Saturday, October 25, 2008

Konferensi mu'jizat angka

Akan diadakan Konferensi internasional pertama seputar mu’jizat angka dalam al Qur’an, hal ini terinspirasi oleh firman Allah (yang artinya) “dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu” (Qs. al Jin: 28)
Tema konferensi : “Mu’jizat angka dalam al Qur’an: sebuah terobosan dalam metode da’wah”.

Tempat: Auditorium fakultas sastra dan ilmu humaniora universitas Mohammed V Rabat Maroko. Waktu: tanggal 7 - 9 November 2008 bertepatan dengan 9 - 11 Dzul Qo’dah 1429 H.

Di antara tujuan konferensi:
1- Upaya untuk menjawab kritik dan pertanyaan seputar rahasia penyebutan angka-angka dalam al Qur’an 2- Menciptakan kerangka pembahasan dan target kajian secara komprehensif berkaitan dengan bidang “mu’jizat angka” 3- Menjadikan manfaat “mu’jizat angka” dalam al Qur’an sebagai metode da’wah di era teknologi digital. 4- Mensosialisasikan kepada komunitas intelektual dan sarjana muslim di dunia (khususnya yang konsentrasi di bidang kajian al Qur’an) akan urgensitas kajian al I’jaz al Adadi (kemukjizatan angka).

Informasi lanjut bisa diakses di situs penyelenggara, yaitu Lembaga Keilmuan Maroko untuk kajian mu’jizat ilmiyah dalam al Qur’an dan as Sunnah. (http://www.comijaz.org/)

Follow up:
Melalui konferensi internasional yang pertama dalam bidangnya ini, diharapkan akan lahir satu disiplin keilmuan baru, cabang dari kajian ilmu al Qur'an, yaitu ilmu al I'jaz al Adadi (ilmu kemukjizatan angka).

Tapi sayang, saya tidak bisa ikut menghadiri acara tersebut, karena pada tanggal 29 Oktober ini, saya harus terbang ke Saudi Arabia dalam rangka tugas Misi Haji Indonesia 2008-2009 selama kurang lebih tiga bulan. Maka, bagi yang berminat dan memiliki kesempatan menghadiri “momen penting” ini dipersilahkan saja…

Saturday, October 11, 2008

Tiga kebahagiaan menyambut Idul fitri

Oleh: Arwani Syaerozi*

Tidak terasa satu bulan penuh kita telah menjalankan ibadah puasa Ramadhan, satu bulan kita telah berhasil menahan lapar dan dahaga dari terbitnya fajar hingga terbenam matahari. Di saat bulan penuh berkah, rahmat dan ampunan itu telah pergi, hari ini kita dipertemukan dalam momen kegembiraan, yaitu hari raya idul fitri. Kalau kita artikan secara tekstual, bermakna "hari berbuka" atau "hari kembali kepada fitrah", fase kehidupan manusia yang dianggap suci, bersih dan terbebas dari segala dosa.

Di hari kemenangan ini, mungkin di antara kita ada yang bertanya-tanya: kegembiraan apa yang patut kita rayakan pada saat idul fitri tiba? Apakah hanya sekedar datang dan berlalunya "suatu hari" tanpa ada arti sebagimana hari-hari yang lain? Atau ada sebuah keistimewaan yang patut kita banggakan di hari ini?

Pada kesempatan kali ini, saya akan mengupas tentang tiga kebahagiaan bagi komunitas muslim dalam menyambut datangnya idul fitri. Yaitu; Bahagia telah sempurna menemui bulan Ramadhan, dengan menjalankan perintah puasa, bahagia telah berbagi kepada saudara se-iman, dengan menunaikan kewajiban zakat fitrah, dan bahagia dengan kesempatan halal bi halal atau bersilaturrahim, saling mema'afkan segala kesalahan menghapus luka yang pernah tergores dan mempererat hubungan persaudaraan.

Bahagia telah sempurna menjumpai Ramadhan:

Harus kita akui bahwa berhasil menjumpai bulan Ramadhan, dengan kondisi fisik dan mental yang sehat, sehingga mampu melaksanakan perintah puasa dengan khidmat, adalah anugerah besar dari yang maha kuasa, sahabat Ali bin Abi Thalib Ra (w: 40 H / 661 M) berkata: "Sehat jasmani adalah anugrah yang paling indah"

Kita bisa membayangkan, bagaimana orang-orang yang pergi ke alam baqa' (meninggal dunia) sesaat menjelang datangnya bulan Ramadhan, mereka tidak bisa menjumpai bulan yang penuh berkah, rahmat dan ampunan. Padahal, melalui ibadah di bulan Ramadhan, kita diberi bonus pahala berlipat dan kesempatan untuk melebur dosa-dosa yang pernah dilakukan. Rasulullah Saw - dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim - menjelaskan bahwa Ramadhan adalah bulan penuh ampunan.

Atau tidak sedikit saudara-saudara kita yang pada saat tiba bulan Ramadhan dalam keadaan sakit, fisik maupun mentalnya tidak sehat, sehingga tidak bisa menjalankan kewajiban ibadah puasa, atau kalaupun tetap menjalankan, tidak dengan khidmat sebagaimana orang yang normal kesehatannya. Tentu saja dengan uzur sakit, mereka itu tidak bisa merasakan bagaimana nikmatnaya saat berbuka, saat bersahur, bagaimana nikmatnya kita mampu mengendalikan hawa nafsu dengan sedikit mengekang hasrat jasmani dan biologis.

Dalam satu kesempatan, ulama besar di zaman tabi'in (setelah zaman para sahabat Nabi) imam Ibnu Sirin, (w: 110 H / 728 M) berterus terang bahwa urusan hawa nafsu adalah urusan yang paling pelik dalam hidup ini, ia berkata: “Aku tidak pernah mempunyai urusan yang lebih pelik ketimbang urusan jiwa”. Betapa urusan jiwa yang menyangkut pengendalian hawa nafsu adalah kendala besar yang kerap merintangi hidup manusia, Rasulullah Saw dalam hal ini mengingatkan: "Jalan ke sorga dilapangkan dengan mengendalikan hawa nafsu, sedangkan jalan ke neraka dilapangkan dengan menuruti hawa nafsu" (HR. Bukhori dan Muslim)

Dengan tibanya idul fitri ini, sangatlah wajar jika kita berbahagia menampakkan kegembiraan bersama, bukan atas dasar telah berlalunya bulan suci Ramadhan, akan tetapi kebahagiaan ini dilandaskan pada keberhasilan kita dalam mengekang hawa nafsu dalam kadar dan rentang waktu tertentu.

Bahagia dengan peduli terhadap sesama:

Kebahagiaan kedua yang semestinya kita rasakan pada momen datangnya hari raya idul fitri adalah, kita telah mengeluarkan zakat fitrah. Sebuah ibadah yang tidak lain sebagai bentuk penyucian diri setiap muslim sekaligus sebagai penyempurna puasa Ramadhan.

Zakat fitrah merupakan salah satu ibadah yang berdimensi horisontal. kalau kita perhatikan secara kasat mata, sangatlah sepele, tidak membutuhkan jumlah harta yang berlimpah, akan tetapi setiap muslim yang pada saat tibanya idul fitri memiliki kebutuhan pokok untuk dirinya, keluarga dan orang yang harus dinafkahinya, maka dia berkewajiban untuk mengelurakan zakat. Nominasi harta yang dikeluarakan pun sangat sedikit, hanya 1 Sha' sekitar 2,5 kg makanan pokok setempat, atau bisa diuangkan sesuai dengan standar harganya.

Berbeda dengan zakat harta, zakat hewan ternak, zakat hasil bumi, zakat profesi dan zakat niaga, jenis-jenis zakat ini hanya bisa ditunaikan oleh kalangan berada saja. Maka dari itu, prosentasi muslim yang berkewajiban mengeluarkan zakat fitrah jauh lebih banyak dari pada zakat-zakat tersebut, hal ini sesuai dengan maqasid (tujuan) disyari'atkannya zakat fitrah yaitu untuk mengembalikan setiap manusia pada fitrahnya.

Kalau sejenak kita menengok maqasid (tujuan) dan hikmah diwajibkannya ibadah zakat secara umum, ternyata ajaran Islam, disamping mengupayakan kesucian diri setiap insan, juga mengharapkan kesucian dan keberkahan harta benda yang dimilikinya. Dalam al Qur'an di jelaskan, saat Allah Swt memerintahkan Muhammad Saw untuk merealisasikan kewajiban zakat kepada para sahabatnya: "Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan – dan mensucikan - mereka" (Qs. at Taubah: 103).

Dalam kesempatan lain Allah Swt menjelaskan: " Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah di sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridha'an Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan " (Qs. Ar Ruum: 39)

Kalau demikian kenyataannya, maka kesempatan kita untuk menjalankan kewajiban zakat fitrah, adalah suatu kebahagiaan tersendiri. Kita telah diberi kesempatan oleh Allah Swt untuk mensucikan jiwa sekaligus mewujudkan rasa peduli terhadap kondisi di sekitar kita. Bagaimanapun kebahagiaan dalam menyambut datangnya idul fitri, juga berhak dirasakan oleh kaum miskin yang sama sekali tidak memiliki makanan pokok saat hari raya tiba.

Bahagia dengan bersilaturrahim:

Tradisi “halal bi halal” yang ada di setiap hari raya idul fitri adalah kesempatan bagi kita untuk bersilaturrahim. Tentunya silaturrahim dalam maknanya yang luas, yaitu saling memafkan atas segala kesalahan yang pernah dilakukan, saling mempererat hubungan persaudaraan atas dasar keimanan dan kebangsaan, bukan hanya sebatas persaudaraan atas dasar kekerabatan dan hubungan nasab keturunan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al Qur’an: "Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu" (Qs. Al Hujurat: 10)

Sebagaimana kita semua sadari, bahwa interaksi keseharian dalam komunitas umat manusia akan selalu di warnai dengan berbagai hal, sesuai dengan situasi dan kondisi. Adakalanya baik ada kalanya buruk, kadang damai kadang konflik. Implikasi dari hubungan keseharian antar sesama manusia ini tidak selamanya menyakitkan sehingga menimbulkan kebencian, begitu juga tidak semuanya menyenangkan sehingga menimbulkan kecintaan, pada saat-saat tertentu emosi, egois dan kesombongan bisa saja menguasai diri kita.

Implikasi buruk yang kita terima dari sikap orang lain, begitu juga kelakuan tidak bersahabat yang kita tunjukkan kepada orang lain, baik dengan penuh kesadaran maupun dalam ketidaksadaran, harus kita netralisir dengan bersilaturrahim. Kita percaya, bahwa hari raya idul fitri sebagai momen yang tepat untuk menetralisir atau paling tidak meminimalisir ketegangan hubungan antar sesama umat manusia. Rasulullah Saw bersabda : "Wahai manusia, tebarkanlah kedamaian dan sambunglah persaudaraan" (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Melalui silaturrahim, kita juga akan mendapatkan hikmah dan faedah yang luar biasa. Di antaranya; akan mempermudah segala urusan, bisa menjalin partner usaha, dan memperbanyak kolega yang tentunya akan saling menguntungkan dalam bekerjasama. Dalam satu kesempatan Rasulullah Saw bersabda: "Barangsiapa yang ingin dijembarkan rezekinya dan dipanjangkan usianya maka sambunglah persaudaraan" (HR. Bukhori dan Muslim). Sebagian ulama mengartikan kalimat "panjang usia" dalam hadist di atas dengan makna "keberkahan hidup".

Akhir tulisan:

Kita semua berharap, mudah-mudahan hari raya idul fitri kali ini adalah momen yang dapat mengembalikan pada fitrah keimanan kita, di mana idul fitri datang setelah kita menyelesaikan proses latihan mengendalikan jiwa melalui puasa Ramadhan, ia tiba dibarengi dengan kewajiban zakat fitrah yang merupakan wujud kepedulian, dan ia juga datang dengan tradisi “halal bi halal” sebagai upaya mempererat tali persaudaraan dan persahabatan. Tidak lain, tiga kebahagian yang kita rasakan sekaligus dalam momen hari raya idul fitri adalah anugerah dari Allah Swt yang wajib kita syukuri. "Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. " (Qs. Yunus: 58)


* Tulisan ini disarikan dari teks khutbah idul fitri 1429 H / 2008 M di KBRI Rabat Maroko yang disampaikan oleh penulis, dipublikasikan di situs www.pesantrenvirtual.com

Tuesday, October 7, 2008

Munajat di hari kemenangan

Oleh: Arwani Syaerozi*

Ya Allah….Dzat yang maha pengampun, tidak bisa kami hitung keluputan yang telah kami lakukan, kekhilafan terhadap sesama makhluk maupun kelalaian kami dalam menjalankan perintah dan menjahui larangan Mu, maka ampunilah kami atas semua itu, karena tanpa ampunan-Mu, kepada siapa kami mengharapkan pengampunan.

Ya Allah….Tuhan yang maha pemerhati, masih banyak saudara-saudara se-iman kami yang tersebar di berbagai belahan dunia, terutama yang hidup di negeri kami, Indonesia tercinta, mereka hidup dalam belenggu kebodohan, hidup dalam cengkraman kemiskinan, maka kami memohon kepada-Mu agar kami diberi kekuatan dan kemampuan untuk peduli kepada mereka, mendidik dan membantu sesuai dengan batas kemampuan kami.

Ya Allah….Dzat yang maha penolong, hingga detik ini, berbagai kesulitan terus bertubi-tubi dan silih berganti mendera bangsa kami, bangsa Indonesia, sampai detik ini pula kami belum bisa memahami, apakah itu semua sebagai coba'an yang akan mengangkat derajat, ataukah sebuah adzab yang merupakan balasan atas kedzaliman. Maka, berilah kami dan para pemimpin bangsa kami pertolongan dalam menghadapi kesulitan-kesulitan itu, sebab hanya Engkaulah sang penolong yang hakiki.

Ya Allah….Tuhan yang maha pendengar, inilah do'a kami, para hamba-Mu yang kerap lalai saat menerima karunia, para hamba-Mu yang selalu mengeluh saat menerima coaba'an, dengan segala kekurangan ini, kami berharap panjatan do'a kami untuk dikabulkan, karena hanya Engkaulah tempat sandaran kami.


* Kutipan dari do'a khutbah idul fitri 1429 H / 2008 M di KBRI Rabat Maroko yang disampaikan oleh penulis

Saturday, October 4, 2008

Ibnu Hazm dan kaum tekstualis kontemporer

Oleh: Arwani Syaerozi *

Bagi umat Islam, al Qur’an dan as Sunnah merupakan referensi utama yang dijadikan rujukan dalam menyikapi problematika hidup. Sebenarnya, pembacaan terhadap teks syar'i – yang pada akhirnya memunculkan konklusi hukum - bisa diartikan sebagai interpretasi manusia terhadap pesan-pesan tuhan. Metode pendekatan yang digunakan pun beragam, di antaranya pendekatan maqasidi (menitik beratkan pada esensi), dimana al maqasid (tujuan teks), asbab an nuzul / al wurud (kronologi sejarah), realitas sosial dan budaya masyarakat menjadi bagian tidak terpisahkan dalam corak penafsiran ini.

Ada juga manhaj harfi (metode tekstual), apa yang tersurat dalam teks adalah hasil final pesan tuhan, peran akal manusia dalam hal ini tidak lebih hanya ibarat kedua telinga yang menangkap gelombang suara, tidak memiliki hak untuk menalar dan mendialogkan teks dengan realitas.

Berbeda dengan pendekatan yang pertama (manhaj maqasidi), menurut pendekatan harfiah (literal), kemaslahatan umat manusia dengan memperhatikan dimensi waktu, tempat, dan kondisi, sama sekali tidak bisa dijadikan pertimbangan dalam memahami “pesan gamblang” sebuah teks keagamaan. Otomatis makna gamblang firman Allah “apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik dimana saja kamu jumpai mereka“ (Qs. at Taubah: 5) adalah perintah untuk melakukan holocaust (pemusnahan satu komunitas) yang tidak bisa ditafsir ulang sesuai dengan situasi dan kondisi.

Catatan kaum tekstualis:

Sudut pandang harfiyah ini telah sejak lama berkembang dalam sejarah Islam, bias awalnya adalah pada masa hidupnya Rasulullah, dimana kisah bani Quraidzah yang di situ muncul multi penafsiran dari para sahabatnya terhadap komando Rasul “Kalian jangan sholat Ashar kecuali di kampung bani Quraidzah” (Hr. Bukhori: 904), sebagian memahami secara tekstual, sholat Ashar di kampung tersebut walaupun telah keluar dari waktu sholat. Sebagian lain memaknai dengan ta’wil melakukan sholat Ashar di perjalanan pada waktunya, sebab mereka memahami ucapan tersebut sebagai perintah untuk segera tiba di lokasi.

Kemudian deklarasi kaum Khawarij “tidak ada hukum kecuali dari Allah“ pada tahun 37 H / 657 M saat pemerintahan Ali bin Abi Thalib, adalah fase berikutnya. Hingga pada abad ketiga Hijriyah / kesembilan Masehi, madzhab Dzahiri (literal) sebagai organisasi fiqh resmi kaum tekstualis, dideklarasikan oleh Daud bin Ali (w: 271 H / 883 M) di kota Isfahan Iran. Madzhab ini eksis sampai kemudian surut dan lenyap secara formal dari dunia Islam pada akhir abad ke 8 Hjiriyah / 14 masehi. Madzhab ini sempat didukung resmi oleh beberapa penguasa Negara, di wilayah timur oleh pemerintahan dinasti al Buwaihi, dan di wilayah barat oleh dinasti al Muwahidiyah.

Tokoh-tokoh klasik yang tercatat sebagai pengusung aliran ini adalah Ibn Hazm Ali bin Ahmad (w: 456 H), Abdullah bin Muhammad bin Hilal (w: 272 H), Ibn Mughlis Abu al Hasan (w: 324 H), Abu al Khattab bin Dakhiyah (w: 633 H), mereka inilah yang tersebar dari Isfahan, Baghdad dan Andalusia yang sepeninggal Daud bin Ali (pendirinya) berusaha mengeksiskan sekte ini.

Bahkan Abu Zuhrah dalam bukunya “Sejarah dan Pemikiran Ibn Hazm“ menganggap sufi besar Ibn Arabi (w: 638 H / 1240 M) termasuk dalam list nama pengusung madzhab tekstual, Walaupun dalam lingkup akidah – sebagaimana menjadi maklum – ia adalah pelopor kaum Bathiniyah, dan pengusung aliran tasawuf wihdatul wujud. (hlm: 578).

Secara umum, identitas kaum tekstualis bisa terbaca dalam tiga point berikut; pertama: Membatasi dalil agama hanya pada al Qur’an dan as Sunnah, Islam adalah dzowahir an nushush (sisi lahir teks), selain itu tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum.

Kedua: Menolak penggunaan dalil Qiyas (Analogi), Daud bin Ali menegaskan: “yang pertama kali menggunakan dalil analogi adalah Iblis, saya menemukan argumen untuk membatalkan Istihsan, ternyata ia juga dapat dijadikan sebagai dalil untuk membatalkan Qiyas“ (Tarikh Baghdad, jld. 8 hlm. 374). Senada dengan statemennya, Ibn Hazm menguatkan: “dalam memecahkan masalah agama tidak boleh menggunakan al Qiyas dan ar Ra’yu, sebab perselisihan pendapat dalam Islam harus dikembalikan pada al Qur’an dan as Sunnah“ (al Muhalla, jld. 1 hlm. 56).

Ketiga: Bahwa dalam syari’at tidak ada istilah Ta’lil atau illat (alasan atau motif), Allah bebas melakukan dan tidak melakukan apa saja tanpa harus disertai alas an. Dalil mereka dalam hal ini adalah firman Allah: “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai “ (Qs. Al Anbiya: 23). Point ini berimbas signifikan pada corak mereka dalam memahami teks al Qur'an dan as Sunnah secara tekstual.

Namun, dalam hal identitas ini, Abu Thoyib al Mauludi merampingkannya hanya pada satu point saja, yaitu penolakan terhadap dalil analogi (al Qiyas), alasannya karena hanya point ini yang paling krusial dalam pembedaan madzhab Dzahiri dengan lainnya, dimana dengan tidak menerima dalil analogi berarti tidak menerima ta'lil atau illat. (Mashadir at Tasyri’ al Islami Inda Ibn Hazm: 11).

Ibn Hazm: tekstualis reformis

Sosok Ibn. Hazm yang telah saya sebutkan sebagai pengusung madzhab Dzahiri (tekstual) di atas, ternyata menurut beberapa sarjana muslim kontemporer seperti Nuruddin al Khadimi (Tunisia), Muhammad Abid al Jabiri (Maroko) dan Abu Zuhrah (Mesir) dianggap sebagai salah seorang tokoh pembaharu dalam Islam. Bahkan Abd. Hadi Abd. Rahman dalam bukunya The Authority of the text menobatkannya sebagai "mega mujtahid" dalam sejarah fiqh Islam.

Umumnya mereka melabelkan status “pembaharu“ karena melihat metodologi Ibn Hazm dalam memahami agama. Di sini muncul pertanyaan: apakah metode harfiyah (tekstual) yang dianut Ibn Hazm merupakan copy-paste (jiplakan) metode Daud bin Ali sebagai pendiri madzhab Dzahiri? Apakah kaum harfiyah di Andalusia (barat Islam) adalah kaderisasi kaum tekstualis di Persia (timur Islam) yang muncul lebih dulu? hasil riset beberapa penulis menyatakan bahwa metode harfiyah Ibn Hazm yang hidup di Andalusia berbeda dengan kaum tekstualis di wilayah timur, bahkan dengan Daud bin Ali pendiri madzhab Dzahiri sekalipun.

Di antara indikasinya, keputusan Ibn Hazm untuk memilih jalur tekstual dalam memahami syari’at Islam adalah sebagai bentuk revolusi bermadzhab, sebagai implikasi ketidakpuasan terhadap madzhab Maliki yang menjadi mainsterm saat itu, bukan karena motif taqlid (mengikuti) kepada madzhab Dzahiri, hal ini sebagaimana yang ditegaskannya dalam ketidakbolehan taklid kepada para pemimpin madzhab (al Ihkam Fi Ushul al Ahkam: jld. 1 hlm. 99)

Ibn. Hazm beranggapan bahwa madzhab yang berpengaruh - saat itu - telah mempolitisir hakikat ajaran Islam, secara continue ia pun mensosialisasikan pandangannya melalui forum kajian dan media tulisan. Dalam hal dakwahnya ini, ia sering menggunakan ungkapan provokatif, hal ini bisa kita lihat dalam beberapa bukunya seperti; al Muhalla, an Nubdzah al Kafiyah, al Fisal fi al Milal wa an Nihal dan al Ihkam fi Ushul al Ahkam.

Gugatan Ibn. Hazm terhadap madzhab Maliki yang berpengaruh saat itu ditampakkan juga dalam bentuk “debat publik“, sisi ini mendapat perhatian khusus dari Abd. Majid Turki guru besar kajian Islam dari universitas Sorbone Perancis, dia berhasil merangkum data - data perdebatan antara Ibn Hazm dan Abu al Walid al Baji - tokoh madzhab Maliki yang saat itu disegani - dalam sebuah buku yang diberi titel al munadzarat fi ushul as Syari’ah baina Ibn hazm wa al Baji (Perdebatan seputar dasar syari’at antara Ibn Hazm dan al Baji).

Indikasi lain atas label "pembaharu" bagi Ibn. Hazm adalah universalitas proyek pemikirannya jika kita bandingkan dengan gagasan pemikiran Daud bin Ali. Menurut Abid al Jabiri, proyek pemikiran Ibn. Hazm bukan hanya sebatas pemahaman harfiyah terhadap teks keagamaan, akan tetapi juga mencakup segala aspek kebudayaan dan peradaban Arab / Islam hingga lingkup filosofisnya. (surat kabar al Ittihad al Imaratiyah, 22/11/2005)

Kaum tekstualis kontemporer: cenderung jadi ekstrimis

Berbeda dengan kaum tekstualis klasik yang hanya berkonsentrasi pada wacana intelektual melalui debat ilmiyah secara lisan dan tulisan, kaum tekstualis kontemporer yang akhir-akhir ini marak pengorganisasiannya, lebih menitik beratkan pada implementasi atas model beragama yang diyakininya. Perusakan infrastruktur, penutupan paksa atas tempat kegiatan publik, dan pemberangusan ketentraman masyarakat melalui tindakan anarkis atas nama Islam adalah aktivitas mereka. Massa militan kaum tekstualis ini hanya mengikuti komando para pimpinannya, yang sebenarnya kita pun mempertanyakan kapabilitas keilmuan para pimpinan mereka.

Dalam konteks Indonesia, kaum tekstualis - pasca reformasi - yang turut bersemi dengan berani menampakkan identitasnya, tidak semuanya berpandangan cupet. Mereka yang terjun ke dunia politik dengan terlibat dalam partai politik berhaluan Islam semisal PPP, PKS, PBB dll bisa dikatagorikan sebagai representasi kaum tekstualis moderat. Jalur diplomasi politik dan dialog adalah pilihan dalam menegoisasikan misinya. Berbeda dengan kaum tekstualis yang tidak turun berpolitik, semisal organisasi MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), Laskar Jihad, HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), FPI (Front Pembela Islam) dll, seringnya kalangan ini lebih mengedepankan sikap konfrontatif dan emosional saat menghadapi perbedaan pandang.

Benang merah yang mempertemukan semua organisasi ini adalah “pemahaman tekstual“ terhadap ajaran Islam. Walaupun bentuk penekanan atas model beragamanya berbeda, Laskar Jihad berkonsentrasi pada jalur komando jihad menebar sentimen anti non muslim, MMI fokus memberangus bid'ah dan khurafat (penyimpangan akidah), HTI berambisi mendirikan Dinasti atau kekhilafahan sebagai solusi Islami dalam membangun negara, dan FPI berjalan pada rel pemberangusan kemaksiatan dalam masyarakat atau yang lebih popular dengan istilah Pekat (penyakit masyarakat).

Lantas, apakah munculnya para pimpinan kaum tekstualis di tanah air semisal Abu Bakar Ba'asyir, Ja'far Umar Thalib dan Habib Riziek yang cenderung radikal sebagai bentuk revolusi bermadzhab?, hal ini sebagaimana yang pernah terjadi pada Ibn Hazm di Andalusia? ataukah hanya karena faktor politis dan dangkalnya penyelaman terhadap substansi ajaran Islam?

Apabila kemunculannya merupakan “revolusi bermadzhab“ sebagai mana yang dialami oleh Ibn Hazm, maka dari kerangka logis semestinya para pemimpin aliran tekstual ini telah jauh menjelajahi Islam baik dari sisi doktrin, sejarah, psikologi, dan filsafatnya. Sebab sosok Ibn Hazm kapasitasnya bukan hanya sebagai seorang pakar fiqh dan ushul fiqh saja, akan tetapi ia juga seorang teolog, filsuf, sejarawan, sastrawan, sekaligus pakar perbandingan agama. Bagaimana dengan pimpinan kaum tekstualis di tanah air? Adakah bukti tertulis kepiawaian mereka dalam memahami Islam, sebagaimana Ibn. Hazm yang telah mewarisi setumpuk karya ilmiyah?

inilah titik krusial yang bisa dijadikan pembeda antara proyek pemikiran Ibn Hazm dan pemikiran kaum tekstualis kontemporer, sehingga efek tekstual gaya Ibn Hazm tidak sampai merambah pada tindakan fisik yang merugikan rivalnya, justeru imbasnya positif, Ibn. Hazm telah berhasil merangsang komunitas intelektual dan cendekiawan saat itu untuk lebih tajam dalam bernalar.

Dari sini, saya pun melihat maraknya pengorganisasian kaum tekstualis (yang cenderung radikal) di tanah air, tidak lebih akibat dangkalnya pemahaman masyarakat kita terhadap ajaran agama, atau bahkan karena faktor politis. Semestinya, Indonesia - sebagai negara mayoritas muslim paling demokratis yang telah memberikan hak penuh bagi rakyatnya untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran agama - harus bisa terbebas dari segala bentuk teror dan intimidasi atas nama agama, sebab pemahaman paripurna atas esensi agama akan meredam tindakan garang para penganutnya.



* Tulisan ini dipublikasikan di http://www.fahmina.or.id/ dengan judul: Belajar dari Ibnu Hazm: seharusnya Islam tekstualis tidak menjadi ekstrimis