Saturday, June 23, 2007

Islam berperadaban ala Tunsia

Oleh: Arwani Syaerozi*

Medio Februari 2007 yang lalu, universitas Ezzitouna Tunisia (lembaga pendidikan Islam yang didirikan akhir abad ke 7 Masehi) bekerja sama dengan Konrad Adenauer Stiftung LSM Jerman yang bergerak dibidang sosial dan politik, mengadakan kegiatan seminar internasional. Tema yang di angkat adalah : “Agama dan budaya berperadaban umat manusia“. Hadir dalam acara yang dibuka oleh menteri pendidikan Tunisia Lazhar Bououni beberapa tokoh dari lintas agama dan kepercayaan, dari beberapa negara Arab, Eropa, dan Afrika.

Dalam seminar yang digelar di lantai 5 auditorium hotel Afrika (hotel bintang lima yang berlokasi dijantung ibu kota) hadir Prof. Dr. Nuruddin al Khadimi pakar Maqasid Syari’ah dari universitas Ezzitouna, Prof. Dr. Abu Ya’rab al Marzuki filsuf kontemporer Tunisia, Prof. Labica Georges pakar keagamaan dari universitas Paris Perancis, Prof. Dr. Nu’man Saleh pakar antropologi dari Universitas Malek Abdul Kader Aljazair, Prof. Hanna Miled peneliti senior Asal Mesir, Prof. Pallavicini Yahya aktivis Islam Italia, Prof. Ansorge Dirk delegasi Akademi Katolik Jerman, Prof. Kabbaj Mohammad peneliti senior pada Akademi kerajaan Maroko. Mereka duduk bersama menela’ah, mendiskusikan masalah-masalah agama dan para penganutnya.

Salah seorang pemakalah Labica Georges pakar keagamaan dari universitas Paris menyoroti kasus “murtad”-nya orang beragama, kasus perpindahan dari beragama menjadi tidak beragama yang dewasa ini marak terjadi di komuitas masyarakat Eropa, dan banyaknya orang tua yang sengaja menjauhkan anak-anaknya dari ajaran agama, dikarenakan asumsi bahwa doktrin agama kerap membawa manusia pada sikap saling bermusuhan. Maka dia menganggap hal ini diantara fenomena yang harus segera diantisipasi, “ jangan sampai pilihan tidak beragama menjadi sebuah trend pada era ilmu dan teknologi, hanya karena salah persepsi“.

Pada sesi yang lain Prof. Dr. Nuruddin al Khadimi pakar Maqasid Syari’ah dari universitas Ezzitouna mencoba menela’ah masalah budaya berperadaban melalui perspektif Fiqh Islam dan Maqasid. Menurutnya Fiqh at Tahaddur (Fiqh berperadaban) terrepresentasikan pada masalah inovasi kebudayaan yang bersifat religi, interaksi sosial yang dilandaskan pada kemaslahatan bersama, efesiensi waktu dan tenaga dalam beraktivitas agar terciptanya pola seimbang menjaga hubungan vertikal dan horizontal. Sehingga peran komunitas muslim dalam menjadi khalifah Allah dimuka bumi menjadi lebih optimal.

Republik Tunisia yang jumlah penduduknya hanya sekitar 10, 5 juta jiwa (sensus 2006), dan mayoritas penduduknya menganut agama Islam (99, 5 %), di bawah kepemimpinan Presiden Zeine Abidin Ben Ali, sangat gencar mendialogkan antar agama dan peradaban. Substansi ajaran Islam bagi negara Arab di bagian utara benua Afrika dan berseberangan dengan benua Eropa ini dijadikan perangkat untuk menjadikan sebuah bangsa yang peduli terhadap masalah-masalah mendasar kemanusiaan, bukan hanya sekedar saleh dalam ritual. Pengembangan sumber daya manusia pun sangat diprioritaskan, demi mencapai titik berperadaban.

Sebagai bukti, negara ini berhasil menempatkan pada posisi ketiga paling sejahtera se-benua Afrika (setelah Afrika Selatan dan Libya). Walaupun Tunisia tidak memiliki banyak sumber daya alam yang bisa diandalkan seperti minyak bumi atau gas alam. Bahkan laporan tahunan Forum Ekonomi Davos telah menetapkan Tunisia pada urutan ke-31 dari total 104 negara yang maju dalam pembangunan ekonominya. Gambaran umum kondisi kese­jahteraan ini bisa dilihat dari ke­berhasilan pemerintah dalam memperkecil jumlah angka kemiskinan dari 22% pada 1980 menjadi 6,2% pada 1997 dan sekitar 4,2% tahun 2004. Tingkat harapan hidup juga meningkat menjadi 73 tahun, diban­ding­ tahun 1999 yang hanya berkisar 72 tahun.

Pada November 2005 Tunisia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Masyarakat Informasi (World Summit on the Information Society - WSIS), merupakan negara berpenduduk muslim pertama yang dipercaya untuk menjadi tuan rumah gawe besar organisasi yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Acara ini dihadiri oleh lebih dari 50 kepala negara dan pemerintahan. Kehadiran 175 delegasi Negara (termasuk Indonesia) memberikan aspek positif bagi sektor keuangan secara umum dan upaya modernisasi melalui penggunaan teknologi informasi dan komunikasi di Tunisia. Dimana melalui konferensi tersebut direkomendasikan penyamaan hak dalam bidang teknologi informasi antara negara kaya dan negara miskin, serta instruksi pembuatan laptop khusus (murah terjangkau) untuk kalangan menengah kebawah, sasarannya adalah para pelajar di negara-negara miskin.

Untuk membangun hubungan kebersamaan dengan negara-negara tetangga, Tunisia bergabung menjadi anggota dan pendiri Uni Maghreb Arab (UMA) yang didirikan berdasarkan perjanjian Marakech pada 17 Februari 1989, oleh masing-masing kepala negara Aljazair, Libya, Maroko, Mauritania dan Tunisia. UMA sendiri menjadi tonggak diplomasi penting bagi eksistensi negara-negara berpenduduk Islam di benua Afrika secara keseluruhan.

Bahkan ketika para pejuang organisasi pembebasan Palestina (PLO) belum memungkinkan untuk berkiprah penuh di tanah airnya, para pimpinan PLO yang saat itu dimotori oleh Yasser Arafat, memonitor gerakan perlawanannya terhadap sepak terjang Zionis Israel dari bumi Tunisia. Banyak keputusan dan diplomasi penting yang saat itu ditelurkan dari negeri yang terkenal dengan penghasil buah Zaitun ini, walaupun banyak juga kenyataan pahit yang harus dibayar dalam perjuangannya di Tunisia, hal ini saat terbunuhnya dua tokoh penting PLO Abu Jihad (1988), dan Abu Iyad (1991) oleh agen rahasia Israel. Pilihan Tunisia sebagai base camp (setelah gagal di Yordania dan Libanon), setidaknya karena kedekatan Tunisia dengan negara-negara Eropa khususnya Perancis sebagai akses diplomasi ke dunia internasional.

Kalau sejenak menelusuri sejarah Tunisia, kita dapat melihat semenjak dari berdirinya Kerajaan Carthage (Kartago) sekitar tahun 814 SM, hingga pada abad ke-2 SM, Kerajaan Kartago mengalami kehancuran mengakibatkan saling bergantinya kekuasaan asing. Tunisia yang saat itu lebih dikenal dengan nama Afrika kemudian menjadi pusat Kerajaan Romawi di Selatan Mediterania. Kedaulatan­nya meliputi sebagian wilayah kekuasaan Kerajaan Kartago. Antara 439-533 M Tunisia dikuasai oleh pasukan Vandal, sebelum ditak­lukkan kembali oleh Kerajaan Roman Bizantium antara tahun 533 - 647 M.

Pada pertengahan abad ke-7 Masehi Uqbah bin Nafi r.a, seorang sahabat Rasulullah SAW memasuki Tunisia bersama pasukannya. Dan pada tahun 647 M pasukan Uqbah r.a. berhasil menaklukkan Sbeitla (Sufetula) yang menandai bermulanya era Arab-Islam di Tunisia. Tiga belas tahun kemudian, yaitu pada tahun 670 M Uqbah r.a. berhasil menaklukkan kota Kairouan –sekitar 156 km selatan ibu kota Tunisia– dan kemudian menja­di­kannya sebagai ibu­kota pemerintahan dan pusat penye­baran Islam di wilayah Afrika Utara.

Di era penjajahan, Perancis berhasil menjadikan Tunisia sebagai wilayah protektoratnya dengan ditandatanganinya Perjanjian Bardo pada 12 Mei 1881. Berbagai upaya dilaku­kan rakyat Tunisia untuk lepas dari protektorat ini. Usaha ini mencapai hasil pada tanggal 20 Maret 1956 dengan dibatalkannya Perjanjian Bardo dan diproklamirkannya kemerdekaan Tunisia. Saat itu pemerintahan tetap dipegang oleh seorang Bey (gelar raja di Tunisia) sebagai kepala negara. Hingga pada tanggal 25 Juli 1957 Bey terakhir diturunkan oleh parlemen. Sejak saat itu Tunisia menjadi Republik dengan dipimpin oleh Habib Bourguiba sebagai Presiden pertamanya.

Pada tanggal 7 November 1987 terjadi peralihan dari kepemimpinan presiden Habib Bourguiba ke presiden kedua Zeine Abidin Ben Ali. Motif peralihan ini disinyalir akibat kondisi fisik Habib Bourguiba yang semakin menurun sebagai konsekuensi usianya yang semakin senja (80 tahun). Peralihan kepemimpinan ini disambut dengan penuh gembira oleh sebagian besar rakyat Tunisia dan juga oleh kalangan dunia Internasional. Dengan tampilnya orde baru ini Tunisia semakin berbenah dalam segala lini kehidupan terutama pendidikan sebagai modal untuk membangun tunas bangsa, pengajaran agama pun kembali dioptimalkan setelah sempat dimarjinalkan pada masa orde lama.

Tunisia – dilihat dari sisi sejarah - sebagai titik pertemuan antara berbagai kebudayan dan peradaban Berber, Romawi, Biznetium, dan Arab telah mampu menciptakan corak tersendiri pada karakter masyarakatnya. Peran aktif bangsa Tunisia – dewasa ini - dalam menyikapi masalah-masalah kontemporer, terutama usahanya yang gigih dalam merukunkan berbagai agama dan peradaban dengan melalui penghayatan terhadap ruh ajaran Islam, secara otomatis turut menepis label negatif pada komunitas muslim yang sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Maka, dialog antar agama dan peradaban yang gencar disosialisasikan oleh pemerintah Tunisia dibahwa kepemimpinan presiden Zeine Abidin Ben Ali, pada tataran praktis akan membangun image di mata dunia internasional bahwa masyarakat muslim adalah masyarakat yang santun, bijaksana serta peduli dengan masalah-masalah mendasar kemanusiaan. Bukan tidak mungkin dari langkah ini ajaran Islam akan menjadi sumber inspirasi alternatif untuk membangun peradaban umat manusia yang lebih harmonis. Dimana letak geografis Tunisia sangat strategis menjadi gerbang dialog antara budaya Timur dan Barat yang kerap dijadikan dikotomi peradaban umat manusia.


* Tulisan ini dipublikasikan di bulletin Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Tunisia