disertasi.

Kembali ke judul tulisan ini, lantas ada apa dengan kondisi Maroko di tahun 2007-2008? Sehingga saya begitu antusias untuk mengikuti perkembangannya melalui buku ini. Adakah sesuatu yang istimewa atau kejadian spektakuler di Maroko pada periode tersebut? Sehingga saya harus rela merogoh kocek 30 Dirham (sekitar Rp. 35. 000, 00) untuk memindah kepemilikan sebuah buku dari seorang pedagang kaki lima.

Sebenarnya, buku yang saya dapatkan kali ini adalah buku rutin yang diterbitkan tiap tahun oleh pusat kajian Wijhat Nadzar (Perspektif), pusat kajian sekaligus penerbitan yang terkenal kritis di bumi Maghribi. Jadi, kurang lebih semacam evaluasi dan laporan tahunan kepada publik seputar kinerja perangkat Negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif), seputar isu politik, hak asasi manusia, ekonomi, sosial, budaya, olah raga, keagamaan, dan pergaulan Maroko dalam level internasional.

Laporan yang disajikan dalam buku ini sangat menarik, terdiri dari 11 sub judul pembahasan. Penyusunan buku ini pun melibatkan beberapa pakar sesuai dengan spesifikasi tiap kajian, sebagaimana yang dijelaskan dalam prolognya: "Dalam merealisasikan terbitnya buku ini, kami melibatkan sekitar 12 orang pakar, yang dalam kerjanya, mereka tidak mengacu pada hukum "hitam-putih", akan tetapi didasarkan pada realitas dan data akurat dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan sumber-sumber valid lainnya, baik dalam lingkup nasional maupun internasional" (hlm: 3).

Dari dua belas orang pakar yang terlibat dalam mengungkap "Kondisi Maroko 2007-2008" ini, di antaranya adalah; Abd. Latif Husni (pakar bidang hukum), Muntashir Hammadah (Jurnalis pengamat bidang keagamaan), Abd. Rohim al Ithri (pakar Sosiologi), Farid al Merini (pakar Antropologi budaya), Mohammad Barras (pakar sejarah) dan Munshif al Yazaghi (Pengamat Olah raga).

Problematika kemanusiaan:

Semenjak berada dalam kepemilikan saya dan hingga saat menulis review kali ini (Jum'at 29/8/08), dalam buku setebal 224 halaman ini hanya ada beberapa point saja yang menjadikan saya fokus, selebihnya saya hanya mengikuti sekilas. Inti point tersebut adalah seputar Hak Asasi Manusia (HAM), hal ini tidak lain karena bahasan ini erat berkaitan dengan kajian diseratsiku seputar "Maqasid Syari'ah dan Problematika Kemanusiaan".

Adalah Hind Aroub seorang guru besar bidang hukum dan hak asasi manusia yang menulis laporan tahunan seputar HAM di Maroko periode 2007-2008. Dalam salah satu sesi laporannya, ia menegaskan ada empat bentuk pelanggaran terhadap hak-hak kemanusiaan selama periode ini.

Pertama, Maraknya penangkapan dan penyiksaan yang disebabkan oleh faktor beda pendapat. Kebebasan berpendapat dan berserikat, dengan mengungkapkan ide dan mengekspresikan suara bagi setiap individu masyarakat masih dibayang-bayangi sikap subversif penguasa. Artinya, kebebasan asasi bagi setiap individu masyarakat yang selama ini terjadi pada tataran praktis masih semu. Dalam hal ini, penulis menyodorkan data dan fakta di lapangan, sekaligus menyebutkan beberapa contoh kasus dari orang-orang yang mengalaminya (hlm. 105 - 116).

Kedua, Kenaikan harga sembako (sembilan bahan pokok), isu ini dikupas oleh penulis dalam sub judul "Murka kenaikan harga: pengekangan atas hak hidup layak". Menurutnya, krisis harga sembako kali ini mengingatkan kita pada era 70-an, dimana pernah terjadi krisis hebat di bidang ekonomi yang berimplikasi pada kenaikan drastis harga-harga kebutuhan pokok. Keadaan saat itu (dekade 70-an) memaksa berbagai elemen masyarakat yang dikoordinir oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menggugat pemerintah Maroko dengan berbagai tuntutan. Di antaranya adalah: menaikkan standar gaji pegawai dan upah minimum pekerja, membebaskan biaya layanan publik seperti pendidikan serta pengobatan, dan meninjau kembali kebijakan dalam menaikkan harga. Dalam konteks krisis kenaikan harga di tahun 2007 hingga saat ini, penulis menyodorkan laporannya dengan dibarengi bukti gejolak di lapangan yang marak terjadi, yaitu unjuk rasa secara damai mempertanyakan kebijakan pemerintah dalam menaikan harga (hlm. 117-125).

Ketiga, Tingginya angka pengangguran, adalah isu lain yang dilaporkan oleh penulis. Dijelaskan olehnya, bahwa yang sangat tragis, pengangguran ini juga mencakup kalangan yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi Starta S2 dan atau yang sedang menyelesaikan program S3 di perguruan tinggi dalam Negeri. Maka tidak heran, jika sepanjang tahun 2007 komunitas terpelajar yang masih belum menemukan pekerjaan gencar turun ke jalan, mereka bersama-sama menyuarakan asiprasi dan keluhan. Isu ini pun – menurut penulis - akhirnya mendapat perhatian serius dari pemerintah Maroko untuk segera dicarikan solusinya. (hlm: 125-128)

Keempat, Lemahya penegakan supremasi hukum, menurut penulis, penegakan supremasi hukum melalui lembaga yudikatif masih sangat jauh dari yang diharapkan. Keputusan hakim dalam beberapa kasus yang ditangani oleh kejaksaan di beberapa daerah masih kental diwarnai dengan ketidakadilan dan kedzaliman. Kasus suap merajalela, begitu juga dengan sikap tebang pilih dalam mengusut pejabat dan pengusaha bermasalah. Dalam hal ini pun, penulis tidak lupa melengkapi laporannya dengan pengungkapan beberapa contoh kasus. (hlm: 128-131)

Tampaknya, masih banyak sub judul dalam buku ini yang harus diseriusi dalam membacanya. Untuk level negara-negara Arab, saya merasakan adanya keberanian dari tim penyusun buku ini, mereka cukup transparan dan blak-blakan dengan apa yang disajikan. Data yang dijadikan acuannya pun cukup valid, di samping para penulisnya selalu menyertai isu yang diangkat dengan contoh kasus yang ada di lapangan. Sungguh sangat menarik !

Saturday, August 16, 2008

Sejarah dan hikmah puasa

Oleh : Arwani Syaerozi*

Puasa merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima, ia menduduki peringkat ke tiga setelah dua kalimat syahadat dan sholat lima waktu. Hukum wajib berpuasa di bulan Ramadhan bagi umat Islam sudah final, tidak bisa diganggu gugat, ia termasuk katagori "perkara agama" yang hukumnya diketahui secara gamblang dan pasti. Dalam teks syar'i, baik al Qur'an maupun as Sunnah kita akan menemukan banyak dalil-dalilnya. Kemudian, karena ia termasuk dalam katagori al ma'lum min ad dien bi ad dharudah, maka menurut para fuqaha (pakar fikih Islam), pengingkaran atas hukum wajibnya (bukan sekedar malas melakukannya) berimplikasi pada status murtad (keluar dari Islam).

Kronologi sejarah:

Kewajiban ibadah puasa sebenarnya bukan hal baru bagi sejarah umat manusia, sebab - selain dalam agama Islam - ia pernah disyari`atkan juga pada penganut agama-agama samawi lainnya (Yahudi dan Nasrani), walaupun dari segi tata cara pelaksanaan dan ketentuan waktunya berbeda antara satu ajaran dengan ajaran lainnya, hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam al Qur'an surat al Baqarah ayat:183.

Dalam Islam sendiri, Ibadah puasa mulai diwajibkan pada tahun ke 2 Hijriyah atau 624 Masehi, bersamaan dengan disyari`atkannya sholat ied, zakat fitrah dan kurban idul adha. Hal ini berarti, bahwa puasa adalah sebuah kewajiban yang bersifat universal, berlaku semenjak umat terdahulu, umat muslim saat ini dan masa yang akan datang.

Proses pensyari'atan ibadah puasa dalam Islam, tercatat memiliki tiga fase penting. Pertama : ketika Rasulullah Saw datang ke kota Madinah, puasa diwajibkan dengan cara tiga hari dalam satu bulan. Mekanisme seperti ini dirubah dengan diberlakukannya puasa wajib di hari Asyura (tanggal 10 bulan Muharram), bentuk ini dianggap sebagai tahap yang kedua. Fase ketiga atau terakhir, yang hingga saat ini dan bahkan sampai seterusnya akan diterapkan, adalah puasa wajib di bulan Ramadhan dengan hitungan satu bulan penuh.

Pada tahap terakhir ini pun kewajiban puasa Ramadhan masih mengalami beberapa perubahan yang tidak prinsipil. Kalau kita menela'ah buku tarikh tasyri' (sejarah penetapan hukum syari'ah), dijelaskan bahwa pada awal diwajibkan puasa Ramadhan, jenis puasa ini masih memiliki "kelonggaran" bagi seorang muslim, yaitu bebas memilih - walaupun dalam kondisi sehat - antara berpuasa atau bersedekah memberi makan kepada fakir miskin sebagai ganti dari berpuasa, kemudian dengan turunnya ayat “barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (Qs. al Baqarah: 185) kebebasan memilih ini ditiadakan.

Di sisi lain, kesempitan dalam tata cara berpuasa pada awal-awal diwajibkannya, seperti larangan untuk makan, minum, dan bersetubuh dengan istri pada malam hari, ketika telah mengerjakan sholat Isya` atau tertidur walau belum melaksanakan sholat Isya`, ditiadakan dan ditoleransi dengan turunnya ayat “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu” (Qs. al Baqarah : 187).

Eksistensi ibadah puasa:


Dalam bukunya Ihya Ulum ad Dien, Imam al Ghazali (w: 505 H) menjelaskan bahwa ibadah puasa adalah seperempat dari iman, statemennya ini dilandaskan pada hadits Nabi Saw yang menjelaskan bahwa “Puasa itu setengahnya sifat sabar” (HR. Ahmad dan Turmudzi) dan hadist yang lain “Sifat sabar itu setengahnya iman” (HR. Abu Nuaim), dari kombinasi dua hadits inilah al Ghazali menarik kesimpulan bahwa ibadah puasa adalah seperempat dari iman.

Puasa memiliki sisi keutamaan jika dibanding dengan ibadah lainnya apabila kita memandang dari dua sudut berikut: Pertama, bahwa puasa adalah proses menahan dan meninggalkan dalam diri seseorang, yang mana tidak ada aktivitas nyata yang bisa dilihat, kecuali hanya oleh Allah Swt. Sedangkan semua perbuatan ta`at (ibadah) bisa dilihat oleh orang lain, sehingga kerap menimbulkan sifat riya (pamer) bagi pelakunya. Kedua, Bahwa puasa adalah upaya bani Adam dalam meminimalisir pengaruh ajakan Iblis. Sebab, syahwat yang notebene alat utama Iblis dalam menjerumuskan anak cucu Adam ke dalam lembah kenistaan, menjadi kuat pengaruhnya dengan suplay makanan dan minuman, sedangkan ibadah puasa adalah upaya menahan kedua-duanya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw pernah menjelaskan bahwa keleluasan Iblis dalam menggoda manusia hanya bisa dipersempit dengan rasa lapar (HR. Bukhori dan Muslim).

Sedangkan dalam kacamata Tasawuf - menurut imam al Ghazali - ibadah puasa terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu : Pertama, Shaum al Umum, hanya menahan perut dan alat kelamin dari syahwat. Kedua, Shaum al Khusus, yaitu puasanya orang-orang saleh, menahan anggota tubuh dari perbuatan maksiat, dengan menjaga enam perkara :
  1. menjaga mata dari melihat sesuatu yang buruk menurut norma agama
  2. menjaga lisan dari berdusta, memfitnah, dan perkataan keji
  3. menjaga telinga dari mendengar segala sesuatu yang haram untuk didengar.
  4. menjaga seluruh anggota tubuh dari perbuatan-perbuatan negatif
  5. menjaga untuk tidak berlebihan saat berbuka puasa
  6. menjaga hati untuk terus terikat dengan khauf (rasa takut) dan raja' (pengharapan), agar sadar bahwa ibadah puasanya bisa saja diterima oleh Allah Swt, sehingga termasuk orang-orang yang beruntung atau ditolak sehingga termasuk orang-orang yang merugi.
Tingkatan terakhir, Shaum khusus al Khusus, mencakup puasanya hati dari sesuatu yang hina dan rendah, dari urusan-urusan duniawi kecuali yang diharapkan untuk bekal ukhrowi. Tingkatan ini hanya bisa direalisasikan oleh Anbiya (para nabi), Shidiqien (para hamba yang jujur), dan Muqorrobien (para kekasih).

Kandungan hikmah:

Banyak pakar dari lintas spesifikasi kajian yang telah membahas tentang maqasid (tujuan), hikmah dan faedah berpuasa, dari kalangan ulama klassik kita bisa mengambil contoh al Ghazali yang membahas seputar "Asrar as Shiyam" (rahasia ibadah puasa) dalam bukunya Ihya Ulum ad Dien, atau Imam Izzuddin Ibn Abd. Salam (w: 660 H) yang menyusun buku dengan judul "Maqasid as Shaum" (tujuan disyari'atkannya ibadah puasa), sedangkan dari ulama kontemporer, salah satunya adalah Ahmad al Syarbasi, dosen di universitas al Azhar Mesir. Dalam bukunya Yas`aluunaka An ad Dien Wa al Hayat ia mencoba mengupas hikmah puasa dari berbagai sisi, berikut ini adalah beberapa point yang ia paparkan:
  1. Dalam berpuasa tersimpan makna patuh terhadap perintah Tuhan sang pencipta
  2. Puasa menyerupai revolusi jiwa atas belenggu tradisi buruk yang memperbudak manusia.
  3. Saat tidak berpuasa, manusia bebas makan dan minum sesuai selera, maka ketika tiba waktu berpuasa, dia berusaha mencegah hawa nafsunya selama tiga puluh hari, setiap hari dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Ini merupakan proses latihan hidup disiplin
  4. Bahwa rotasi kehidupan dunia selalu berputar. Kadang kaya kadang miskin, senang dan susah, bermukim dan bepergian, maka saat kita terbiasa dengan ritme berpuasa, kondisi kehidupan seperti ini secara otomatis mampu dinikmati dengan penuh kesadaran.
  5. Puasa melatih kesabaran dan menguatkan iradah (kehendak)
  6. Meningkatkan kepekaan sosial, orang berpuasa akan merasakan lapar dan pahitnya menahan syahwat, maka ketika dia menemui masyarakat di sekelilingnya tertimpa musibah, ia akan tanggap segera memberikan bantuan.
  7. Ketenangan jiwa yang merupakan efek dari berpuasa, sangat membantu dalam mengatasi problematika kehidupan.
Kupasan seputar hikmah berpuasa di atas, menjadikan kita yakin bahwa diwajibkannya puasa tidak hanya sekedar "pembebanan" tanpa arti, atau "pembebanan" tanpa kandungan essensi. Bagaimanapun, Maqasid Syari`ah membuktikan adanya nilai maslahat bagi umat manusia atas apapun yang diperintah atau yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.

Namun, satu hal yang akhirnya harus diperhatikan oleh kita semua, bahwa hikmah dan faedah berpuasa ini akan kita rasakan apabila kita melaksanakannya secara khusyu' sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan oleh fuqaha (pakar fikih Islam) dalam kajian fikih. Wallahu A'lam

* Tulisan ini dipublikasikan (dengan judul "membedah filsafat puasa") di situs resmi PBNU www.nu.or.id

Thursday, July 31, 2008

Semangat Mubes PPI Maroko

Oleh: Arwani Syaerozi*

Ketika Steering Committee (SC) mengadakan rapat perdana (Kamis, 24/7/08), saya dan teman-teman dalam tim mencoba merancang kerangka perhelatan tahunan kali ini. Setelah hari dan tanggal perhelatan ditetapkan, tema besar yang diangkat dalam Musyawarah Besar (MUBES) ke XI pun disepakati. Kemudian dengan melihat realitas dan wacana yang berkembang, tema kali ini adalah: "Melalui regenerasi, kita kembangkan potensi dan semangat berorganisasi".

Pergantian pucuk pimpinan organisasi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Maroko yang tinggal menghitung hari, adalah di antara Sunnatullah yang dimanifestasikan melalui perhelatan akbar tahunan ini. Dan dalam momen ini juga, kinerja kepengurusan lama akan dinilai, rancangan program kerja kepengurusan berikutnya akan dibahas, dan konstitusi organisasi yang tercermin dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) akan ditinjau ulang, semua ini sebagai proses untuk membawa komunitas lebih profesional dalam berorganisasi, sekaligus meng- update dalam berserikat.

Semenjak PPI Maroko mengemban amanat sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjend) Badan Kerjasama Persatuan Pelajar Indonesia (BK-PPI) se Timur Tengah dan Sekitarnya setahun yang lalu (2007), mau tidak mau potensi dan semangat berorganisasi komunitas pelajar dan mahasiswa Indonesia di Maroko harus kembali digenjot. Sebab jejaring dengan "dunia luar", kecakapan dalam menata manajemen organisasi, dan kecerdasan dalam membaca peluang serta menampung aspirasi, mutlak membutuhkan personal-personal yang mumpuni dan solid dalam bekerja.

Ada banyak aspirasi dan ide brilyan yang dimiliki oleh beberapa teman kita selama perjalanan kepengurusan 2007-2008, ada inovasi dan pandangan cemerlang yang mengiringi hari-hari berorganisasi. Di sisi lain, ada benih-benih "kelelahan" dan nuansa monoton dalam berorganisasi, ada provokasi dan emosi yang meluap-luap, bahkan ada pula yang memandang remeh hidup berorganisasi, padahal kita semua sadar bahwa manusia adalah makhluk sosial yang lebih singkron dengan pilihan hidup berorganisasi.

Semua ini adalah fenomena riil yang hadir ditengah-tengah kita, kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri, kecenderungan yang perlu segera direspon dalam format idealnya, bukan malah diremehkan atau sengaja dibungkam dan dimarjinalkan. Dalam tahapan ini, adagium rakyat yang menyatakan "sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit" sangat tepat untuk kita jadikan sebagai pijakan dalam memulai langkah menuju titik ideal. Yang di situ tercipta sikap saling menghargai dan menjunjung tinggi etika berorganisasi.

Bagaimana pun, di antara fungsi organisasi sebagai proses kaderisasi kepemimpinan telah mengharuskan kita serius untuk terjun di dalamnya. Nus-nus (setengah-setengah) akan menghasilakn result yang tanggung, atau mengutip dialek orang Maroko "waluu ya…akhuy…!", dan bukankah "man jadda wajad" (siapa yang bersungguh-sungguh maka akan berhasil). Demikian juga dengan keberhasilan PPI Maroko dalam menahkodai BK-PPI se Timur Tengah dan Sekitarnya, semua tergantung pada keseriusan dan kesungguhan kita.

Akhirnya, melalui perhelatan MUBES XI PPI Maroko yang akan diselenggarakan beberapa hari kedepan, semoga saja bermacam aspirasi anggotanya bisa ditampung untuk didiskusikan, beragam potensi yang dimiliki oleh individu-individu anggotanya mampu dikembangkan, dan tentunya semangat berorganisasi teman-teman bisa kembali dikobarkan. Yang pada gilirannya akan tercipta kader-kader bangsa yang mengusai medan sesuai zaman. Semoga dan semoga…..


*dipublikasikan di bulletin mubes PPI Maroko

Monday, July 28, 2008

BKPPI: sejarah, kiprah dan tantangan

Oleh: Arwani Syaerozi

Secara pasti, kita belum bisa menentukan kapan awal keberadaan pelajar-pelajar Indonesia di kawasan Timur Tengah (Negara Arab), kita pun belum bisa menyebutkan satu persatu personal as Saabiqun al Awaluun (pendahulu) pelajar kita yang mengenyam pendidikan di Arab. Ada beberapa buku yang mengkaji relasi ulama Timur Tengah dengan Indonesia, seperti disertasi yang disusun oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra berjudul “Jaringan ulama Timur Tengah dan kepulauan nusantara abad XVII dan XVIII: melacak akar-akar pembaruan pemikiran Islam di Indonesia” (Mizan, Bandung, Th. 1994). Namun, kajiannya ini sebuah riset yang dibatasi dengan kurun waktu tertentu, yaitu abad ke XVII dan XVIII Masehi. Pembatasan waktu ini menunjukkan bahwa sebelum dua kurun tersebut tidak menutup kemungkinan adanya educational relations antara Nusantara dan Timur Tengah.

Berkaitan dengan Badan Kerjasama Persatuan Pelajar Indonesia (BK-PPI) se Timur Tengah dan Sekitarnya, saya mencoba untuk memetakan keberadaan pelajar Indonesia di Timur Tengah ke dalam dua gelombang waktu. Pertama, sebelum abad ke 20 Masehi, pada fase ini kita banyak mengenal ulama-ulama Indonesia yang mengenyam pendidikan di Timur Tengah, di antaranya adalah Syaikh Nawawi al Bantani (w: 1897 M), Syaikh Abd. Somad al Falimbani (w: 1800 M), dan Syaikh Arsyad al Banjari (w: 1812 M). Mereka ini di antara pelajar yang datang ke Timur Tengah pada masa sebelum abad ke 20 masehi.

Kedua, Abad ke 20 dan setelahnya, berbeda dengan fase sebelumnya, di mana pelajar Indonesia hanya berkonsentrasi di wilayah Hijaz (Saudi Arabia), dan belajar dengan pola pendidikan halqah dan talaqi (sistem tradisional). Pada gelombang kedua ini, pelajar Indonesia mulai menyebar ke beberapa Negara di kawasan Timur Tengah. Belajar di pesantren dengan sistem tradisional dan perguruan tinggi dengan sistem akademis. Puncaknya, pada Abad ke 21 ini, keberadaan pelajar dan mahasiswa Indonesia terdeteksi hampir di seluruh Negara – Negara Timur tengah, seperti Yaman, Syria, Jordania, Libanon, Emirat, Qatar, Irak. Bahkan di sebelah timur semenanjung kepulauan Arab, seperti Iran, Pakistan, India, dan sebelah barat Negara-negara teluk, yaitu Mesir, Sudan, Libya, Tunisia, Aljazair dan Maroko.

Pada tahap kedua ini, tepatnya memasuki dekade 60-an, mulai bermunculan organisasi-organisasi pelajar dengan menggunakan istilah Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Negara-negara Timur Tengah. Dan fenomena bermunculannya PPI ini kemudian menjadi cikal bakal berdirinya BK-PPI se Timur Tengah dan Sekitarnya.

Sejarah dan perjalanan :

Badan Kerjasama Persatuan Pelajar Indonesia disingkat menjadi BK-PPI, adalah sebuah wadah organisasi yang menanungi seluruh Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di kawasan Timur Tengah dan Sekitarnya. Organisasi ini didirikan di Kairo pada tanggal 27 Agustus 1966 M bertepatan dengan 11 Jumadil Awal 1386 H. Saya belum bisa melacak secara detail para founding father yang telah membidani lahirnya BK-PPI, akan tetapi, ada beberapa nama yang dianggap sebagai aktivis-aktivis awal di BK-PPI, di antaranya adalah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Bapak Jazuli, mereka berdua adalah mahasiswa di Mesir.

Dalam sejarah perjalanannya, roda organisasi ini tidak selalu berjalan mulus. BK-PPI sempat mengalami masa vakum, eksistensinya jatuh bangun dan timbul tenggelam. Maka, untuk mempermudah dalam memahami sejarah perjalanan BK-PPI ini, saya mencoba untuk menyederhanakan ke dalam dua fase berikut:

Pertama, masa sebelum dekade 90-an, yaitu semenjak didirikan tahun 1966 hingga tahun 1990 Masehi, dalam rentang waktu ini BK-PPI pernah mengalami masa vakum cukup lama, akan tetapi dalam rentang waktu ini pula, BK-PPI sempat mencatat pro aktif mahasiswa Indonesia di Timur Tengah dalam membangun link kerjasama dengan komunitas di luar Negara-negara Arab. Paling tidak, keterlibatan utusan mahasiswa Timur Tengah pada beberapa kegiatan di Eropa menjadi bukti kuat akan signifikansi BK-PPI saat itu. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah di antara aktivis mahasiswa Timur Tengah yang kerap melakukan lawatan ke Eropa untuk menghadiri kegiatan komunitas PPI di Eropa.

Kedua, dekade 90-an dan setelahnya, merupakan masa kesinambungan eksistensi BK-PPI hingga periode saat ini. Pada tahun 1999 bertempat di Kairo, BK-PPI mengadakan konferensi ke IV, momen ini sebagai start point bangkitknya BK-PPI dari “tidur panjang” lebih dari 20 tahun. Dimana melalui konferensi ini delegasi dari PPI Tunisia yang diwakili oleh ketuanya Fathurrahman Yahya diberi amanat untuk memegang jabatan sebagai Sekretaris Jenderal periode 1999-2001. Namun, berkurangnya jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di Tunisia pada masa-masa akhir jabatan ke-Sekjenan BK-PPI, jadwal pelaksanaan konferensi ke V yang seharusnya diadakan di Tunisia pada tahun 2001 tidak dapat dilaksanakan.

Hal ini, akhirnya menjadikan roda pelaksana BK-PPI diambil alih oleh PPMI Mesir, yang kemudian bisa mengantarkan pada pelaksanaan konferensi ke V tahun 2004 bertempat di Kairo, dengan mengangkat tema “Revitalisasi kembali peran Mahasiswa Timur Tengah”. Pada konferensi ke V di Kairo ini, delegasi-delegasi yang hadir sepakat memilih Himpunan Pelajar Indonesia (HPI) Iran, melalui ketua umumnya Mujtahid Hasyim untuk mengemban jabatan sekjen BK-PPI periode 2004-2007.

Periode BK-PPI di bawah kepemimpinan HPI Iran ini pun akhirnya sukses melaksanakan konferensi ke VI yang diadakan pada bulan Juli tahun 2007. dengan tema “Membangun kemandirian bangsa, menuju Indonesia yang berkeadilan” Pada konferensi ini delegasi PPI Maroko melalui ketuanya Syariful Hidayat disepakati oleh delegasi yang hadir saat itu untuk menjabat sebagai sekretaris jenderal BK-PPI. Sejak saat itu, PPI Maroko resmi mengemban tugas sebagai Badan Pelaksana BK-PPI periode 2007-2010.

Kiprah dan Tantangan :

Sebagaimana yang dijelaskan dalam Anggaran dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) nya, bahwa: Badan Pelaksana (BP) adalah badan kepemimpinan tertinggi organisasi BK-PPI, Badan Pelaksana sebagai kepemimpinan tertinggi ini, komposisinya minimal terdiri dari Sekretaris Jenderal, Wakil Sekretaris jenderal dan Bendahara. Dalam hal ini, yang berhak menjadi Sekjend adalah Ketua Umum atau pejabat tertinggi PPI yang dipercaya mengemban amanat BK-PPI.

Jika kita melihat AD / ART-nya, kiprah organisasi ini - secara umum - tidak lepas dari dinamika dunia pendidikan, dan - secara khusus - yang berhubungan dengan eksistensi pelajar mahasiswa Indonesia di Timur Tengah dan sekitarnya. Hal ini meliputi koordinasi, komunikasi, penyelarasan visi dan misi serta pengembangan intelektual anggota. Orientasi BK-PPI juga mengarah pada upaya untuk menyatukan langkah dalam merespon gejala sosial, politik, kebudayaan, pendidikan, ekonomi, dan keagamaan baik yang terjadi dalam level nasional maupun internasional.

Isu-isu seputar dunia keislaman, seperti konflik di Palestina, agresi militer oleh pihak asing di Irak dan Afghanistan, konflik internal di Libanon, Pakistan dan Somalia, ketegangan antar sesama negara Islam, seperti Syria vs Saudi Arabia atau Maroko vs Aljazair, termasuk lingkup perhatian BK-PPI. Paling tidak, dalam hal ini BK-PPI harus konsisten mengikuti perkembangan yang terjadi di lapangan, kemudian realitas tersebut disikapi dengan mengeluarkan penyataan sikap dan merekomendasikannya kepada pemerintah Indonesia agar dijadikan sebagai pertimbangan dalam kebijakan politik luar negerinya, khususnya yang berhubungan dengan kawasan Timur Tengah dan Sekitarnya.

Saya pun melihat beberapa hasil cemerlang kiprah BK-PPI selama kepemimpinan terakhir (dibawah kendali HPI Iran), di antaranya adalah melalui seminar dan lokakarya internasional (SEMILOKA) pada tahun 2005 di kota Qom, dalam SEMILOKA ini BK-PPI kemudian berhasil melebarkan sayap kerjasamanya dengan komunitas non Timur Tengah baik di nusantara maupun di belahan dunia lainnya, link kerjasama dengan berbagai pihak meliputi instansi pemerintah, swasta, dunia pers maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Dalam periode HPI Iran juga dilaunching website resmi BK-PPI www.jurnalislam.net/id, situs ini dikhususkan untuk mempublikasikan kegiatan dan kreativitas anggota BK-PPI. kemudian kesepakatan kerjasama antara BK-PPI dengan PPI se-Eropa pun dijajaki melalui pengembangan intelektual anggota dengan melahirkan jurnal online yang diberinama Titah Ilmu (http://www.titahilmu.net/), walaupun dalam pengelolaannya masih kurang maksimal. Kiprah dan konsentrasi perhatian BK-PPI yang cukup potensial ini, dalam kenyataannya menemukan berbagai tantangan.

Saya yakin, adanya perbedaan sosial dan budaya, perbedaan dalam metode pendidikan setiap negara yang terdapat mahasiswa Indonesia, merupakan tantangan tersendiri bagi BK-PPI dalam proses penyatuan visi, misi dan langkah setiap organisasi anggotanya. Kultur di Maghrib Arabi (khususnya Maroko, Tunisia dan Aljazair) yang kental dengan Eourpe style akan sangat paradoksal dengan kultur yang berkembang di wilayah teluk (khususnya Saudi Arabia, dan Yaman) yang ketat mengadopsi nilai Islami. Dari dua wilayah ini, sangat rentan munculnya ketidak singkronan langkah akibat beda pola berfikir dan cara pandang. Begitu juga dengan doktrin Syi’ah yang menyelimuti masyarakat Iran, sebagian Pakistan dan Syria, akan “sedikit” mempengaruhi keharmonisan hubungan dengan negara-negara non Syi’ah. Tantangannya adalah: mampukah BK-PPI menyelaraskan langkah seluruh organisasi PPI yang menjadi angotanya? Dapatkah BK-PPI menjembatani seluruh kepentingan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan sikap dan suara eksternal BK-PPI?

Di satu sisi, penyatuan visi, misi dan langkah ini dianggap penting, sebab di tanah air, kita akan bertemu dengan komunitas pelajar mahasiswa dengan background almamater pendidikan yang beragam, kita akan berkompetisi dengan komunitas pelajar eks-Eropa, Amerika, Australia, dan Asia dalam berbagai lini kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan realitas tadi, saya pun melihat hal penting lain yang belum tergarap dengan baik, yaitu lemahnya koordinasi antar sesama alumni pelajar Timur Tengah dan Sekitarnya di tanah air, organisasi pemersatu alumni Timur Tengah yang saat ini ada di Indonesia tampaknya tidak berfungsi maksimal kalau tidak saya katakan “mati suri” , sehingga kurang memberikan peran signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Problem ini jelas berhubungan dengan keberadaan BK-PPI, dan merupakan tantangan untuk membenahinya. Minimal BK-PPI melakukan upaya untuk intensif menjalin komunikasi dengan organisasi alumni Timur Tengah di tanah air.

Akhirnya, BK-PPI yang notebene sebagai wadah kerjasama antar organisasi PPI se Timur tengah dan Sekitarnya, yang di dalamnya tercatat kurang lebih 8000 pelajar dan mahasiswa, tidak kita ragukan lagi signifikansi keberadaannya. Maka, peran serta kontribusinya pun selalu ditunggu dan akan diperhitungkan oleh segenap elemen bangsa. Wallahu A’lam


* Dipublikasikan di situs: www.jurnalislam.net/id

Saturday, May 10, 2008

Potret buram pers Arab

Oleh: Arwani Syaerozi

TV Aljazirah sebagai "corong informasi" dunia Islam dan Arab yang sudah go-internasional, saat ini sedang menghadapi problem. Pasalnya, pada hari Selasa (6/5/08) stasiun relai di Rabat Maroko yang khusus memberitakan wilayah Maghrib Arabi (Barat Arab) dilarang mengudara oleh pemerintah Maroko dengan tanpa penjelasan motifnya.

Hari-hari ini, “akhbar maghribiyah” (berita seputar barat Arab), disiarkan langsung dari stasiun pusatnya di Doha Qatar, ada kemungkinan stasiun relai yang di Rabat Maroko akan dipindahkan ke Madrid Spanyol (lihat: www.almassae.press.ma), hingga saat ini masih dikaji segala persiapannya dan dalam waktu dekat akan direalisasikan.

Spontanitas, mungkin kita bertanya-tanya, mengapa tidak dipindah ke Tunisia, Aljazair atau Mauritania saja? bukankah tiga negara tersebut merupakan anggota "Maghrib Arabi", yang secara geografis berada di kawasan? secara kultur dan emosional juga Arabian? lagi-lagi kasus "penutupan paksa" pernah dialami TV Aljazirah di negara-negara tersebut. Padahal, di tiga negara tadi bukan berupa stasiun relai akan tetapi hanya berupa kantor cabang (koresponden).

Spanyol dipilih untuk dijadikan sebagai base camp TV Aljazirah di wilayah "barat Arab", dengan alasan dekat dengan wilayah, dan secara history, pernah masuk dalam peta regional "Barat Arab", saat bangsa Arab berkuasa dalam rentang waktu (711-1492 Masehi)

Semsetinya, komunitas Arab bangga atas pengakuan dunia internasional terhadap TV Aljazirah, dimana ia dijadikan rujukan berita di samping BBC dan CNN. Paling tidak, pemerintah negara-negara Arab memberikan support dengan membuka selebar-lebarnya bagi aktivitas Aljazirah. Namun, kekritisan Aljazirah dalam pemberitaan sepertinya telah menjadi sesuatu yang menakutkan bagi para pimpinan negara Arab.

Maka, Apa pun alasan pemindahan stasiun Aljazirah dari Rabat Maroko ke Madrid Spanyol, saya hanya bisa mengambil satu kesimpulan, bahwa; kebebasan pers di mayoritas negara Arab masih jauh dari yang dibayangkan, pertanyaan yang kemudian muncul adalah: mampukah Aljazirah terus memposisikan diri sebagai pusat rujukan berita dengan semangat obyektifitas dan kekritisannya di tengah tekanan-tekanan para penguasa Negara Arab? Wallahu A'lam.

Saturday, April 19, 2008

Ulama dan Politik

Oleh: Arwani Syaerozi

Demokrasi benar-benar telah menggema di seluruh penjuru nusantara, kebebasan berserikat, berpendapat dan berpolitik telah dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat. Setelah lebih dari tiga dasawarsa, suara rakyat dalam pemilihan umum rentan direkayasa, bahkan dalam pemilihan kepala desa pun banyak terjadi manipulasi hasil suara. Kini, di era reformasi sistem pemilihan langsung diterapkan bukan hanya untuk memilih wakil rakyat dan kepala desa saja, akan tetapi pemilihan presiden, gubernur, bupati atau walikota diserahkan langsung kepada masyarakat.

Terlepas dari plus-minus sistem Pilsung (pemilihan secara langsung) ini, kita dapat melihat tiga realitas baru dalam ranah perpolitikan bangsa; Pertama, rakyat tidak lagi membeli “kucing dalam karung”, sebab setiap calon yang akan berkompetensi turun secara aktif mensosialisasikan profil dan program unggulannya. Kedua, tertutupnya kemungkinan jual beli dukungan oleh wakil-wakil rakyat dalam setiap pemilihan, dimana kerap merugikan masyarakat sebagai pihak yang mewakilkan. Ketiga, menjamurnya “tim sukses” dalam setiap pemilihan untuk menggalang kekuatan massa. Tim sukses ini terdiri dari lintas profesi, mulai politisi, pengusaha, intelektual, akademisi, artis sampai para ulama.

Berkaitan dengan ulama, yang notebene sebagai penyangga moral-relegiuitas umat, dan secara emosional dekat dengan masyarakat, eksistensi mereka menjadi signifikan dalam setiap diadakannya pemilihan, baik level lokal maupun nasional. Para calon saling berdatangan untuk menarik dukungan, dengan harapan suara umat yang ada dibelakangnya bisa mendongkrak kemenangan.

Ulama dan kepentingan politik:

Kotornya dunia politik, sebenarnya tidak harus menjadikan ulama pasif untuk terjun di dalamnya, misi dakwah sangat mungkin disisipkan melalui aktivitas berpolitik. Walaupun tidak bergabung dalam partai politik tertentu yang mengusung orientasi “dakwah”, para kyai yang politisi semestinya bisa menjadi pelopor dalam menjunjung etika berpolitik dikalangan politisi. Jika kita menengok ke belakang, sepanjang sejarah perpolitikan bangsa, ternyata tidak pernah sepi dari kiprah para ulama di dalamnya. kita pun banyak mengenal partai politik yang berbasis ulama dan santri, sebut saja misalnya Partai Masyumi dan partai NU (di masa orde lama), Partai Persatuan Pembangunan (di masa orde baru), Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (di masa orde Reformasi), para kyai-kyai politisi ini mampu berdiri di atas dua sisi secara bersamaan, dunia dakwah dan politik.

Untuk itulah pada saat kyai menguasai skill berpolitik dan mampu dalam membagi perhatian kepada umat di sela-sela aktifitas berpolitik, maka penyaluran “syahwat politik” seorang kyai berkriteria demikian bukanlah sesuatu yang negatif, justeru akan menampakkan kapasitas ulama yang bukan saja menguasai lingkup keagamaan.

Beda halnya pada saat ulama hanya dirangkul oleh politisi, sementara dia sendiri tidak memiliki skill dalam kancah politik, di sini kepentingan para politisi akan dapat menyetir ketulusan ulama, dan posisi ulama tidak lebih hanya sebagai “magnet” pemikat tanpa memberikan manfaat yang jelas bagi umat. Apalagi jika kondisi para ulama tidak satu kata dalam pandangan politik, dan hal inilah yang kerap terjadi di masyarakat kita. Maka imbasnya adalah timbul kerancuan umat seirama dengan perang urat saraf antar ulama yang berbeda dalam ijtihad politik.

Sebenarnya, ulama yang direkrut oleh politisi ke dalam “tim sukses” sama sekali tidak ada niat untuk memecah belah umat – walaupun mereka berbeda dalam ijtihad berpolitik – akan tetapi perpecahan umat terjadi akibat ulah para politisi melalui propaganda dan provokasi saat mereka menyerang lawan-lawan politiknya. Sementara di mata masyarakat, ulama memiliki tingkat reputasi lebih tinggi ketimbang para politisi. Namun, sayangnya, banyak sekali ulama kita yang kurang waspada saat berinteraksi dengan para politisi, mengutip ungkapan ketua umum PBNU KH. Hasyim Muzadi dalam tausiyahnya seputar Pilkada, bahwa ulama selalu Husnudzan (berbaik sangka) terhadap siapapun, padahal yang mereka hadapi adalah politisi yang terkenal dengan prinsip: “tidak ada kawan dan lawan yang sejati, yang ada hanyalah kepentingan”. Maka ulama pun kerap menjadi korban tarik menarik kepentingan politik.

Di sisi lain, karena ulama pada saat menjadi “tim sukses” secara moral-politik bertanggung jawab untuk menggiring suara umat kepada calonnya, meyakinkan umat akan kapabilitas calon yang didukung. Lantas bagaimana semsetinya para ulama yang berposisi demikian harus bersikap? Apa sebaiknya tidak bergabung menjadi “tim sukses” tapi cukup hanya sebagai penonton setia? Atau tampil sebagai penghubung antara kepentingan politisi dengan kepentingan masyarakat tanpa harus terikat pada salah seorang calon?

Alternatif sikap ulama:

Sebagaimana saya jelaskan, berbeda ketika ulama terjun langsung sebagai politisi dengan mereka yang hanya menjadi tim sukses untuk calon tertentu. Saat ulama menjadi politisi setidaknya mereka telah mempersiapkan diri dengan skill berpolitik, mereka sudah menghitung segala konsekuensinya, telah memprediksi berbagai kemungkinan dan telah memformat bentuk pengayoman terhadap masyarakat di luar kesibukan politiknya. Akan tetapi ulama yang hanya menjadi simpatisan atau tim sukses, mereka biasanya dirangkul oleh politisi untuk kepentingan mendongkrak suara dalam pemilihan. Dalam hal ini, kepentingan para politisi akan mendominasi kepentingan ulama, untuk itulah katagori ulama kedua ini harus lebih waspada dan selektif dalam berinteraksi dengan para politisi, jangan sampai karena kepentingan para politisi kondisi umat menjadi carut marut.

Ada dua alternatif bagi ulama non politisi dalam bersikap: Pertama, sikap netral-aktif, yaitu tidak berpihak kepada siapa pun, akan tetapi dia berusaha memperkenalkan profil dan agenda politik setiap calon kepada umatnya, untuk selanjutnya pilihan diserahkan secara penuh kepada masyarakat. Peran ulama seperti ini lebih efektif dalam mendidik masyarakat mengenal dunia politik dan membimbing mereka dalam menggunakan hak suara, tanpa harus berpihak pada satu calon. Kedua, netral-pasif, yaitu sama sekali tidak menyentuh lingkup politik dalam batas minimal sekalipun, artinya hanya mengayomi moral-relegiuitas umat saja yang menjadi perhatiannya, ulama yang bersikap demikian biasanya akan lebih diakui keikhlasannya oleh masyarakat.

Adapun dalam posisi ulama berpihak pada salah satu calon, hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah; berusaha meredam efek perbedaan ijtihad politik di kalangan masyarakat luas, artinya, perbedaan pandangan politik di antara ulama jangan sampai menimbulkan imbas carut marutnya umat. Tugas ulama dalam hal ini adalah; menggiring umatnya ke salah satu calon sambil mendewasakan mereka agar tidak konfrontatif terhadap calon dan pendukung lain. Hal ini agar prilaku berpolitiknya tidak seperti politisi non ulama yang tidak memiliki tanggung jawab moral terhadap umat.

Maka, sekali lagi saya tegaskan bahwa keterlibatan ulama – secara pribadi bukan atas nama organisasi - dalam berpolitik dengan terjun langsung atau hanya sebatas bergabung dalam tim sukses pemilihan presiden, gubernur, bupati, walikota atau kepala desa adalah fenomena alamiah dan bukan sesuatu yang negatif. Bahkan saya melihat fenomena perekrutan para ulama dalam lingkup politik, khususnya pada saat pemilihan langsung baik tingkat lokal maupun nasional merupakan bukti kuat betapa peran ulama sangat vital bukan hanya dalam lingkup dakwah keagamaan saja. Wallahu A’lam.

* dipublikasiklan di media www.jurnalislam.net/id


Monday, March 24, 2008

Maulid Nabi: kegembiraan lintas batas

Oleh: Arwani Syaerozi*

Senin bulan Rabiul Awal tahun Gajah (570 M) merupakan hari kelahiran nabi Muhammad SAW, hari yang selalu diperingati olehnya dengan rutin berpuasa. Berangkat dari Sunnah Fi’liyah (aktivitas nabi) ini, masyarakat muslim di seluruh penjuru dunia antusias dan gembira menyambut datangnya bulan Rabiul Awal. Bahkan mayoritas umat muslim bergegas memperingati hari kelahiran sosok yang ditegaskan dalam al Qur’an sebagai “suri tauladan”. (Qs. al Ahzab: 21)

Berbagai kegiatan diadakan menyambut hari kelahiran Rasul, format acaranya pun beragam antara satu komunitas masyarakat dan komunitas yang lain. Namun secara garis besar, substansi seremonial peringatan maulid nabi ini tidak keluar dari lima hal: Pertama- bersedekah, baik kepada tetangga dekat maupun para kerabat, hal ini seperti tradisi yang dilakukan oleh masyarakat muslim Tunisia, mereka membuat Asidah (sejenis bubur manis) dibagikan kepada kerabat dan tetangga dekat. Kedua- berdzikir, dengan melalui pengajian-pengajian keagamaan, hal ini sebagaimana banyak diadakan di Indonesia, para penceramah tampil memberikan mauidzah hasanah kepada para jama’ah yang hadir. Ketiga- bersholawat, secara bersama-sama membaca sholawat kepada baginda Rasul, melantunkan syair, puji-pujian kepada Rasulullah SAW, hal ini seperti yang mewarnai peringatan maulid pada komunitas muslim Maroko. Keempat- Bertafakkur, bersama-sama mendengarkan sirah nabawiyah (sejarah Rasulullah SAW) yang dibacakan oleh beberapa orang melalui buku-buku sejarah Nabi, seperi ad Diba’I, Syaraf al Anam, al Barzanji, Simthu ad Durar, Dhiya al Lami’, hal ini seperti yang dilakukan oleh komunitas Muslim Yaman. Pembacaan sejarah ini lebih dikenal oleh kalangan pesantren di Indonesia dengan istilah “marhabanan”. Kelima- bakti sosial, yaitu dengan mengadakan gerakan peduli terhadap kondisi sesama, baik secara langsung dengan mengorganisir bantuan dan menyalurkannya, maupun secara tidak langsung, dengan mencari solusi tepat bagi problem sosial kemasyarakatan melalui seminar dan diskusi ilmiyah.

Dan hampir seluruh Negara Islam – mengacu pada pendapat mayoritas ulama yang menetapkan 12 Rabiul Awal sebagai hari kelahiran Rasul – menjadikan tanggal tersebut sebagai hari libur nasional, bahkan sebagai momen pertukaran Tahni’ah (ucapan selamat) seperti yang banyak dilakukan oleh para pimpinan Negara-negara Arab.

Antara legalitas dan realitas:

Tradisi peringatan maulid Nabi, pertama kali diperkenalkan kepada komunitas muslim pada masa dinasti Fatimiyah di Mesir (969-1171 M), dinasti Islam yang didirikan di Tunisia pada tahun 909 M dengan ibu kota Kairouan, kemudian melakukan ekspansi hingga ke Mesir dan menjadikan Kairo sebagai ibu kotanya.

Dalam perspektif fiqh Islam, terjadi pro-kontra seputar tradisi peringatan maulid nabi. Kalangan yang kontra adalah kelompok minoritas muslim yaitu golongan Wahabiyah/Salafiyah dan yang se-ideologi. Sebuah sekte Islam yang kental dengan metode tekstual dalam memahami ajaran Islam, sehingga apa yang tidak ditegaskan secara eksplisit dalam al Qur’an dan as Sunnah merupakan bid’ah (inovasi tanpa dalil) yang harus diberangus, dan sekte ini pun – dalam menggunakan as Sunnah - lebih menitik beratkan pada Sunnah Qauliyah (statemen Rasul) dari pada Sunnah Fi’liyah (aktivitas rasul) atau Sunnah Taqririyah (pengakuan implisit Rasul).

al Ikhtilaf (pro-kontra) ini timbul, karena sekte Wahabi/Salafiyah dan yang se-ideoligi hanya membatasi dalil pada teks lahir al Qur’an dan as Sunnah saja, sedangkan peringatan maulid Nabi – dalam bentuk seremonial – tidak ditegaskan dalam al Qur’an dan tidak disinggung oleh Rasulullah dalam as Sunnah. Namun, Jumhur Ulama (mayoritas ulama) membolehkan tradisi tersebut dan memandangnya sebagai bentuk ekspresi kegembiraan dan kecintaan kepada Rasulullah, dimana memuliakan dan mencintai Rasulullah telah dianjurkan baik dalam al Qur’an seperti firman Allah SWT: ”Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS 7:157), maupun as Sunnah seperti sabda Rasulullah SAW: ”Tidaklah beriman salah seorang dari kalian, sampai saya lebih dicintai olehnya dari pada orang tua, anak, dan semua orang” (HR. al Bukhari dan Muslim).

Ulama yang membolehkan tradisi peringatan maulid juga menyandarkan hukumnya pada dalil seperti al Istishlah (kaidah kemashlatahan), al Istihsan (kaidah kebaikan), dan Maqasid Syari’ah (Prinsip dasar Sayri’at), dimana mengorganisir masyarakat muslim untuk secara bersama-sama membaca Amdah Nabawiyah (pujian kepada nabi), Sirah Nabawiyah (sejarah nabi) dan sejenisnya dalam seremonial maulid merupakan sesuatu yang positif menurut perspektif Islam dan termasuk dalam lingkup Maqasid syari’ah berkenaan dengan syiar keagamaan. Sayangnya, para penentang tradisi maulid ini sama sekai tidak mentolerir dalil-dalil selain teks lahir al Qur’an dan as Sunnah, sehingga argumen Jumhur ulama (mayoritas ulama) ini tidak dianggap sebagai sebuah dalil yang valid.

Terlepas dari pro-kontra lingkup fiqh yang berimplikasi pada legalitas hukum, pada tataran realitas, justeru kegembiraan atas kelahiran Rasulullah SAW dan kecintaan kepadanya telah tercipta dalam masyarakat muslim secara alami tanpa ada sebuah polemik. Komunitas muslim dengan berbagai afiliasi sekte dan lintas negaranya mengakui bahwa bulan Rabiul Awal adalah bulan istimewa dalam kalender Islam. Dan mereka pun secara berkesinambungan memupuk rasa “cinta” kepada Rasul dengan berbagai cara. Paling tidak, kasus publikasi kartun nabi Muhammad yang digambarkan sebagai sosok teroris yang mengancam kedamaian dunia di beberapa media barat, dan telah mendapat respon agresif dari seluruh elemen muslim di dunia, adalah bukti bahwa rasa “cinta” itu benar-benar bersemayam dalam setiap pribadi muslim.


Meneladani spirit sejarah :

Inti dari datangnya bulan Rabiul Awal bagi setiap muslim adalah bagaimana bisa meneladani spirit yang terdapat pada sejarah nabi Muhammad SAW. Sebagaimana kita fahami, pada saat Nabi Muhammad dilahirkan ke alam dunia, bangsa Arab berada dalam posisi dehumanisasi, jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, sebab penguburan setiap bayi perempuan yang terlahir secara hidup-hidup dan pertumpahan darah menjadi fenomena keseharian saat itu.

Dengan kelahiran Rasulullah SAW, dan dengan misi Islam yang didakwahkannya, bangsa Arab pada akhirnya menjadi bangsa yang berperadaban, hingga bisa sejajar dengan bangsa-bangsa Persia, Romawi dan Yunani yang saat itu telah berada pada puncak kejayaan. Kemudian misi Islam yang bukan saja diperuntukkan bagi bangsa Arab, akan tetapi mencakup seluruh umat manusia bahkan bangsa jin sekalipun, telah disebarkan pula pada masyarkat non Arab, hingga saat ini Islam telah menyebar di berbagai penjuru dunia.

Hasil dakwah spektakuler ini tidak tercapai hanya dengan berpangku tangan, Rasulullah telah memberikan contoh konkrit dengan terjun langsung sebagai da’i handal yang tahan banting, tokoh yang tidak gentar dalam menghadapi berbagai ancaman dan rintangan. Pribadi yang mampu berdialog dengan zaman sehingga membawa perubahan signifikan bagi sejarah umat manusia. Padahal, secara kehidupan pribadi, Muhammad adalah sosok yatim yang hidup sederhana bukan dari kalangan bangsawan. Maka spirit hidup seperti inilah yang semestinya menjadi penekanan perhatian umat Islam pada saat tibanya bulan Rabiul Awal, bulan kelahiran Rasulullah SAW.

Akhirnya, walaupun segelintir komunitas muslim kontra terhadap peringatan maulid nabi, namun kegiatan bersedekah, berdzikir, bersholawat, bertafakkur, bakti sosial yang kerap mengisi setiap peringatan maulid telah menjadi ijma’ (konsesus ulama) dalam hukum dianjurkannya. Minimal - sebagai seorang muslim – kita merasakan kegembiraan dengan datangnya bulan Rabiul Awal, momen tibanya bulan ini, merupakan kesempatan kita untuk kembali meneladani sejarah hidupnya, sehingga rasa cinta itu akan selalu bersemayam dalam hati, cinta kepada tokoh yang diekspresikan dalam gubahan syair seorang sufi besar al Bushairi (w: 695 H / 1295 M): “sebagai sosok pemimpin lintas batas, pemimpin para penghuni langit dan penghuni bumi, pemimpin bangsa jin dan manusia, masyarakat Arab dan non Arab”. Wallahu A’lam.