Friday, November 27, 2009

Buka-tutup Jalan: Materi Ushul Fiqh dan Maqasid Syari’ah


Oleh: Arwani Syaerozi

Ad dzara’i (bentuk jamak dari Adzari’ah) maknanya adalah: perkara mubah (boleh) yang pada ujungnya bisa membawa pada titik kemadharatan (diharamkan oleh agama), atau bisa membawa pada titik kemaslahatan (dianjurkan oleh agama). Maka, pada saat berujung pada madarat (kerusakan) ulama memblokirnya, dan pada saat berujung pada maslahat (kemaslahatan) mereka memperbolehkannya.

Memblokir jalan:

Transaksi jual beli atau akad-akad lainnya, adalah sesuatu yang boleh, akan tetapi kalau dilakukan pada saat menjelang (mendekati sholat Jum'at) ia diharamkan (tapi tetap sah), karena akan membuat pelakunya lalai akan kewajiban sholat Jum'at.

Menghujat sesembahan orang non muslim, hukum asalnya boleh atau bahkan dianjurkan, akan tetapi yg demikian ini akan menimbulkan "serangan balik" dengan menghujat Allah Swt, maka ulama sepakat melarangnya, saddan li ad dzara'i (memblokir jalan).

Melamar gadis yang sudah (sedang) dipinang oleh orang lain, melamar hukum asalnya boleh, akan tetapi dalam kasus ini akan menimbulkan perselisihan / konflik, maka ulama melarangnya.

Menjual buah anggur ke pihak / perusahaan yg memproduksi minuman keras, hukum asal jual-beli adalah boleh, akan tetapi dalam kasus ini dilarang (haram) karena akan menimbulkan perkara yg dilarang agama.

Membuka jalan:

Sebagaimana saya sebutkan di awal tulisan, bahwa ad Dzara'i (perantara/media) ini pada kasus-kasus tertentu dibuka, ulama mengistilahkannya dengan fath ad Dzara'i (membuka jalan) ia merupakan oposit dari Sad ad Dzara'i (memblokir jalan).

Contoh aplikasinya: memberikan harta/fasilitas kepada musuh (dalam perang) atau pembajak, sebagai tebusan untuk membebaskan tawanan/sandera. ulama membolehkannya dengan alasan fath dzara'i (membuka jalan) untuk sesuatu yang lebih maslahat.

Menyuap seseorang atau pihak tertentu untuk keputusan hukum yg sebenarnya, pada saat ia didzalimi (dianiaya atau direkayasa dalam pengadilan). Artinya, status hukum yg seharusnya ia terima tidak bisa didapatkan kecuali dengan mengeluarkan uang/harta. Maka ulama membolehkannya dengan alasan fath Dzara'i (membuka jalan) untuk mendapatkan haknya.

Termasuk Materi Ushul Fiqh dan Maqasid:

“Ad Dzara'i: saddan wa fathan” (memblokir dan menutup jalan) adalah materi kajian Ushul fiqh dan Maqasid Syari’ah. Imam Al Qarrafi (w: 684 H) dalam bukunya ad Dzakhirah menyatakan bahwa: “Ada dua hal yang berkaitan dengan hukum syari’at, pertama adalah al Maqasid (tujuan), terejawentahkan dalam menggapai maslahat (kemaslahatan) dan mencegah mafsadat (kerusakan). Yang kedua adalah al wasa’il (perantara/media), yaitu sesuatu yang menjadi jalan untuk mencapai al Maqasid (tujuan).

Dari penjabaran al Qarrafi di atas, kita bisa mengkatagorikan kajian “ad Dzara’i: saddan wa fathan” (memblokir dan membuka jalan) masuk ke dalam katagori kedua, yaitu berkaitan dengan al Wasa’il (peratara/media).

Untuk itu, Nuruddin al Khadimi dalam bukunya Al Maqasid as Syar’iyah wa Sillatuha bi al Adillah as Syar’iyah (Relasi antara Maqasid Syari’ah dan Dalil Syar’i) menyatakan bahwa: “Ad Dzara’i: Saddan wa fathan” (memblokir dan membuka jalan) walaupun dibahas dalam ushul fiqh, dalam bab “al adillah al mukhtalaf fiha” (dalil-dalil yg masih diperdebatkan validitasnya), ia juga merupakan materi kajian Maqasid Syari’ah, karena erat berhubungan dengan kemaslahatan dan kemafsadatan.

Sunday, November 1, 2009

Proses Editing Disertasi


Sekitar tiga bulan terakhir ini (Agustus-September-Oktober) saya sengaja menyibukkan diri sebagai editor dalam sebuah “proyek” yang tidak lain sebuah “kewajiban”, yaitu proyek penyusunan disertasi. Ternyata data awal yang sudah saya garap semenjak 1 (satu) tahun yang silam (2008), masih sangat jauh dari “hasil final”. Dua hal yang menjadi titik kerja, yaitu; penambalan “lobang-lobang” materi dan penyelarasan bahasa.

Kalau saja disertasi yang saya garap ini dengan menggunakan bahasa Indonesia, mungkin dalam hitungan dua atau tiga bulan proses editing ini akan bisa kelar, akan tetapi Bahasa Arab yang menjadi bahasa resmi Maroko telah membuatku sedikit “memutar otak” untuk bisa menggunakan kosa kata dan kalimat yang “tepat” dalam setiap topik pembahasan, hal inilah yang pada akhirnya membutuhkan waktu dan kesabaran dalam menyusunnya. Bagaimanapun, saya berharap - Insya Allah – proyek ini akan bisa kelar tepat pada waktunya alias “On Time”.

Wednesday, September 2, 2009

Membedah buku « al Fikr al Maqasidi » karya Dr. Raisuni


Oleh : Arwani Syaerozi *


Maqasid Syari'ah (selanjutnya disingkat menjadi MS) atau tujuan syari'at merupakan kajian yang awalnya menjadi suplemen dalam ilmu ushul fiqh, sejalan dengan waktu, para ulama yang berkonsentrasi di bidang ushul fiqh dan fiqh kontemorer menitik beratkan perhatiannya pada maqasid syar'iah.

Dalam Ushul Fiqh, biasanya pembahasan maqasid syari'ah dibahas berkaitan dengan masalah dalil al Qiyas (analogi), tepatnya pada pembahasan illat al Ahkam (motif / sebab hukum). Salah satu perangkat untuk menemukan illat yang tidak diungkapkan secara eksplisit dalam teks al Qur'an maupun as Sunnah adalah al Munasabah (keselarasan antara hukum dan hikmah), as Sabr (keterikatan hukum pada satu motif) ataupun al Istiqra (penelitian). Sub-sub judul seperti inilah yang pada awalnya menyinggung pembahasan maqasid syari'ah.

Seiring dengan semakin kompleksnya problematika yang dihadapi oleh umat Islam, banyak realitas di tengah masyarakat yang membutuhkan status hukum fiqh, pada saat yang sama, ulama memandang perlu adanya pengembangan perangkat ijtihad. Karena perangkat Ushul Fiqh yang ada, dipandang tidak lagi efektif untuk dijadikan sebagai satu-satunya otoritas yang menangani proses penggalian hukum fiqh. Kemudian ditangan maestro pemikir-pemikir Islam seperti al Juwainni, al Izz bin Abd. Salam, al Qarrafi, al Ghazali, dan as Syatibi, kajian maqasid syari'ah gencar digulirkan di tengah publik intelektual muslim.

Motif penulisan buku:
Dalam rangka upaya untuk mengefektifkan proses ijtihad fiqh dan menggulirkan reformasi pemikiran Islam dewasa ini, kajian maqasid syari'ah semakin banyak digandrungi oleh kalangan akademisi dan intelektual muslim. Indikasi awalnya bisa dilihat dengan penerbitan dan penyebaran dua buku karya ulama Andalusia (Spanyol) Abu Ishak as Syatibi, yaitu buku: al Muwafaqat dan al I'tisham.

Pada permulaan abad ke 20 Masehi, pasca terbitnya dua buku ini, semakin banyak kajian tentang maqasid syari'ah yang ditulis oleh kalangan akademisi dan intelektual muslim. Bahkan, menurut Ahmad Raisuni (penulis buku ini), minat dan perhatian tersebut berlanjut hingga sekarang, sehingga kita - saat ini - merasakan adanya "ladang maqasid" dalam literatur ilmu-ilmu Islam, dan « ladang maqasid » ini tentunya dapat kita kembangkan bersama sebagai spesifikasi kajian Islam kontemporer. Kajian maqasid syar'ah ini pun telah dijadiakan sebagai mata kuliyah di berbagai lembaga pendidikan Islam. (hlm. 7)

Diakui oleh Ahmad Raisuni, bahwa sebagai bentuk kontribusi atas proyek reformasi pemikiran Islam, sengaja saya menyusun buku seputar pemikiran maqasid syari'ah. Paling tidak, melalui buku ini, saya bisa menyampaikan gagasan dan pemikiran saya berkaitan dengan kajian ini. Di samping itu, buku ini juga ditulis atas permintaan dua orang intelektual, yaitu : Abd. al Kabir al Alawi (Direktur penerbitan Mansyurat az Zaman) dan Muhammad Sabila (dewan pakar di penerbitan Mansyurat az Zaman). Dengan demikian, buku ini ditulis dan diterbitkan sebagai kontribusi untuk pengembangan "ladang maqasid" juga sebagai respon atas permintaan dua orang kawan tersebut.

Substansi buku :
Sesuai dengan tema buku ini, isi yang dibahas di dalamnya mencakup tiga hal penting, yaitu: Pertama- seputar logika maqasid syari'ah, Kedua- seputar kaidah maqasid, dan Ketiga- berkaitan dengan manfaat dari kajian maqasid syai'ah.

A. Logika Maqasid Syari'ah

Setelah mendefinisikan istilah MS baik dalam makna etimologi maupun terminologinya, penulis mengupas sekilas tentang pemetaan maqasid ke dalam maqasid ijmaliyah (tujan global) dan maqasid tafsiliyah (tujuan parsial). Yang pertama, bahwa kita meyakini dalam hal penciptaan syari'at dan pembebanan hukumnya kepada umat manusia terdapat hikmah dan tujuan tertentu. Mengutip statemen as Syatibi: " Tujuan dari pembuatan syari'at adalah untuk menyelamatkan umat manusia dari kungkungan hawa nafsu, sehingga ia mengakui sebagai hamba Allah secara suka rela, sebagaimana ia mengakui hal demikian secara paksa " (al Muwafaqat: 2/168). Menurut Ahmad Raisuni, ini merupakan tujuan global, sebab berkaitan dengan landasan diciptakannya syari'at, juga karena tujuan yang demikian ini tidak hanya dikhususkan keterkaitannya dengan sisi tertentu dalam syari'at Islam.

Berbeda halnya dengan anjuran Rasulullah Saw kepada umatnya yang hendak membangun bahtera rumah tangga (menikah), ia menganjurkan kepada kaum laki-laki agar melihat langsung sosok wanita yang akan menjadi calon isterinya, hal ini dengan tujuan agar bahtera rumah tangganya dibangun atas dasar kesadaran dan kecintaan, sehingga kelak menjadi keluarga yang bahagia. Menurut penulis, hal semacam ini merupakan tujuan parsial, MS yang hanya berkaitan dengan bab Nikah, atau lebih spesifik lagi berkatan dengan proses pertunangan. (Hlm. 14-15)

Dalam kesempatan ini, Ahmad Raisuni juga membahas seputar tujuan diutusnya para Rasul (utusan Allah) kepada umat manusia. Inti dari maqasid al Bi'tsah an Nabawiyah adalah untuk memberikan petunjuk kepada umatnya agar berada dalam jalan yang diridhoi oleh Allah. Di samping tujuan untuk mendidik dan menyebarkan kasih sayang antar sesama. Yang menarik, dalam kajian seputar tujuan diutusnya para Rasul ini, Ahmad Raisuni mengkerucutkan kesimpulannya ke dalam dua hal: Pertama- bahwa MS secara umum hanya merupakan sisi aplikasi dari diutusnya para utusan. Kedua- bahwa pemahaman komprehensif terhadap tujuan di utusnya para Rasul akan sangat membantu dalam memahami MS secara umum. (Hlm. 17)

Setelah menjabarkan tingkat kemaslahatan, yang mencakup dharuriyat (primer), hajiyat (sekunder), dan tahsiniyat (tersier), Ahmad Raisuni mengarahkan pembaca buku ini kepada inti sub judul, yaitu makna al Fikr al Maqasidi (logika maqasid), di mana yang dimaksud dengan hal ini adalah: 1- pemikiran yang dilandasi pada keyakinan akan adanya tujuan bagi syari'at agama (khusunya Islam) 2- pemahaman detail dan komprehensif terhadap MS, 3- corak berfikir yang berorientasi mendialogkan antara teks-tujuan-realitas dalam memahami syari'at Islam. (Hlm. 34-35)

B. Kaidah Maqasid Syari'ah

Ada empat kaidah MS yang ditawarkan oleh Ahmad Raisuni dalam bukunya ini, Pertama- setiap hukum syari'at pasti mu’allalah (memiliki motif), Kedua- setiap maqasid (tujuan) harus memiliki dalil yang valid, Ketiga- pengurutan level maslahat dan mafsadat, Keempat- pembedaan secara jeli antara al Maqasid (tujuan) dan al Wasa'il (perantara).

Menurut Ahmad Raisuni, Allah Swt tidak menciptakan makhluk sekecil dan se-remeh apapun kecuali ada tujuan dan hikmahnya tersendiri. Begitu juga dengan interaksi manusia yang mencakup ucapan, tindakan dan keputusan, akan selalu memiliki tujuan. Dan tujuan-tujuan manusia ini kemudian harus singkron dengan tujuan pembuat syari'at (Allah Swt dan Rasulnya). Berkaitan dengan hal ini timbul kaidah fiqh "al Umur bi maqasidiha" (segala sesuatu tergantung tujuannya). Untuk menguatkan kesimpulannya ini, penulis menyertakan beberapa ayat al Qur'an yang berkaitan dengan hal ini, di antaranya adalah : Qs. Ad duhkan: 38 dan al Qamar: 49.

Yang menarik dari penjelasannya seputar at Ta'lil (motif hukum) ini, adalah keyakinan Ahmad Raisuni akan posisi asal dari hukum syari'at adalah mu’alllalah (memiliki motif) termasuk lingkup ibadah. Walaupun pada tataran praktisnya, ada beberapa hukum syari'at (lingkup ibadah) yang belum bisa diungkap motif dan hikmahnya, untuk itulah – menurut penulis - sekiranya para pakar harus terus berusaha mengungkapnya. (Hlm. 42-43)

Kemudian setiap al Maqasid (tujuan) ini harus memiliki dalil syar'i (argumen yang valid), hal ini merupakan kaidah kedua yang ditawarkan oleh penulis. Ada tiga dalil yang dijadikan oleh Ahmad Raisuni sebagai alat untuk mengungkap MS sekaligus untuk menguatkan eksistensinya. Pertama- Penguasaan bahasa arab, mengutip statemen as Syatibi dalam pembahasan tujuan Allah Swt dalam menetapkan syari'at kepada umat manusia, bahwa: " al Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab, maka tidak ada jalan untuk memahami substansi dan tujuannya kecuali dengan memahami bahasa ini " (al Muwafaqat: 2/64). Kedua- melalui metode penemuan illat (motif hukum), yaitu mencakup teks al Qur'an dan as Sunnah, Ijma' (konsesus ulama), isyarat terhadap satu tujuan, dan al Munasabah (keselarasan antara hukum dan obyeknya). Ketiga- al Istiqra' (penelitian) dengan mengkaji secara detail beberapa kasus dan atau beberapa teks dalam lingkup syari'at, kemudian mengambil konklusi sebuah maqasid (tujuan) dari penelitian tersebut.

Berkaitan dengan kaidah level maslahat dan mafsadat, menurut Ahmad Raisuni menertibkan urutan kemaslahatan dan kemafsadatan dianggap hal penting dalam kaidah MS (Hlm. 68). Sebagaimana kita ketahui bahwa kemaslahatan terbagai ke dalam tiga tingkatan yaitu dharuriyat (primer), hajiyat (sekunder) dan tahsiniyat (tersier), masing-masing tingkatan ini memiliki al Mukammilat (penyempurna). Ia menegaskan juga bahwa sebagaimana MS memiliki teori pengurutan antara kemaslahatan dan kemafsadatan, al Wasa’il (perantara) juga memiliki tingkatan yang sama sebagaimana al Maqasid.

Ahmad Raisuni menguatkan kaidah tingkatan maslahat dan mafsadat ini dengan realitas kehidupan, bahwa antara jenis makhluk ada perbedaan, bahkan - dari segi kualitas - satu jenis pun terdapat perbedaan. Ketika penulis mengembalikan realitas ini kepada teks al Qur’an, ia mengutip firman Allah « Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang di ajak berdialog langsung dengan Allah, dan sebagian yang lain ditinggikan beberapa derajat” (Qs. Al Baqarah : 253) bahwa para utusan Allah Swt pun memiliki tingkat perbedaan. Sedangkan dalam sebuah hadits, Ahmad Raisuni mengutip statemen Rasulullah ketika ditanya tentang amal perbuatan yang paling dicintai oleh Allah Swt, « Sholat pada waktunya, kemudian membahagiakan kedua orang tua, kemudian berjuang di Jalan Allah «. (HR. Bukhori dan Muslim)

Adapun pengurutan tingkat mafsadat, penulis mereferensikan kaidahnya kepada firman Allah (yang artinya) « Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang untuk dikerjakan, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia ». (Qs. an Nisa : 31) dalam tafsirnya, Ibn Asyur mengklasifikasi perbuatan ma’siat ke dalam katagori besar dan kecil. Referensi lain adalah sabda Rasulullah Saw: « Dosa paling besar adalah menyekutukan Allah, kemudian mendurhakai kedua orang tua, kemudian melakkukan kesaksian palsu « (HR. Bukhori). Dari kaidah pengurutan ini, kita mengenal teori yang menyatakan bahwa: « Syari’at akan menupayakan tercapainya sesuatu yang paling maslahat walaupun harus membiarkan maslahat-maslahat lainnya terlewat, dan ia akan mencegah sesuatu yang paling mafsadat walaupun harus melalui mafsadat-mafsadat lainnya ».

Yang menarik, sebagai penutup dari pembahasan ini, Ahmad Raisuni mengutip ungkapan hikmah bahwa : orang yang cerdas bukanlah mereka yang dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk kemudian memillih yang baik, akan tetapi orang yang mampu membedakan antara yang paling baik diantara yang baik dan yang paling madharat di antara yang madharat. (Hlm. 75-76)

Kaidah terakhir, adalah membedakan antara al Maqasid (tujuan) dan al Wasa’il (perantara), definisi « wasilah » adalah: sesuatu yang dijadikan sebagai perantara untuk menggapai tujuan, ia sendiri bukan merupakan tujuan. Kaidah ini oleh Ahmad Raisuni dikuatkan dengan statemen Imam al Qarrafi yang menyatakan bahwa muara hukum ada dua hal, yaitu al Maqasid (tujuan) yang mencakup maslahat-mafsadat, dan al Wasail (perantara) yang menjadi jalan untuk mencapai kepada tujuan. (Hlm. 78-79). Ahmad Raisuni kemudian mencoba memaparkannya dengan sebuah contoh, ia mengutip Qs. al Jum’at ayat : 9 yang memuat perintah as Sa’yu (bergegas) dan larangan al Bai (jual beli). Menurutnya, perintah dan larangan di sini bukan sesuatu yang dituju secara dzatnya, akan tetapi hanya sebagai perantara, dimana as Sa’yu (bergegas) adalah untuk tujuan sholat jum’at di masjid, begitu juga pelarangan al Bai (jual beli) pada waktu tiba sholat Jum’at, yaitu untuk tujuan terlaksananya sholat tersebut, karena transaksi jual beli akan mengganggu pelaksanaan sholat Jum’at. (Hlm. 78)

Inti dari kaidah ini adalah ; bahwa kita harus bisa 1- membedakan antara al Maqasid (tujuan) dan al Wasa’il (perantara) dalam segala hal, 2- Memahami bahwa dalam hukum syari’at pun terdapat tujuan dan perantara, 3- wasilah sendiri terkadang membutuhkan wasilah lainnya untuk bisa mencapai kepadanya, maka yang terakhir ini disebut sebagai wasilatu al wasilah (perantaranya perantara), dan yang demikian ini dianggap juga sebagai tujuan dari wasilah yang kedua. Adapun status hukum al Wasa’il tergantung tujuannya.

Sebagai contoh : perintah untuk mengeluarkan zakat fitrah berupa 1 Sha’ dari makanan, atau gandum, atau kurma, atau keju. Apakah bentuk makanan yang telah disebutkan oleh Rasulullah adalah maqasid atau wasilah?, dalam hal ini Ibn. Abbas Ra menjelaskan tujuan disyari’atkannya zakat fitrah adalah untuk membersihkan orang yang berpuasa dari keluputan dan kelalaian, juga sebagai bentuk kepedulian terhadap orang miskin. Maka menurut Ahmad Raisuni, bentuk-bentuk makanan dalam hadist di atas bukan merupakan tujuan akan tetapi hanya sebuah wasilah yang bisa berubah sesuai dengan tempat dan waktu. (Hlm. 83-84)

C. Manfaat kajian Maqasid Syari’ah :
Ada lima faedah yang diebutkan oleh penulis dalam bukunya, angka ini bukan merupakan suatu pembatasan atas manfaat-manfaat dari kajian MS, akan tetapi hanya sebagai contoh saja, sebab tidak menutup kemungkinan terdapat manfaat lain yang lebih luas jangkauannya.

1- MS sebagai kiblat para mujtahid
Istilah ini sebenarnya statemen imam al Ghazali yang dikutip oleh imam as Suyuthi dalam bukunya seputar pro-kontra penutupan pintu ijtihad. Menurut Ahmad Raisuni, kajian MS akan memberikan manfaat yang luar biasa bagi kalangan mujtahid. Dengan menguasainya, orientasi perhatian mereka akan selalu mengarah pada « tujuan » dibalik sisi lahir teks al Qur’an dan as Sunnah. al Ghazali dalam hal ini menganjurkan kepada pakar yurispunden Islam untuk berusaha mengkaji rahasia suatu perbuatan dan perkataan. (Hlm. 91-92)

Berkaitan dengan manfaat ini, Ahmad Raisuni juga menyinggung aliran-aliran dalam penafsiran teks agama. Ia membagi ke dalam tiga golongan: Pertama- al Ittijah al Maqasidi, yaitu ulama yang mengorientasikan tafsirnya pada MS, mereka meyakini bahwa Shohib an Nash (Allah dan Rasul-Nya) memiliki tujuan tertentu dibalik khitob (statemennya), kelompok ini dikenal proporsional dalam menyandarkan tafsirnya pada MS. Kedua, al Ittijah al Lafdzi, yaitu aliran yang hanya menyandarkan pada sisi lahir teks al Qur’an dan as Sunnah, tanpa memandang apa yang ada di balik teks, Ketiga, al Ittijah at Taqwili, yaitu mereka yang berlebihan dalam menyandarkan tafsirnya pada MS, tidak mengikat pada teori dan kaidah MS yang ditetapkan oleh pakar-pakarnya, sehingga terkesan serampangan dalam menafsirkannya. (Hlm. 94)

2- MS sebagai methode berpikir dan menganalisa.
Menurut Ahmad Raisuni, kajian MS bukan hanya layak dikonsumsi oleh para fuqaha dan mujtahid saja, akan tetapi bisa dikonsumsi oleh semua kalangan. Manfaatnya akan dirasakan sesuai dengan kadar pemahaman yang didapat. Paling tidak, akan memberikan imbas positif pada pola pikir dan cara pandang manusia. Bahwa sebelum melangkah dan mengerjakan sesuatu, ia akan mempertimbangkan prioritas tujuan yang harus dicapai, seberapa besar imbas positif dari tujuan tersebut, sehingga ia akan memfokuskan perhatian dan mencurahkan kemampuan dalam mengerjakan sesuatu. (Hlm. 99-104).

Barometer maslahat-mafsadat juga merupakan manfaat kajian MS bagi kalangan non fuqaha dan mujtahid, seperti mereka yang menekuni bidang ekonomi, politik, pendidikan, kemasyarakatan, kebudayaan dst. Mereka akan berusaha membedakan antara yang paling maslahat untuk kemudian dikerjakan, atau yang paling mafsadat untuk kemudian dihindari. Dengan cara pandang ini, pelaku ekonomi (misalkan) tidak akan melakukan proyek pengembangan ekonomi dan kesejahteraan, dengan mengorbankan pemeliharaan entitas manusia melalui dehumanisasi dan dekadensi moral. (Hlm. 101)

3- Orientasi buka-tutup jalan
Manfaat lain yang didapat dari kajian MS adalah pola membuka dan memblokir jalan, atau dalam istilah ushul fiqh-nya adalah « Adz Dzara’i : Saddan wa Fathan ». Pada saat kita memandang muara dari suatu perbuatan atau tindakan, kita akan mampu menghukumi « jalan « yang akan menuju ke muara tersebut. Inilah yang dimaksud dengan manfaat kajian MS, yaitu akan mampu menghukumi boleh tidaknya « proses / jalan » yang menuju ke muara suatu perbuatan. Sebenarnya, menurut Ahmad Raisuni, Orientasi membuka dan memblokir jalan (ad Dzara’i : Saddan wa Fatthan) ini merupakan contoh aplikatif dari kaidah MS yang berkaitan dengan membedakan antara tujuan dan perantara.

Dari pola buka-tutup jalan ini, kita mengenal kaidah fiqh « perkara yang menjadi penyempurna suatu kewajiban, maka hukumnya juga wajib «. Begitu juga ketika muara perbuatan atau tindakan itu negatif, maka jalan yang mengantarkan ke arahnya akan dilarang dan harus diblokir. (Hlm. 105-107)

4- Memperhatikan tujuan-tujuan manusia
Adalah kemampuan untuk mengapresiasi dan mempertimbangkan tujuan-tujuan hidup manusia, artinya bisa memposisikan «tujuan » sebagai barometer dalam berinteraksi sosial. Dalam hal ini Ahmad Raisuni mengutip statemen Imam as Syatibi yang membagi MS ke dalam dua katagori inti, Pertama- tujuan Allah Swt dan Rasulnya, Kedua- tujuan para manusia mukallaf (dewasa), masih menurut as Syatibi : bahwa hukum syari’at akan melihat tujuan sebagai barometer setiap tindakan dan perbuatan manusia « (al Muwafaqat : 2/323)

Di sini kita mengenal kaidah fiqh « setiap sesuatu tergantung tujuannya « atau kaidah dalam fiqh mu’amalat «Barometer akad transaksi adalah tujuan dan maknanya, bukan lafadz dan susunan kalimatnya«. Menguatkan eksistensi manfaat ini, penulis mengutip statemen Ibn. al Qayim: bahwa hal ini sebagaimana dalam lingkup Ibadah, niat atau tujuan juga menjadi barometer dalam interaksi sosial. (Hlm. 114)

5- MS menetralisir kejenuhan dan memupuk etos kerja
Ada ungkapan yang sangat terkenal berkaitan dengan manfaat kajian MS, yaitu : « Orang yang telah memahami tujuan, ia akan merasakan ringan atas segala rintangan ».

Menurut Ahmad Raisuni, apabila kita tidak mengetahui tujuan dan titik akhir dari suatu aktivitas dan kegiatan, maka kita akan cepat merasa bosan, malas, ragu, bahkan menghentikan aktivitasnya. Hal ini akan kerap terjadi pada saat kita menjalankan aktivitas atau kegiatan yang membutuhkan ketekunan, pengorbanan, keberlangsungan dalam waktu yang lama, serta membutuhkan kesungguhan. (Hlm. 115)

Dalam menjabarkan manfaat ini, Ahmad Raisuni juga menyinggung tentang cara perintah, larangan, atau anjuran dalam al Qur’an maupun as sunnah yang sering dibarengi dengan alasan dan sebabnya, hal ini menurut penulis tidak lain agar para hamba yang terkena khitob at taklif (pembebanan) menjalankan perintah, menjauhi larangan atau menetapi anjuran dengan penuh kesadaran.

6- MS sebagai perangkat da’wah Islamiyah.
Beranjak dari Firman Allah « «Katakanlah : inilah jalanku, saya akan mengajak kepada jalan yang di ridhoi oleh Allah dalam keadaan saya dan orang yang mengikutiku penuh perhatian dan pemahaman komprehensif » (Qs. Yusuf : 108)

Menurut penulis, dalam ayat ini terdapat dua hal berkaitan dengan dakwah : pertama, ajakan untuk menekuni jalan yang di ridhoi oleh Allah Swt, kedua- ajakan ini harus diejawentahkan dengan penuh perhatian dan pemahaman. (Hlm. 123)

Untuk itu, berkaitan dengan poin kedua, seorang da’i harus memahami kondisi sosial masyarakatnya, kondisi tempat dimana ia berdakwah, juga kondisi zaman pada waktu ia berdakwah, di samping ia juga harus memahahi subyek dakwah dalam hal ini pemahaman-pemahamn seputar agama. Dan dakwah dengan cara seperti ini tidak akan bisa dicapai kecuali seorang da’i telah menguasai kajain Maqasid syari’ah, memahami tujuan dan hikmah dalam syari’at Islam.

Penulis mencontohkan sosok da’i yang memenuhi kriteria ini adalah Dr. Yusuf al Qardhwai, menurutnya : ia telah memahami secara komprehensif kajian maqasid syari’ah. Dalam pembahasan ini juga penulis mengupas relasi antara kajian aqidah dan maqasid syari’ah.

Penutup :
Demikian ulasan buku seputar maqasid yang ditulis oleh Dr. Ahmad Raisuni, ternyata kajian maqasid syari’ah adalah hal yang sangat menarik bagi banyak kalangan, dan ia sendiri merupakan pengembangan kajian dari Ushul Fiqh. Buku ini, menurut saya adalah buku yang layak dikonsumsi oleh kalangan yang berminat memahami kajian maqasid syari’ah.


• Dipresentasikan dalam acara bedah buku yang diadakan oleh Departemen Sumber Daya Insani (SDI) Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Maroko, pada hari Minggu 30 Agustus 2009.

Monday, July 27, 2009

Bom Bunuh Diri: Perspektif Maqasid Syari’ah


Oleh: Arwani Syaerozi*

Atas nama Agama, segelentir orang masih menjustifikasi tindakan anarkisnya. Atas nama Tuhan, sekelompok manusia melegalkan pelenyapan nyawa sendiri dan hak hidup orang lain. Atas nama Nabi dan Rasul, satu komunitas bangga menimbulkan suasana kisruh di tengah masyarakat. Dan atas nama kitab suci, mereka pun tega memporak porandakan tempat sumber nafkah para karyawan dan pekerja yang tidak berdaya.

Baru-baru ini bom bunuh diri terjadi lagi di Negara kita (17/07), untuk kesekian kalinya, dalam motif yang tidak jauh berbeda dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Korban meninggal dan terluka berjatuhan, kerusakan infrastruktur dan bangunan tidak bisa dihindarkan, imbas psikologi bagi masyarakat disekitar kejadian yang lolos dari maut akan terus menghantui, sumber penghidupan bagi mereka yang bekerja di lokasi kejadian terganggu, kalau tidak terputus sama sekali, saling curiga dan berprasangka buruk antar sesama komponen bangsa menjadi fenomena berikutnya.

Motif dan Ideologi pelaku:

Dalam beberapa kasus yang terjadi di tanah air, mulai dari bom bunuh diri di Bali I dan II, sekitar kedutaan Australia di Jakarta, di hotel Ritz Carlton dan Jw Marriot I dan II, motif yang dapat kita simpulkan – dari hasil penyidikan pihak yang berwenang - adalah sentimen agama atau akidah. Harus kita akui, bahwa segelintir dari komunitas muslim di tanah air masih memandang perlu menggunakan kekerasan dalam upaya melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar (berdakwah di Jalan Allah), bahkan mungkin menganggapnya sebagai satu-satunya cara untuk melenyapkan kemungkaran di muka bumi. Akar dari cara pandang ini, kalau kita telusuri akan kembali pada salah satu dari dua kutub pro-kontra seputar formalisasi syari’at Islam di tanah air.

Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, menurut pandangan sebagian masyarakat muslim, harus mengaplikasikan syariat Islam secara formal, dijadikan sebagai pijakan dan konstitusi negara. Pendapat demikian ini berangkat dari pemahaman tekstual terhadap firman Allah dalam al Qur’an (Qs. 2:208, 5:49). Sementara sebagian muslim lainnya berpendapat, bahwa Syari’at Islam tidak harus diformalkan dalam sebuah institusi Negara, justeru syariat Islam harus diamalkan oleh setiap pemeluk Islam secara natural dan penuh kesadaraan, tidak perlu adanya penekanan dari sebuah institusi atau lembaga. Pendapat ini dilandaskan pada hasil ijtihad para ulama dengan melakukan pendekatan antara teks al Qur’an maupun as Sunnah dengan realitas dan kemaslahatan.

Menurut saya, dua wacana di atas harus direspon positif dan diapresiasi oleh semua komponen bangsa, terlepas dari mana yang lebih tepat untuk diterapkan dalam konteks negara Indonesia. Karena beberapa faktor; Pertama, komunitas muslim di Indonesia adalah mayoritas, maka yang disuarakannya pun akan sangat logis untuk didengarkan. Kedua, realitas heterogennya umat Islam di Indonesia, hampir semua madzhab akidah, fikih dan sekte pemikiran berkembang secara pesat. Hal ini menuntut timbulnya multi penafsiran terhadap ajarannya dan menafikan mono-tafsir. Ketiga, iklim demokrasi yang semakin kondusif dalam beberapa tahun terakhir telah mengakomodir kebebasan berekspresi, berpendapat dan berserikat. Kita tidak bisa memaksa para pengusung formalisasi syari’at untuk bungkam atau melarang dalam mewacanakannya ke publik, karena itu adalah wujud berpendapat yang haknya dilindungi oleh undang-undang, begitu juga kalangan yang kontra terhadap formalisasi syari’at, mereka punya hak untuk menyuarakannya, mempengaruhi publik dan pemerintah dalam hal ini. Yang penting dicatat dalam masalah ini adalah, bagaimana dua sudut pandang ini bisa ditemukan sehingga ada titik temu yang bisa diterima oleh kedua belah pihak. Bagaimana agar konflik “penafsiran” ini tidak menimbulkan teror, intimidasi dan huru-hara yang mengoyak ketentraman masyarakat. Dan bagaimana agar kebijakan pemerintah – dalam masalah ini – berjalan sesuai dengan keinginan publik, yang multi etnis, suku dan keyakinan sehingga bisa diterima oleh seluruh komponen bangsa.

Dari polemik di atas, para pelaku teror, intimidasi dan bom bunuh diri yang mengatas namakan agama, memiliki keyakinan bahwa perintah amar ma’ruf dan nahi munkar (berdakwah di jalan Allah) di bumi Indonesia perlu dilakukan dengan cara yang “tegas”, walaupun berakibat timbulnya korban jiwa, hancurnya infrastruktur, dan lenyapnya ketentraman dalam masyarakat. Keyakinan mereka ini, diperkuat dengan klaim bahwa Islam yang benar adalah apa yang mereka fahami, sementara yang lain tidak murni atau bahkan dikatagorikan sebagai komunitas syrik.

Akan tetapi, tidak berarti seluruh aktivis pengusung formalisasi syari’at di tanah air berpandangan sama seperti katagori di atas yang terkesan kaku dan keras. Kenyataannya banyak dari kalangan yang pro-formalisasi syari’at mengutuk peristiwa bom bunuh diri, dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak harus terjadi di tanah air. Seperti pernyataan sikap Partai Keadian Sejahtera (PKS) yang mengutuk peristiwa ini, dan respon Abu Bakar Ba’asyir pimpinan jama’ah Ansharut Tauhid, yang menurutnya hal semacam ini tidak perlu terjadi, karena justeru akan menghambat proses dakwah. (Koran tempo: 17/07).

Menjaga hak hidup: pilar maqasid syari’ah

Sejauh ini, para pelaku bom bunuh diri di berbagai Negara termasuk di tanah air merupakan orang-orang yang direkrut oleh jaringan tertentu. Mereka yang telah menjadi anggota akan dikader secara militan, didoktrin ideologi khusus, bahkan difasilitasi untuk berbagai kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Untuk kepentingan ini, dengan berkedok ajaran Islam, dalam diri mereka akan dipupuk sikap benci terhadap selain komunitas muslim, ditanam pemahaman legalitas (halal-nya) darah orang-orang non muslim dan para pelaku kemaksiatan kapan dan di manapun, sehingga dapat dilenyapkan dengan cara apapun, tanpa harus membedakan non muslim yang dilindungi secara hukum dan lainnya.

Dalam kerangka maqasid syari’ah (tujuan syari’at), hifdz an Nafs (menjaga hak hidup) termasuk dalam katagori ad Dharuriyat (hal-hal primer) yang akan selalu diperhatikan dan dijaga keberlangsungannya, bersentuhan dengan wilayah ini, berarti bersentuhan dengan pilar sangat sakral dalam maqasid syari’ah (tujuan syari’at). Untuk itu, syari’at Islam dan agama apapun menurut Abu Hamid al Ghazali (al Mustashfa: 2/482) dan Abu Ishak as Syatibi (al Muwafaqat: 2/266), melarang pemeluknya untuk menganiaya apalagi sampai menghabisi nyawa sendiri atau hak hidup orang lain (Qs. 6: 151), dengan tanpa adanya sebab yang membolehkan, seperti peperangan atau hukuman atas tindakan sebelumnya (Qishah), maka Islam memperbolehkannya. “Dan dalam Qishah itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” (Qs. 2:179).

Berkaitan dengan kasus bom bunuh diri akhir-akhir ini, ada dua pertanyaan menarik: Apakah perjuangan untuk formalisasi syari’at - oleh para pengusungnya - harus melalui mekanisme “huru-hara”?, sedangkan pada saat yang sama iklim demokrasi di Negara kita mengakomodir dan memungkinkannya untuk diperjuangkan melalui jalan damai (politik praktis). Apakah kewajiban untuk amar ma’ruf nahi munkar (berdakwah di jalan Allah) tetap dibenarkan dengan cara-cara kekerasan? Sedangkan kondisi di tanah air yang heterogen baik di internal umat Islam maupun di masyarakat secara keseluruhan menuntut untuk terciptanya toleransi antar sesama.

Realitas membuktikan bahwa mayoritas penggerak formalisasi syari’at memilih untuk berdiplomasi lewat jalur politik praktis, terbukti dengan adanya partai-partai politik berideologi Islam, walaupun sebagian lainnya masih memandang tabu dan haram mengikuti alam demokrasi. Dan para ulama pun telah sepakat bahwa amar ma’ruf nahi munkar tidak boleh dilaksanakan dengan mekanisme yang menimbulkan fitnah, seperti timbulnya ketidak tentraman di tengah masyarakat, dalam hal ini Rasulullah SAW sebenarnya telah mengingatkan fase-fasenya, yaitu: dengan kekuatan, atau dengan ucapan atau kalau tidak memungkinkan maka cukup dengan mengingkari di dalam hati (HR. Muslim: 49).

Apapun konteknya, dalam kacamata maqasid syari’ah (tujuan syari’at), Hifdz an Nafs (menjaga hak hidup) merupakan ad Dharuriyat (hal-hal primer) yang akan selalu diperhatikan dan dijaga keberlangsungannya. Hak hidup ini dijamin oleh agama untuk dirasakan oleh semua orang tanpa pandang bulu. Para ulama pun berpendapat bahwa menghapus kedzaliman (saling menganiaya) di tengah umat manusia adalah al Maqasid al Udzma (tujuan utama) diutusnya para Rasul ke muka bumi. Untuk itu, kalaupun benar bom bunuh diri baru-baru ini berdalih amar ma’ruf nahi munkar (berdakwah di jalan Allah) yang diyakini dan dilakukan oleh pelakunya, maka pada hakikatnya bersumber dari dangkalnya pemahaman terhadap ajaran agama, bukan dari ajaran agama itu sendiri. Wallahu’a’lam

Wednesday, July 15, 2009

Relasi kajian Maqasid Syari'ah


Oleh: Arwani Syaerozi

Tulisan ini terinspirasi dari buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Nuruddin al Khadimi, pakar Maqasid Syari'ah dari universitas Ezzitouna Tunisia. Yaitu buku yang berjudul "al Maqasid as Syar'iyah wa sillatuha bi al Adillah as Syar'iyah wa al Musthalahat al Ushuliyah" (Relasi kajian Maqasid Syari'ah dengan dalil Syar'i dan term-term Ushul fiqh). Buku ini merupakan rentetan dari empat buku yang diterbitkan dalam satu waktu, cetakan pertama pada tahun 2003.

Dalam uraiannya, penulis menjabarkan relasi maqasid Syari'ah dengan Dalil Syar'i yang disepakati oleh seluruh sekte Islam, seperti al Qur'an, as Sunnah, al Ijma' dan al Qiyas. dan dalil-dalil yang debatable (masih diperdebatkan), seperti al Istislah, al Istihsan, al Istishab, Qaul as Shahabi, al Urf, dll. Ia juga menyinggung hubungan kajian Maqasid Syari'ah dengan term-term ushul fiqh, seperti al Illat, al Hikmah, al Bid'ah, al Hilah, al Ahkam at Taklifiyah dan al Wad'iyah. dan disempurnakan juga dengan mengupas relasinya dengan ka'idah fiqh dan fiqh perbandingan.

Dalam relasi Maqasid Syari'ah dengan ushul fiqh, penulis menganggapnya sebagai hubungan cabang dengan induk, sebab, maqasid syari'ah - dalam arti sebagai sebuah kajian - dalam sejarahnya ia merupakan pengembangan dari skup pembahasan ushul fiqh. Secara substansi ia disarikan dari point-point parsial kajian ushul fiqh yang kemudian dikembangkan dan dispesifikkan dengan nama kajian Maqasid Syari'ah.

Bahasa yang digunakan dalam buku ini sangat sederhana, mudah dicerna, tampaknya, penulis sengaja mengemasnya dengan format demikian karena sasaran dari buku ini adalah para peminat kajian maqasid syari'ah yang masih dalam katagori pemula. Hal ini tentunya berbeda dengan beberapa bukunya yang lain, seperti "al Maqasid fi al Madzhab al Maliki" dan "al Ijtihad al maqasidi" kedua buku tersebut disetting oleh penulisnya sebagai bacaan kalangan intelektual menengah ke atas.

Nuruddin al Khadimi telah menelurkan lebih dari 20 karya ilmiyah dalam bidang ini, yang menarik dari penulis yang merupakan guru besar ini adalah, kemampuannya dalam mengklasifikasi karya tulisnya sesuai dengan target konsumennya, ia menulis secara sistematik buku-buku tentang maqasid syari'ah mulai dari yang diperuntukkan untuk kalangan pemula hingga para pakar.

Sunday, June 21, 2009

Berpijak pada Maqasid Syari’ah


Oleh: Arwani Syaerozi

Fikih atau biasa disebut dengan hukum Islam beserta perangkat-perangkatnya, seperti Ushl al Fiqh dan Qawaid al Fiqh, adalah diantara unsur-unsur penting dalam peradaban Islam. Semenjak pertama kali Islam diwahyukan kepada Muhammad SAW sebagai utusan, semenjak itu pula benih-benih wacana fikih digulirkan di tengah komunitas muslim.

Dalam sejarahnya, kajian fikih ini mulai memasuki tahap perkembangan secara pesat setelah berakhirnya periode Khulafa ar Rasyidin (kepemimpinan empat sahabat Nabi), lebih tepatnya pada masa para pemimpin mujtahid, seperti Abu Hanifah (w: 150 H / 767 M), Malik bn Anas (w: 179 H / 796 M), Muhammad bn Idris as Syafi’I (w: 204 H / 820 M), dan Ahmad bn Hanbal (w: 241 H / 855 M). Pada periode ini, literatur Islam semakin pesat berkembang, khususnya yang berkaitan dengan kajian fikih atau hukum Islam yang dibarengi juga dengan munculnya pakar-pakar kelimuan yang berkaitan, seperti ilmu hadits, tafsir, ushul fikih.

Keterbatasan teks baik al Qur’an maupun as Sunnah, yang mana telah final pasca wafatnya Rasulullah SAW, pada saat yang sama pola hidup manusia melalui kreativitas dan inovasinya terus berkembang seiring dengan perputaran waktu, telah mengharuskan para ulama fikih untuk bekerja keras dalam berijtihad untuk menemukan status hukum fikih dari setiap kasus dan persoalan yang terjadi di tengah masyarakat muslim.

Berkaitan dengan istinbath al Ahkam (pengambilan hukum fikih), proses ini akan memberikan konklusi hukum yang tidak mengena jika tidak dibarengi dengan pemahaman paripurna terhadap konsep dan kaidahnya. Dewasa ini, kita bisa melihat dua aliran yang cukup ekstrim, yang pertama kaum trekstualis, hanya menyandarkan proses pengambilan hukum fikih pada dzahir (sisi lahir) dari teks al Qur’an maupun as Sunnah, sehingga kesimpulan hukum yang dihasilkannya pun terkesan kaku, tidak jarang berbenturan dengan rasio dan realita.

Kelompok kedua adalah kalangan liberalis, yang dengan lantang menyuarakan pendekatan kemaslahatan dalam proses pengambilan hukum fikih. Di mana kemaslahatan yang dimaksud oleh kalangan ini adalah sebuah konsep “liar” yang tidak terikat oleh teks al Qur’an maupun as Sunnah, bahkan dalam beberapa hal, terkesan melampaui koridor Islam.

Kedua kalangan ini sangat ekstrim, yang pertama membatasi istinbath al Ahkam hanya pada sisi lahir dari teks al Qur’an dan as Sunnah saja, yang mengakibatkan lingkup ijtihad menjadi sempit. Sedangkan yang kedua tampak ekstrim dengan menyuarakan kaidah kemaslahatan “tanpa batas” yang cenderung ingin melepas proses ijtihad dari perhatian terhadap teks keagamaan.

Padahal, pada saat perangkat fikih berupa ushul fikih diwacanakan oleh as Syafi’i melalui karyanya ar Risalah, ulama-ulama fikih mulai membahas secara seksama segala hal yang berkaitan dengannya. al Juwaini misalnya, melalui bukunya al Burhan menyinggung Maqasid Syari’ah, begitu juga dengan muridnya al Ghazali dalam buku al Mustashfa. al Izz bn Abd. Salam melalui Qawaid al Ahkam membahas tuntas seputar kemaslahatan dalam koridor Maqasid Syari’ah, atau as Syatibi yang secara eksplisit mengangkat tema Maqasid Syari’ah dalam bukunya al Muwafaqat sebagai unsur pendukung Ushul Fikih produk ulama abad sebelumnya. Melihat realitas adanya ekstrim kiri dan ekstrim kanan di atas, kaidah kemaslahatan dalam koridor Maqasid Syari’ah yang digagas oleh para ulama ini patut untuk terus diwacanakan dewasa ini.

Dari sinilah kita perlu mendiskusikan, sejauh mana kaidah kemashlahatan ditolerir dalam proses pengambilan hukum fikih, Di manakah posisi Maqasid Syari’ah (tujuan syari’at) dalam proses ijtihad. Selama ini kita pun banyak mengenal pakar-pakar Fikih, Ushul Fikih, Tafsir Ahkam, Hadits Ahkam dari ulama-ulama yang hidup sebelum abad ke 21, yang mana mereka memiliki ide dan gagasan seputar kemaslahatan dan maqasid syari’ah, baik yang tertuang secara ekslpisit maupun secara implisit dalam karya-karya tulis mereka.

Sudah menjadi keharusan bagi para intelektual dan akademisi muslim yang berkecimpung dalam ranah kajian Islam untuk terus mengaktualisasikan konsep maqasid Syari’ah agar dapat dijadikan sebagai pijakan dalam proses istinbath al Ahkam dalam menyikapi kasus baik yang berkaitan dengan interaksi sosial, dunia bisnis dan ekonomi, lingkup politik, maupun kemajuan teknologi. Mengutip statemen Ibn Asyur (w: 1973 M) “Agar kita faham mana yang masuk dalam katagori tujuan, yang mana Syari’at dalam hal ini akan memprioritaskan perhatiannya, dan mana yang masuk dalam katagori perantara, sehingga ia hanya akan menjadi batu loncatan untuk merealisasikan tujuan” (Maqasid as Syari’ah al Islamiyah: 141).

Saturday, May 2, 2009

Kairouan: Ibukota kebudayaan Islam 2009


Oleh: Arwani Syaerozi*

Secara geografis Kairouan berada di wilayah teritorial Republik Tunisia, berjarak sekitar 156 km dari ibukota Tunis. Pada tahun 2009 ini, kota Kairouan ditetapkan oleh organisasi pendidikan, Ilmu dan kebudayaan Islam (ISESCO), sebagai ibukota kebudayaan Islam. Kota ini tergolong kecil, dengan jumlah penduduk sekitar 120 ribu jiwa.

Kota Kairouan pertama kali didirikan pada tahun 50 H / 670 M, oleh sahabat Rasulullah Saw bernama Uqbah bn Nafi’ (w: 63 H / 683 M), pada saat ia memimpin pasukan militer dinasti bani Umayah untuk berkonsentrasi di wilayah Afrika utara. Tekad yang diucapkan olehnya pada saat mendirikan kota Kairouan adalah sbb: “Saya berharap kota ini menjadi pangkalan militer dan tempat peristirahatan bagi kafilah (jalur lalu lintas), semoga kelak menjadi titik permulaan bagi kemenangan umat Islam”. Ruh dari statemen ini pada akhirnya menjadi sebuah kenyataan, karena sepeninggalnya agama Islam berkembang hingga ke Maghrib Aqsha (ujung barat Arab) yaitu Maroko dan hingga ke Andalusia (Spanyol), bahkan Islam hingga saat ini menjadi agama mayoritas penduduk negara-negara di kawasan Afrika utara.

Tokoh kenamaan dan saksi sejarah

Kairouan yang memiliki catatan sejarah besar, juga memilliki sejumlah nama tokoh dan ulama mendunia. Di antara ulama kota Kairouan adalah: Imam Sahnun (w: 240 H / 855 M) penulis buku al Mudawanah, pembesar madzhab Maliki yang belajar langsung pada Imam Malik bn Anas (w: 179 H / 796 M) di Madinah. Imam Abu Zaid al Kairouani (w: 386 H / 996 M) salah seorang pakar fiqh madzhab Maliki dengan bukunya Risalah, buku fikih sederhana namun menjadi rujukan utama. Abu Sa’id al Baradzi’i (w: 438 H / 1046 M) pakar hadits yang menulis buku at Tahdzib, sebagai upaya mensistematik-kan buku al Mudawanah karya Sahnun, Ibn. Rasyiq (w: 463 H / 1071 M) ahli sastra dengan karya monumentalnya al Umdah, memuat konsep penulisan dan kritik konstruktif sastra Arab.

Dari kota ini pula, asal pendiri masjid al Kairouwiyien di kota Fes Maroko (kelak menjadi salah satu dari tiga universitas Islam tertua di dunia, di samping Ezzitouna Tunisia, al Azhar Mesir), ia adalah saudagar perempuan bernama Fatimah bt Mohammad al Fihri, dan juga pendiri masjid Andalusia (Spanyol) yaitu Maryam bt Mohammad al Fihri (adik kandung Fatimah), di mana keluarganya merupakan imigran dari kota Kairouan, sehingga nama masjidnya pun dinisbatkan pada kota tersebut.

Adapun saksi sejarah kota Kairouan, kita bisa mengunjungi peninggalan tokoh pendirinya, yaitu sebuah masjid besar yang juga dikenal dengan Masjid Uqbah bn Nafi’ atau masjid agung, penampungan air Brutha, yang digunakan olehnya sebagai sanitasi, museum kota Kairouan, dan kita juga bisa berziarah ke makam Abu Zam’ah al Balwi (w: 34 H / 654 M), salah seorang sahabat Rasulullah yang wafat di Kairouan.

Kairouan: dikupas dari berbagai sisi

Dalam menyambut penetapan kota ini sebagai ibukota kebudayaan Islam 2009, para akademisi dan intelektual Tunisia serta dari negara-negara Arab lainnya mengadakan kegiatan simposium ilmiyah. Acara ini diselenggarakan pada tanggal 21 – 23 April bertempat di Bait al Hikmah Kairouan. Banyak hal yang diangkat sebagai tema kajian, semuanya berkaitan dengan kota Kairouan: dimulai dari lingkup geografis “Kairouan: dalam buku-buku geografi klasik dan kontemporer”, dari sisi kebudayaan “eksistensi kebudayaan Islam di Kairouan: semenjak didirikan hingga dewasa ini”, dari sisi keagamaan “Relasi keilmuan (fiqh) antara Kairouan, Andalusia dan Arab timur”, dari sisi sejarah “Kairouan di mata para petualang Arab”, dan tidak ketinggalan kajian seputar tokoh ulama legendaris asal Kairouan “Konsep pendidikan perspektif Imam Mohammad bn Sahnun”.

Penulis yang pernah tinggal selama dua tahun di Tunisia (2005-2007), menyaksikan dengan mata kepala sendiri suasana kota Kairouan, kota yang relatif tenang, kaya dengan nilai peradaban. Dengan peninggalan situs sejarah yang masih terawat dan terjaga, kota ini pun akan membawa alur pikiran para pengunjungnya menuju pada masa-masa di mana Uqbah bn Nafi’ memulai upayanya untuk membangun kota, pada masa di mana Imam Sahnun mendidik masyarakat muslim di Afrika utara, atau pada masa Ibrahim bn Aghlab (w: 196 H / 812 M) pemegang kendali dinasti Aghlabiyah memerintah wilayah Afrika utara dari pusat ibukotanya Kairouan.

Dengan kondisi demikian, sangat pantas jika UNESCO (organisasi pendidikan, ilmu dan kebudayaan PBB) mengkatagorikan Kairouan sebagai salah satu kota bersejarah dunia, dan ISESCO (organisasi pendidikan, ilmu dan kebudayaan Islam) menetapkannya sebagai ibukota kebudayaan Islam 2009. Selamat…!

Monday, April 27, 2009

Dialog dengan BBC seputar UU keluarga Maroko


(Dipandu oleh Ahmad Marzouk, wartawan senior radio BBC London)


Pada Februari tahun 2004, Maroko mulai menerapkan undang-undang baru, yang draftnya sempat menjadi sumber perdebatan sengit berbulan-bulan.

UU bernama Moudawana atau Mudawwanah al Usrah itu digambarkan mengubah banyak ketentuan pernikahan, perceraian dan pembagian warisan.

Mengapa undang-undang itu masih menjadi bahan pembicaraan hangat, lima tahun setelah mulai diberlakukan, seperti film komedi laris Number One.

Musik pengiring film tersebut populer di Maroko, sebagaimana alur ceritanya.
Sila dengar Paket Minggu: Kontroversi UU Keluarga Maroko

Tokoh utama film komedi ini adalah Aziz, yang digambarkan suka emperlakukan para wanita yang bekerja di perusahaannnya dan istrinya secara semena-mena.

Meski demikian, belakang karena pengaruh pesona istrinya, Aziz mulai lebih menghormati wanita dan berubah menjadi pria idola mereka.

Film Number One dinilai mencerminkan perubahan tajam yang dibawa oleh undang-undang Moudawana. Berdasarkan UU tersebut, wanita di Maroko kini bebas untuk menikah tanpa perlu izin kerabat pria, dan lebih mudah mengajukan tuntutan perceraian.

Mengenyam kebebasan

Di mata orang luar, perubahan status hukum bagi Wanita Maroko ini tidak begitu kentara, sebab banyak dari mereka telah mengenyam kebebasan seperti rekan mereka di dunia Barat. Setidaknya itulah pengamatan Maryam El-Wahdah yang tengah menyelesaikan program master sastra Arab di universitas Cadi Eyyadh di Marakesh.

Kondisi kehidupan kaum wanita di Maroko, seperti yang diamati Maryam El-Wahdah, dirasa sebagian kalangan masih perlu diperluas.

Apa penyebabnya? Arwani Syaerozi, adalah peneliti syariah yang tengah merampungkan program doktor di Universitas Mohammed V di Rabat.

Menurut Arwani, Moudawana menjanjikan pemberdayaan seperti dikehendaki aktivis hak wanita dan kubu sekuler di Maroko.

Dan, Sanae, seorang wanita muda yang berprofesi sebagi guru mengatakan telah mendapat manfaat dari UU Moudawana. Sanae bisa bercerai dan perceraian itu mungkin tidak akan terjadi tanpa Moudawana.

Di Pengadilan Keluarga di Kota Rabat, banyak orang mengurus perkara seputar sengketa perkawinan mereka.

Moudawana atau UU Keluarga memang mempercepat proses perceraian bagi wanita. Tapi, bagaimana kaum pria di negara memandang undang-undang tersebut?

"Ini bagus untuk wanita Maroko, sebab mereka mendapatkan hak," kata seorang pria.

"Tapi, bagi pria, ini mungkin benar-benar sia-sia. Akibat Moudawana, banyak orang bercerai. Mereka juga berfikir dua kali sebelum menikah," katanya.

Seorang pria menyatakan penolakan yang tegas. "Perlu waktu lama untuk membangun rumah tangga, dan akibat masalah sepele, anda bisa kehilangan segalanya. Tidak ada stabilitas antara istri dan suami," ujar si pria.

Dalam masa beberapa tahun setelah Moudawana diterapkan, jumlah perceraian sempat naik tajam, sebelum turun lagi.

Faktor mentalitas

Sementara itu, jumlah poligami meningkat.dan banyak perempuan usia d bawah 18 tahun diperkenankan menikah.

Menurut aktivis hak asasi manusia, Fatima Boutaleb, kondisi ini terjadi akibat Moudawana tidak diterapkan sebagaimana mestinya.

Menurut Fatima Boutaleb, undang-undang tersebut prestasi terbesar bagi kami kaum wanita Maroko, dan para aktivis wanita.

"Namun, pada saat yang sama, setelah lima tahun, kami kini dihadapkan dengan banyak tantangan, seperti kurangnya pelatihan tenaga yang bertugas menerapkan undang-undang," kata Fatima.

Dia juga menyinggung faktor mentalitas. "Kami benar-benar yakin bahwa orang belum mehamami benar isi dan makna, serta alasan di balik revisi undang-undang keluarga ini," katanya.

Bagi sebagian wanita Maroko, Moudawana mungkin mendatangkan kebebasan baru bagi mereka, termasuk kesempatan belajar bagi wanita seperti pengalaman wanita ini.

Namun, bertahun-tahun setelah diberlakukan, undang-undang itu masih menjadi topik hangat dalam kehidupan sehari-hari Maroko, kata Maryam el Wahdah.

Perdebatan mengenai UU Keluarga tidak lepas latar belakang sosial politik Maroko sendiri.

Meski mayoritas penduduknya muslim, dan tradisi Islam dan Arab masih berakar kuat, Maroko juga masih memiliki banyak warisan kolonial Prancis, kata Arwani Syaerozi.


(Sumber:http://www.bbc.co.uk/indonesian/indepth/story/2009/03/090315_morroccanact.shtml)

Tuesday, March 31, 2009

Relevansi akhlak Rasulullah dalam kehidupan modern.


Oleh: Arwani Syaerozi*

Pendahuluan:

Akhlak adalah cermin dari kondisi suatu masyarakat yang di dalamnya mencakup individu-individu manusia. Baik dan buruknya akhlak seseorang akan mempengaruhi kualitas budi pekerti komunitas masyarakatnya secara umum. Bahkan barometer kemajuan dan kemunduran suatu peradaban bisa juga dilihat dari kualitas akhlak dan budi pekertinya.

Dalam kehidupan modern saat ini, kemajuan ilmu dan teknologi sangat pesat, batas-batas geografis negara atau bahkan benua tidak lagi mampu membendung arus globalisasi dalam segala lini kehidupan, termasuk lini sosial dan budaya. Gaya hidup suatu bangsa dengan mudah bisa diakses kemudian diaplikasikan oleh masyarakat bangsa lainnya. Imbas negatif maupun positif dari kenyataan ini tumpang tindih, sehingga menimbulkan polemik dalam tataran masyarakat luas, terutama bagi kalangan relegius dan pemerhati moral.

Di satu sisi, Islam adalah doktrin sekaligus peradaban yang telah eksis semenjak 15 abad yang silam. Dari segi kuantitas, penganut agama Islam berada pada level terbesar kedua di dunia. Saat Muhammad Saw dipilih oleh Allah Swt sebagai seorang utusan yang membawa misi rahmatan lil alami (rahmat bagi sekalian alam), saat itu pula Ia mendeklarasikan bahwa diantara prioritas misinya adalah pembangunan moral dan etika. "Sesungguhnya saya tidak diutus kecuali hanya untuk menyempurnakan budi pekerti" (HR. Ahmad dan Hakim). Hal ini diperkuat dengan realitas sejarahnya, karena sepanjang itu pula Islam telah memberikan perhatian penuh pada moralitas umat manusia.

Melalui prolog di atas, ada beberapa pertanyaan berkaitan dengan dunia modern yang cenderung membawa manusia kepada arah "dekadensi moral", sehingga komunitas muslim yang merupakan bagian dari umat manusia secara keseluruhan perlu juga mengantispasinya. Sejauh mana kebutuhan kita dalam melakukan filterisasi budaya dan gaya hidup pihak asing, agar kita tidak terkontaminasi pengaruh negatifnya? Dan melalui sosok nabi Muhammad Saw, kepribadian apakah yang paling urgen untuk diaplikasikan oleh para umatnya dewasa ini?

Profil singkat Muhammad Saw:

Muhammad bin Abdullah bin Abd. Muthalib bin Hasyim bin Abd. Manaf bin Qusai bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr. Nasabnya menyambung sampai kepada Adnan salah seorang keturunan nabi Ismail putra nabi Ibrahim A.S. yang merupakan sentral pertalian nasab para nabi.

Lahir pada hari senin tanggal 12 Rabiul Awal tahun gajah (570 M). Pada tahun kelahirannya terjadi peristiwa spektakuler, yaitu dikerahkannya pasukan tentara bergajah di bawah komando panglima perang bernama Abaraha, seorang gubernur Yaman untuk dinasti Najasyi yang berpusat di Ethiopia. Pasukan bergajah ini rencananya akan menghancurkan ka'bah di Makkah, yang pada saat itu menjadi pusat ritual peribadatan bangsa Arab, namun belum sampai kepada sasarannya, pasukan bergajah ini dihancurkan oleh Allah Swt dengan melalui burung Ababil yang menyerang dengan batu-batu kerikil dari neraka. (Qs. Al Fiil : 1-5)

Dari sisi ekonomi dan tingkat strata sosial, keluarga Muhammad termasuk kalangan sederhana dan bukan bangsawan. Semenjak usia kanak-kanak ia telah menjadi seorang yatim piatu, akhirnya yang mengasuh adalah pamannya Abu Thalib. Pada saat usianya mencapai tujuh tahun, ia ikut membantu perekonomian keluarga pamannya dengan bekerja sebagai penggembala kambing di kampung Bani Sa’d. Setelah beranjak dewasa ia dilibatkan dalam ekspedisi perdagangan dibawah manajemen perusahaan pamannya Abu Thalib. Bisnis yang ditekuninya adalah ekspor-impor komoditi dagang mencakup wilayah Makkah (Arab Saudi) dan Syam (Syria, Yordania dan sekitarnya).

Melalui kesibukan ekonomi ini, siti Khadijah, seorang saudagar perempuan di Makkah saat itu, menjadi tertarik melihat kepribadian Muhammd. Ia terkenal dengan pemuda yang memiliki etos kerja tinggi, jujur, dan kreatif. Hingga akhirnya siti Khadijah berkeinginan menjalin hubungan kelurga melalui pernikahan dengan beliau. Dan akhirnya siti Khadijah resmi menjadi istrinya yang pertama. Perkawinan itu terjadi pada saat Muhammad berusia 25 tahun, sedangkan usia siti Khadijah 40 tahun.

Dari pernikahannya dengan siti Khadijah, Muhammad Saw dikarunia enam orang anak, yaitu : al Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Umi kaltsum, dan Fatimah. Sedangkan puteranya yang bernama Ibrahim lahir dari istrinya yang bernama Maria al Qabthiyah.

Meneladani budi pekerti nabi Muhammad:

Banyak keistimewaan yang dimiliki oleh nabi Muhammad saw, sehingga banyak pula kalangan intelektual dan akademisi dari masa ke masa yang tertarik mengkaji dan mendalami berbagai aspek kehidupannya. Misalnya, Muhammad sebagai seorang negawaran, sebagi seorang bisnisman atau pelaku ekonomi, sebagai seorang da'i, sebagai seorang pemimpin dalam kelarga, sebagai rasul pilihan, dst.

Dalam kesmpatan ini, yang akan dikupas adalah kepribadan Muhammad Saw berkaitan dengan budi pekerti dan prilaku dalam berkeluarga dan bermasyarakat. Semua ini disesuaikan dengan tema besar yang diangkat pada kesempatan acara peringatan maulid nabi Muhammad saw. Yaitu « Relevansi akhlak Rasulullah Saw dalam kehidupan modern ».

Salah satu gelar yang disandang oleh nabi Muhammad saw adalah al Amin (yang dapat dipercaya), gelar ini dianugerahkan kepadanya oleh masyarakat Arab yang hidup pada saat itu, semua ini tidak lepas dari prilaku jujur yang selalu dikedepankan olehnya dalam berinteraksi sosial, sehingga orang-orang Arab saat itu selalu mempercayakan Muhammad untuk menjaga amanat-amanat mereka. Sedangkan gelar al Amin itu sendiri dilekatkan kepadanya secara formal, bertepatan dengan peristwa peletakan hajar aswad di Kabah.

Pada saat masyarakat Arab selesai merenovasi bangunan Ka'bah, mereka kemudian akan mengembalikan posisi hajar aswad pada tempatnya semula, di sinilah kerancuan terjadi, semua marga dan suku yang hadir saat itu merasa berhak untuk mengerjakan proses pengembalian posisi hajar aswad, mereka saling berebut, berselisih pendapat dan tidak ada yang bersedia mengalah. Jalan buntu menghadang di depan perselisihan tersebut, konflik fisik dan pertumpahan darah hampir mewarnai perselisihan itu.

Sebagai jalan tengah, akhirnya seluruh bangsa Arab sepakat dengan menyerahkan peletakan hajar aswad kepada orang yang pertama kali masuk ke pintu haram (areal Ka’bah). Pada saat keputusan bersama itu ditetapkan, datanglah Muhammad sebagai orang yang pertama kali masuk ke pintu areal Ka’bah. Secara serentak, orang-orang Arab yang hadir saat itu menyambut kedatangannya dan memberikan gelar kepadanya sebagai al Amin (orang yang dapat dipercaya).

Kepribadian lain yang juga menonjol dari sosok Muhammad Saw adalah sikap tegar dan sabar dalam menjalani kehidupan, terutama saat-saat menghadapi kesulitan. Pada saat perang Uhud, ia terluka di wajahnya, terkena serangan musuh, melihat kondisi ini, para sahabat menjadi khawatir akan keselamatannya, sebab serangan musuh semakin gencar dan bertubi-tubi. Maka para sahabat pun memberikan saran kepadanya : Wahai baginda Rasul, akan lebih baik jika engkau berdo’a meminta kepada Allah Swt agar membinasakan musuh-musuh kita saat ini juga, Rasulullah menjawab saran para sahabatnya ini : « Saya tidak diutus sebagai sosok yang suka melaknat, akan tetapi saya diutus sebagai pembawa rahmat dan kasih sayang bagi setiap orang« (HR. Muslim).

Kita juga bisa mengambil contoh lain dalam hal kesabaran dan ketabahannya saat menghadapi kesulitan, yaitu ketika Rasulullah dihina dan dicaci maki oleh masyarakat Tho’if, saat itu beliau sedang berdakwah menyampaikan risalah illahi kepada mereka. Bukan hanya sekedar menolak dakwahnya, akan tetapi masyarakat Tho’if saat itu menghina dan menghardiknya, bahkan meresponnya dengan serangan fisik dengan melempari batu-batu kerikil kepada beliau. Dalam kondisi demikian Rasulullah tidak serta merta melaknat mereka, padahal di tengah perjalanan pulang dari Tho'if, malaikat Jibril A.s mendatanginya bersama mailaikat penjaga gunung seraya menawarkan "jasa" untuk membinasakan kaumnya yang biadab itu, beliau menolak tawaran tersebut dan berkata: « Barangkali saja di masa yang akan datang, akan terlahir generasi-generasi mereka yang mengimani dakwah ini«. (HR. Bukhori dan Muslim)

Lebih ringkasnya, dalam mengkaji kepribadian Rasulullah saw ini kita bisa menyimak salah satu ayat dalam al Qur’an, yaitu surat at Taubah ayat 128 yang artinya « Telah datang kepada kalian, seorang utusan dari golongan kalian sendiri, ia merasa berat atas segala sesuatu yang menimpa diri kalian, selalu mengharapkan kebaikan atas diri kalian, dan ia adalah sosok penyantun dan penyayang kepada orang-orang yang beriman «.(Qs. At Taubah : 128)

Imam ar Razi (w: 1209 H / 606 M) dalam buku tafsirnya yang diberi judul Mafatih al Ghoib memaparkan bahwa ada empat kepribadian Rasulullah yang dijelaskan dalam ayat ini :

Pertama, keberadaan Rasulullah dari jenis makhluk manusia, adalah suatu keistimewaan tersendiri bagi makhluk Allah yang bernama « manusia ». Dengan diutusnya Muhammad (yang seorang manusia) sebagai seorang rasul, akan mempermudah komunikasi dan interaksi antara rasul dan umatnya.

Kedua, Rasulullah selalu merasa berat hati akan perkara-perkara negatif yang menimpa umatnya. Sebagian ulama mengartikan penggalan ayat ini, bahwa ia merasa susah dan berat hati apabila umatnya melakukan dosa dan maksiat kemudian tidak segera bertaubat.

Ketiga, Rasulullah selalu mengharapkan yang terbaik dari umatnya, keberhasilan baik di dunia maupun di akhirat, perhatian ini setidaknya mencontohkan betapa besar waktu, tenaga dan pikiran yang dicurahkan olehnya untuk memperhatikan kondisi umatnya, bukan hanya sebatas perhatian terhadap kondisi keluarga, kerabat atau koleganya saja, akan tetapi mencakup seluruh umat yang beriman.

Keempat, dalam ayat ini, Rasulullah diberi gelar dengan dua Asma al Husna (nama-nama Allah) secara sekaligus, yaitu sifat Rauf (penyantun) dan Rahim (penyayang). Kedua sifat ini telah menguatkan misi Rasulullah dalam melakukan dakwah Islamiyah, sebagaimana ditegaskan dalam ayat yang lain « Sesungguhnya saya tidaklah mengutus engkau kecuali sebagai kasih sayang bagi sekalian alam « (Qs. al Anbiya: 107)

Penutup :

Sebagai umat Islam, kita telah memiliki figur yang telah dijelaskan di atas, yaitu sosok Muhammad dengan kepribadian dan budi pekerti luhurnya. Sudah semestinya kita mencontoh kepada beliau untuk melakukan hal yang sama dalam diri kita. Ada kepribadian jujur, sabar, tabah, penyantun, penuh perhatian, yang mana kepribadian-kepribadian ini telah diaplikasikan secara langsung oleh Rasulullah selama masa hidupnya.

Apabila perubahan zaman, dengan kemajuan ilmu dan kecanggihan teknologinya tidak dapat dibendung oleh siapapun, dan pada saat yang sama perubahan pola hidup dan pola berfikir manusia terus mengikuti perubahan zaman tersebut, kita - sebagai komunitas muslim - perlu mengikat diri kita pada nilai-nilai religius, hal ini agar imbas kemajuan yang terkadang mencabik-cabik nilai kemanusiaan, seperti penghalalan segala cara dalam mencapai tingkat strata sosial atau dalam rangka mengkoleksi materi, bisa diredam dengan kesalihan individu yang merupakan imbas dari nilai-nilai agama.

Kemudian globalisasi dalam segala lini kehidupan yang memberikan kemudahan dalam mengakses budaya dan pola hidup bangsa lain, yang belum tentu sesuai dengan norma dan etika kita, dapat kita minimalisir imbas negatif dari globalisasi ini dengan berpegang pada budi pekerti Rasulullah saw, bukankah sebagai seorang muslim kita akan lebih dinamis dan singkron dengan kepribadian Muhammad sebagai suri tauladan dari pada prilaku komunitas lainnya ?

Maka, filterisasi budaya dan pola hidup yang kita butuhkan pada saat ini adalah dengan cara menyandarkan referensi moral dan etika keseharian kita kepada contoh luhur budi pekerti Rasulullah Saw, mengutip salah satu ayat dalam al Qur’an : «Sesungguhnya engkau berada dalam budi pekerti yang luhur « (Qs. al Qalam: 4)






* Makalah ini dipresentasikan dalam seminar peringatan maulid Nabi Muhammad Saw di KBRI Rabat, Jum'at 13 Maret 2009.