Oleh : Arwani Syaerozi*
Puasa merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima, ia menduduki peringkat ke tiga setelah dua kalimat syahadat dan sholat lima waktu. Hukum wajib berpuasa di bulan Ramadhan bagi umat Islam sudah final, tidak bisa diganggu gugat, ia termasuk katagori "perkara agama" yang hukumnya diketahui secara gamblang dan pasti. Dalam teks syar'i, baik al Qur'an maupun as Sunnah kita akan menemukan banyak dalil-dalilnya. Kemudian, karena ia termasuk dalam katagori al ma'lum min ad dien bi ad dharudah, maka menurut para fuqaha (pakar fikih Islam), pengingkaran atas hukum wajibnya (bukan sekedar malas melakukannya) berimplikasi pada status murtad (keluar dari Islam).
Kronologi sejarah:
Kewajiban ibadah puasa sebenarnya bukan hal baru bagi sejarah umat manusia, sebab - selain dalam agama Islam - ia pernah disyari`atkan juga pada penganut agama-agama samawi lainnya (Yahudi dan Nasrani), walaupun dari segi tata cara pelaksanaan dan ketentuan waktunya berbeda antara satu ajaran dengan ajaran lainnya, hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam al Qur'an surat al Baqarah ayat:183.
Dalam Islam sendiri, Ibadah puasa mulai diwajibkan pada tahun ke 2 Hijriyah atau 624 Masehi, bersamaan dengan disyari`atkannya sholat ied, zakat fitrah dan kurban idul adha. Hal ini berarti, bahwa puasa adalah sebuah kewajiban yang bersifat universal, berlaku semenjak umat terdahulu, umat muslim saat ini dan masa yang akan datang.
Proses pensyari'atan ibadah puasa dalam Islam, tercatat memiliki tiga fase penting. Pertama : ketika Rasulullah Saw datang ke kota Madinah, puasa diwajibkan dengan cara tiga hari dalam satu bulan. Mekanisme seperti ini dirubah dengan diberlakukannya puasa wajib di hari Asyura (tanggal 10 bulan Muharram), bentuk ini dianggap sebagai tahap yang kedua. Fase ketiga atau terakhir, yang hingga saat ini dan bahkan sampai seterusnya akan diterapkan, adalah puasa wajib di bulan Ramadhan dengan hitungan satu bulan penuh.
Pada tahap terakhir ini pun kewajiban puasa Ramadhan masih mengalami beberapa perubahan yang tidak prinsipil. Kalau kita menela'ah buku tarikh tasyri' (sejarah penetapan hukum syari'ah), dijelaskan bahwa pada awal diwajibkan puasa Ramadhan, jenis puasa ini masih memiliki "kelonggaran" bagi seorang muslim, yaitu bebas memilih - walaupun dalam kondisi sehat - antara berpuasa atau bersedekah memberi makan kepada fakir miskin sebagai ganti dari berpuasa, kemudian dengan turunnya ayat “barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (Qs. al Baqarah: 185) kebebasan memilih ini ditiadakan.
Di sisi lain, kesempitan dalam tata cara berpuasa pada awal-awal diwajibkannya, seperti larangan untuk makan, minum, dan bersetubuh dengan istri pada malam hari, ketika telah mengerjakan sholat Isya` atau tertidur walau belum melaksanakan sholat Isya`, ditiadakan dan ditoleransi dengan turunnya ayat “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu” (Qs. al Baqarah : 187).
Eksistensi ibadah puasa:
Dalam bukunya Ihya Ulum ad Dien, Imam al Ghazali (w: 505 H) menjelaskan bahwa ibadah puasa adalah seperempat dari iman, statemennya ini dilandaskan pada hadits Nabi Saw yang menjelaskan bahwa “Puasa itu setengahnya sifat sabar” (HR. Ahmad dan Turmudzi) dan hadist yang lain “Sifat sabar itu setengahnya iman” (HR. Abu Nuaim), dari kombinasi dua hadits inilah al Ghazali menarik kesimpulan bahwa ibadah puasa adalah seperempat dari iman.
Puasa memiliki sisi keutamaan jika dibanding dengan ibadah lainnya apabila kita memandang dari dua sudut berikut: Pertama, bahwa puasa adalah proses menahan dan meninggalkan dalam diri seseorang, yang mana tidak ada aktivitas nyata yang bisa dilihat, kecuali hanya oleh Allah Swt. Sedangkan semua perbuatan ta`at (ibadah) bisa dilihat oleh orang lain, sehingga kerap menimbulkan sifat riya (pamer) bagi pelakunya. Kedua, Bahwa puasa adalah upaya bani Adam dalam meminimalisir pengaruh ajakan Iblis. Sebab, syahwat yang notebene alat utama Iblis dalam menjerumuskan anak cucu Adam ke dalam lembah kenistaan, menjadi kuat pengaruhnya dengan suplay makanan dan minuman, sedangkan ibadah puasa adalah upaya menahan kedua-duanya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw pernah menjelaskan bahwa keleluasan Iblis dalam menggoda manusia hanya bisa dipersempit dengan rasa lapar (HR. Bukhori dan Muslim).
Sedangkan dalam kacamata Tasawuf - menurut imam al Ghazali - ibadah puasa terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu : Pertama, Shaum al Umum, hanya menahan perut dan alat kelamin dari syahwat. Kedua, Shaum al Khusus, yaitu puasanya orang-orang saleh, menahan anggota tubuh dari perbuatan maksiat, dengan menjaga enam perkara :
- menjaga mata dari melihat sesuatu yang buruk menurut norma agama
- menjaga lisan dari berdusta, memfitnah, dan perkataan keji
- menjaga telinga dari mendengar segala sesuatu yang haram untuk didengar.
- menjaga seluruh anggota tubuh dari perbuatan-perbuatan negatif
- menjaga untuk tidak berlebihan saat berbuka puasa
- menjaga hati untuk terus terikat dengan khauf (rasa takut) dan raja' (pengharapan), agar sadar bahwa ibadah puasanya bisa saja diterima oleh Allah Swt, sehingga termasuk orang-orang yang beruntung atau ditolak sehingga termasuk orang-orang yang merugi.
Tingkatan terakhir, Shaum khusus al Khusus, mencakup puasanya hati dari sesuatu yang hina dan rendah, dari urusan-urusan duniawi kecuali yang diharapkan untuk bekal ukhrowi. Tingkatan ini hanya bisa direalisasikan oleh Anbiya (para nabi), Shidiqien (para hamba yang jujur), dan Muqorrobien (para kekasih).
Kandungan hikmah:
Banyak pakar dari lintas spesifikasi kajian yang telah membahas tentang maqasid (tujuan), hikmah dan faedah berpuasa, dari kalangan ulama klassik kita bisa mengambil contoh al Ghazali yang membahas seputar "Asrar as Shiyam" (rahasia ibadah puasa) dalam bukunya Ihya Ulum ad Dien, atau Imam Izzuddin Ibn Abd. Salam (w: 660 H) yang menyusun buku dengan judul "Maqasid as Shaum" (tujuan disyari'atkannya ibadah puasa), sedangkan dari ulama kontemporer, salah satunya adalah Ahmad al Syarbasi, dosen di universitas al Azhar Mesir. Dalam bukunya Yas`aluunaka An ad Dien Wa al Hayat ia mencoba mengupas hikmah puasa dari berbagai sisi, berikut ini adalah beberapa point yang ia paparkan:
- Dalam berpuasa tersimpan makna patuh terhadap perintah Tuhan sang pencipta
- Puasa menyerupai revolusi jiwa atas belenggu tradisi buruk yang memperbudak manusia.
- Saat tidak berpuasa, manusia bebas makan dan minum sesuai selera, maka ketika tiba waktu berpuasa, dia berusaha mencegah hawa nafsunya selama tiga puluh hari, setiap hari dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Ini merupakan proses latihan hidup disiplin
- Bahwa rotasi kehidupan dunia selalu berputar. Kadang kaya kadang miskin, senang dan susah, bermukim dan bepergian, maka saat kita terbiasa dengan ritme berpuasa, kondisi kehidupan seperti ini secara otomatis mampu dinikmati dengan penuh kesadaran.
- Puasa melatih kesabaran dan menguatkan iradah (kehendak)
- Meningkatkan kepekaan sosial, orang berpuasa akan merasakan lapar dan pahitnya menahan syahwat, maka ketika dia menemui masyarakat di sekelilingnya tertimpa musibah, ia akan tanggap segera memberikan bantuan.
- Ketenangan jiwa yang merupakan efek dari berpuasa, sangat membantu dalam mengatasi problematika kehidupan.
Kupasan seputar hikmah berpuasa di atas, menjadikan kita yakin bahwa diwajibkannya puasa tidak hanya sekedar "pembebanan" tanpa arti, atau "pembebanan" tanpa kandungan essensi. Bagaimanapun, Maqasid Syari`ah membuktikan adanya nilai maslahat bagi umat manusia atas apapun yang diperintah atau yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
Namun, satu hal yang akhirnya harus diperhatikan oleh kita semua, bahwa hikmah dan faedah berpuasa ini akan kita rasakan apabila kita melaksanakannya secara khusyu' sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan oleh fuqaha (pakar fikih Islam) dalam kajian fikih. Wallahu A'lam
* Tulisan ini dipublikasikan (dengan judul "membedah filsafat puasa") di situs resmi PBNU www.nu.or.id