Wednesday, July 18, 2007

Reuni alumni al Ahgaff, maksimalkah?

Oleh: Arwani Syaerozi

Sudah menjadi rahasia umum bahwa rakyat Indonesia yang berminat mendalami kajian kesilaman tersebar di beberapa Negara Arab dan non Arab, disamping mereka yang belajar di tanah air. Hampir di seluruh negara Arab terdapat komunitas Pelajar Indonesia, dari ujung kulon Arab (Maroko) hingga ujung timurnya (Yaman), di Negara-negara sekitar jazirah Arabiyah seperti Pakistan, India, Iran, Turki, bahkan hingga ke beberapa negara di benua Eropa, Australia dan Amerika. Komunitas-komunitas pelajar ini akan kembali ke tanah air dengan membawa misi, karakter serta pola pikir berbeda-beda sesuai dengan orientasi almamater dan pengaruh kultur serta lingkungan sosial politik negara tempat studi. Peta regional pelajar Indonesia di atas bisa kita kerucutkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu pelajar yang berkonsentrasi di negara Islam (timur tengah dan sekitarnya) dan mereka yang mengaji Islam dari para kyai-kyai (baca: orientalis) di benua Amerika, Eropa dan Australia.

Beberapa hari yang lalu (9/7/07) sebagaimana yang diberitakan dalam website www.hadhramaut.info/indo (11/7/07), para alumnus universitas al Ahgaff Hadramaut Yaman (yang telah menetap di tanah air) mengadakan pertemuan yang ke tiga kali-nya di kota Gresik Jawa Timur, selain agenda regenerasi kepengurusan dan penyusunan program kerja, pertemuan ini ternyata memiliki makna strategis, khususnya dalam kerangka membangun kepedulian terhadap problematika umat dewasa ini. Dan pertemuan ini saya anggap sangat tepat dengan melihat tiga faktor berikut:

Pertama, kuantitas anggota, jumlah alumnus yang sekarang menetap di Indonesia telah mencapai angka lebih dari hitungan jari tangan dan kaki, tersebar di beberapa propinsi dan kota, angka ini akan terus bertambah seiring dengan proses kelulusan pelajar Indonesia di al Ahgaff tiap tahunnya. Dengan terbentuknya forum komunikasi dan dihidupkannya pertemuan semacam ini, konsolidasi dakwah dan kerjasama antar sesama alumni akan lebih terarah. Walaupun jika dibanding dengan komunitas lain, seperti alumnus al Azhar Mesir, komunitas al Ahgaff masih tergolong kecil, namun rintisan awal ini akan menjadi berarti dikemudian hari, meminjam adagium yang telah merakyat "menempuh jarak ribuan kilo dimulai dari ayunan langkah kaki pertama".

Kedua, kontinuitas pengiriman mahasiswa, informasi yang diekspos dalam situs www.hadhramaut.info seputar penyeleksian mahasiswa baru ke al Ahgaff untuk tahun ajaran 2007-2008 (5/6/07), membawa kita pada kesimpulan bahwa ternyata animo masyarakat kita masih tinggi untuk melanjutkan studi ke al Ahgaff, di tengah ketatnya persaingan tawaran lembaga pendidikan Islam lintas negara dewasa ini. Kenyataan ini menuntut adanya take and give antara al Ahgaff sebagai almamater dan para alumnusnya yang telah berada di Indonesia (bahkan alumnus non Indonesia), minimal al Ahgaff mensupport dan mensponsori setiap kegiatan para alumnusnya yang telah tergabung dalam wadah organisasi, dan komunitas alumnus memberikan input kepada almamater seputar kecenderungan masyarakat Indonesia dalam memilih lembaga pendidikan. Sehingga al Ahgaff tetap eksis sebagai lembaga pendidikan Islam independen yang mampu bersaing ditengah gencarnya kapitalisasi dunia pendidikan.

Ketiga, realitas konflik internal umat Islam, maraknya aliran Islam yang mengusung faham ekstrim (baca: kiri dan kanan) di tanah air, menuntut alumnus Ahgaff untuk berusaha menetralisir kedua arus tersebut pada level grass root (masyarakat bawah), sebab dikotonomi Islam liberal dan fundamental yang keduanya berkonotasi buruk sejatinya adalah keberagaman dalam memaknai Islam, yang jika dipertemukan dan diambil benang merahnya akan memperkaya khazanah literatur Islam, bahkan mampu mewarnai kekuatan Islam di era millennium kedua. Pada tahapan ini saya lebih senang menyebut ragam perjuangan muslim Indonesia dengan istilah "Islam gerakan" dan "Islam pemikiran" sehingga tidak menimbulkan makna negatif.

Terlepas dari tiga faktor yang menjadikan temu alumni al Ahgaff memiliki makna startegis bukan hanya sekedar reuni tanpa arti, beberapa diskurus yang diangkat dalam even tersebut juga sarat dengan kepedulian terhadap sesama muslim "Orang yang tidak peduli terhadap komunitas muslim, tidak termasuk dari mereka" (HR. al Baihaqi: 10586). Pesan khusus via telpon seluler yang disampaikan oleh Prof. Habib Abdullah Baharun (Rektor universitas al Ahgaff) kepada para alumnus yang menekankan pentingnya perhatian terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, sebagai sinyal bahwa peran alumnus al Ahgaff di tengah masyarakat tidak dibatasi hanya pada lingkup keagamaan saja, akan tetapi mencakup segala lini kehidupan yang diperlukan oleh masyarakat, tentunya kiprah ini harus dilandasi dengan semangat dakwah Islamiyah demi menegakkan syiar Islam di muka bumi.

Dari sini, kita patut menoleh sejenak rekaman sejarah para penyebar Islam keturunan Hadramaut di bumi nusantara pada abad ke 14 Masehi, sejauh mana keterlibatan mereka dalam interaksi sosial dengan masyarakat lokal yang – saat itu – mayoritas memeluk agama Budha dan Hindu. Bukankah sunan Gunung jati juga sebagai diplomat ulung dan negarawan bijak yang lihai berdiplomasi dengan kalangan birokrat dan mengayomi masyarakat? bukankah sunan Bonang juga seorang sastrawan produktif sebagaimana sunan Kalijaga dengan kreasi wayang kulit bernafaskan Islamnya? Bukankah sunan Kudus adalah panglima militer yang ahli dalam startegi perang? Dan bukankah sunan Drajat adalah wali yang terkenal dengan jiwa sosialisnya, sehingga mendahulukan pembenahan kesejahteraan masyarakat sebelum membuka kajian keagamaan? Kalau realitas sejarah mencatat demikian, mengapa bentuk kepedulian kita terhadap kondisi masyarakat hanya terbatas pada lini keagamaan saja?, bahkan ironisnya menganggap remeh dan tabu terjun di lini kehidupan lainnya. "Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlainan". (Qs. Yusuf: 67) demikian pesan Nabi Ya’kub As kepada para puteranya. Wallahu A'lam


* Tulisan ini dipublikasikan di situs www.hadhramaut.info/indo

Monday, July 16, 2007

Ezzitouna: menara peradaban Islam

Oleh: Arwani Syaerozi

Senin 12 Maret yang lalu saya resmi meraih gelar Master dari universitas Ezzitouna Tunisia, setelah saya berhasil mempertahankan tesis yang saya susun selama kurang lebih satu tahun. Judul tesisnya “al Maqasid as Syar’iyah Inda Ibn Hazm ad Dzahiri” (Konsep Maqasid Syari’ah menurut Ibn Hazm Ad Dzahiri). Sebuah tema yang menurut Prof. Dr. Nuruddin al Khadimi - pakar Maqasid dan direktur pasca sarjana universitas Ezzitouna - sangat menantang dan membutuhkan keseriusan dalam mengggarapnya. Dan sekarang saya bisa menarik nafas lebih panjang, sebab momen sidang telah berlalu, predikat lulus dengan nilai memuaskan yang saya raih diantara indikasi keseriusan dalam menggarap tesis tersebut.

Di sela-sela kesibukan dalam mengurus registrasi program S3, Mohammad Jamaluddin – saudara sekaligus teman diskuksi – melalui emailnya meminta saya untuk menjadi kontributor sekaligus koresponden pada majalah bernama “Laduni”. Majalah yang mengusung misi “pembumian nilai-nilai pesantren” dan konon merupakan kelanjutan dari majalah “Maktab” yang pada akhir abad ke 20 sangat popular di komunitas “kaum sarungan” se-wilayah III Cirebon.

“Pucuk dipinta ulam pun tiba“ ungkapan ini tepat bagi posisi saya saat ini, lebih dari hitungan 24 bulan saya tinggal di Tunisia untuk kepentingan belajar, dalam rentang waktu itu pula saya sempat berfikir untuk ikut nimbrung dan berpartisipasi dengan saudara-saudara yang sedang mengabdi kepada masyarakat melalui dunia pendidikan. Maka, melalui edisi perdana majalah Laduni saya mencoba untuk berbagi cerita tentang studi di Tunisia, format tulisan ini pun sengaja saya desain santai, agar kesan yang ditangkap oleh sidang pembaca lebih bersifat “sharing of experience”.

Mengenal sejarah Tunisia :

Secara garis besar, sejarah Tunisia dapat ditelusuri semenjak eksisnya dinasti Carthage yang didirikan oleh Ratu Elissa (Didon) beberapa abad sebelum Masehi. Kemudian pasca runtuhnya dinasti Carthage pada abad ke 2 SM, kekuasaan asing di Tunisia saling silih berganti, dari kekuasaan bangsa Romawi jatuh ketangan orang-orang Bizantium, kemudian jatuh ke genggaman bangsa Arab, bangsa Turki dan terakhir penjajah Perancis. Dengan demikian kehidupan rakyat Tunisia saat ini sangat kental dengan komplikasi warna budaya Berber, Arab, Turki dan Eropa.

Bangsa Arab dan agama Islam sendiri mulai memasuki Tunisia pada akhir abad ke 7 Masehi, saat itu seorang sahabat Rasulullah SAW bernama Uqbah bin Nafi` dengan pasukannya berhasil menaklukkan kota Kairouan – sekitar 156 km selatan ibu kota Tunisia - yang kemudian dijadikan sebagai pusat penyebaran Islam di wilayah Afrika utara. Penyebaran Islam generasi berikutnya dipimpin oleh Hassan bin an Nu`man dan Musa bin Nashr, Islam cepat berkembang di kalangan masyarakat Berber (penduduk asli Tunisia). Dari rintisan mereka berdua, Islam menjadi jaya di wilayah Afrika Utara, bahkan pada tahun 711 M komunitas muslim telah tersebar di daratan Eropa dengan berhasil menaklukkan Andalusia (Spanyol dan sekitarnya).

Pasca runtuhnya dinasti Umayah di Damaskus pada tahun 748 M, Tunisia terlepas dari pengawasan pusat, sampai datangnya kekuasaan dinasti Abbasiyah yang berkuasa di Irak dan dapat merebut kembali kota Kairouan. Pada tahun 767 M, akibat kekacauan yang timbul di pusat pemerintahan Abbasiyah, kota Kairouan terlepas lagi, hingga pada tahun 800 M pemerintahan Abbasiyah menunjuk Ibrahim Ibn Aghlab sebagai wakilnya untuk berkuasa di Afrika Utara dan mendirikan negara Tunisia.

Memasuki Tahun 1881 M, Tunisia berada dibawah protektorat Perancis. Masa protektorat ini berakhir dengan dicapainya kemerdekaan Tunisia pada tanggal 20 Maret 1956, namun masih dibawah seorang Bey (gelar raja) sebagai kepala negara. Hingga pada tanggal 25 Juli 1957 Bey terakhir diturunkan oleh parlemen dan sejak saat itulah Tunisia menjadi Republik dengan dipimpin oleh Habib Bourguiba sebagai presiden pertama.

Habib Bourgiba yang dijuluki bapak revolusioner didaulat sebagai ’’Presiden Seumur Hidup’’, namun di tengah-tengah kehidupan politik dan ekonomi yang kacau, sulit dan semakin tidak menentu, di samping usianya yang semakin lanjut, dia harus rela menyerahkan jabatannya kepada Zeine el-Abidin Ben Ali yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri. Kudeta tidak berdarah ini disambut positif oleh rakyat Tunisia dan dunia Internasional. Maka tanggal 7 November tahun 1987 merupakan hari peralihan kepemimpinan nasional di Tunisia, masa perpindahan dari orde lama ke orde baru.

Ezzitouna universitas Islam tertua di dunia :

Lembaga ini sekarang berada dibawah naungan kementrian pendidikan tinggi, riset dan teknologi. Sesuai dengan ketetapan undang-undang nomor: 83 tahun 1987 tertanggal 31 Desember 1987, menetapkan bahwa : "Ezzitouna merupakan salah satu lembaga tinggi dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Tunisia".

Dari sisi sejarah, Sejarawan Arab terkenal Hasan Husni Abd. Wahab menetapkan Ezzitouna sebagai universitas Islam tertua di dunia, terkenal dengan julukan "Menara Peradaban Islam". Dimana kiprahnya berawal dari kegiatan halqoh ilmiyah (pengajian) di masjid Ezzitouna yang di bangun oleh gubernur Afrika Ubaidillah bin al Habhab pada abad ke 7 Masehi (tahun 116 H / 737 M), pada masa pemerintahan Hisyam bin Abd. Malik dari dinasti Umayah.

Di antara Masyaih pertama yang mengajar di masjid Ezzitouna adalah Khalid bin Amran, yang pernah mengaji pada al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar as-Shiddiq Ra, dari Salim bin Abdillah bin Umar bin Khattab Ra, dan dari Sulaiman bin Yassar pakar fiqh di kota Madinah al Munawwarah.

Almamater ini dari masa ke masa telah mencetak tokoh - tokoh terkenal, seperti : Ahmad at Tifasyi pengarang pertama mausu`ah Arabiyah (Ensiklopedi Arab), Sahnun dan Ibn Arfah (pakar Fiqh madzhab Maliki), Abd. Rahman Ibn Khaldun (Bapak sosiologi), Abu al Qassim as Syabi atau terkenal dengan at Tahir al Haddad (penyair Arab ternama), Muhammad at Tahir Ibn `Asyur (pakar maqasid syari’ah dan tafsir dengan karya monumentalnya kitab at Tahrir wa at Tanwir)

Universitas ini juga telah melakukan perannya yang siginfikan dalam mendidik insan yang berkepribadian Islami, hingga sekarang tetap sebagai simbol pengetahuan dan peradaban dengan misi mencetak kader muslim yang inklusif dan moderat.

Sistem pendidikan dan spesifikasi kajian :

Universitas Ezzitouna saat ini memiliki empat fakultas, yaitu : Ushuluddin, Syari’ah, Peradaban Islam, dan Informatika. Fakultas yang disediakan untuk mahasiswa asing hanya fakultas Peradaban Islam untuk tingkat S1, sedangkan untuk program S2 dan S3 terdapat tiga pilihan, Ushuluddin, Syari`ah, dan Peradaban Islam.

Awal tahun ajaran baru setiap tahunnya pada bulan September. Sistem perkuliahan yang diterapkan adalah tatap muka dalam bentuk paket, delapan semester untuk tingkat S1, dua tahun untuk jenjang S2 dengan perincian 6 bulan pertama masa belajar, dan delapan belas bulan berikutnya untuk penulisan tesis yang terlebih dahulu dimulai dengan program pembekalan metodologi penulisan. Sedangkan program doktoral diberi tenggang waktu tiga tahun untuk penulisan disertasi. Universitas Ezzitouna juga menyediakan program Tamhidiyah (kelas persiapan) bagi calon mahasiswa asing yang belum menguasai bahasa Arab, program ini terbagi menjadi dua tingkat yang masa studinya masing-masing satu tahun.

Di antara sisi keunggulan Ezzitouna jika dibanding dengan universitas-universitas Islam lain di negara-negara Arab adalah penekanan pada metodologi pemahanam dan penyampaian pengetahuan, serta penugasan-penugasan analisa pada beberapa literatur yang telah ditentukan oleh dosen sesuai dengan spesifikasi kajian. Sehingga mahasiswa menjadi produktif dan mampu berfikir kristis dalam mengkaji permasalahan, berbeda dengan penekanan yang dititik beratkan oleh universitas di negara-negara Arab lainnya (seperti Arab saudi, Mesir, dan Jordan) yang lebih mengarah pada kajian tekstual. Hal ini tidak lain karena sistem pendidikan di Ezzitouna merupakan perpaduan antara sistem pendidikan barat dan timur.

Materi kuliyah yang diajarkan di universitas Ezzitouna dengan berbagai fakultas dan spesifikasinya, pada dasarnya untuk membekali para mahasiswa agar bisa menggali nilai-nilai luhur Islam dalam lingkup Aqidah, Syari’ah dan Peradaban. Agar mampu mendialogkannya dengan agama dan peradaban lain, untuk itu para mahasiswa pun dibekali dengan pengetahuan tentang Filsafat, Humanisme, Sosiologi, Hak Asasi manusia, Pemikiran Modern, serta penguatan bahasa asing seperti Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, Persia, Turki dan Latin.

Sebagai wujud dedikasi terhadap pendidikan komunitas muslim, universitas ini telah membangun link kerja sama dengan beberapa lembaga pendidikan Islam lainnya, diantaranya:
- Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Indonesia
- Universitas al Qurowiyien Fes Maroko
- Universitas Sorbone Perancis
- Institut Kajian Arab dan Islam Roma
- Lembaga kajian Islam Cardova Spanyol
- Universitas al Emarat Uni Emirat Arab
- Universitas Sulthon Qabus Oman
- Universitas al Azhar Mesir, dll.

Ezzitouna sebagai universitas Islam tertua, tidak pernah lelah mencetak generasi muslim yang peduli terhadap problematika zaman, generasi yang aktif dalam menyikapi fenomena yang terjadi di tengah masyarakat, untuk itulah pada pertengahan bulan Februari 2007, bekerja sama dengan Konrad Adenauer Stiftung LSM Jerman yang bergerak dibidang sosial dan politik, universitas Ezzitouna menyelenggarakan seminar internasional dengan mengangkat Tema: “Agama dan budaya berperadaban umat manusia“. Hadir dalam acara yang dibuka oleh menteri pendidikan Tunisia Lazhar Bououni beberapa tokoh dari lintas agama dan kepercayaan, dari beberapa negara Arab, Eropa, dan Afrika. Wallahu A’lam.


* Tulisan ini dipublikasikan di majalah Laduni Cirebon edisi pertama





Sunday, July 8, 2007

Konsep regenerasi perspektif Islam

Oleh: Arwani Syaerozi*

"Orang tua melahirkan anak, anak melahirkan orang tua"
begitulah momentum kehidupan umat manusia di alam dunia. Ungkapan di atas sengaja saya jadikan start point dalam tulisan kali ini. Seseorang yang bersikeras untuk mempertahankan posisi atau jabatannya, walaupun ditopang dengan berbagai sarana dan prasarana yang paling mutakhir, pada ujungnya akan tersingkirkan juga, kedudukannya akan ditempati oleh orang lain yang sebelumnya menjadi bawahan baik dalam usia maupun jabatan.

Contoh konkrit dari premis di atas : runtuhnya orde lama pimpinan Ir. Soekarno yang dinobatkan sebagai presiden Indoensia seumur hidup, pada akhirnya posisi tersebut diambil alih oleh jenderal Soeharto sebagai pendiri orde baru, dan rezim ini pun runtuh diiringi dengan berkibarnya orde reformasi, begitulah seterusnya. Atau runtuhnya rezim Saddam Husein di Irak yang terkenal dengan " tangan besinya ". Kasus – kasus di atas masih terbayang dalam pikiran kita, betapa kekuatan fisik dan kecerdasan akal pikiran yang dilengkapi dengan teknologi canggih tidak akan mampu membendung proses regenerasi.

Dalam lingkup organisasi, beberapa orang telah silih berganti menempati pos sebagai ketua umum, atau posisi kepengurusan lainnya. Dalam rumah tangga, seorang ayah sebagai pemegang otoritas, mau tidak mau digantikan oleh anak-anaknya setelah dia pergi meninggalkan alam fana. Anak - anaknya secara lambat tapi pasti akan berubah status menjadi seorang bapak dalam struktur keluarga.

Dari ilustrasi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa regenerasi merupakan sunnatullah (hukum alam), baik itu pada level terkecil dalam struktur masyarakat yaitu keluarga maupun dalam struktur terluas yaitu negara atau organisasi Internasional, semisal perserikatan bangsa-bangsa (PBB).

Yang kemudian menjadi bahan yang menarik untuk didiskusikan dalam tema ini adalah, ternyata tidak jarang dalam proses regenerasi menimbulkan chaos dan ketidakstabilan situasi. Predikat " sukses " dan " tidaknya " sebuah proses regenerasi merupakan tanda tanya besar bagi komunitas yang sedang menjalankan proses tersebut.

Dalam tulisan ini, ada dua hal penting yang sengaja saya jadikan sebagai bahan pembicaraan, pertama tentang proses regenerasi, dan kedua : tentang subyek dalam sebuah regenerasi. Tentunya methode kajian ini akan lebih dititik beratkan pada pendekatan kacamata syari`at Islam.


Proses regenerasi :

Regenerasi manusia telah menjadi ketetapan Allah Swt semenjak zaman azaly (dahulu tidak ada permulaannya), hal ini telah ditegaskan dalam salah satu firman-Nya : “ Kemudian kami jadikan kamu pengganti - penggganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memeprhatikan bagaimana kamu semua berbuat” (Qs. Yunus : 14).

Secara eksplisit ayat tadi mengatakan bahwa pergantian antar generasi menurut pandangan Islam semata-mata memiliki tujuan selektifitas mutu kwalitatif dengan kadar ketakwaan di hadapan Allah Swt. Untuk itulah amal perbuatan yang berlandaskan pada pola keimanan adalah merupakan barometer serta indikatornya. sebab inilah inti dari penciptaan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. " Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku " (Qs. Adz Dzariyat : 56)

Secara global mekanisme regenerasi dalam Islam bisa kita sederhanakan menjadi tiga katagori :

Pertama, Pernikahan, dalam hal ini kaum hawa (perempuan) sebagai poros regenerasi manusia, di tangannyalah para generasi baru itu dididik. ulama kontemporer asal Mesir Muhammad Ghazali pernah menyitir syair seorang sastrawan Arab, Hafidh Ibrahim : " Ibu adalah sekolah, jika engkau mempersiapkannya, berarti engkau mempersiapkan bangsa yang berketurunan baik ". dengan ini pernikahan adalah sebagai satu-satunya mekansime regenerasi jasad manusia yang valid menurut Islam.

Kedua, Warisan, yang dimaksud dengan masuknya warisan dalam katagori mekanisme regenerasi menurut Islam, bukan warisan yang bersifat materi, akan tetapi warisan karakter, prinsip dan perjuangan. Para pakar, intelektual dan tokoh masyarakat saat ini merupakan perpanjangan tangan dari ide pemikiran, karakter, prinsip serta perjuangan generasi sebelumnya. Dalam sebuah hadist ditegaskan bahwa ulama adalah pewaris para nabi. Dengan demikian maka para pemangku masyarakat akan terus bermunculan dengan mewarisi pola pikir dari generasi sebelumnya walaupun tidak secara mutlak.

Ketiga, Musyawarah, Dalam literatur Islam kita akan menemukan istilah Syura` yaitu proses dialog dalam memecahkan permasalahan. " Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu " (Qs. Ali `Imran : 159), " Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan bermusyawarah anatar mereka " (Qs. As Syuraa : 38). Untuk lingkup sebuah negara, suksesi kepemimpinan lumrahnya dilakukan dengan melalui mekanisme pemilihan, begitu juga dalam sebuah organisasi baik politik, sosial kemasyarakatan, maupun keagamaan. Proses pemilihan ini sebenarnya merupakan upaya damai agar tidak terjadi konfrontasi fisik dalam mempertemukan beberapa kepentingan yang berbeda. Dengan demikian substansi mekanisme pemilu tidak lain merupakan maqasid syari’ah (tujuan) disyari`atkannya syura` (musyawarah) dalam Islam.

Kalau mekanisme musyawarah ini diaplikasikan dengan cara vair dan proporsional saat suksesi kepemimpinan, maka anarkisme dan ketidakstabilan situasi akan terhindari, dan dengan sendirinya proses regenerasi akan berjalan stabil.

Subyek regenerasi :

Ada adagium yang sangat terkenal di tengah masyarakat kita: “ Di tangan pemudalah terletak seluruh persoalan umat, dan di atas pundaknya terletak kelangsungan hidup dan kehidupan sebuah Agama “, senada dengan ungkapan tadi, kita pun mengenal ungkapan berbahasa Arab: " Syubbanu al Yaum Rijalu al Ghad " (Pemuda sekarang adalah pemimpin di masa depan).

Dari sini menjadi urgen untuk menetapkan beberapa landasan bagi pelaku regenerasi, khususnya yang berkaitan dengan moralitas yunior (individu maupun golongan) yang akan tampil menggantikan senior (baca : generasi sebelumnya). Kemudian diintisarikan dari kandungan syari`at Islam, kita bisa menelurkan lima mabadi` (landasan) untuk menopang kesuksesan sebuah regenerasi, dimana kelima mabadi` tersebut harus tercermin pada prilaku subyek regenerasi.

1- Amanah (dapat dipercaya), kriteria ini diambil dari teks al Qur`an " Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya " (Qs an Nisa : 58), dan sabda Rasul Saw " Tanda-tanda orang munafik ada tiga : apabila berkata dia bohong, apabila berjanji dia tidak menepati, dan apabila dipercaya dia berhianat " (HR. al Bukhori dan Muslim)
2- `Adalah (berlaku adil), kriteria ini diambil dari teks al Qur`an " Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan " (Qs. An Nahl : 90), dan sabda Rasul Saw " Sesungguhnya orang - orang yang berbuat adil dalam menghukumi terhadap keluarga dan sesamanya di sisi Allah berada pada kedudukan yang mulia " (HR. Muslim)
3- Ta`awun (tolong menolong), kriteria ini diambil dari teks al Qur`an " Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebenaran dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran " (Qs al Ma`idah : 2), dan sabda Rasul Saw " Tolonglah saudaramu baik dalam keadaan teraniaya maupun menganiaya " kemudian Rasul Saw ditanya oleh salah seorang sahabatnya, bagaimana cara kita menolong orang yang sedang menganiaya ? dijawab oleh beliau " dengan mencegahnya dari perbuatan tersebut " (HR. al Bukhori)
4- Tasamuh (toleransi), kriteria ini diambil dari teks al Qur`an " Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang " (Qs. at Taghabun : 14), dan sabda Rasul Saw " Tebarkan kedamaian maka kalian semua akan selamat " ( HR. Muslim)
5- Istiqamah (konsisten), kriteria ini diambil dari teks al Qur`an " Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan : " tuhan kami ialah Allah " kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan mereka tiada ( pula ) berduka cita " (Qs. al Ahqaf : 13), dan sabda Rasul Saw " Katakanlah : aku beriman kepada Allah kemudian bersitiqamahlah " (HR. Muslim)

Menjadi jelas-lah bahwa ajaran Islam berbeda dengan doktrin – doktrin lainnya dalam menanggapi isu pembangunan dan regenerasi. Islam memiliki konsep tersendiri, yakni pembangunan manusia dan penegakan fitrah kemanusiaan, upaya untuk " memanusiakan manusia ". Sebuah konsep yang tidak memprioritaskan materialisme (wujud kebendaan) dan Hedonisme (hanya mementingkan kelezatan duniawi) tanpa sentuhan nilai - nilai spiritual yang membawa dampak hilangnya struktur makna kehidupan. Wallahu A`lam.


* Tulisan ini dipublikasikan di bulletin Ikrar Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Tunisia

Wednesday, July 4, 2007

Menakar kepekaan sosial dan lingkungan

Oleh: Arwani Syaerozi

Menarik dicermati fenomena - fenomena mutakhir yang sedang dan selama ini terjadi di Nusantara, saat kebebasan dalam segala lini kehidupan menjadi “ argumen murahan ” oleh berbagai kalangan dalam rangka menjustifikasi ekpresi dan tindakannya.

Geliat over acting “ kebebasan “ tersebut sangat tampak sekali, misalnya kasus terakhir yang mencuat dan sempat menempati berita utama di media nasional baik cetak maupun elektronik yaitu seputar rencana penerbitan majalah playboy edisi Indonesia. Pro - kontra opini publik pun bermunculan, di mana kalkulasi penentang rencana ini lebih banyak dari pada para pendukungnya, namun pihak pencetus tetap bersikukuh memperjuangkan program kontroversialnya dengan dalih utama terbukanya nuansa kebebasan.

Selain fenomena di atas, ada sisi lain yang menurut saya lebih menarik untuk diperhatikan, yaitu seputar kondisi kesejahteraan masyarakat, kondisi lingkungan hidup di tanah air yang harus kita wariskan secara turun temurun kepada generasi penerus. Sebab akhir - akhir ini telah mengalami kerusakan di berbagai tempat, sehingga kita yang berada jauh di luar negeri sering mendengar kabar duka dari peristiwa bencana longsor, kebanjiran, kelaparan, kerusakan lingkungan akibat limbah - limbah industri, dan munculnya wabah – wabah penyakit mematikan.

Sebut saja misalnya, tragedi kemanusiaan busung lapar yang melanda ribuan bayi di Sumatera Barat (Sumbar) dan beberapa daerah lainnya, semenjak tahun 1999 sampai sekarang sempat menghebohkan masyarakat Indonesia. Tereksposnya kematian beberapa warga di Papua disebabkan oleh kelaparan, telah membuat kita menjadi bertanya - tanya, sedemikian parahkah ketidak merataan “ pembagian kue “ di Negara kita ? Gangguan saluran pernafasan pada sebagian masyarakat di Pekanbaru yang disebabkan oleh asap tebal kebakaran hutan, atau berjatuhannya korban penyakit Demam berdarah (DBD) yang disebabkan oleh faktor buruknya lingkungan.

Bahkan yang lebih dahsyat lagi, pemandangan mengharukan yang terjadi baru – baru ini seputar proses penyemprotan zat antiseptik pada setiap kendaraan dari Indonesia yang akan masuk ke wilayah Malaysia melalui perbatasan di Kalimantan Barat. (www.gatra.com 14/03/2006), hal ini adalah fakta kuat betapa serius dan peliknya isu sosial dan lingkungan di tanah air.

Keterpurukkan dan problem warisan karakter :


Hans Fink dalam bukunya “ Social Philosophy “ menjelaskan bahwa : “ Proses sosial tidak lain adalah kehidupan umat manusia, kelahirannya, prokreasi dan kematiannya, serta produksi dan distribusinya, yang senantiasa berlangsung selama kehidupan manusia masih berlangsung “. (Social Philosophy, Hans Fink, hlm. 02, diterjemahkan oleh Sigit Djatmiko, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2003).

Dalam hal ini sifat dasar manusia adalah fitri, suci dan baik. Mereka menjadi buruk bisa karena kelemahan pribadinya yang mudah dikalahkan oleh hawa nafsu, atau mungkin juga karena faktor - faktor eksternal, seperti pengaruh lingkungan keluarga atau sistem budaya masyarakatnya. Artinya sistem sosial masyarakat itu sendiri ikut andil dalam memformat karakteristik seseorang.

Maka tidak heran jika Hans pink kemudian menyimpulkan bahwa : “ hidup kita adalah kelanjutan dari kehidupan para bapak dan ibu kita terdahulu “ (Ibid, hlm. 03). Di sisi lain Menkokesra Aburizal Bakrie mewakili presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya di hadapan anggota DPR mengakui ada beberapa gejala yang menghambat proses penyejahteraan masyarakat selama ini, yang merupakan warisan dari masa silam (www.gatra.com 07/03/2006).

Pada tahapan ini bukan berarti saya memvonis problem moralitas dan gejala lemahnya sensitivitas sosial yang menghinggapi rakyat Indonesia adalah mutlak sebagai warisan karakter para pendahulu bangsa, atau saya menjadi pesimis dengan usaha pembekalan generasi muda melalu program pencerahan dan pendidikan agar bisa membawa bangsa ke arah yang lebih sejahtera. Akan tetapi lebih pada sisi interopeksi bahwa segala bentuk karakter negatif para senior agar jangan sampai tertular apalagi sengaja ditransfer kepada para generasi muda, sebab tidak bisa kita pungkiri bahwa pemuda sekarang adalah pemimpin di masa mendatang.

Anak bangsa dan kepedulian sosial :


Keberadaan kita di luar Negeri yang jauh dari medan kejadian sebenarnya bukan alasan yang logis untuk menjadikan kita pasif dalam menyikapi isu - isu tersebut, atau ketidak berdayaan kita dalam segi materi juga bukan alasan yang tepat untuk berdiam menggigit jari.

Bagaimana pun anak bangsa dituntut untuk ikut andil mengatasinya, apalagi eksistensi kita sebagai pelajar dan mahasiswa yang tidak lain sedang dalam proses kaderisasi. Paling tidak dengan turut memikirkan bentuk solusi untuk dapat menyelamatkan saudara - saudara sebangsa dari cengkraman wabah penyakit mematikan yang penyebabnya erat berhubungan dengan faktor lingkungan. bagaimana agar lingkungan hidup kita dengan berbagai macam kekayaan alamnya dapat dilestarikan untuk kemudian bisa dinikmati oleh generasi mendatang.

Ada tiga catatan yang bisa dijadikan sebagai start point wujud kepedulian kita ; pertama, upaya mengkaji akar permasalahan lemahnya sensitivitas sosial dan lingkungan pada sebagian rakyat Indonesia, kedua, mendiskusikannya sebagai upaya penguatan ide – ide bersama dalam penyelesaian masalah, dan ketiga mempublikasikan hasilnya melalui media nasional baik cetak maupun elektronik agar bisa dibaca kemudian dipahami oleh masyarakat luas.

Maka semua pun berharap jangan sampai setelah wabah sars, flu burung, busung lapar, polio, dan demam berdarah merenggut nyawa saudara – saudara sebangsa, muncul wabah - wabah penyakit lain yang lebih ganas dan mematikan akibat kecerobohan kita dalam berinteraksi dengan lingkungan atau akibat monopoli “ pengemban amanat “ terhadap kekayaan Negara yang dapat menimbulkan kemiskinan. Dalam al Qur`an telah lama ditegaskan larangan mengekspolitasi hak – hak orang lain dan larangan membuat kerusakan di muka bumi (Qs. as Syu’araa : 183)

Sampai kapankah kita akan bermimpi menjadi sebuah bangsa yang besar, bangsa yang termasuk dalam katagori “Baldatun Toyyibah wa Robbun Ghofur “ (Gemah ripah Loh Jinawi), sementara kita terus terbius dengan gaya hidup santai dan acuh tak acuh terhadap fenomena yang terjadi. Bukankah para founding father bangsa selalu berharap akan terciptanya Indonesia yang adil, Indonesia yang sejahtera, sebagai mana termaktub dalam salah satu butir pancasila sebagai landasan falsafah Negara. Kemakmuran tidak akan bisa diraih kecuali dengan kerja keras, keadilan sosial hanya akan menjadi wacana jika tidak direalisasikan dengan langkah nyata, untuk itulah “ peka “ dan “ peduli “ adalah kunci menuju ke sebuah penyelesaian. Wallahu A'lam


* Tulisan ini dipublikasikan di bulletin Ikrar Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Tunisia