Tuesday, November 20, 2007

Memperkenalkan “tafsir maqasidi”

Oleh: Arwani Syaerozi

Diskursus seputar “pengkajian al Qur’an” selalu hangat diperbincangkan, pertengahan April 2007 yang lalu, simposium ilmiyah internasional yang mengusung tema “metode alternatif penafsiran al Qur’an” diadakan di kota Oujda Maroko. Kegiatan ilmiyah yang memakan waktu selama tiga hari ini (18, 19, 20) sengaja dikonsentrasikan pada kajian seputar tafsir maqasidi (tafsir al Qur’an melalui pendekatan maqasid syari’ah). Apakah tafsir ini dianggap sebagai model yang dapat memaksimalkan peran tafsir al Qur’an dalam menyentuh problematika umat? Apakah tafsir maqasidi sebagai alternatif untuk menghindari “pendekatan hermeneutika” yang selama ini digembor-gemborkan oleh kalangan kiri Islam? Sejauh manakah efektifitas tafsir maqasidi dalam memberikan pemahaman masyarakat muslim terhadap isi kandungan al Qur’an?

Kajian tafsir maqasidi yang diangkat sebagai topik utama dalam simposium saat itu, mengacu pada tiga tujuan, yaitu; meningkatkan budaya membaca al Qur’an, budaya menghayati makna kandungan, dan budaya mengaplikasi ajarannya. Diskusi tafsir maqasidi tetap mengacu pada eksistensi keistimewaan al Qur’an sebagai wahyu illahi (kitab suci), yang menjadi petunjuk bagi umat Islam.

Kacamata Maqasid Syari’ah:

Aliran dalam Tafsir bisa kita sederhanakan menjadi dua kelompok besar; pertama, yang berkonsentrasi pada dzahir (sisi lahir) teks al Qur’an. Biasanya, metode ini hanya mengandalkan tafsir bi al Ma’tsur (dengan riwayat hadits dan pendapat ulama klasik) saja. Metode kedua, bukan hanya berhenti pada sisi lahir teks al Qur’an, akan tetapi melampaui ke al Maqasid (titik tujuan) dari sebuah teks, model ini melegalkan tafsir dengan ar Ra’yu (nalar ijtihad) yang akan membawa para mufassirin (pakar ilmu tafsir) bisa mendialogkan teks al Qur’an dengan realita zaman lebih leluasa.

Pemetaan di atas, sebagaimana yang digambarkan oleh Ahmad Raisuni, pakar maqasid syari’ah dari universitas Muhammad V Maroko (al madkhal ila al maqasid: 8-9), dan dalam pemetaan ini, kita bisa melihat bahwa dengan pendekatan maqasid syari’ah akan membawa tafsir al Qur’an lebih lentur mengikuti perkembangan zaman, isi kajian tafsir pun akan selalu aktual karena memperhatikan konteks tempat dan waktu, dan yang demikian ini tidak lain merupakan pesan universalitas al Qur’an sendiri (Qs. An Nahl: 89, al An’am: 38, al Maidah:3)

Pada tataran teorisnya, tafsir al Qur’an dengan pendekatan maqasad syari’ah, tidak sepenuhnya menolak ide segar yang ditawarkan oleh produk pemikiran barat dalam pandangannya terhadap teks keagamaan. Sebab metode tafsir ini juga mengakomodir kajian lingusitik, sosiologi, antropologi dan histori namun dengan kadar tertentu, dan para ulama Maghrib Arabi yang membidani tafsir maqisidi ini sepakat mengusungnya dengan terlebih dahulu memposisikan ayat-ayat al Qur’an sebagai wahyu Illahi (kitab suci) yang tidak bisa diganggu gugat keistimewaannya dan tidak bisa disejajarkan dengan kalam manusia. Point inilah yang membedakan antara ide hermeneutika yang dipopulerkan oleh peradaban barat (non muslim) dengan ide tafsir maqasidi yang diusung oleh para pemikir Islam asal Maghrib Arabi (wilayah barat Arab).

Pada saat yang sama, tafsir maqasidi tidak mengadopsi sepenuhnya model tafsir yang selama ini ditawarkan oleh ulama-ulama klassik, terutama yang membatasi tafsir al Qur’an hanya bi al Ma’tsur (dengan riwayat hadits dan pendapat ulama klasik). Dengan demikian, tafsir ini lebih ditekankan sebagai upaya mencari metode yang tepat untuk menafsiri ayat-ayat al Qur’an sesuai dengan peradaban manusia modern.

Maqasid Syari’ah dan Teks Keagamaan:

Syari’at Islam melalui hukum-hukum dan teks-teks sucinya memiliki tujuan dan hikmah yang berorientasi pada kemaslahatan umat manusia. Dengan keyakinan ini, ulama ushul fiqh membidani lahirnya kajian khusus seputar maqasid syari’ah. Dan pada akhir abad ke-20, oleh ulama asal Tunisia at Tahir Ibn Asyur (w: 1973) kajian ini diindependenkan dari kajian ushul fikih, sehingga saat ini, kita lebih mengenalnya dengan ilmu maqasid syari’ah. Pada perkembangannya, Fan keilmuan ini tidak hanya dimaksud untuk mengkaji essensi syari’at (dalam arti wacana) saja, akan tetapi, ilmu maqasid syari’ah pada prakteknya banyak membantu kalangan ulama dalam memahami teks-teks al Qur’an dan as Sunnah. Terutama saat memahami nash (teks) yang memiliki tingkat Dznonniyatu ad Dalalah (makna yang tidak fix), yang makna lahirnya tidak sejalan dengan maqasid syari’ah. Dalam hal ini, ulama akan berusaha mengarahkan makna teks tersebut agar sesuai dengan maqasid syari’ah. (Thuruq al Kasyf an Maqasid as Syari’ah: 46)

Sebagaimana kita maklumi, bahwa hubungan antara teks, makna dan maqasid (tujuan dibalik makna) adalah lingkup kajian tafsir maqasidi (pendekatan maqasid syari’ah). Di mana setiap lafadz (kata) memiliki makna, dan di balik makna terdapat maqasid (tujuan). Tujuan atau maqasid inilah yang menjadi penekanan mufassirin (pakar tafsir) yang berorientasi pada aliran maqasidi. Artinya, para pakar tafsir diarahkan untuk melepas perhatiannya dari sekat-sekat makna lafadz (kata) apalagi makna lahirnya. Biasanya, dari kalangan ulama Islam yang lekat dengan metode ini adalah ulama sufi, sebab dengan dzauk (intuisi) yang mereka legalkan, ulama sufi bisa mendalami lebih jauh makna ayat-ayat al Qur’an dan as Sunnah, bahkan cenderung menepikan “perangkat bedah” yang diformulasikan oleh ulama ushul fikih seperti kriteria ta’wil (mengalihkan) makna, takhsis (penyederhanaan) makna dsb.

Pertanyaan yang muncul di sini adalah; bagaimana dengan istinbathu al ahkam al fikhiyyah (proses pengambilan hukum fikih) yang disandarkan pada metode tafsir maqasidi terhadap teks-teks al Qur’an dan as Sunnah? Bukankah lingkup kajian ushul fikih telah ditetapkan hanya pada relasi lafadz (kata) dengan lafadz, atau lafadz dengan makna? Dan bukankah cakupan fikih dan ushulnya hanya berhenti pada dzahir (sisi lahir) dan makna teks saja?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas – menurut saya – pernah dituangkan melalui ide brilian tokoh asal Tunisia at Tahir Ibn Asyur dalam bukunya “al Maqasid as Syar’iyah”. Di mana tokoh yang digelari sebagai imam Syatibi kecil ini menyuarakan untuk membangun ushul fikih (landasan fikih) baru, landasan fikih yang dititik beratkan pada hal yang bersifat qath’I (pasti) yaitu maqasid syari’ah. Sebab menurutnya, ushul fikih yang ada saat ini sifatnya dzanni (tidak pasti), akibatnya, hukum fikih yang tercipta pun rentan ikhtilaf (berbeda pendapat), bahkan fikih Islam – menurutnya - tidak akan eksis mengikuti zaman apabila hanya ditopang dengan formulasi ushul fikih klasik tanpa dikembangkan dan dilengkapi dengan maqasid syari’ah (Maqasid as Syari’ah: 42).

Sinyal Tafsir Maqasidi:

Dua kitab tafsir dan satu pandangan tafsir yang pernah ditulis oleh ulama kita, memberi "sinyal" atas model tafsir al Qur’an dengan pendekatan maqasid syari’ah. Pertama, buku tafsir “Ahkam al Qur’an” yang disusun oleh imam Ibn al Arabi (w: 543 H), kedua buku tafsir at Tahrir wa at Tanwir karya imam besar masjid Ezzitouna Tunisia at Tahir Ibn Asyur, dan ketiga pandangan tafsir yang digagas oleh imam Khomaini (w: 1989) ulama besar yang juga pimpinan revolusi Islam di Iran

Muhammad Kajoui – pakar tafsir dari universitas Muhammad V Maroko – dalam sebuah kuliyahnya memaparkan bahwa; “Ahkam al Qur’an” buku tafsir yang ditulis pada abad ke 6 Hijriyah ini, memiliki banyak indikasi yang mengarah pada metode Ibn al Arabi (penyusun) menggunakan pendekatan maqasid syari’ah. Di antaranya, proses tarjih (mengunggulkan pendapat) yang dituangkan dalam bukunya selalu disandarkan pada sisi maqasid. misalnya pada pembahasan Qs. An Nur: 4. Bahwa ulama sepakat apabila tuduhan berzina diungkapkan secara tasrih (eksplisit), maka hukumnya al qadzf (pencemaran nama baik) yang harus di hukum cambuk. Akan tetapi apabila secara ta’rid (implisit) ulama berbeda pendapat, madzhab Maliki menetapkan sama seperti halnya eksplisit, artinya tetap terkena hukum cambuk, namun menurut madzhab Hanafi dan Syafi’I bukan al qadzf (pencemaran nama baik). Pada kasus ini, Ibn al Arabi menegaskan bahwa pendapat Maliki lebih tepat karena mendekati maqasid syari’ah (tujuan) atas disyariatkannya hukum al qadzf. (Ahkam al Qur’an: jld. 3 hlm. 342)

Begitu juga dengan buku tafsir at Tahrir wa at Tanwir karya Ibn Asyur. Dalam hal ini, penulis kontemporer al Maisawi melalui resensinya menguatkan; bahwa pemikiran Ibn Asyur secara umum banyak terpengaruh oleh sudut pandang Imam as Syatibi (w: 790 H). Untuk itulah, tidak heran jika dalam menafsiri ayat-ayat al Qur’an, Ibn Asyur banyak melandaskan pada at tahlil al maqasidi (penguraian ayat dari sisi Maqasid syari’ah).

Sebagai pelengkap, kita juga bisa menengok pandangan-pandangan tafsir Imam Khomaini melalui beberapa karya tulisnya, di mana sinyal adanya pendekatan maqasid pada pandangan tafsir Imam Khomaini ini pernah dikupas oleh Abd. Salam Zainal Abidin saat membedah pemikiran tafsirnya melalui buku Manhaj imam Khomaini fi at Tafsir (metode tafsir Imam Khomaini). Dia mengatakan, bahwa tafsir maqasidi yang diterapkan oleh Imam Khiumaini ini mengacu pada tiga unsur penting, yaitu; ar Riwa’I (riwayat), al Irfani (hikmah), dan at Tadabbur al Aqli (nalar akal) tiga unsur penting inilah yang kemudian mendominasi pandangan-pandangan tafsir pimpinan besar revolusi Islam Iran. (Manhaj imam al Khomaini fi at Tafsir: 1998)

Epilog:

Kata Maqasidi dalam susunan kalimat “tafsir maqasidi” berposisi sebagai nisbat, yaitu menisbatkan cara menafsiri al Qur’an dengan pendekatan maqasid syari’ah, ide pengguliran tafsir ini, sebenarnya dikembalikan pada para penyemangat kajian maqasid syari’ah seperti imam al Izz bin Abdus Salam (w: 660 H), al Qarrafi (w: 684 H), Najmu Dien at Thufi (w: 717 H), as Syatibi (w:790 H), at Thahir Ibn asyur (w:1973), Alal al fasi (w: 1973). Di mana Ibn Asyur sendiri tegas menyatakan bahwa; dalam memahami teks-teks syari’at (al Qur’an dan as Sunnah) mutlak dibutuhkan pengetahuan seputar maqasid syari’ah. (Maqasid as Syari’ah: 847)

Dengan demikian, terobosan ulama Maghrib Arabi (wilayah barat Arab) untuk mendiskusikan pembacaan al Qur’an melalui tafsir maqasidi (pendekatan maqasid syari’ah) akan melengkapi corak tafsir yang selama ini telah eksis di tengah-tengah kita, seperti; tafsir falsafi (pendekatan filsafat) yang mewarnai tafsir al kabir karya Fahru ad Dien ar Razi (w: 604 H), tafsir Ijtima’i (pendekatan sosial kemasyarakatan) yang terkandung dalam tafsir al Manar yang disusun oleh Rashid Ridho (w: 1935), tafsir Adabi (pendekatan kesusastraan) yang pernah ditekuni oleh Amin al Khuli (w: 1966), tafsir maudhu’i (pendekatan tematik) yang pernah digagas oleh Sayyid Sabik (w: 2000).

Sebenarnya, topik seputar tafsir maqasidi pernah diangkat secara tuntas oleh Nuruddin Qirath dalam disertasi doktoralnya (di universitas Muhammad V) tentang tafsir maqasidi menurut perspektif ulama Maghrib Arabi, begitu juga oleh profesor Jelal al Merini dari universitas al Qurawiyien dalam bukunya Dhowabitu at Tafsir al Maqasidi li al Qur’an al Karim (ketentuan tafsir maqasidi terhadap al Qur’an), dan Hasan Yasyfu, dosen senior di universitas Oujda Maroko dalam bukunya al Murtakazaat al maqasidiyah fi tafsir an Nash ad Dini (penekanan sisi maqasid dalam menafsiri teks keagamaan), namun sebagai pendongkrak ide yang dituangkan melalui karya-karya tulis mereka ini, komunitas ulama, intelektual, dan akademisi Maroko bahu membahu mensosilaisasikannya melalui simposium ilmiyah internasional pada bulan April yang silam. Wallahu A’lam

* Tulisan ini dipublikasikan di situs resmi BKPPI www.jurnalislam.net/id

Sunday, November 4, 2007

Melacak "preman" dalam organisasi

Oleh: Arwani Syaerozi

Ada berita menarik yang dilansir majalah gatra online (Kamis, 1/11/07), seputar tindak tanduk preman kampung yang sering meresahkan warga desanya dan berakhir dengan kematian tragis ditangan warga. Preman yang tinggal di desa Toso kecamatan Bandar kabupaten Batang Jawa tengah

Berita itu melaporkan; sejak lama korban sudah meresahkan ketenangan warga Desa Toso, dia tidak segan-segan melukai warga yang tidak mengikuti keinginannya, Warga menilai korban ini dikenal sebagai preman kampung dan tidak segan-segan juga merusak infrastruktur bangunan warga yang berusaha melawannya. Karena sering diancam, puncaknya warga yang semula ketakutan berbalik marah dan bersama-sama menggeruduk rumah sang preman. (www.gatra.com/ 1/11/07)

Dalam kasus di atas, Preman terjun di dunia fisik dan materi, mengintimidasi dan merampas harta benda, memaksa orang lain untuk memberikan apa yang diinginkan. Awalnya warga ketakutan dan selalu menerima dan mengkabulkan setiap “keinginan gila” sang preman. Namun akumulasi dari kesewenang-wenangannya, warga menjadi marah, kesabaran hilang, dan berujung dengan peristiwa tragis. Aparat pemerintah yang akan menindak “sang preman” secara jalur hukum tidak berdaya akibat emosi massa yang meluap.

Kalau kita amati, dalam dunia organisasi dan akademisi kasus serupa banyak terjadi. Sadar atau tidak, di tubuh sebuah organisasi kadang terdapat “preman” yang berprilaku persis seperti pemberitaan majalah online Gatra di atas. Bedanya, preman dalam organisasi tidak merampas harta benda, tidak mengintimidasi secara fisik dan tidak menodong pisau ke leher. Akan tetapi merampas kestabilan organisasi, menebarkan intimidasi maknawi, memprovokasi informasi, dan tidak segan-segan memutar balikkan fakta.

Imbas negatif “preman” jenis kedua ini, lebih dahsyat jika kita bandingkan dengan preman kampung yang diberitakan Gatra. Preman kampung hanya menimbulkan kebencian warga terhadap dirinya saja, sedangkan “preman organisasi” - dengan kemampuan mempropaganda fakta dan mengemas niat busuk dengan nalar akademisnya – akan memberikan dampak kerancuan luas dan mahadahsyat bagi komunitasnya, di samping menimbulkan kebencian komunitas terhadap prilaku antar sesama (fitnah).

Padahal, yang dibutuhkan dalam berorganisasi adalah kedewasaan sikap, kelapang dada-an watak dalam segala situasi dan kondisi, berorganisasi hanya butuh ide dan kritik yang sifatnya konstruktif bukan destruktif, berorganisasi adalah upaya mengelola beragam visi dan misi agar bisa berjalan se-irama, berorganisasi tujuannya untuk memproses diri menjadi “mapan” bukan “preman”.

Walhasil, preman jenis kedua ini, biasanya sering memperjuangkan “kepentingan pribadi” dengan mengatas namakan hak asasi manusia (HAM), kebebasan berpendapat, intelektualitas bahkan motif organisasi. Indikasinya; apabila mengungkapkan kritik, ide, tanggapan dan pemikiran, tidak melalui mekanisme yang semestinya (tidak prosedural) bahkan tidak mengindahkan kode etik dan moral. Kesan yang menonjol pun selalu emosional, subyektif dan provokatif.

Jelas antara dua jenis “preman” di atas berbeda; yang pertama menyerang warga melalui intimidasi fisik, yang kedua merampas hak, melempar kewajiban dan mempropaganda fakta melalui media. Preman yang pertama kerap membunuh nyawa, sedangkan preman yang kedua selalu berusaha membunuh karakter.

Namun, saya tetap melihat titik persamaan antara kedua jenis preman ini, yaitu, sama-sama “brutal menyerang” dan sama-sama menyandang titel “kampungan”. Wallahu A’lam

Monday, October 22, 2007

Sisi lain fikih Ibn Hazm

Oleh: Arwani Syaerozi

Kebanyakan, orang mengenal Ibn Hazm al Andalusi (w: 456 H) sebagai sosok yang kaku dalam memahami agama. Pengusung fikih madzhab Dzahiri (aliran tekstual) ini, kerap dijadikan sebagai “ikon” penentang kaum rasionalis Islam, yang termasuk di dalamnya para fuqaha arba`a (ulama empat madzhab). Dimana Ibn Hazm – dalam pernyataan eksplisitnya - menolak al qiyas (dalil analog) yang telah disepakati oleh jumhur ulama (mayoritas ulama) sebagai salah satu landasan hukum syari’at, bahkan menganggap pencetus pertama dalil analog adalah Iblis.

Ibn Hazm yang memiliki nama lengkap Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm ini memiliki kakek bernama Yazid yang berkebangsaan Persia (Iran). Yazid sendiri adalah salah seorang hamba sahaya (budak) milik Yazid bin Abi Sofyan (w: 19 H) saudara Muawiyah bin Abi Sofyan (w: 60 H). Setelah dimerdekakan dari status budak, keturunan Yazid terus menjalin hubungan baik dengan keturunan Muawiyah, sehingga kedekatan dua keluarga besar ini menjadikan pribadi Ibn Hazm setia dan fanatik terhadap dinasti bani Umayah di Andalusia (Spanyol).

Berkaitan dengan sosok Ibn Hazm yang kontroversial, isu negatif dan tuduhan miring kerap dihembuskan. Cap sebagai “antek Nasrani” sempat disematkan kepadanya, bahkan pakar sejarah klassik semisal Abu Hayan al Wahidi meragukan geneologinya yang memiliki darah keturunan Persia. Atau penulis Muhammad Toha al hajizi dalam bukunya “Ibn Hazm Potret Andalusia” sempat meragukan ke-Islaman para pendahulu nasabnya (hlm : 23).

Di sisi lain, sejarawan Arab kenamaan al Jiyani (w: 462 H) meyakinkan validitas nasab yang diakui oleh Ibn Hazm. Hal ini membuat Abu Zuhrah – penulis buku Biografi pemikiran Ibn Hazm – memvonis; “yang paling faham akan garis nasabnya hanyalah Ibn Hazm sendiri“. Artinya, beliau adalah keturunan bangsa Persia dan tidak diragukan ke-Islaman para pendahulu nasabnya.

Terlepas dari pro kontra geneologinya, yang jelas Ibn Hazm telah memiliki kontribusi luar biasa bagi dunia Islam. Melalui kiprah dan puluhan karya tulisnya yang lintas spesifikasi keilmuan, beliau digelari juga sebagai filusuf, teolog, sejarawan, sastrawan, pakar fikih, negarawan, akademisi dan politisi yang handal. Dua karya monumentalnya al Ihkam fi Ushul al Ahkam (Ushul Fikih) dan kitab al Muhalla (Fikih) menjadi rujukan utama fuqaha mu’ashirin (pakar fikih kontemporer) dalam upaya penyelarasan khazanah fikih Islam.

Dalam tulisan ini, ada tiga point yang akan menjadi barometer untuk menyelami sisi lain fikih Ibn Hazm, dimensi yang mungkin belum pernah diekspos atau jarang “dilirik” oleh para penulis, kalau tidak saya katakan belum “terjamah” sama sekali. Yaitu; fikih kemaslahatan, fikih rasional, dan fikih ekologi.

Fikih kemaslahatan:

Secara eksplisit, Ibn Hazm menyatakan bahwa landasan hukum Islam hanya terbatas pada dua sumber saja, yaitu dzahir (sisi lahir) teks al Qur’an dan as Sunnah, selain dua sumber tadi, tidak bisa dijadikan rujukan hukum. Otomatis beberapa dalil yang disepakati oleh jumhur (mayoritas) ulama seperti al Qiyas (analog) tidak termasuk dalam dalil syar’i.

Keterbatasan dalil yang ditetapkan oleh Ibn Hazm ini, tidak berarti membawa kita pada kesimpulan bahwa; fikih Ibn Hazm tidak berorientasi pada kemaslahatan. Walaupun opini publik yang berkembang demikian, diperkuat dengan statemen eksplisit dalam beberapa bukunya semisal; al Ihkam fi ushul al Ahkam (1980), an Nubdzah al Kafiyah (1940), Mulakhosh fi ibtholi al Qiyas wa ar Ra’y wa al Istihsan wa at Taqlid wa at Ta’lil (1982). Namun, kalau kita menyelami lebih dalam samudera pemikiran melalui ensikolpedi fikihnya kitab al Muhalla (1353), maka kita akan disuguhkan nuansa lain, fikih yang berorientasi kemaslahatan akan banyak kita temukan dalam bentuk parsialnya, kita pun sepertinya dihadapkan pada kenyataan paradoksal antara tataran teori dan tataran praktis tokoh asal Andalusia abad ke lima hijriyah ini.

Salah satu indikasinya adalah; keberpihakan Ibn Hazm pada konsep “kedaulatan kepemilikan”, Ibn Hazm mendukung hak mutlak dalam menggunakan kepemilikan. Kepemilikan seseorang terhadap sesuatu, membuat dia bebas menggunakan dan memanfaatkannya. Apalagi dalam keadaan susah, pemilik boleh memanfaatkannya tanpa mempertimbangkan efek buruk yang timbul bagi orang lain. Pada posisi dilematis inilah beliau tetap mempertahankan pembolehan memanfaatkan kepemilikannya, walaupun akan ada pengaruh negatif bagi orang lain. Sebab – menurut Ibn hazm - melarang pemilik untuk memanfaatkan, padahal dia sendiri dalam keadaan susah, dengan alasan menghindari kesulitan yang akan menimpa orang lain, adalah sesuatu yang tidak ada justifikasi syari’atnya, justeru hal ini akan lebih memberikan dampak negatif bagi sang pemilik. (al Muhalla Jld. 8 hlm. 241)

Dalam kasus di atas, menghindarkan kesulitan yang akan menimpa “pemilik” lebih diprioritaskan oleh Ibn Hazm, dari pada menghindarkan kesulitan yang sama yang akan menimpa orang lain. Di sinilah, kita bisa melihat kejelian beliau dalam menimbang kemaslahatan, sebab terlepas dari kesulitan adalah sebuah kemaslahatan. Mengapa Ibn hazm memprioritaskan sang pemilik? Jelas, karena faktornya adalah berhubungan dengan “hak milik”, yang di situ terkandung unsur “hak menggunakan dan memanfaatkan”, dan hak-hak ini harus dilindungi secara hukum.

Fikih rasional:

Islam adalah agama yang mengkhitobi akal, ajaran Islam mendorong umat manusia untuk berfikir dan meneliti apa yang terjadi disekelilingnya untuk kemudian disikapi, bahkan Islam menganjurkan umatnya untuk mengamati setiap perubahan yang terjadi pada seisi alam (Qs. al Baqarah: 164, Ali Imran: 190-191, az Zumar: 5) sehingga manusia benar-benar sadar akan eksistensi kehidupan dan adanya sirkulasi pelaku kehidupan yang merupakan sunnatullah (hukum alam).

Pada struktur bangunan fikih, akal memiliki peran yang signifikan dalam proses istinbath al ahkam (menarik kesimpulan hukum). Akal memahami problematika umat, menalarnya dengan teks, atau menganalogkkan dengan kasus lain yang sepadan, kemudian menarik kesimpulan hukum. Sebagai pakar fikih yang tekstual, ternyata Ibn Hazm sangat mengapresiasi peran akal pikiran dalam hal ini, bahkan menjadikannya sebagai landasan metodologi berijtihad. Secara tegas dia menyatakan; tidak ada benturan antara akal sehat dengan teks syari’at, justeru keduanya akan saling bertemu dan menguatkan (al Ihkam: Jld. 8 hlm. 138). Meminjam istilah yang digunakan oleh al Ghazali (w: 505 H) “Syari’at adalah akal dari luar diri manusia, dan akal adalah syari’at dari dalam diri manusia” (Ma’arij al Quds: 57)

Senada dengan penegasan tadi, pakar maqasid syari’ah Izzuddin bin Abd. Salam (w: 660 H) memperkuat bahwa; kemashalatan dan kemafsadatan duniawi ditemukan dengan rasio, begitu juga dengan kebanyakan hukum syari’at, akal banyak berperan di dalamnya (Qawaid al ahkam, Jld. 1 hlm. 4) Artinya, kebanyakan hukum syari’at sifatnya rasional, bisa dinalar dengan akal sehat.

Berkaitan dengan hal ini, Ibn Hazm dalam bukunya al Muhalla mendiskusikan kasus pernikahan yang tidak sesuai dengan persyaratan yang diajukan sebelumnya, seseorang yang menikahi perempuan dengan catatan perempuan tersebut tidak cacat, ketika usai akad nikah ternyata tidak sesuai dengan permintaannya (bebas dari cacat), maka akad pernikahan tadi - menurut Ibn Hazm - diangap batal, bahkan perempuan tadi tidak berhak menerima mahar, tidak ada konsekuensi warisan, hukumnya sama seperti tidak terjadi akad nikah sebelumnya, sebab yang dimaksud untuk dinikahi oleh mempelai pria adalah wanita normal, sedangkan wanita cacat tidak yang dimaksud untuk dinikahi. (al Muhalla: Jld. 10 hlm. 110) Pada statemennya ini, Abu Zuhrah menegaskan bahwa; Ibn Hazm hanya melandaskan pendapatnya pada argumen rasional saja, tidak pada dalil syar’i yang lumrah digunakan (Biografi pemikiran Ibn Hazm, Hlm. 506-507).

Di sini, tampak sekali usaha Ibn Hazm dalam merasionalkan argumennya, apalagi pada alasan yang dikemukakan yaitu “perempuan cacat bukanlah perempuan yang normal, ini tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh mempelai pria”, dari argumen ini, beliau menarik kesimpulan bahwa akad pernikahannya batal dan sama sekali tidak memiliki konsekuensi hukum.

Apresiasi Ibn Hazm terhadap peran akal, dapat juga kita lihat dari sub judul yang dituangkan dalam buku ushul fikihnya, yaitu al Ihkam fi ushul al Ahkam, disitu terdapat pembahasan khusus mengenai Hujjiyat al ‘Aql (Argumen akal), begitu juga dalam dua buku lainnya yaitu al Fishal fi al Milal wa al Ahwa’i wa an Nihal (1986) dan at Taqrib li Haddi al Mantiq (2003). Dari sudut pandangnya, Ibn Hazm bisa digolongkan pada “poros tengah”, yaitu kalangan yang tidak menganggap akal sebagai tumpuan utama dalam istinbath al ahkam (menarik kesimpulan hukum), pada saat bersamaan tidak pula menafikan peran signifikan akal pikiran. Istilah pemetaan “lahan” yang bisa dijamah oleh akal dan “lahan” yang tidak bisa dijamah pun dijabarkan dalam pembahasan seputar hujjiyat al Aql (Argumen akal).

Fikih ekologi:

Kata “ekologi” di sini mencakup dua hal; lingkungan masyarakat dan lingkungan hidup. Di balik kesan radikal dari fikih Ibn Hazm yang tekstual, ternyata ada beberapa pendapat fikihnya yang membawa pesan “ramah lingkungan”, sebagai salah satu upaya untuk menjaga keharmonisan hidup dan kelangsungan kehidupan.

Andalusia – pada masa Ibn Hazm - sebagai bumi Islami yang multi budaya, ras, dan agama, membutuhkan keseriusan dalam menampung perbedaan. Terutama masalah kesenjangan sosial, yang ternyata mendapat perhatian khusus dari Ibn Hazm. Pesan “solidaritas” bisa dilihat dari pendapatnya yang menetapkan hukum wajib bagi kalangan konglomerat untuk memenuhi kebutuhan hidup (sandang, pangan dan papan) orang-orang miskin. Sebagai penunjang teknisnya, Ibn Hazm memandang kewajiban pemerintah untuk turun langsung mengorganisir para konglomerat dan memaksanya jika menolak. Ketentuan hukum ini, apabila dana pemerintah melalui zakat, dan bait al Maal (dana kesejahteraan) tidak mencukupi. (al Muhalla Jld. 6 hlm. 156).

Ahmad Syakir - sebagai pengamat fikih Ibn Hazm - mengomentari pendapat tersebut: Ini adalah pendapat yang sangat brilian dalam nalar fikihnya, sebab melalui keyakinannya, Ibn Hazm telah mencoba membumikan pandangan yang menyatakan bahwa syari’at Islam puncak kebersamaan dan keadilan. (ibid Jld. 6 hlm. 156) Kewajiban berbagi yang ditekankan oleh Ibn Hazm, tidak lain merupakan makna kebersamaan yang pada akhirnya membawa pada keharmonisan hubungan horizontal antara sesama manusia.

Sedangkan fikih Ibn Hazm yang kompeten terhadap lingkungan hidup, kita dapat menyimak perhatiannya dalam meminimalisir kerusakan alam, terutama berkaitan dengan polusi udara. Ibn hazm berpendapat bahwa mengekspor asap (berasal dari dapur dsb) secara berlebihan dan menimbulkan keresahan masyarakat sekitar hukumnya haram (al Muhalla Jld. 8 hlm. 241). Memang kasus yang diungkapkan oleh Ibn Hazm ini lebih mengarah pada interaksi sosial, akan tetapi kalau kita tinjau dari aspek lingkungan, fikih yang ditawarkan olehnya juga sarat dengan pesan “ramah lingkungan”. Bagaimanapun, masyarakat akan resah dengan polusi udara, dan pelarangannya ini menjadi indikasi perhatian Ibn Hazm terhadap kondisi lingkungan hidup.

Kesimpulan:

Dengan contoh fikih kemaslahatan, Ibn Hazm ternyata berbicara dalam konteks fikih dengan kacamata kemaslahatan, melampaui batas-batas dzahir (sisi lahir) teks al Qur’an dan as Sunnah yang menjadi trademark pemikirannya. Dari sini kita pun bisa melihat adanya kontradiksi antara statemen eksplisit dalam pembatasan dalil hanya pada dzahir (sisi lahir) teks al Qur’an dan as Sunnah dengan realita yang terjadi dalam fatwa dan ijtihadnya. Sebab dalam beberapa kasus, ternyata beliau pun melandaskan fatwa dan ijtihadnya bukan hanya pada sisi lahir teks syari’at saja

Pada fikih rasional, apresiasi Ibn Hazm terhadap peran akal dalam istinbath al Ahkam (mengambil keputusan hukum), membawa kita pada kesimpulan, bahwa dia juga termasuk tokoh yang mencoba me-rasionalkan syari’at Islam, walaupun usahanya ini tidak mendominasi dalam ensiklopedi pemikirannya. Setidaknya Indikasi ke arah itu terlihat pada pendapatnya yang menafikan perseteruan antara akal dan syari’at. Sedangkan tinjauan fikih ekologi yang mencakup lingkungan masyarakat dan lingkungan hidup, membawa kesimpulan bahwa orientasi fikih Ibn Hazm bukan hanya pada dimensi hubungan vertikal, akan tetapi juga mencakup hubungan horizontal.

Paling tidak, pengkajian terhadap fikih Ibn Hazm dari sudut yang jarang dilirik oleh para penulis kontemporer, akan memperkaya khazanah pengetahuan kita terhadap pemikiran pakar fikih asal Andalusia ini. Bagaimanapun, Ibn Hazm adalah tokoh yang memilki kapabilitas keilmuan yang tidak diragukan, sosok Ibn Hazm yang selama ini lebih dikenal sebagai garda depan kaum tekstual, ternyata memiliki sisi paradoksal yang penting dicatat dalam lembaran sejarah pemikiran. Wallahu A’lam


* Tulisan ini dipublikasikan di situs resmi BKPPI www.jurnalislam.net/id

Saturday, October 6, 2007

Antara usaha, do'a dan pasrah

Oleh: Arwani Syaerozi

"Berdo’a tanpa usaha bagaikan pengemis, berusaha tanpa do’a bagaikan komunis",
adagium ini sangat merakyat, di sisi lain kita pun mendengar seruan bernada pasrah dalam menjalani kehidupan "Hidup matiku ada di tangan Tuhan", saya yakin kebanyakan dari kita pernah mendengar ungkapan tersebut. Lantas apa pesan dari kalimat-kalimat sederhana yang sarat dengan makna ini? Sehingga gaungnya benar-benar merambah ke segenap penjuru dunia.

Entah sadar atau tidak, ternyata hari-hari kita selalu diliputi dengan beragam keinginan dan angan-angan, timbul silih berganti tidak pernah hilang, semakin hari semakin bertambah, karena inilah sebenarnya yang dinamakan dengan tabiat manusia. Potensi "tidak puas" adalah sifat dasar yang selalu melekat dalam diri kita. Munculnya keinginan erat berhubungan dengan adanya ketidak puasan, Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir" (Qs. al Maarij: 19). Kalau kenyataanya demikian, bagaimanakah Islam menyikapi sifat dasar yang melekat dalam diri setiap manusia ini?

Keinginan dan angan-angan di sini sifatnya universal, mencakup cita-cita dan harapan. Seorang pedagang berkeinginan sukses dalam berbisnis, stok dagangannya laku kemudian meraup keuntungan, komunitas pelajar berharap lulus saat ujian sehingga cita-citanya dapat tercapai, para pemikir berangan-angan mewujudkan tatanan sosial masyarakat yang damai sejahtera agar tercipta baldatun thayibah wa rabbun ghafur (gemah ripah loh jinawi). Ujung dari semuanya akan berhubungan dengan "kesuksesan" atau "kegagalan" (predikat berhasil atau gagal).

Pada deskripsi singkat tadi, apakah hanya dengan berusaha kita bisa meraih target yang diinginkan? Adakah unsur-unsur lain yang sekiranya penting diperhatikan dalam menyikapi derasnya angan, keinginan, harapan dan cita-cita? Sebab, bukankah kita sering mendengar kabar kegagalan seorang negarawan dalam menjalankan tugasnya, padahal dia telah mencurahkan segala kemampuan. Atau kita sering mendengar kabar buruk para pelajar dalam menghadapi ujian, padahal mereka telah belajar maksimal, bahkan kita juga sering mendengar cerita orang-orang yang frustasi dan berakhir dengan bunuh diri akibat depresi saat menghadapi kegagalan. Disinilah ajaran Islam datang memberikan solusi atas fenomena di atas, dalam Islam kita dikenalkan anjuran berdo’a dan berpasrah di samping kita dituntut untuk berusaha.

Makna berusaha:"
"Dan katakanlah; bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu" (Qs. at Taubah: 105), spirit berusaha dan berikhtiar terkandung dalam ayat ini. perintah untuk bekerja artinya perintah untuk berusaha keras dalam menggapai suatu tujuan baik duniwai maupun ukhrowi.

Berusaha adalah langkah pertama yang harus dijadikan pijakan seorang muslim dalam meraih sejuta impian dan harapan, tanpa unsur "usaha" jangan berharap orang akan bisa mewujudkan keinginannnya. Rasulullah Saw sebagai suri tauladan telah memberi contoh konkrit dalam hal ini, yaitu dengan terjun berbisnis sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dalam al Qur'an dijelaskan; "Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri" (Qs. ar Ra’d : 11) Artinya, Allah SWT tidak akan merubah keadaan kita selama kita tidak berusaha merubah sebab-sebab kemunduran. Kalaupun terjadi "kesuksesan" tanpa dilalui dengan proses usaha, maka hal itu termasuk dalam katagori anugerah khusus dari Allah, bagaimanapun jika Allah SWT berkehendak maka tidak ada sesuatu pun yang bisa menghalangi. "Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya; jadilah ! maka terjadilah" (Qs. Yasin : 82)

Makna berdo’a:
Dalam segala aktivitas, kita dianjurkan untuk berdo’a memohon pertolongan dan petunjuk dari Allah SWT. al Qur’an menjelaskan; "Dan apabila hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasannya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku" (Qs. al Baqarah: 186). Menjadi jelaslah bahwa Allah akan mendengar setiap permintaan para hamba-Nya, dan bahkan akan mengabulkan segala permintaanya.

Namun, apa yang dimaksud dengan pengabulan setiap do’a di sini? Apakah Allah akan menuruti setiap permintaan kita (sesuai bentuk, kualitas dan kuantitas) dari apa yang kita inginkan saat berdo’a, atau memiliki makna yang lebih luas?

Pakar tafsir Muhamad bin Ali as Syaukani (w: 1250 H) dalam bukunya fath al Qadir menjelaskan; pengabulan do’a bisa seketika, bisa juga ditunda, bisa sesuai dengan apa yang terlintas saat berdo’a, atau bentuk lain yang lebih bermanfaat bagi si pendo’a. Rasulullah Saw bersabda: "Tidak ada seorang muslim yang berdo’a memohon kepada Allah, yang do’anya tidak mengandung unsur dosa dan pemutusan hubungan persaudaraan, kecuali Allah akan mengabulkan dengan tiga kemungkinan; memberikan apa yang dinginkan, disimpan (pahalanya) hingga di alam akhirat, atau diselamatkan dari bahaya yang mengancam". (HR. Bukhori).

Makna berpasrah:
Di antara ayat al Qur’an yang menjelaskan tentang urgensi tawakkal (berpasrah) bagi pribadi muslim dalam menjalani kehidupan adalah firman Allah dalam surat at Talaq: "Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya, sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu" (Qs. at Talaq: 3)

Dikisahkan, sufi besar Ibrahim bin Adham bertemu dengan seorang pemuda yang tampak gelisah, beliau berkata: saya akan bertanya tentang tiga hal: 1- apakah ada sesuatu di alam ini terjadi tanpa kehendak dari Allah?, Pemuda menjawab: tidak ada. 2- apakah rizkimu bisa berkurang dari apa yang telah ditetapkan oleh Allah?, Pemuda menjawab: tidak, 3- apakah ajalmu bisa datang sebelum tanggal yang telah ditetapkan oleh Allah? Pemuda menjawab: tidak mungkin, kemudian Ibrahim bin Adham berkata: kalau begitu kamu harus mengkhawatirkan apa?

Namun, tawakal (berpasrah) harus diposisikan setelah proses usaha dan berdo’a, hal ini sebagai antisipasi agar kita tidak berburuk sangka terhadap Allah SWT (atas segala ketetapan-Nya). Maka dengan berpasrah saat menunggu hasil jerih payah dan usaha keras, kita diarahkan kepada dua hal positif, yaitu; bersyukur saat menemukan kesuksesan, dan bersabar saat menghadapi kegagalan. Di sinilah Rasulullah Saw bersabda: "saya kagum dengan keadaan orang Islam, semuanya istimewa; ketika sukses mereka bersyukur, dan ketika gagal mereka bersabar" (HR. Muslim).

Epilog:
Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa; dalam menjalani kehidupan di alam fana, kita dianjurkan berusaha keras untuk merealisasikan keinginan dan cita-cita, hal ini tentunya dibarengi dengan berdo’a memohon pertolongan dan petunjuk dari Allah SWT, kemudian apapun hasil dari usaha keras yang telah kita curahkan, semuanya kita kembalikan kepada Allah SWT. Saat usaha kita berhasil kita tidak lupa daratan, begitu juga saat usaha gagal, kita tidak dihinggapi rasa frustasi dan kekecewaan. Yang demikian inilah sebagai bentuk penyelarasan antara tiga hal yang ditekankan dalam ajaran Islam; yaitu berusaha, berdo’a dan berpasrah.


* Tulisan ini dipublikasikan di situs resmi BKPPI www.jurnalislam.net/id

Friday, September 14, 2007

Ijtihad Maqashidi: optimalisasi peran ushul fiqh

Oleh: Arwani Syaerozi

Dalam menghadapi satu konteks permasalahan yang membutuhkan status hukum, pertama-tama para fuqaha (yurispunden Islam) akan melacak secara langsung nash (teks) dalam al Qur`an maupun as Sunnah, yang keduanya merupakan rujukan utama bagi hukum Islam. Apabila mereka tidak menemukan penjelasan detail berkenaan dengan konteks yang sedang dihadapi, maka langkah berikutnya adalah mengembalikan pada dalil al Ijma (konsesus ulama dalam suatu hukum), kalapun dalam fase ini masih belum ditemukan status hukumnya, maka mereka akan beralih ke dalil al Qiyas (Analogi).

Proses analogi ini akan berusaha mencari persepadanan kasus yang telah ada hukumnya, untuk kemudian hukumnya diaplikasikan pada kasus yang sedang dihadapi. Biasanya yang menjadi titik perhatian dalam ber-analogi adalah mencari point persamaan dalam illat (sebab) yang merupakan substansi permasalahan. Proses berikutnya, ketika mereka tidak juga menemukan persepadanan, maka dengan mencari format hukum melalui beberapa proses yang disebut dengan al Istidlal atau al Adillah (prosegentatif), yang merupakan tahap akhir dalam berijtihad.

Sedangkan relasi kinerja seorang faqih (yurispunden Islam) dalam menerapkan hukum pada setiap konteks permasalahan dengan kajian Maqasid Syari`ah terletak pada apapun produk hukum yang ditelurkan, maqasid syari`ah adalah sebagai muara utamanya.

Definisi ijtihad dan maqasid syari`ah :

Dalam sub juduI ini penulis hanya mengingatkan definisi ijtihad dan maqasid syari`ah dari sisi terminologi, tanpa terlampau jauh pada pembahasan jtihad dan maqasid syari`ah menurut etimologi, apalagi membongkar satu persatu setiap kosa katanya.

Komunitas Ushuliyin (pakar ushul fiqh) bisa dikatakan sepakat dalam mendefinisikan Ijtihad, karena perbedaan yang selama ini muncul tidak substansial, akan tetapi lebih kepada perbedaan ungkapan. Makna ijtihad dalam terminologi adalah: mencurahkan segala kemampuan dalam rangka menemukan hukum syar`i. Tentunya proses ini dengan melalui prosedur dan memenuhi kriteria tertentu.

Adapun maqasid syari`ah sebagaimana yang didefinisikan oleh Abu Ishak as Syatibi (w: 790 H) adalah: sesuatu yang menjaga kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat. (al Muwafaqat: 2/5) Dari definisi global ini Ibn `Asyur (w: 1973) dalam bukunya Maqasid as Syari’ah al Islamiyah (Hlm. 165) mencoba me-redefinisi sbb: adalah makna dan hikmah-hikmah yang keberadaannya selalu diperhatikan oleh Allah dan Rasul-Nya pada setiap penciptaan hukum.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa ajaran agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam) disyari`atkan untuk umat manusia, dan hukum-hukumnya pun selalu berkisar pada satu titik yang dituju oleh pembuatnya yaitu Allah Swt dan rasul Nya. Riset Ibn. `Asyur terhadap beberapa dalil baik al Qur`an maupun as Sunnah mengharuskan kita percaya bahwa semua hukum-hukum Islam digantungkan pada hikmah ataupun Illat (sebab) yang semuanya kembali pada kemaslahatan komunitas umat manusia. (Ibid: 37).

Dalam literatur Islam, istilah Maqasid Syari`ah erat berhubungan dengan kajian fiqh dan ushulnya. Terutama dalam bahasan masaliku al illat (metode menemukan sebab) dalam bab al Qiyas (dalil analog) lebih spesifik lagi ketika membahas al munasabah (keselarasan antara hukum dengan tujuan), dimana istilah lain dari al Munasabah adalah Riayatu al Maqasid (memperhatikan tujuan). Sehingga Abu Ishak as Syatibi - bapak ilmu Maqasid - dalam karya monumentalnya "al Muafaqat fi Ushuli as Syari`at" telah menyediakan porsi tersendiri bagi kajian ini dengan menyusun sebuah bab bertitel "Maqasid as Syari`ah".

Sejarah term maqasid dan tokoh - tokoh penggagasnya :

Ada dua kubu yang berbeda pendapat mengenai kapan ide maqasid syari`ah pertama kali digulirkan, komunitas yang meyakini bahwa maqasid syari`ah hanyalah sebuah konsep dan bukan fan keilmuan, berpendapat bahwa konsep maqasid syari`ah telah ada semenjak zaman pewahyuan, indikasinya beberapa ayat yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw mengandung konsep ini, semisal ayat "Allah menginginkan terhadap kalian kemudahan dan tidak menginginkan kesusahan" (Qs. Al Baqarah: 185). Sedangkan pendapat kedua mengembalikan sejarah pengguliran ide maqasid syari`ah pada beberapa tokoh Islam klasik abad ketiga hijriyah, kelompok ini bahkan menganggap maqasid syari`ah sebagai fan keilmuan bukan hanya sekedar konsep belaka.

Berkaitan dengan pembukuan kajian maqasid syari’ah dalam sebuah bentuk karangan, kita dapat menelusurinya semenjak abad ke tujuh dan delapan hijriyah, dimana penulis kawakan semisal `Izzu Dien bin Abd. Salam (w: 660 H), Abu Ishak as Syatibi (w: 790 H), Najmu Dien at Thufi (w: 717 H), telah merumuskan ide maqasid syari’ah melalui tulisan – tulisannya, di antara mereka ada yang secara eksplisit menggunakan term “maqasid syari’ah” ada juga yang tidak menyebutkannya. Mereka inilah yang kemudian dianggap sebagai motor penggerak pemikiran Maqasid Syari`ah oleh generasi berikutnya.

Pasca periode in,i muncul semisal Muhammad Tahir bin `Asyur - guru besar masjid jami’ Ezzitouna Tunisia - yang kemudian oleh komunitas pemikir Islam kontemporer dianggap sebagai as Syatibi kecil. Kemudian Alal al Fasi, syaikh sekaligus pemikir asal Maroko akhir abad ke-20 yang mencoba merumuskan ide maqasid melalui bukunya "Maqasid syari’ah wa makarimuha".

Sepeninggal mereka, dewasa ini kita banyak mengenal pakar ushul fiqh yang mencoba menspesifikkan kajiannya terhadap Maqasid Syari`ah, seperti Prof. Dr. Nuruddin al Khadimi (direktur pasca sarjana universitas Ezzitouna Tunisia) yang telah menelurkan buku-buku seputar maqasid, Dr. Muhammad Said Ramadhan al Buthi tokoh asal Syria yang telah menulis “Dowabitu al maslahah”, Ahmad ar Raysuni pemikir Maroko yang mengkritisi konsep maqasid syari’ah imam as Syatibi, dan Jamaluddin ‘Athiyah doktor asal Mesir yang mencoba menimbang urgensi maqasid dalam wacana dunia modern melalui bukunya “Nahwa taf’il maqasid syari’ah”.

Wacana maqasid syari`ah di Indonesia:

Kalangan fuqaha (yursipunden Islam) yang berhaluan tekstual, kerap mengingkari terhadap Maqasid Syari`ah. Padahal Ibn Hazm ad Dzahiri (w: 456 H) yang disinyalir oleh berbagai kalangan sebagai pelopor antipati terhadap istilah kemaslahatan (termasuk penggunaan dalil analogi) secara sadar maupun tidak telah banyak melandaskan fatwa dan argumen fiqihnya pada pertimbangan darurat dan kemaslahatan.

Pandangan seperti inilah, yang akhir-akhir ini diteriakkan oleh sebagian ulama Indonesia (Munas ulama di Pasuruan Jawa Timur 2005) yang menyatakan keberatan dan menolak penggunaan istilah maqasid syari`ah dalam memecahkan masalah-masalah keagamaan. Hal ini penulis anggap wajar, sebab yang selama ini gencar mempromosikan pemikiran maqasid syari’ah di Indonesia adalah kalangan liberal (Islamlib) yang oleh mayoritas ulama kita kurang setuju dengan keberadaannya.

Bahkan penulis melihat ada gejala kebablasan dan kesan arogansi dari kalangan yang selama ini menyerukan pendekatan maqasid syari`ah dalam konteks fiqh di Indonesia, dalam hal ini ketua komisi hukum dan fatwa MUI kab. Malang H. Luthfi Bashori menganggap Islamlib telah menciptakan pemahaman; bahwa inti dari syari’at bukanlah penerapan makna yang terkandung dalam teks, namun bagaimana mewujudkan tujuannya yang terrepresentasikan dalam al Kulliyat al Khams (lima tujuan pokok).

Keberatan atas penerapan proses Ijtihad Maqasid di Indonesia sebenarnya terletak pada kekhawatiran akan melepas begitu saja teks-teks syari`at dengan diganti oleh argumen kemaslahatan dan kepentingan umum. Ternyata fenomena semacam ini sebenarnya bukan hanya terjadi di negara kita, akan tetapi terjadi juga di beberapa negara muslim lainnya.

Pakar Ushul fiqh dan maqasid dari universitas Ezzitouna Tunisia Prof. Dr. Nuruddin al Khadimi – dalam menyikapi kekhawatiran tersebut – berpendapat; "Tidak sepatutnya penerapan terhadap metode Ijtihad maqasid di pahami sebagai ajakan – baik secara langsung maupun terselubung – untuk meninggalkan teks-teks syari`at, konsesus ulama, dan dalil-dalil yang qath`i, atau bahkan mengurangi keutamaan dan kesuciannya, namun seharusnya hal ini dipahami bahwa konsep ijtihad maqasid adalah sebagai upaya memurnikan syari`at dan proses mengembalikan segala sesuatu kepada Allah dan RasulNya” (al Maqasid as Syar’iyah: ta’rifuha wa hujjiyatuha: 17).

Ironisnya, sebagian ulama kita telah terjebak pada pengidentikan istilah maqasid syari`ah dengan proyek pemikiran Islam liberal, padahal sejatinya antara konsep maqasid syari’ah dan pemikiran Islam liberal adalah dua hal yang berbeda.

Maqasid syari’ah hanya terbatas pada lima point?:

Lima point berupa hifdz ad Dien (menjaga agama), hifdz an Nafs (menjaga nyawa), hifdz al `Aql (menjaga akal pikiran), hifdz an Nasl (menjaga keturunan), dan hifdz al Mal (menjaga harta kekayaan), sebagian ulama menambahkan point ke enam berupa hifdz al ‘Ard (menjaga kehormatan) adalah ikon utama dalam pembahasan seputar Maqasid syari’ah,

Sebenarnya, ada tiga sisi dalam mengupas klasifikasi maqasid syari`ah: Pertama, dari sisi tempat timbulnya, maqasid akan terbagi ke dalam dua katagori;1-maqasid pembuat syari’at (Allah dan Rasulnya), 2-Maqasid al Mukallaf (Manusia). Pembagian ini tercermin dengan keberadaan tujuan pembuat syari`at mencakup seluruh kemaslahatan bagi umat manusia, dan tercermin pula dengan penyelarasan antara tujuan manusia mukallaf dengan dengan tujuan pembuat syari’at (Allah dan rasulnya).

Kedua, klasifikasi dari sisi universalitas, terbagi menjadi dua katagori; maqasid kulliyah dan juz’iyah, maqasid kulliyah adalah tujuan syari`ah universal yang secara tangkas dapat difahami oleh akal kita, ini terangkum dalam lima atau enam point di atas. Sedangkan yang dimaksud dengan maqasid juz’iyyah adalah tujuan - tujuan yang bersifat spesifik pada satu hukum, dan biasa diungkapkan oleh fuqaha (yurispunden Islam) dengan istilah hikmah, rahasia, atau sebab.

Ketiga, pembagian dari sisi orisinalitas, terbagi ke dalam dua katagori yaitu; ashliyah (outentik) dan taba`iyah (pelengkap). Maqasid ashliyah adalah tujuan utama yang sengaja direncanakan oleh pembuat syari`at (Allah Swt dan rasul-Nya), seperti “terciptanya regenerasi umat manusia” adalah tujuan utama dari disyri`atkannya pernikahan. Maka terpenuhinya kebutuhan biologis bagi pasangan suami istri adalah merupakan maqsaid taba`iyah (tujuan pelengkap) sebagai penyempurna dari tujuan utama.


Ijtihad maqasid sebagai alternatif :

Bukan berarti dengan memperhatikan maqasid kita harus meninggalkan teks - teks keagamaan baik al Qur`an maupun as Sunnah, justru pada praktek yang sebenarnya kita akan menuju pada penguatan atas teks - teks itu sendiri. (ibid: 17) Ibarat seorang muslim yang telah mengetahui keesaan Allah melalui teks agama, kemudian merangkai sebuah argumen logika untuk tujuan yang sama, maka yang terjadi adalah penguatan dalil naqli (teks) dengan dalil aqli (logika) yang sengaja dirangkai.

Kenyataan bahwa kemajuan ilmu dan teknologi akan terus memberikan inovasi yang terkadang sama sekali belum terjamah oleh akal pikiran generasi sebelumnya, mengharuskan kita berbicara seputar bagaimana cara menarik kesimpulan hukum untuk menjawab setiap pelik persoalan yang timbul agar keberadaan fiqh Islam tetap eksis di sepanjang masa. Untuk itulah proses Istinbatu al ahkam (mengambil keputusan hukum) harus memenuhi dua hal; pertama, pengetahuan seputar lisan Arab (ilmu alat) dan kedua; pengetahuan seputar rahasia dan tujuan syari’at, pada tahapan ini Abu Ishak as Syatibi mensyaratkan kriteria seorang mujatihd harus bisa memahami maqasid syari’ah. (al Muwafaqat: 4/109) Dengan mengacu pada maqasid syari’ah akan dapat mencerahkan pemikiran para fuqaha dalam mengetahui hukum, sekaligus membantu dalam memahami dan menafsiri teks – teks syari’ah saat diterapkan pada konteks tertentu.

Dalam ijtihad maqasid juga tidak harus tertumpu pada referensi turats (naskah peninggalan) yang merupakan produk pemikiran ulama klasik, namun langsung pada sumber utamanya yaitu al Qur`an dan as Sunnah dengan mepertimbangkan konteks dan kondisi sosial masyarakat. Dari sinilah dua tokoh asal Tunisa syaikh Ibn. `Asyur dan asal Maroko syaikh `Alal al fasi menekankan pentingnya membuka kembali wacana Ijtihad sekaligus menegaskan kunci dari Ijtihad tidak lain dengan metode penekanan pada maqasid Syari`ah, sebab : "sandaran syari`at adalah makna dan sifat bukan nama dan bentuk".

Penekanan pada sisi maqasid syari`ah dalam berijtihad memecahkan berbagai persoalan kontemporer akan membawa pada relevansi syari`at Islam bersama putaran waktu, meminjam ungkapan tokoh asal Tunisia Prof. Dr. Nuruddin al Khadimi “akan menjadikan syari’at Islam lentur, sejalan dengan kemaslahatan umat di sepanjang masa”. (al Ijtihad al Maqasidi: 1/14)

Maka tuduhan miring seputar kejumudan fiqh Islam dalam berinteraksi dengan zaman yang selama ini dihembuskan oleh kalangan yang tidak bertanggung jawab dengan sendirinya dapat terjawab. "Dia sekali–kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan " (Qs. Al Hajj: 78) di sisi lain Rasulullah Saw bersabda ; "Aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka, kalian semua tidak akan tersesat selama berpegangan kepada keduanya, yaitu al Qur`an dan sunnah Rasul Nya" (HR. al Baihaqi)

* Tulisan ini dipublikasikan di situs www.hadhramaut.info/indo

Saturday, August 4, 2007

Maqasid syari’ah dalam takaran zaman

Oleh: Arwani Syaerozi

Ada satu kaidah substansial dalam Islam, yaitu : “ al Islam sahalih likulli zaman wa makan “ (Islam selalu sesuai dengan ruang dan waktu), kaidah ini sebenarnya terinspirasi dari firman Allah Swt; “ Sesungguhnynya kami-lah yang menurunkan al Qur’an, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya” (Qs. al Hijr: 9), dan sabda Rasul Saw: “ Islam itu unggul dan tidak terungguli ” (HR. al Baihaqi: 205). Dalam ranah sejarah, usia peradaban Islam telah mendekati hitungan millennium kedua, tepatnya 15 abad yang silam misi Islam pertama kali didakwahkan Rasulullah Saw di semenanjung kepulauan Arab, kini Islam telah tersebar di segala penjuru, sepanjang itu pula Islam – melalui interpretasi penganutnya - telah berinteraksi dengan ruang dan waktu. Maka, klaim universalitas Islam di atas sejatinya akan selalu mendapat tantangan di setiap zaman. Pertanyaan terhadap klaim tersebut adalah: apanya yang selalu sesuai dengan setiap ruang dan waktu? Sementara tidak diragukan saat kita menyinggung kata “ Islam “ yang pertama kali terbersit adalah lingkup syari’at, yang merupakan sharing dari akidah, dan syari’at sendiri lebih kental dengan hukum-hukum fiqh, dengan demikian apakah lingkup fiqh inilah yang dimaksud dengan eksisnya Islam sepanjang masa?

Melihat gelegat sebagian komunitas Fuqaha (yurispunden Islam) akhir-akhir ini terjebak dalam perdebatan masalah khilafiyah yang tidak substansial, semisal pro-kontra peringatan Maulid nabi dan masalah bid’ah, pakar maqasid syari’ah dari universitas Ezzitouna Tunisia Prof. Dr. Nuruddin al Khadimi mengingatkan; “ Paradigma fiqh Islam dewasa ini semestinya lebih dititik beratkan pada upaya penghayatan maqasid syari’ah, bukan hanya sebatas pemahaman teks dan pengaplikasiannya pada kasus tertentu “ (al ijtihad al maqasidi, jld: 2 hal: 35). Statemen ini penulis anggap penting dalam kaitannya dengan tulisan kali ini, karena setiap pelik persoalan agama yang timbul ditengah komunitas masyarakat muslim, jawaban hukum yang diharapkan adalah solusi hakiki bukan hanya sekedar retorika ulama yang kerap menyisakan pertanyaan kritis.

Kerangka maqasid dalam ijtihad kontemporer :

Pakar ushul fiqh dan maqasid abad ke 7 hijriyah Izzuddin bin Abd. Salam (w: 660 H / 1262 M) berargumen bahwa: “ kemashlahatan umat manusia – menurut pandangan Islam - tidak dalam satu tingkatan, ada yang layak diprioritaskan pencapaiannya, begitu juga dengan kemafsadatan, ada yang layak diprioritaskan pencegahannya “. (Qawaidu al ahkam, jld: 1 hal: 43). Hal ini mengharuskan para mujtahid (pakar ijtihad) dan mufti (pakar fatwa) lebih jeli dalam berijtihad untuk menemukan status hukum dan memfatwakannya, agar hukum fiqh selalu dirasakan “nyaman” oleh masyarakat, meminjam istilah Ibn al Qoyyim (w: 752 H / 1350 M) “ essensi syari’at adalah kemaslahatan dan kasih sayang ”. Untuk menimbang level kemashlatan dan kemafsadatan ini mereka memerlukan dua perangkat inti:

Pertama, pengetahuan seputar teori ijithad dan Ifta, ini mencakup skill tentang maqasid syari’ah, sebagaimana yang ditegaskan oleh as Syatibi (w: 790 H / 1388 M) dalam bukunya al Muwafaqat. Di sisi lain Ibn. al Qoyyim (w: 751 H / 1350 M) menguatkan: “ Pakar fiqh adalah mereka yang memahami maqasid dan titik akhir suatu tindakan “. (I’lam al Muwaqqi’in, jld: 3, hal: 5). Berkaitan dengan skill maqasid, kajian seputar “ al Munasabah “ (penyelarasan antara hukum dan sebab) juga dianggap urgen oleh al Ghazali (w: 505 H / 1112 M) yang secara singkat memaknainya dengan perhatian terhadap kemaslahatan. Bagaimana pun sub judul Ijtihad dan Ifta dalam pembahasan ushul fiqh tetap sebagai bekal rujukan bagi yurispunden Islam dewasa ini, namun pembacaan terhadap dua sub tema di atas, jangan sampai dikebiri hanya sebatas menghafal syarat dan rukun tanpa dibarengi dengan tela’ah kritis, yang pada akhirnya akan menjadikan mereka terjebak dalam kesempitan bernalar.

Kedua, pemahaman realita, dengan hanya mengandalkan teori, kecil kemungkinan yurispunden Islam bisa menarik kesimpulan hukum yang tepat dalam konteks yang dihadapi. Imam Syafi’I (w: 204 H / 820 M) pernah mengklarifikasi al qaul al qadim (pendapat lamanya) dengan memfatwakan al qaul al jadid (pendapat-pendapat baru), hal ini tidak terlepas dari kejeliannya dalam membaca realita di tengah masyarakat. Secara eksplisit dalam bukunya al Risalah beliau menegaskan: “ pakar fiqh yang tidak mengikuti perkembangan dunia finansial tidak boleh memfatwakan hukum yang berkaitan dengan masalah ini ”. dari eratnya keterkaitan “realita” ini pada akhirnya komunitas fuqaha merumuskan kaidah “ Taghayuru al ahkam bi taghayuri al azman wa al amkinah wa al a’raf ” (berubahnya hukum sesuai dengan waktu, tempat dan adat).

Pada tataran praktisnya, langkah at Tashawwur qabla at Tashdik (memahami deskripsi sebelum memutuskan desisi) juga penting diperhatikan, hal ini agar keputusan hukum benar-benar mengena pada titik persoalan. Sebagai contoh, kasus cloning (Manusia, hewan, dan tumbuhan) yang hingga saat ini masih hangat, apalagi setelah tim riset dokter Iran berhasil membuat eksperimen pada seekor kambing (September 2006). Memahami hakikat cloning, motivasi para penemu dan pengeksperimen, efek negative-positif yang timbul di masyarakat, adalah di antara unsur yang harus difahami terlebih dahulu sebelum memutuskan hukumnya. Untuk katagori cloning manusia, Dr. Nuruddin al Khadimi dalam bukunya “Cloning perspektif maqasid syari’ah” (2001), menegaskan hukum haramnya, keputusan ini sebagaimana yang dikeluarkan oleh fatwa MUI.

Selain dilandaskan pada argumen teks al Qur’an dan as Sunnah, yang mana cloning manusia secara kasat mata bertentangan dengan ayat yang menjelaskan tentang proses reproduksi yang sah, di antaranya surat an Najm: 45-46, dan sabda Rasul Saw : “ Nikahilah wanita yang penuh kasih sayang dan dapat memberikan keturunan ” (HR. Ahmad: 13594), konklusi hukum ini juga ditakar dengan Maqasid syari’ah, bagaimanapun proses cloning akan merenggut fungsi seorang bapak, Ibu, dan anak dalam struktur keluarga. Sedangkan Maqasid syari’ah konsen terhadap tiga unsur dalam keluarga ini, tercermin dengan tujuan pernikahan adalah untuk membangun bahtera rumah tangga yang sakinah, terwujudnya link kekerabatan, terciptanya regenerasi umat manusia, di samping terpenuhinya kebutuhan biologis.

Maqasid syari’ah dan pencerahan pemikiran:

Mengutip pertanyaan yang diungkapkan oleh Jamaluddin Athiyah dalam bukunya “ Nahwa Taf’il al Maqasid “ (2003), Akankah kajian Maqasid Syari’ah menjadi cabang keilmuan yang independen?, sebagai penengah, atau hanya sekedar pengembangan tematik dari ilmu ushul fiqh?. Sebenarnya pertanyaan teoritis semacam ini penulis anggap tidak terlalu substansial, sebab tiga opsi yang diajukan oleh Doktor asal Mesir tersebut lebih bersifat dikotomi ilmu pengetahuan, apapun masa depan kajian maqasid syari’ah, implementasi utamanya adalah pencerahan pemikiran bagi komunitas ulama yang konsen terhadap problematika umat melalui kerangka ijtihad fiqh.

Apabila kajian literatur Islam klasik (baik lingkup akidah maupun syari’ah) masih minim dari pengaruh pendekatan maqasid, maka kajian keilmuan Islam kontemporer justru terpanggil untuk mengambil faedah dari kajian maqasid syari’ah, hal ini terbukti dengan banyaknya tulisan, kajian, dan pengamatan yang menggunakan pendekatan maqasid. Misalnya buku “ Kerukunan beragama dalam tinjauan maqasid syari’ah”, “ cloning perspektif maqasid syari’ah “, “ Internet perspektif maqasid syari’ah “ ketiga-tiganya ditulis oleh Dr. Nuruddin al Khadimi. “ maqasid syari’ah dan problematika umat Islam kontemporer “ oleh Muhammad Yahya, “ maqasid syari’ah dan masalah Biologi “ oleh Hasan Misdaq, “ maqasid syari’ah dan interaksi sosial “ oleh Izzuddin bin Zaghibah.

Di sinilah letak ide “al Aqliyah al Maqasidiyah” (pemikiran maqasid) yang pernah ditawarkan oleh Jamaluddin Athiyah bisa penulis katakan sebagai langkah riil yang harus dikembangkan oleh komunitas yurispunden Islam. Sebab manfaat kajian maqasid syari’ah tidak hanya terbatas pada bidang ijtihad fiqh, akan tetapi dirasakan juga pada bidang-bidang lain, seperti lingkup pemikiran kontemporer, baik individu maupun masyarakat.

Senada dengan tawaran di atas, intelektual asal Maroko Ahmad Raisuni dalam bukunya “ al Fikr al Maqasidi “ (1999) menegaskan: “ setiap orang yang mendalami pengetahuan maqasid syari’ah, akan bisa merasakan manfaatnya sesuai dengan kadar pengetahuan yang dicapai, tidak hanya terbatas pada komunitas pakar fiqh dan para mujtahid saja, dengan demikian kajian maqasid syari’ah dengan perangkat dasar, teori, pembagian dan segala unsurnya akan mampu membentuk corak berfikir dan bernalar tersendiri “.

Dari uraian di atas, maka penetapan hukum haramnya menggunakan dasi, sepatu dan celana panjang pada masa penjajahan yang pernah difatwakan oleh ulama Indonesia, dengan fakta paradoksal banyaknya ulama dan muslim berdasi, bersepatu dan bercelana dewasa ini, tidak bisa dijadikan senjata untuk mengatakan Islam tidak bisa eksis mengikuti ruang dan waktu, sebab kasus tadi bersifat kondisional bukan prinsipil. Untuk itulah pertanyaan kritis atas universalitas Islam dalam prolog tulisan ini telah membawa kita pada suatu kesimpulan bahwa: pada akhirnya yang bersifat selalu sesuai dengan ruang dan waktu, pastilah sesuatu yang bersifat prinsip-prinsip dasar atau moral values, yakni nilai-nilai moral yang universal (Maqasid Syari’ah) bukan pemecahan dan jalan keluar Islam yang faktual dan ad hoc pada suatu zaman tertentu. Wallahu A’lam.


* Tulisan ini dipublikasikan di majalah Laduni Cirebon edisi ketiga

Wednesday, July 18, 2007

Reuni alumni al Ahgaff, maksimalkah?

Oleh: Arwani Syaerozi

Sudah menjadi rahasia umum bahwa rakyat Indonesia yang berminat mendalami kajian kesilaman tersebar di beberapa Negara Arab dan non Arab, disamping mereka yang belajar di tanah air. Hampir di seluruh negara Arab terdapat komunitas Pelajar Indonesia, dari ujung kulon Arab (Maroko) hingga ujung timurnya (Yaman), di Negara-negara sekitar jazirah Arabiyah seperti Pakistan, India, Iran, Turki, bahkan hingga ke beberapa negara di benua Eropa, Australia dan Amerika. Komunitas-komunitas pelajar ini akan kembali ke tanah air dengan membawa misi, karakter serta pola pikir berbeda-beda sesuai dengan orientasi almamater dan pengaruh kultur serta lingkungan sosial politik negara tempat studi. Peta regional pelajar Indonesia di atas bisa kita kerucutkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu pelajar yang berkonsentrasi di negara Islam (timur tengah dan sekitarnya) dan mereka yang mengaji Islam dari para kyai-kyai (baca: orientalis) di benua Amerika, Eropa dan Australia.

Beberapa hari yang lalu (9/7/07) sebagaimana yang diberitakan dalam website www.hadhramaut.info/indo (11/7/07), para alumnus universitas al Ahgaff Hadramaut Yaman (yang telah menetap di tanah air) mengadakan pertemuan yang ke tiga kali-nya di kota Gresik Jawa Timur, selain agenda regenerasi kepengurusan dan penyusunan program kerja, pertemuan ini ternyata memiliki makna strategis, khususnya dalam kerangka membangun kepedulian terhadap problematika umat dewasa ini. Dan pertemuan ini saya anggap sangat tepat dengan melihat tiga faktor berikut:

Pertama, kuantitas anggota, jumlah alumnus yang sekarang menetap di Indonesia telah mencapai angka lebih dari hitungan jari tangan dan kaki, tersebar di beberapa propinsi dan kota, angka ini akan terus bertambah seiring dengan proses kelulusan pelajar Indonesia di al Ahgaff tiap tahunnya. Dengan terbentuknya forum komunikasi dan dihidupkannya pertemuan semacam ini, konsolidasi dakwah dan kerjasama antar sesama alumni akan lebih terarah. Walaupun jika dibanding dengan komunitas lain, seperti alumnus al Azhar Mesir, komunitas al Ahgaff masih tergolong kecil, namun rintisan awal ini akan menjadi berarti dikemudian hari, meminjam adagium yang telah merakyat "menempuh jarak ribuan kilo dimulai dari ayunan langkah kaki pertama".

Kedua, kontinuitas pengiriman mahasiswa, informasi yang diekspos dalam situs www.hadhramaut.info seputar penyeleksian mahasiswa baru ke al Ahgaff untuk tahun ajaran 2007-2008 (5/6/07), membawa kita pada kesimpulan bahwa ternyata animo masyarakat kita masih tinggi untuk melanjutkan studi ke al Ahgaff, di tengah ketatnya persaingan tawaran lembaga pendidikan Islam lintas negara dewasa ini. Kenyataan ini menuntut adanya take and give antara al Ahgaff sebagai almamater dan para alumnusnya yang telah berada di Indonesia (bahkan alumnus non Indonesia), minimal al Ahgaff mensupport dan mensponsori setiap kegiatan para alumnusnya yang telah tergabung dalam wadah organisasi, dan komunitas alumnus memberikan input kepada almamater seputar kecenderungan masyarakat Indonesia dalam memilih lembaga pendidikan. Sehingga al Ahgaff tetap eksis sebagai lembaga pendidikan Islam independen yang mampu bersaing ditengah gencarnya kapitalisasi dunia pendidikan.

Ketiga, realitas konflik internal umat Islam, maraknya aliran Islam yang mengusung faham ekstrim (baca: kiri dan kanan) di tanah air, menuntut alumnus Ahgaff untuk berusaha menetralisir kedua arus tersebut pada level grass root (masyarakat bawah), sebab dikotonomi Islam liberal dan fundamental yang keduanya berkonotasi buruk sejatinya adalah keberagaman dalam memaknai Islam, yang jika dipertemukan dan diambil benang merahnya akan memperkaya khazanah literatur Islam, bahkan mampu mewarnai kekuatan Islam di era millennium kedua. Pada tahapan ini saya lebih senang menyebut ragam perjuangan muslim Indonesia dengan istilah "Islam gerakan" dan "Islam pemikiran" sehingga tidak menimbulkan makna negatif.

Terlepas dari tiga faktor yang menjadikan temu alumni al Ahgaff memiliki makna startegis bukan hanya sekedar reuni tanpa arti, beberapa diskurus yang diangkat dalam even tersebut juga sarat dengan kepedulian terhadap sesama muslim "Orang yang tidak peduli terhadap komunitas muslim, tidak termasuk dari mereka" (HR. al Baihaqi: 10586). Pesan khusus via telpon seluler yang disampaikan oleh Prof. Habib Abdullah Baharun (Rektor universitas al Ahgaff) kepada para alumnus yang menekankan pentingnya perhatian terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, sebagai sinyal bahwa peran alumnus al Ahgaff di tengah masyarakat tidak dibatasi hanya pada lingkup keagamaan saja, akan tetapi mencakup segala lini kehidupan yang diperlukan oleh masyarakat, tentunya kiprah ini harus dilandasi dengan semangat dakwah Islamiyah demi menegakkan syiar Islam di muka bumi.

Dari sini, kita patut menoleh sejenak rekaman sejarah para penyebar Islam keturunan Hadramaut di bumi nusantara pada abad ke 14 Masehi, sejauh mana keterlibatan mereka dalam interaksi sosial dengan masyarakat lokal yang – saat itu – mayoritas memeluk agama Budha dan Hindu. Bukankah sunan Gunung jati juga sebagai diplomat ulung dan negarawan bijak yang lihai berdiplomasi dengan kalangan birokrat dan mengayomi masyarakat? bukankah sunan Bonang juga seorang sastrawan produktif sebagaimana sunan Kalijaga dengan kreasi wayang kulit bernafaskan Islamnya? Bukankah sunan Kudus adalah panglima militer yang ahli dalam startegi perang? Dan bukankah sunan Drajat adalah wali yang terkenal dengan jiwa sosialisnya, sehingga mendahulukan pembenahan kesejahteraan masyarakat sebelum membuka kajian keagamaan? Kalau realitas sejarah mencatat demikian, mengapa bentuk kepedulian kita terhadap kondisi masyarakat hanya terbatas pada lini keagamaan saja?, bahkan ironisnya menganggap remeh dan tabu terjun di lini kehidupan lainnya. "Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlainan". (Qs. Yusuf: 67) demikian pesan Nabi Ya’kub As kepada para puteranya. Wallahu A'lam


* Tulisan ini dipublikasikan di situs www.hadhramaut.info/indo

Monday, July 16, 2007

Ezzitouna: menara peradaban Islam

Oleh: Arwani Syaerozi

Senin 12 Maret yang lalu saya resmi meraih gelar Master dari universitas Ezzitouna Tunisia, setelah saya berhasil mempertahankan tesis yang saya susun selama kurang lebih satu tahun. Judul tesisnya “al Maqasid as Syar’iyah Inda Ibn Hazm ad Dzahiri” (Konsep Maqasid Syari’ah menurut Ibn Hazm Ad Dzahiri). Sebuah tema yang menurut Prof. Dr. Nuruddin al Khadimi - pakar Maqasid dan direktur pasca sarjana universitas Ezzitouna - sangat menantang dan membutuhkan keseriusan dalam mengggarapnya. Dan sekarang saya bisa menarik nafas lebih panjang, sebab momen sidang telah berlalu, predikat lulus dengan nilai memuaskan yang saya raih diantara indikasi keseriusan dalam menggarap tesis tersebut.

Di sela-sela kesibukan dalam mengurus registrasi program S3, Mohammad Jamaluddin – saudara sekaligus teman diskuksi – melalui emailnya meminta saya untuk menjadi kontributor sekaligus koresponden pada majalah bernama “Laduni”. Majalah yang mengusung misi “pembumian nilai-nilai pesantren” dan konon merupakan kelanjutan dari majalah “Maktab” yang pada akhir abad ke 20 sangat popular di komunitas “kaum sarungan” se-wilayah III Cirebon.

“Pucuk dipinta ulam pun tiba“ ungkapan ini tepat bagi posisi saya saat ini, lebih dari hitungan 24 bulan saya tinggal di Tunisia untuk kepentingan belajar, dalam rentang waktu itu pula saya sempat berfikir untuk ikut nimbrung dan berpartisipasi dengan saudara-saudara yang sedang mengabdi kepada masyarakat melalui dunia pendidikan. Maka, melalui edisi perdana majalah Laduni saya mencoba untuk berbagi cerita tentang studi di Tunisia, format tulisan ini pun sengaja saya desain santai, agar kesan yang ditangkap oleh sidang pembaca lebih bersifat “sharing of experience”.

Mengenal sejarah Tunisia :

Secara garis besar, sejarah Tunisia dapat ditelusuri semenjak eksisnya dinasti Carthage yang didirikan oleh Ratu Elissa (Didon) beberapa abad sebelum Masehi. Kemudian pasca runtuhnya dinasti Carthage pada abad ke 2 SM, kekuasaan asing di Tunisia saling silih berganti, dari kekuasaan bangsa Romawi jatuh ketangan orang-orang Bizantium, kemudian jatuh ke genggaman bangsa Arab, bangsa Turki dan terakhir penjajah Perancis. Dengan demikian kehidupan rakyat Tunisia saat ini sangat kental dengan komplikasi warna budaya Berber, Arab, Turki dan Eropa.

Bangsa Arab dan agama Islam sendiri mulai memasuki Tunisia pada akhir abad ke 7 Masehi, saat itu seorang sahabat Rasulullah SAW bernama Uqbah bin Nafi` dengan pasukannya berhasil menaklukkan kota Kairouan – sekitar 156 km selatan ibu kota Tunisia - yang kemudian dijadikan sebagai pusat penyebaran Islam di wilayah Afrika utara. Penyebaran Islam generasi berikutnya dipimpin oleh Hassan bin an Nu`man dan Musa bin Nashr, Islam cepat berkembang di kalangan masyarakat Berber (penduduk asli Tunisia). Dari rintisan mereka berdua, Islam menjadi jaya di wilayah Afrika Utara, bahkan pada tahun 711 M komunitas muslim telah tersebar di daratan Eropa dengan berhasil menaklukkan Andalusia (Spanyol dan sekitarnya).

Pasca runtuhnya dinasti Umayah di Damaskus pada tahun 748 M, Tunisia terlepas dari pengawasan pusat, sampai datangnya kekuasaan dinasti Abbasiyah yang berkuasa di Irak dan dapat merebut kembali kota Kairouan. Pada tahun 767 M, akibat kekacauan yang timbul di pusat pemerintahan Abbasiyah, kota Kairouan terlepas lagi, hingga pada tahun 800 M pemerintahan Abbasiyah menunjuk Ibrahim Ibn Aghlab sebagai wakilnya untuk berkuasa di Afrika Utara dan mendirikan negara Tunisia.

Memasuki Tahun 1881 M, Tunisia berada dibawah protektorat Perancis. Masa protektorat ini berakhir dengan dicapainya kemerdekaan Tunisia pada tanggal 20 Maret 1956, namun masih dibawah seorang Bey (gelar raja) sebagai kepala negara. Hingga pada tanggal 25 Juli 1957 Bey terakhir diturunkan oleh parlemen dan sejak saat itulah Tunisia menjadi Republik dengan dipimpin oleh Habib Bourguiba sebagai presiden pertama.

Habib Bourgiba yang dijuluki bapak revolusioner didaulat sebagai ’’Presiden Seumur Hidup’’, namun di tengah-tengah kehidupan politik dan ekonomi yang kacau, sulit dan semakin tidak menentu, di samping usianya yang semakin lanjut, dia harus rela menyerahkan jabatannya kepada Zeine el-Abidin Ben Ali yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri. Kudeta tidak berdarah ini disambut positif oleh rakyat Tunisia dan dunia Internasional. Maka tanggal 7 November tahun 1987 merupakan hari peralihan kepemimpinan nasional di Tunisia, masa perpindahan dari orde lama ke orde baru.

Ezzitouna universitas Islam tertua di dunia :

Lembaga ini sekarang berada dibawah naungan kementrian pendidikan tinggi, riset dan teknologi. Sesuai dengan ketetapan undang-undang nomor: 83 tahun 1987 tertanggal 31 Desember 1987, menetapkan bahwa : "Ezzitouna merupakan salah satu lembaga tinggi dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Tunisia".

Dari sisi sejarah, Sejarawan Arab terkenal Hasan Husni Abd. Wahab menetapkan Ezzitouna sebagai universitas Islam tertua di dunia, terkenal dengan julukan "Menara Peradaban Islam". Dimana kiprahnya berawal dari kegiatan halqoh ilmiyah (pengajian) di masjid Ezzitouna yang di bangun oleh gubernur Afrika Ubaidillah bin al Habhab pada abad ke 7 Masehi (tahun 116 H / 737 M), pada masa pemerintahan Hisyam bin Abd. Malik dari dinasti Umayah.

Di antara Masyaih pertama yang mengajar di masjid Ezzitouna adalah Khalid bin Amran, yang pernah mengaji pada al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar as-Shiddiq Ra, dari Salim bin Abdillah bin Umar bin Khattab Ra, dan dari Sulaiman bin Yassar pakar fiqh di kota Madinah al Munawwarah.

Almamater ini dari masa ke masa telah mencetak tokoh - tokoh terkenal, seperti : Ahmad at Tifasyi pengarang pertama mausu`ah Arabiyah (Ensiklopedi Arab), Sahnun dan Ibn Arfah (pakar Fiqh madzhab Maliki), Abd. Rahman Ibn Khaldun (Bapak sosiologi), Abu al Qassim as Syabi atau terkenal dengan at Tahir al Haddad (penyair Arab ternama), Muhammad at Tahir Ibn `Asyur (pakar maqasid syari’ah dan tafsir dengan karya monumentalnya kitab at Tahrir wa at Tanwir)

Universitas ini juga telah melakukan perannya yang siginfikan dalam mendidik insan yang berkepribadian Islami, hingga sekarang tetap sebagai simbol pengetahuan dan peradaban dengan misi mencetak kader muslim yang inklusif dan moderat.

Sistem pendidikan dan spesifikasi kajian :

Universitas Ezzitouna saat ini memiliki empat fakultas, yaitu : Ushuluddin, Syari’ah, Peradaban Islam, dan Informatika. Fakultas yang disediakan untuk mahasiswa asing hanya fakultas Peradaban Islam untuk tingkat S1, sedangkan untuk program S2 dan S3 terdapat tiga pilihan, Ushuluddin, Syari`ah, dan Peradaban Islam.

Awal tahun ajaran baru setiap tahunnya pada bulan September. Sistem perkuliahan yang diterapkan adalah tatap muka dalam bentuk paket, delapan semester untuk tingkat S1, dua tahun untuk jenjang S2 dengan perincian 6 bulan pertama masa belajar, dan delapan belas bulan berikutnya untuk penulisan tesis yang terlebih dahulu dimulai dengan program pembekalan metodologi penulisan. Sedangkan program doktoral diberi tenggang waktu tiga tahun untuk penulisan disertasi. Universitas Ezzitouna juga menyediakan program Tamhidiyah (kelas persiapan) bagi calon mahasiswa asing yang belum menguasai bahasa Arab, program ini terbagi menjadi dua tingkat yang masa studinya masing-masing satu tahun.

Di antara sisi keunggulan Ezzitouna jika dibanding dengan universitas-universitas Islam lain di negara-negara Arab adalah penekanan pada metodologi pemahanam dan penyampaian pengetahuan, serta penugasan-penugasan analisa pada beberapa literatur yang telah ditentukan oleh dosen sesuai dengan spesifikasi kajian. Sehingga mahasiswa menjadi produktif dan mampu berfikir kristis dalam mengkaji permasalahan, berbeda dengan penekanan yang dititik beratkan oleh universitas di negara-negara Arab lainnya (seperti Arab saudi, Mesir, dan Jordan) yang lebih mengarah pada kajian tekstual. Hal ini tidak lain karena sistem pendidikan di Ezzitouna merupakan perpaduan antara sistem pendidikan barat dan timur.

Materi kuliyah yang diajarkan di universitas Ezzitouna dengan berbagai fakultas dan spesifikasinya, pada dasarnya untuk membekali para mahasiswa agar bisa menggali nilai-nilai luhur Islam dalam lingkup Aqidah, Syari’ah dan Peradaban. Agar mampu mendialogkannya dengan agama dan peradaban lain, untuk itu para mahasiswa pun dibekali dengan pengetahuan tentang Filsafat, Humanisme, Sosiologi, Hak Asasi manusia, Pemikiran Modern, serta penguatan bahasa asing seperti Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, Persia, Turki dan Latin.

Sebagai wujud dedikasi terhadap pendidikan komunitas muslim, universitas ini telah membangun link kerja sama dengan beberapa lembaga pendidikan Islam lainnya, diantaranya:
- Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Indonesia
- Universitas al Qurowiyien Fes Maroko
- Universitas Sorbone Perancis
- Institut Kajian Arab dan Islam Roma
- Lembaga kajian Islam Cardova Spanyol
- Universitas al Emarat Uni Emirat Arab
- Universitas Sulthon Qabus Oman
- Universitas al Azhar Mesir, dll.

Ezzitouna sebagai universitas Islam tertua, tidak pernah lelah mencetak generasi muslim yang peduli terhadap problematika zaman, generasi yang aktif dalam menyikapi fenomena yang terjadi di tengah masyarakat, untuk itulah pada pertengahan bulan Februari 2007, bekerja sama dengan Konrad Adenauer Stiftung LSM Jerman yang bergerak dibidang sosial dan politik, universitas Ezzitouna menyelenggarakan seminar internasional dengan mengangkat Tema: “Agama dan budaya berperadaban umat manusia“. Hadir dalam acara yang dibuka oleh menteri pendidikan Tunisia Lazhar Bououni beberapa tokoh dari lintas agama dan kepercayaan, dari beberapa negara Arab, Eropa, dan Afrika. Wallahu A’lam.


* Tulisan ini dipublikasikan di majalah Laduni Cirebon edisi pertama





Sunday, July 8, 2007

Konsep regenerasi perspektif Islam

Oleh: Arwani Syaerozi*

"Orang tua melahirkan anak, anak melahirkan orang tua"
begitulah momentum kehidupan umat manusia di alam dunia. Ungkapan di atas sengaja saya jadikan start point dalam tulisan kali ini. Seseorang yang bersikeras untuk mempertahankan posisi atau jabatannya, walaupun ditopang dengan berbagai sarana dan prasarana yang paling mutakhir, pada ujungnya akan tersingkirkan juga, kedudukannya akan ditempati oleh orang lain yang sebelumnya menjadi bawahan baik dalam usia maupun jabatan.

Contoh konkrit dari premis di atas : runtuhnya orde lama pimpinan Ir. Soekarno yang dinobatkan sebagai presiden Indoensia seumur hidup, pada akhirnya posisi tersebut diambil alih oleh jenderal Soeharto sebagai pendiri orde baru, dan rezim ini pun runtuh diiringi dengan berkibarnya orde reformasi, begitulah seterusnya. Atau runtuhnya rezim Saddam Husein di Irak yang terkenal dengan " tangan besinya ". Kasus – kasus di atas masih terbayang dalam pikiran kita, betapa kekuatan fisik dan kecerdasan akal pikiran yang dilengkapi dengan teknologi canggih tidak akan mampu membendung proses regenerasi.

Dalam lingkup organisasi, beberapa orang telah silih berganti menempati pos sebagai ketua umum, atau posisi kepengurusan lainnya. Dalam rumah tangga, seorang ayah sebagai pemegang otoritas, mau tidak mau digantikan oleh anak-anaknya setelah dia pergi meninggalkan alam fana. Anak - anaknya secara lambat tapi pasti akan berubah status menjadi seorang bapak dalam struktur keluarga.

Dari ilustrasi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa regenerasi merupakan sunnatullah (hukum alam), baik itu pada level terkecil dalam struktur masyarakat yaitu keluarga maupun dalam struktur terluas yaitu negara atau organisasi Internasional, semisal perserikatan bangsa-bangsa (PBB).

Yang kemudian menjadi bahan yang menarik untuk didiskusikan dalam tema ini adalah, ternyata tidak jarang dalam proses regenerasi menimbulkan chaos dan ketidakstabilan situasi. Predikat " sukses " dan " tidaknya " sebuah proses regenerasi merupakan tanda tanya besar bagi komunitas yang sedang menjalankan proses tersebut.

Dalam tulisan ini, ada dua hal penting yang sengaja saya jadikan sebagai bahan pembicaraan, pertama tentang proses regenerasi, dan kedua : tentang subyek dalam sebuah regenerasi. Tentunya methode kajian ini akan lebih dititik beratkan pada pendekatan kacamata syari`at Islam.


Proses regenerasi :

Regenerasi manusia telah menjadi ketetapan Allah Swt semenjak zaman azaly (dahulu tidak ada permulaannya), hal ini telah ditegaskan dalam salah satu firman-Nya : “ Kemudian kami jadikan kamu pengganti - penggganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memeprhatikan bagaimana kamu semua berbuat” (Qs. Yunus : 14).

Secara eksplisit ayat tadi mengatakan bahwa pergantian antar generasi menurut pandangan Islam semata-mata memiliki tujuan selektifitas mutu kwalitatif dengan kadar ketakwaan di hadapan Allah Swt. Untuk itulah amal perbuatan yang berlandaskan pada pola keimanan adalah merupakan barometer serta indikatornya. sebab inilah inti dari penciptaan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. " Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku " (Qs. Adz Dzariyat : 56)

Secara global mekanisme regenerasi dalam Islam bisa kita sederhanakan menjadi tiga katagori :

Pertama, Pernikahan, dalam hal ini kaum hawa (perempuan) sebagai poros regenerasi manusia, di tangannyalah para generasi baru itu dididik. ulama kontemporer asal Mesir Muhammad Ghazali pernah menyitir syair seorang sastrawan Arab, Hafidh Ibrahim : " Ibu adalah sekolah, jika engkau mempersiapkannya, berarti engkau mempersiapkan bangsa yang berketurunan baik ". dengan ini pernikahan adalah sebagai satu-satunya mekansime regenerasi jasad manusia yang valid menurut Islam.

Kedua, Warisan, yang dimaksud dengan masuknya warisan dalam katagori mekanisme regenerasi menurut Islam, bukan warisan yang bersifat materi, akan tetapi warisan karakter, prinsip dan perjuangan. Para pakar, intelektual dan tokoh masyarakat saat ini merupakan perpanjangan tangan dari ide pemikiran, karakter, prinsip serta perjuangan generasi sebelumnya. Dalam sebuah hadist ditegaskan bahwa ulama adalah pewaris para nabi. Dengan demikian maka para pemangku masyarakat akan terus bermunculan dengan mewarisi pola pikir dari generasi sebelumnya walaupun tidak secara mutlak.

Ketiga, Musyawarah, Dalam literatur Islam kita akan menemukan istilah Syura` yaitu proses dialog dalam memecahkan permasalahan. " Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu " (Qs. Ali `Imran : 159), " Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan bermusyawarah anatar mereka " (Qs. As Syuraa : 38). Untuk lingkup sebuah negara, suksesi kepemimpinan lumrahnya dilakukan dengan melalui mekanisme pemilihan, begitu juga dalam sebuah organisasi baik politik, sosial kemasyarakatan, maupun keagamaan. Proses pemilihan ini sebenarnya merupakan upaya damai agar tidak terjadi konfrontasi fisik dalam mempertemukan beberapa kepentingan yang berbeda. Dengan demikian substansi mekanisme pemilu tidak lain merupakan maqasid syari’ah (tujuan) disyari`atkannya syura` (musyawarah) dalam Islam.

Kalau mekanisme musyawarah ini diaplikasikan dengan cara vair dan proporsional saat suksesi kepemimpinan, maka anarkisme dan ketidakstabilan situasi akan terhindari, dan dengan sendirinya proses regenerasi akan berjalan stabil.

Subyek regenerasi :

Ada adagium yang sangat terkenal di tengah masyarakat kita: “ Di tangan pemudalah terletak seluruh persoalan umat, dan di atas pundaknya terletak kelangsungan hidup dan kehidupan sebuah Agama “, senada dengan ungkapan tadi, kita pun mengenal ungkapan berbahasa Arab: " Syubbanu al Yaum Rijalu al Ghad " (Pemuda sekarang adalah pemimpin di masa depan).

Dari sini menjadi urgen untuk menetapkan beberapa landasan bagi pelaku regenerasi, khususnya yang berkaitan dengan moralitas yunior (individu maupun golongan) yang akan tampil menggantikan senior (baca : generasi sebelumnya). Kemudian diintisarikan dari kandungan syari`at Islam, kita bisa menelurkan lima mabadi` (landasan) untuk menopang kesuksesan sebuah regenerasi, dimana kelima mabadi` tersebut harus tercermin pada prilaku subyek regenerasi.

1- Amanah (dapat dipercaya), kriteria ini diambil dari teks al Qur`an " Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya " (Qs an Nisa : 58), dan sabda Rasul Saw " Tanda-tanda orang munafik ada tiga : apabila berkata dia bohong, apabila berjanji dia tidak menepati, dan apabila dipercaya dia berhianat " (HR. al Bukhori dan Muslim)
2- `Adalah (berlaku adil), kriteria ini diambil dari teks al Qur`an " Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan " (Qs. An Nahl : 90), dan sabda Rasul Saw " Sesungguhnya orang - orang yang berbuat adil dalam menghukumi terhadap keluarga dan sesamanya di sisi Allah berada pada kedudukan yang mulia " (HR. Muslim)
3- Ta`awun (tolong menolong), kriteria ini diambil dari teks al Qur`an " Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebenaran dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran " (Qs al Ma`idah : 2), dan sabda Rasul Saw " Tolonglah saudaramu baik dalam keadaan teraniaya maupun menganiaya " kemudian Rasul Saw ditanya oleh salah seorang sahabatnya, bagaimana cara kita menolong orang yang sedang menganiaya ? dijawab oleh beliau " dengan mencegahnya dari perbuatan tersebut " (HR. al Bukhori)
4- Tasamuh (toleransi), kriteria ini diambil dari teks al Qur`an " Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang " (Qs. at Taghabun : 14), dan sabda Rasul Saw " Tebarkan kedamaian maka kalian semua akan selamat " ( HR. Muslim)
5- Istiqamah (konsisten), kriteria ini diambil dari teks al Qur`an " Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan : " tuhan kami ialah Allah " kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan mereka tiada ( pula ) berduka cita " (Qs. al Ahqaf : 13), dan sabda Rasul Saw " Katakanlah : aku beriman kepada Allah kemudian bersitiqamahlah " (HR. Muslim)

Menjadi jelas-lah bahwa ajaran Islam berbeda dengan doktrin – doktrin lainnya dalam menanggapi isu pembangunan dan regenerasi. Islam memiliki konsep tersendiri, yakni pembangunan manusia dan penegakan fitrah kemanusiaan, upaya untuk " memanusiakan manusia ". Sebuah konsep yang tidak memprioritaskan materialisme (wujud kebendaan) dan Hedonisme (hanya mementingkan kelezatan duniawi) tanpa sentuhan nilai - nilai spiritual yang membawa dampak hilangnya struktur makna kehidupan. Wallahu A`lam.


* Tulisan ini dipublikasikan di bulletin Ikrar Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Tunisia

Wednesday, July 4, 2007

Menakar kepekaan sosial dan lingkungan

Oleh: Arwani Syaerozi

Menarik dicermati fenomena - fenomena mutakhir yang sedang dan selama ini terjadi di Nusantara, saat kebebasan dalam segala lini kehidupan menjadi “ argumen murahan ” oleh berbagai kalangan dalam rangka menjustifikasi ekpresi dan tindakannya.

Geliat over acting “ kebebasan “ tersebut sangat tampak sekali, misalnya kasus terakhir yang mencuat dan sempat menempati berita utama di media nasional baik cetak maupun elektronik yaitu seputar rencana penerbitan majalah playboy edisi Indonesia. Pro - kontra opini publik pun bermunculan, di mana kalkulasi penentang rencana ini lebih banyak dari pada para pendukungnya, namun pihak pencetus tetap bersikukuh memperjuangkan program kontroversialnya dengan dalih utama terbukanya nuansa kebebasan.

Selain fenomena di atas, ada sisi lain yang menurut saya lebih menarik untuk diperhatikan, yaitu seputar kondisi kesejahteraan masyarakat, kondisi lingkungan hidup di tanah air yang harus kita wariskan secara turun temurun kepada generasi penerus. Sebab akhir - akhir ini telah mengalami kerusakan di berbagai tempat, sehingga kita yang berada jauh di luar negeri sering mendengar kabar duka dari peristiwa bencana longsor, kebanjiran, kelaparan, kerusakan lingkungan akibat limbah - limbah industri, dan munculnya wabah – wabah penyakit mematikan.

Sebut saja misalnya, tragedi kemanusiaan busung lapar yang melanda ribuan bayi di Sumatera Barat (Sumbar) dan beberapa daerah lainnya, semenjak tahun 1999 sampai sekarang sempat menghebohkan masyarakat Indonesia. Tereksposnya kematian beberapa warga di Papua disebabkan oleh kelaparan, telah membuat kita menjadi bertanya - tanya, sedemikian parahkah ketidak merataan “ pembagian kue “ di Negara kita ? Gangguan saluran pernafasan pada sebagian masyarakat di Pekanbaru yang disebabkan oleh asap tebal kebakaran hutan, atau berjatuhannya korban penyakit Demam berdarah (DBD) yang disebabkan oleh faktor buruknya lingkungan.

Bahkan yang lebih dahsyat lagi, pemandangan mengharukan yang terjadi baru – baru ini seputar proses penyemprotan zat antiseptik pada setiap kendaraan dari Indonesia yang akan masuk ke wilayah Malaysia melalui perbatasan di Kalimantan Barat. (www.gatra.com 14/03/2006), hal ini adalah fakta kuat betapa serius dan peliknya isu sosial dan lingkungan di tanah air.

Keterpurukkan dan problem warisan karakter :


Hans Fink dalam bukunya “ Social Philosophy “ menjelaskan bahwa : “ Proses sosial tidak lain adalah kehidupan umat manusia, kelahirannya, prokreasi dan kematiannya, serta produksi dan distribusinya, yang senantiasa berlangsung selama kehidupan manusia masih berlangsung “. (Social Philosophy, Hans Fink, hlm. 02, diterjemahkan oleh Sigit Djatmiko, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2003).

Dalam hal ini sifat dasar manusia adalah fitri, suci dan baik. Mereka menjadi buruk bisa karena kelemahan pribadinya yang mudah dikalahkan oleh hawa nafsu, atau mungkin juga karena faktor - faktor eksternal, seperti pengaruh lingkungan keluarga atau sistem budaya masyarakatnya. Artinya sistem sosial masyarakat itu sendiri ikut andil dalam memformat karakteristik seseorang.

Maka tidak heran jika Hans pink kemudian menyimpulkan bahwa : “ hidup kita adalah kelanjutan dari kehidupan para bapak dan ibu kita terdahulu “ (Ibid, hlm. 03). Di sisi lain Menkokesra Aburizal Bakrie mewakili presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya di hadapan anggota DPR mengakui ada beberapa gejala yang menghambat proses penyejahteraan masyarakat selama ini, yang merupakan warisan dari masa silam (www.gatra.com 07/03/2006).

Pada tahapan ini bukan berarti saya memvonis problem moralitas dan gejala lemahnya sensitivitas sosial yang menghinggapi rakyat Indonesia adalah mutlak sebagai warisan karakter para pendahulu bangsa, atau saya menjadi pesimis dengan usaha pembekalan generasi muda melalu program pencerahan dan pendidikan agar bisa membawa bangsa ke arah yang lebih sejahtera. Akan tetapi lebih pada sisi interopeksi bahwa segala bentuk karakter negatif para senior agar jangan sampai tertular apalagi sengaja ditransfer kepada para generasi muda, sebab tidak bisa kita pungkiri bahwa pemuda sekarang adalah pemimpin di masa mendatang.

Anak bangsa dan kepedulian sosial :


Keberadaan kita di luar Negeri yang jauh dari medan kejadian sebenarnya bukan alasan yang logis untuk menjadikan kita pasif dalam menyikapi isu - isu tersebut, atau ketidak berdayaan kita dalam segi materi juga bukan alasan yang tepat untuk berdiam menggigit jari.

Bagaimana pun anak bangsa dituntut untuk ikut andil mengatasinya, apalagi eksistensi kita sebagai pelajar dan mahasiswa yang tidak lain sedang dalam proses kaderisasi. Paling tidak dengan turut memikirkan bentuk solusi untuk dapat menyelamatkan saudara - saudara sebangsa dari cengkraman wabah penyakit mematikan yang penyebabnya erat berhubungan dengan faktor lingkungan. bagaimana agar lingkungan hidup kita dengan berbagai macam kekayaan alamnya dapat dilestarikan untuk kemudian bisa dinikmati oleh generasi mendatang.

Ada tiga catatan yang bisa dijadikan sebagai start point wujud kepedulian kita ; pertama, upaya mengkaji akar permasalahan lemahnya sensitivitas sosial dan lingkungan pada sebagian rakyat Indonesia, kedua, mendiskusikannya sebagai upaya penguatan ide – ide bersama dalam penyelesaian masalah, dan ketiga mempublikasikan hasilnya melalui media nasional baik cetak maupun elektronik agar bisa dibaca kemudian dipahami oleh masyarakat luas.

Maka semua pun berharap jangan sampai setelah wabah sars, flu burung, busung lapar, polio, dan demam berdarah merenggut nyawa saudara – saudara sebangsa, muncul wabah - wabah penyakit lain yang lebih ganas dan mematikan akibat kecerobohan kita dalam berinteraksi dengan lingkungan atau akibat monopoli “ pengemban amanat “ terhadap kekayaan Negara yang dapat menimbulkan kemiskinan. Dalam al Qur`an telah lama ditegaskan larangan mengekspolitasi hak – hak orang lain dan larangan membuat kerusakan di muka bumi (Qs. as Syu’araa : 183)

Sampai kapankah kita akan bermimpi menjadi sebuah bangsa yang besar, bangsa yang termasuk dalam katagori “Baldatun Toyyibah wa Robbun Ghofur “ (Gemah ripah Loh Jinawi), sementara kita terus terbius dengan gaya hidup santai dan acuh tak acuh terhadap fenomena yang terjadi. Bukankah para founding father bangsa selalu berharap akan terciptanya Indonesia yang adil, Indonesia yang sejahtera, sebagai mana termaktub dalam salah satu butir pancasila sebagai landasan falsafah Negara. Kemakmuran tidak akan bisa diraih kecuali dengan kerja keras, keadilan sosial hanya akan menjadi wacana jika tidak direalisasikan dengan langkah nyata, untuk itulah “ peka “ dan “ peduli “ adalah kunci menuju ke sebuah penyelesaian. Wallahu A'lam


* Tulisan ini dipublikasikan di bulletin Ikrar Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Tunisia

Saturday, June 23, 2007

Islam berperadaban ala Tunsia

Oleh: Arwani Syaerozi*

Medio Februari 2007 yang lalu, universitas Ezzitouna Tunisia (lembaga pendidikan Islam yang didirikan akhir abad ke 7 Masehi) bekerja sama dengan Konrad Adenauer Stiftung LSM Jerman yang bergerak dibidang sosial dan politik, mengadakan kegiatan seminar internasional. Tema yang di angkat adalah : “Agama dan budaya berperadaban umat manusia“. Hadir dalam acara yang dibuka oleh menteri pendidikan Tunisia Lazhar Bououni beberapa tokoh dari lintas agama dan kepercayaan, dari beberapa negara Arab, Eropa, dan Afrika.

Dalam seminar yang digelar di lantai 5 auditorium hotel Afrika (hotel bintang lima yang berlokasi dijantung ibu kota) hadir Prof. Dr. Nuruddin al Khadimi pakar Maqasid Syari’ah dari universitas Ezzitouna, Prof. Dr. Abu Ya’rab al Marzuki filsuf kontemporer Tunisia, Prof. Labica Georges pakar keagamaan dari universitas Paris Perancis, Prof. Dr. Nu’man Saleh pakar antropologi dari Universitas Malek Abdul Kader Aljazair, Prof. Hanna Miled peneliti senior Asal Mesir, Prof. Pallavicini Yahya aktivis Islam Italia, Prof. Ansorge Dirk delegasi Akademi Katolik Jerman, Prof. Kabbaj Mohammad peneliti senior pada Akademi kerajaan Maroko. Mereka duduk bersama menela’ah, mendiskusikan masalah-masalah agama dan para penganutnya.

Salah seorang pemakalah Labica Georges pakar keagamaan dari universitas Paris menyoroti kasus “murtad”-nya orang beragama, kasus perpindahan dari beragama menjadi tidak beragama yang dewasa ini marak terjadi di komuitas masyarakat Eropa, dan banyaknya orang tua yang sengaja menjauhkan anak-anaknya dari ajaran agama, dikarenakan asumsi bahwa doktrin agama kerap membawa manusia pada sikap saling bermusuhan. Maka dia menganggap hal ini diantara fenomena yang harus segera diantisipasi, “ jangan sampai pilihan tidak beragama menjadi sebuah trend pada era ilmu dan teknologi, hanya karena salah persepsi“.

Pada sesi yang lain Prof. Dr. Nuruddin al Khadimi pakar Maqasid Syari’ah dari universitas Ezzitouna mencoba menela’ah masalah budaya berperadaban melalui perspektif Fiqh Islam dan Maqasid. Menurutnya Fiqh at Tahaddur (Fiqh berperadaban) terrepresentasikan pada masalah inovasi kebudayaan yang bersifat religi, interaksi sosial yang dilandaskan pada kemaslahatan bersama, efesiensi waktu dan tenaga dalam beraktivitas agar terciptanya pola seimbang menjaga hubungan vertikal dan horizontal. Sehingga peran komunitas muslim dalam menjadi khalifah Allah dimuka bumi menjadi lebih optimal.

Republik Tunisia yang jumlah penduduknya hanya sekitar 10, 5 juta jiwa (sensus 2006), dan mayoritas penduduknya menganut agama Islam (99, 5 %), di bawah kepemimpinan Presiden Zeine Abidin Ben Ali, sangat gencar mendialogkan antar agama dan peradaban. Substansi ajaran Islam bagi negara Arab di bagian utara benua Afrika dan berseberangan dengan benua Eropa ini dijadikan perangkat untuk menjadikan sebuah bangsa yang peduli terhadap masalah-masalah mendasar kemanusiaan, bukan hanya sekedar saleh dalam ritual. Pengembangan sumber daya manusia pun sangat diprioritaskan, demi mencapai titik berperadaban.

Sebagai bukti, negara ini berhasil menempatkan pada posisi ketiga paling sejahtera se-benua Afrika (setelah Afrika Selatan dan Libya). Walaupun Tunisia tidak memiliki banyak sumber daya alam yang bisa diandalkan seperti minyak bumi atau gas alam. Bahkan laporan tahunan Forum Ekonomi Davos telah menetapkan Tunisia pada urutan ke-31 dari total 104 negara yang maju dalam pembangunan ekonominya. Gambaran umum kondisi kese­jahteraan ini bisa dilihat dari ke­berhasilan pemerintah dalam memperkecil jumlah angka kemiskinan dari 22% pada 1980 menjadi 6,2% pada 1997 dan sekitar 4,2% tahun 2004. Tingkat harapan hidup juga meningkat menjadi 73 tahun, diban­ding­ tahun 1999 yang hanya berkisar 72 tahun.

Pada November 2005 Tunisia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Masyarakat Informasi (World Summit on the Information Society - WSIS), merupakan negara berpenduduk muslim pertama yang dipercaya untuk menjadi tuan rumah gawe besar organisasi yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Acara ini dihadiri oleh lebih dari 50 kepala negara dan pemerintahan. Kehadiran 175 delegasi Negara (termasuk Indonesia) memberikan aspek positif bagi sektor keuangan secara umum dan upaya modernisasi melalui penggunaan teknologi informasi dan komunikasi di Tunisia. Dimana melalui konferensi tersebut direkomendasikan penyamaan hak dalam bidang teknologi informasi antara negara kaya dan negara miskin, serta instruksi pembuatan laptop khusus (murah terjangkau) untuk kalangan menengah kebawah, sasarannya adalah para pelajar di negara-negara miskin.

Untuk membangun hubungan kebersamaan dengan negara-negara tetangga, Tunisia bergabung menjadi anggota dan pendiri Uni Maghreb Arab (UMA) yang didirikan berdasarkan perjanjian Marakech pada 17 Februari 1989, oleh masing-masing kepala negara Aljazair, Libya, Maroko, Mauritania dan Tunisia. UMA sendiri menjadi tonggak diplomasi penting bagi eksistensi negara-negara berpenduduk Islam di benua Afrika secara keseluruhan.

Bahkan ketika para pejuang organisasi pembebasan Palestina (PLO) belum memungkinkan untuk berkiprah penuh di tanah airnya, para pimpinan PLO yang saat itu dimotori oleh Yasser Arafat, memonitor gerakan perlawanannya terhadap sepak terjang Zionis Israel dari bumi Tunisia. Banyak keputusan dan diplomasi penting yang saat itu ditelurkan dari negeri yang terkenal dengan penghasil buah Zaitun ini, walaupun banyak juga kenyataan pahit yang harus dibayar dalam perjuangannya di Tunisia, hal ini saat terbunuhnya dua tokoh penting PLO Abu Jihad (1988), dan Abu Iyad (1991) oleh agen rahasia Israel. Pilihan Tunisia sebagai base camp (setelah gagal di Yordania dan Libanon), setidaknya karena kedekatan Tunisia dengan negara-negara Eropa khususnya Perancis sebagai akses diplomasi ke dunia internasional.

Kalau sejenak menelusuri sejarah Tunisia, kita dapat melihat semenjak dari berdirinya Kerajaan Carthage (Kartago) sekitar tahun 814 SM, hingga pada abad ke-2 SM, Kerajaan Kartago mengalami kehancuran mengakibatkan saling bergantinya kekuasaan asing. Tunisia yang saat itu lebih dikenal dengan nama Afrika kemudian menjadi pusat Kerajaan Romawi di Selatan Mediterania. Kedaulatan­nya meliputi sebagian wilayah kekuasaan Kerajaan Kartago. Antara 439-533 M Tunisia dikuasai oleh pasukan Vandal, sebelum ditak­lukkan kembali oleh Kerajaan Roman Bizantium antara tahun 533 - 647 M.

Pada pertengahan abad ke-7 Masehi Uqbah bin Nafi r.a, seorang sahabat Rasulullah SAW memasuki Tunisia bersama pasukannya. Dan pada tahun 647 M pasukan Uqbah r.a. berhasil menaklukkan Sbeitla (Sufetula) yang menandai bermulanya era Arab-Islam di Tunisia. Tiga belas tahun kemudian, yaitu pada tahun 670 M Uqbah r.a. berhasil menaklukkan kota Kairouan –sekitar 156 km selatan ibu kota Tunisia– dan kemudian menja­di­kannya sebagai ibu­kota pemerintahan dan pusat penye­baran Islam di wilayah Afrika Utara.

Di era penjajahan, Perancis berhasil menjadikan Tunisia sebagai wilayah protektoratnya dengan ditandatanganinya Perjanjian Bardo pada 12 Mei 1881. Berbagai upaya dilaku­kan rakyat Tunisia untuk lepas dari protektorat ini. Usaha ini mencapai hasil pada tanggal 20 Maret 1956 dengan dibatalkannya Perjanjian Bardo dan diproklamirkannya kemerdekaan Tunisia. Saat itu pemerintahan tetap dipegang oleh seorang Bey (gelar raja di Tunisia) sebagai kepala negara. Hingga pada tanggal 25 Juli 1957 Bey terakhir diturunkan oleh parlemen. Sejak saat itu Tunisia menjadi Republik dengan dipimpin oleh Habib Bourguiba sebagai Presiden pertamanya.

Pada tanggal 7 November 1987 terjadi peralihan dari kepemimpinan presiden Habib Bourguiba ke presiden kedua Zeine Abidin Ben Ali. Motif peralihan ini disinyalir akibat kondisi fisik Habib Bourguiba yang semakin menurun sebagai konsekuensi usianya yang semakin senja (80 tahun). Peralihan kepemimpinan ini disambut dengan penuh gembira oleh sebagian besar rakyat Tunisia dan juga oleh kalangan dunia Internasional. Dengan tampilnya orde baru ini Tunisia semakin berbenah dalam segala lini kehidupan terutama pendidikan sebagai modal untuk membangun tunas bangsa, pengajaran agama pun kembali dioptimalkan setelah sempat dimarjinalkan pada masa orde lama.

Tunisia – dilihat dari sisi sejarah - sebagai titik pertemuan antara berbagai kebudayan dan peradaban Berber, Romawi, Biznetium, dan Arab telah mampu menciptakan corak tersendiri pada karakter masyarakatnya. Peran aktif bangsa Tunisia – dewasa ini - dalam menyikapi masalah-masalah kontemporer, terutama usahanya yang gigih dalam merukunkan berbagai agama dan peradaban dengan melalui penghayatan terhadap ruh ajaran Islam, secara otomatis turut menepis label negatif pada komunitas muslim yang sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Maka, dialog antar agama dan peradaban yang gencar disosialisasikan oleh pemerintah Tunisia dibahwa kepemimpinan presiden Zeine Abidin Ben Ali, pada tataran praktis akan membangun image di mata dunia internasional bahwa masyarakat muslim adalah masyarakat yang santun, bijaksana serta peduli dengan masalah-masalah mendasar kemanusiaan. Bukan tidak mungkin dari langkah ini ajaran Islam akan menjadi sumber inspirasi alternatif untuk membangun peradaban umat manusia yang lebih harmonis. Dimana letak geografis Tunisia sangat strategis menjadi gerbang dialog antara budaya Timur dan Barat yang kerap dijadikan dikotomi peradaban umat manusia.


* Tulisan ini dipublikasikan di bulletin Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Tunisia