Friday, September 14, 2007

Ijtihad Maqashidi: optimalisasi peran ushul fiqh

Oleh: Arwani Syaerozi

Dalam menghadapi satu konteks permasalahan yang membutuhkan status hukum, pertama-tama para fuqaha (yurispunden Islam) akan melacak secara langsung nash (teks) dalam al Qur`an maupun as Sunnah, yang keduanya merupakan rujukan utama bagi hukum Islam. Apabila mereka tidak menemukan penjelasan detail berkenaan dengan konteks yang sedang dihadapi, maka langkah berikutnya adalah mengembalikan pada dalil al Ijma (konsesus ulama dalam suatu hukum), kalapun dalam fase ini masih belum ditemukan status hukumnya, maka mereka akan beralih ke dalil al Qiyas (Analogi).

Proses analogi ini akan berusaha mencari persepadanan kasus yang telah ada hukumnya, untuk kemudian hukumnya diaplikasikan pada kasus yang sedang dihadapi. Biasanya yang menjadi titik perhatian dalam ber-analogi adalah mencari point persamaan dalam illat (sebab) yang merupakan substansi permasalahan. Proses berikutnya, ketika mereka tidak juga menemukan persepadanan, maka dengan mencari format hukum melalui beberapa proses yang disebut dengan al Istidlal atau al Adillah (prosegentatif), yang merupakan tahap akhir dalam berijtihad.

Sedangkan relasi kinerja seorang faqih (yurispunden Islam) dalam menerapkan hukum pada setiap konteks permasalahan dengan kajian Maqasid Syari`ah terletak pada apapun produk hukum yang ditelurkan, maqasid syari`ah adalah sebagai muara utamanya.

Definisi ijtihad dan maqasid syari`ah :

Dalam sub juduI ini penulis hanya mengingatkan definisi ijtihad dan maqasid syari`ah dari sisi terminologi, tanpa terlampau jauh pada pembahasan jtihad dan maqasid syari`ah menurut etimologi, apalagi membongkar satu persatu setiap kosa katanya.

Komunitas Ushuliyin (pakar ushul fiqh) bisa dikatakan sepakat dalam mendefinisikan Ijtihad, karena perbedaan yang selama ini muncul tidak substansial, akan tetapi lebih kepada perbedaan ungkapan. Makna ijtihad dalam terminologi adalah: mencurahkan segala kemampuan dalam rangka menemukan hukum syar`i. Tentunya proses ini dengan melalui prosedur dan memenuhi kriteria tertentu.

Adapun maqasid syari`ah sebagaimana yang didefinisikan oleh Abu Ishak as Syatibi (w: 790 H) adalah: sesuatu yang menjaga kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat. (al Muwafaqat: 2/5) Dari definisi global ini Ibn `Asyur (w: 1973) dalam bukunya Maqasid as Syari’ah al Islamiyah (Hlm. 165) mencoba me-redefinisi sbb: adalah makna dan hikmah-hikmah yang keberadaannya selalu diperhatikan oleh Allah dan Rasul-Nya pada setiap penciptaan hukum.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa ajaran agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam) disyari`atkan untuk umat manusia, dan hukum-hukumnya pun selalu berkisar pada satu titik yang dituju oleh pembuatnya yaitu Allah Swt dan rasul Nya. Riset Ibn. `Asyur terhadap beberapa dalil baik al Qur`an maupun as Sunnah mengharuskan kita percaya bahwa semua hukum-hukum Islam digantungkan pada hikmah ataupun Illat (sebab) yang semuanya kembali pada kemaslahatan komunitas umat manusia. (Ibid: 37).

Dalam literatur Islam, istilah Maqasid Syari`ah erat berhubungan dengan kajian fiqh dan ushulnya. Terutama dalam bahasan masaliku al illat (metode menemukan sebab) dalam bab al Qiyas (dalil analog) lebih spesifik lagi ketika membahas al munasabah (keselarasan antara hukum dengan tujuan), dimana istilah lain dari al Munasabah adalah Riayatu al Maqasid (memperhatikan tujuan). Sehingga Abu Ishak as Syatibi - bapak ilmu Maqasid - dalam karya monumentalnya "al Muafaqat fi Ushuli as Syari`at" telah menyediakan porsi tersendiri bagi kajian ini dengan menyusun sebuah bab bertitel "Maqasid as Syari`ah".

Sejarah term maqasid dan tokoh - tokoh penggagasnya :

Ada dua kubu yang berbeda pendapat mengenai kapan ide maqasid syari`ah pertama kali digulirkan, komunitas yang meyakini bahwa maqasid syari`ah hanyalah sebuah konsep dan bukan fan keilmuan, berpendapat bahwa konsep maqasid syari`ah telah ada semenjak zaman pewahyuan, indikasinya beberapa ayat yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw mengandung konsep ini, semisal ayat "Allah menginginkan terhadap kalian kemudahan dan tidak menginginkan kesusahan" (Qs. Al Baqarah: 185). Sedangkan pendapat kedua mengembalikan sejarah pengguliran ide maqasid syari`ah pada beberapa tokoh Islam klasik abad ketiga hijriyah, kelompok ini bahkan menganggap maqasid syari`ah sebagai fan keilmuan bukan hanya sekedar konsep belaka.

Berkaitan dengan pembukuan kajian maqasid syari’ah dalam sebuah bentuk karangan, kita dapat menelusurinya semenjak abad ke tujuh dan delapan hijriyah, dimana penulis kawakan semisal `Izzu Dien bin Abd. Salam (w: 660 H), Abu Ishak as Syatibi (w: 790 H), Najmu Dien at Thufi (w: 717 H), telah merumuskan ide maqasid syari’ah melalui tulisan – tulisannya, di antara mereka ada yang secara eksplisit menggunakan term “maqasid syari’ah” ada juga yang tidak menyebutkannya. Mereka inilah yang kemudian dianggap sebagai motor penggerak pemikiran Maqasid Syari`ah oleh generasi berikutnya.

Pasca periode in,i muncul semisal Muhammad Tahir bin `Asyur - guru besar masjid jami’ Ezzitouna Tunisia - yang kemudian oleh komunitas pemikir Islam kontemporer dianggap sebagai as Syatibi kecil. Kemudian Alal al Fasi, syaikh sekaligus pemikir asal Maroko akhir abad ke-20 yang mencoba merumuskan ide maqasid melalui bukunya "Maqasid syari’ah wa makarimuha".

Sepeninggal mereka, dewasa ini kita banyak mengenal pakar ushul fiqh yang mencoba menspesifikkan kajiannya terhadap Maqasid Syari`ah, seperti Prof. Dr. Nuruddin al Khadimi (direktur pasca sarjana universitas Ezzitouna Tunisia) yang telah menelurkan buku-buku seputar maqasid, Dr. Muhammad Said Ramadhan al Buthi tokoh asal Syria yang telah menulis “Dowabitu al maslahah”, Ahmad ar Raysuni pemikir Maroko yang mengkritisi konsep maqasid syari’ah imam as Syatibi, dan Jamaluddin ‘Athiyah doktor asal Mesir yang mencoba menimbang urgensi maqasid dalam wacana dunia modern melalui bukunya “Nahwa taf’il maqasid syari’ah”.

Wacana maqasid syari`ah di Indonesia:

Kalangan fuqaha (yursipunden Islam) yang berhaluan tekstual, kerap mengingkari terhadap Maqasid Syari`ah. Padahal Ibn Hazm ad Dzahiri (w: 456 H) yang disinyalir oleh berbagai kalangan sebagai pelopor antipati terhadap istilah kemaslahatan (termasuk penggunaan dalil analogi) secara sadar maupun tidak telah banyak melandaskan fatwa dan argumen fiqihnya pada pertimbangan darurat dan kemaslahatan.

Pandangan seperti inilah, yang akhir-akhir ini diteriakkan oleh sebagian ulama Indonesia (Munas ulama di Pasuruan Jawa Timur 2005) yang menyatakan keberatan dan menolak penggunaan istilah maqasid syari`ah dalam memecahkan masalah-masalah keagamaan. Hal ini penulis anggap wajar, sebab yang selama ini gencar mempromosikan pemikiran maqasid syari’ah di Indonesia adalah kalangan liberal (Islamlib) yang oleh mayoritas ulama kita kurang setuju dengan keberadaannya.

Bahkan penulis melihat ada gejala kebablasan dan kesan arogansi dari kalangan yang selama ini menyerukan pendekatan maqasid syari`ah dalam konteks fiqh di Indonesia, dalam hal ini ketua komisi hukum dan fatwa MUI kab. Malang H. Luthfi Bashori menganggap Islamlib telah menciptakan pemahaman; bahwa inti dari syari’at bukanlah penerapan makna yang terkandung dalam teks, namun bagaimana mewujudkan tujuannya yang terrepresentasikan dalam al Kulliyat al Khams (lima tujuan pokok).

Keberatan atas penerapan proses Ijtihad Maqasid di Indonesia sebenarnya terletak pada kekhawatiran akan melepas begitu saja teks-teks syari`at dengan diganti oleh argumen kemaslahatan dan kepentingan umum. Ternyata fenomena semacam ini sebenarnya bukan hanya terjadi di negara kita, akan tetapi terjadi juga di beberapa negara muslim lainnya.

Pakar Ushul fiqh dan maqasid dari universitas Ezzitouna Tunisia Prof. Dr. Nuruddin al Khadimi – dalam menyikapi kekhawatiran tersebut – berpendapat; "Tidak sepatutnya penerapan terhadap metode Ijtihad maqasid di pahami sebagai ajakan – baik secara langsung maupun terselubung – untuk meninggalkan teks-teks syari`at, konsesus ulama, dan dalil-dalil yang qath`i, atau bahkan mengurangi keutamaan dan kesuciannya, namun seharusnya hal ini dipahami bahwa konsep ijtihad maqasid adalah sebagai upaya memurnikan syari`at dan proses mengembalikan segala sesuatu kepada Allah dan RasulNya” (al Maqasid as Syar’iyah: ta’rifuha wa hujjiyatuha: 17).

Ironisnya, sebagian ulama kita telah terjebak pada pengidentikan istilah maqasid syari`ah dengan proyek pemikiran Islam liberal, padahal sejatinya antara konsep maqasid syari’ah dan pemikiran Islam liberal adalah dua hal yang berbeda.

Maqasid syari’ah hanya terbatas pada lima point?:

Lima point berupa hifdz ad Dien (menjaga agama), hifdz an Nafs (menjaga nyawa), hifdz al `Aql (menjaga akal pikiran), hifdz an Nasl (menjaga keturunan), dan hifdz al Mal (menjaga harta kekayaan), sebagian ulama menambahkan point ke enam berupa hifdz al ‘Ard (menjaga kehormatan) adalah ikon utama dalam pembahasan seputar Maqasid syari’ah,

Sebenarnya, ada tiga sisi dalam mengupas klasifikasi maqasid syari`ah: Pertama, dari sisi tempat timbulnya, maqasid akan terbagi ke dalam dua katagori;1-maqasid pembuat syari’at (Allah dan Rasulnya), 2-Maqasid al Mukallaf (Manusia). Pembagian ini tercermin dengan keberadaan tujuan pembuat syari`at mencakup seluruh kemaslahatan bagi umat manusia, dan tercermin pula dengan penyelarasan antara tujuan manusia mukallaf dengan dengan tujuan pembuat syari’at (Allah dan rasulnya).

Kedua, klasifikasi dari sisi universalitas, terbagi menjadi dua katagori; maqasid kulliyah dan juz’iyah, maqasid kulliyah adalah tujuan syari`ah universal yang secara tangkas dapat difahami oleh akal kita, ini terangkum dalam lima atau enam point di atas. Sedangkan yang dimaksud dengan maqasid juz’iyyah adalah tujuan - tujuan yang bersifat spesifik pada satu hukum, dan biasa diungkapkan oleh fuqaha (yurispunden Islam) dengan istilah hikmah, rahasia, atau sebab.

Ketiga, pembagian dari sisi orisinalitas, terbagi ke dalam dua katagori yaitu; ashliyah (outentik) dan taba`iyah (pelengkap). Maqasid ashliyah adalah tujuan utama yang sengaja direncanakan oleh pembuat syari`at (Allah Swt dan rasul-Nya), seperti “terciptanya regenerasi umat manusia” adalah tujuan utama dari disyri`atkannya pernikahan. Maka terpenuhinya kebutuhan biologis bagi pasangan suami istri adalah merupakan maqsaid taba`iyah (tujuan pelengkap) sebagai penyempurna dari tujuan utama.


Ijtihad maqasid sebagai alternatif :

Bukan berarti dengan memperhatikan maqasid kita harus meninggalkan teks - teks keagamaan baik al Qur`an maupun as Sunnah, justru pada praktek yang sebenarnya kita akan menuju pada penguatan atas teks - teks itu sendiri. (ibid: 17) Ibarat seorang muslim yang telah mengetahui keesaan Allah melalui teks agama, kemudian merangkai sebuah argumen logika untuk tujuan yang sama, maka yang terjadi adalah penguatan dalil naqli (teks) dengan dalil aqli (logika) yang sengaja dirangkai.

Kenyataan bahwa kemajuan ilmu dan teknologi akan terus memberikan inovasi yang terkadang sama sekali belum terjamah oleh akal pikiran generasi sebelumnya, mengharuskan kita berbicara seputar bagaimana cara menarik kesimpulan hukum untuk menjawab setiap pelik persoalan yang timbul agar keberadaan fiqh Islam tetap eksis di sepanjang masa. Untuk itulah proses Istinbatu al ahkam (mengambil keputusan hukum) harus memenuhi dua hal; pertama, pengetahuan seputar lisan Arab (ilmu alat) dan kedua; pengetahuan seputar rahasia dan tujuan syari’at, pada tahapan ini Abu Ishak as Syatibi mensyaratkan kriteria seorang mujatihd harus bisa memahami maqasid syari’ah. (al Muwafaqat: 4/109) Dengan mengacu pada maqasid syari’ah akan dapat mencerahkan pemikiran para fuqaha dalam mengetahui hukum, sekaligus membantu dalam memahami dan menafsiri teks – teks syari’ah saat diterapkan pada konteks tertentu.

Dalam ijtihad maqasid juga tidak harus tertumpu pada referensi turats (naskah peninggalan) yang merupakan produk pemikiran ulama klasik, namun langsung pada sumber utamanya yaitu al Qur`an dan as Sunnah dengan mepertimbangkan konteks dan kondisi sosial masyarakat. Dari sinilah dua tokoh asal Tunisa syaikh Ibn. `Asyur dan asal Maroko syaikh `Alal al fasi menekankan pentingnya membuka kembali wacana Ijtihad sekaligus menegaskan kunci dari Ijtihad tidak lain dengan metode penekanan pada maqasid Syari`ah, sebab : "sandaran syari`at adalah makna dan sifat bukan nama dan bentuk".

Penekanan pada sisi maqasid syari`ah dalam berijtihad memecahkan berbagai persoalan kontemporer akan membawa pada relevansi syari`at Islam bersama putaran waktu, meminjam ungkapan tokoh asal Tunisia Prof. Dr. Nuruddin al Khadimi “akan menjadikan syari’at Islam lentur, sejalan dengan kemaslahatan umat di sepanjang masa”. (al Ijtihad al Maqasidi: 1/14)

Maka tuduhan miring seputar kejumudan fiqh Islam dalam berinteraksi dengan zaman yang selama ini dihembuskan oleh kalangan yang tidak bertanggung jawab dengan sendirinya dapat terjawab. "Dia sekali–kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan " (Qs. Al Hajj: 78) di sisi lain Rasulullah Saw bersabda ; "Aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka, kalian semua tidak akan tersesat selama berpegangan kepada keduanya, yaitu al Qur`an dan sunnah Rasul Nya" (HR. al Baihaqi)

* Tulisan ini dipublikasikan di situs www.hadhramaut.info/indo