Thursday, December 22, 2011

Transformasi Nilai Salaf Dalam Kehidupan Modern


Oleh: Arwani Syaerozi *

Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, keberadaannya hingga sekarang masih signifikan. Karena ia telah teruji dari masa ke masa dalam mencetak kader-kader muslim Indonesia yang kompeten dalam literatur Islam dan urusan kebangsaan.

Di mana salah satu ciri khas pendidikan pesantren, adalah penekanan terhadap kajian kitab kuning. Sebuah referensi yang menyimpan warisan intelektual ulama-ulama abad sebelumnya.

Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi, orientasi hidup dan pola berfikir masyarakat mengalami perubahan drastis. Dengan fasilitas teknologi informasi misalnya, masyarakat Indonesia dapat mengakses secara langsung kebudayaan, gaya hidup, dan aktivitas keseharian komunitas masyarakat dari berbagai belahan dunia. Akibatnya, tanpa melalui proses penyaringan, budaya, pola berfikir dan gaya hidup tersebut dapat diaplikasikan secara leluasa oleh masyarakat kita.

Lantas bagaimana dengan orientasi hidup kaum santri yang mengenyam pendidikan di pesantren-pesantren? Adakah nilai-nilai kesalafan yang patut dibanggakan dan harus dipertahankan di tengah gencarnya arus perubahan di segala lini kehidupan, di tengah menurunnya animo masyarakat untuk menitipkan anaknya di pesantren?.

Sejarah dan Katagori Pesantren:

Tidak ada penjelasan yang tegas terkait waktu di mana pesantren pertama kali didirikan. Namun, Mastuhu memperkirakan pesantren telah ada semenjak 300 - 400 tahun yang silam. Sedangkan data kementerian Agama menganggap pesantren pertama kali didirikan pada tahun 1062 M. Ada juga pendapat yang meyakini bahwa sistem pendidikan pesantren dikenalkan pertama kali oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) pada abad 15 M.

Menurut Mukti Ali(mantan menteri Agama RI), pesantren memiliki beberapa ciri khas sebagai berikut: 1-hubungan akrab kyai dan santri; 2- tradisi kepatuhan santri terhadap kyai; 3- hidup sederhana 4- mandiri 5- tolong menolong 6- disiplin 7- siap menderita demi tujuan; dan 8- tingkat relegius yang tinggi.

Pendidikan pesantren ini bisa dikatagorikan ke dalam dua macam, yaitu; pesantren salaf (tradisional) dan pesantren khalaf (modern), katagori pertama adalah yang hanya mengajarkan kitab kuning, sedangkan yang kedua mengadopsi sistem pendidikan modern, biasanya dengan menyediakan sekolah formal dan bahkan di beberapa tempat, pesantren jenis ini berafiliasi pada ideologi tertentu sebagai tempat doktrin dan kaderisasi.

Adapun pesantren salaf (tradisional), ia menyimpan potensi kesadaran akan ragam kebudayaan. Karena kearifan dan rasionalitas lokal selama ini diyakini menjadi custom-nya, sebagaimana konsep kemajuan pesantren jenis ini bertitik tolak dari tradisi.

Zamakhsyari Dhofier memahami ciri pesantren salaf terutama dalam hal sistem pengajaran dan kurikulumnya. Pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau sering disebut dengan "kitab kuning", karena kertasnya berwarna kuning, terutama karangan-karangan ulama yang menganut faham Syafi’iyah. Semua ini merupakan pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren tradisional.

Spirit Ajaran Pesantren Salaf:

Ada tiga point penting terkait dengan ajaran pesantren salaf yang patut dipertahankan dan bahkan harus terus disebarluaskan di tengah masyarakat muslim Indonesia. Sebenarnya, tiga point ini adalah intisari dari ciri khas pesantren salaf yang dikemukakan oleh Mukti Ali di atas. Oleh sebab itu, pesantren dianggap oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai ”subkultur” di tengah masyarakat.

Untuk memperkuat hal ini, Martin Van Bruinessen, meyakini bahwa pesantren tidak hanya subur dengan literatur keilmuan, akan tetapi mampu berperan dan berkontribusi bagi masyarakat di sekelilingnya.

Berikut ini penjelasan detail terkait tiga spirit ajaran pesantren salaf yang masih relevan dan harus terus dipertahankan di tengah derasnya kemajuan ilmu dan teknologi:

Pertama, kepasrahan total, hal ini merupakan tradisi keseharian yang ada di pesantren salaf, khusunya terkait relasi santri dan kyai. kepasrahan ini juga lumrah diungkapkan dengan istilah sami'na wa atho'na.

Di lingkungan pesantren salaf sangat kental dengan budaya ta’dzim pada guru dan kiai, kegigihan belajar yang disertai tirakat seperti puasa dan wirid, hingga percaya pada barokah.

Kepasrahan total yang saya maksud masih relevan dalam kehidupan modern adalah terkait ranah teologi. Artinya kepasrahan kepada Allah Swt sebagaimana didikan di pesantren untuk selalu pasrah kepada guru dan kyai (tentunya setelah pasrah kepada sang Khalik).

Dalam hal ini, kaum santri harus menempatkan posisi "pasrah" secara proporsional, yaitu dengan meyakini di dalam hati akan takdir atau suratan Tuhan atas seluruh makhluk ciptaan-Nya, pada saat yang sama kaum santri harus menunjukkan kegigihan dalam bekerja atau berusaha untuk menggapai tujuan-tujuan hidup.

Spirit seperti ini sulit ditemukan pada prilaku masyarakat modern, kalaupun ada, kualitas kepasrahannya tidak seperti mereka yang mengenyam pendidikan di pesantren salaf. Karena fenomena sifat putus asa -pada saat menghadapi kegagalan- lebih mendominasi masyarakat modern.

Kedua, keseimbangan duniawi dan ukhrowi. Orientasi masyarakat modern kerap dititikberatkan pada urusan dunia menyampingkan urusan akhirat. Seakan mereka berusaha menyebarkan opini bahwa kehidupan umat manusia hanya berhenti pada alam dunia.

Di sinilah urgensi pendidikan pesantren salaf terkait dengan spirit keseimbangan dunia-akhirat. Karena unsur-unsur ukhrowi selalu ditekankan kepada para santri, sebagaimana unsur-unsur duniawi diperhatikan. Tidak heran jika pendidikan di pesantren salaf akan memberikan dampak keseimbangan orientasi duniawi dan uhkrowi pada setiap anak didiknya.

Dalam hal ini, Abdurrahman Mas'ud melihat praktik keagamaan golongan yang sering disebut dengan tradisional Islam, yang berakar di pesantren salaf, sebagai penerus ajaran moderat para Wali Songo.

Ketiga, prioritas kemaslahatan umat, yaitu dengan mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan individu. Hal ini menjadi orientasi pendidikan di pesantren salaf. Di mana saat ini masyarakat terjebak dalam budaya kompetisi tidak sehat, akibatnya cara-cara tidak elegan dan tidak berperadaban (menghalalkan segala cara) menjadi hal yang lumrah –bahkan harus dilakukan- oleh masyarakat modern dalam rangka mengamankan kepentingan dan menggapai tujuan.

Contoh kecil terkait sikap kaum santri yang mendahulukan kemaslahatan umum atas kemaslahatan individu adalah penyediaan sarana pendidikan dengan orientasi nirlaba, hanya bertujuan sosial dan kemasyarakatan.

Jumlah puluhan, ratusan atau bahkan ribuan santri yang menetap di pesantren-pesantren salaf tidak dipungut biaya atau dipungut namun secara simbolis. Hal ini akan sangat kontras jika melihat realitas di masyarakat modern yang sengaja menjadikan pendidikan sebagai ladang penghasilan, sehingga industri pendidikan menjadi marak, konsekuensinya adalah biaya yang mahal, sementara pendidikan terjangkau semakin sulit ditemukan.

Kesimpulan:

Tiga point yang saya jelaskan di atas adalah sebagai contoh, bahwa nilai-nilai pendidikan salaf masih relevan dan bahkan harus dipertahankan dalam kehidupan modern, di tengah derasnya arus perubahan di segala lini kehidupan.

Bagaimanapun, tradisi keilmuan pesantren salaf yang merujuk pada kitab kuning adalah keunikan sekaligus nilai plus. Pandangan miring terhadap kitab kuning yang dianggap sebagai penyebab kejumudan, tidak boleh menyurutkan semangat kaum santri untuk berkontribusi dalam melakukan transformasi keilmuan.

Pada saat yang sama, kontekstualisasi kitab kuning melalui dialog teks-realita perlu digalakkan, sebagai cara efektif untuk menghidupkan kembali gairah intelektual yang cenderung loyo. Karena dengan cara ini, kekayaan literatur pesantren dapat terus dikembangkan dalam lingkungan budaya yang berbeda dengan masa lalunya. Maka, sesungguhnya pesantren salaf telah menjaga akar tradisinya sekaligus mengaktualisasikan diri dalam kondisi yang ada, sebagaimana ditegaskan dalam kaidah: Al muhafadzatu 'ala As salafi As salih Wa Al akhdzu Bi Al jadidi Al ashlah.


* Makalah ini dipresentasikan dalam seminar acara haul masyayih Pondok Pesantren MIS Sarang Rembang Jawa Tengah, tanggal 9 Desember 2011

Sunday, December 11, 2011

Menggali Hikmah Idul Adha


Oleh: Arwani Syaerozi *

Hari ini adalah di mana kita –sebagai umat Islam- merayakan salah satu dari dua hari raya, yaitu Idul Adha, yang artinya hari raya kurban.

Marilah kita mulai aktivitas pada hari yang berbahagia ini dengan memupuk keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt, yaitu dengan selalu mematuhi perintah dan menjauhi larangan-Nya, karena hanya dengan iman dan takwa kebahagiaan di dunia dan akhirat dapat kita raih.

"Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan". (Qs. An Nahl: 128)

Dalam sebuah hadits, dikisahkan bahwa Rasulullah Saw selalu memohon kepada Allah agar diberi ketakwaan, beliau berdo'a:

"Ya Allah…sungguh kami memohon dari-Mu petunjuk, takwa, terjaga (dari hal-hal yang negatif) dan berjiwa besar". (HR. Muslim)

Seorang penyair Arab berkata:

"Aku yakin bahwa takwa dan murah hati merupakan niaga paling menguntungkan seseorang, apabila sudah sampai pada ajalnya".

Jamaah Sholat Id yang dimuliakan oleh Allah

Pada saat hari Idul Adha tiba, ada tiga ibadah bersifat tahunan (dilaksanakan setahun sekali) yang disambut oleh umat Islam, yaitu: pelaksanaan sholat Idul adha, penyembelihan hewan kurban dan pelaksanaan Ibadah haji. Ketiga ibadah ini terkait erat dengan syari'at-syari'at agama samawi sebelum datangnya agama Islam, terutama terkait dengan sosok nabi Ibrahim A.S sebagai sentral pertalian nasab para nabi dan rasul.

"Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu". (Qs. Al Mu'min: 78)

Pelaksanaan sholat Ied dan penyembelihan hewan kurban ini telah dijelaskan dalam Al Qur'an, Allah Swt berfirman:

"Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah". (Qs. Al Kautsar:2)

Imam Qatadah dan Ikrimah, dua orang ulama tafsir Al Qur'an dari kalangan Tabi'in, memahami ayat tersebut sebagai perintah pelaksanaan sholat idul adha dan penyembelihan hewan kurban.

Adapun ibadah haji, adalah salah satu rukun Islam yang lima, ia merupakan kewajiban yang juga pernah disyari'atkan pada umat-umat terdahulu, dalam hal ini Al Qur'an menganggap Nabi Ibrahim A.S sebagai orang yang pertama kali menerima perintah dari Allah Swt untuk menyerukan haji kepada seluruh umat manusia.

"Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh" (Qs. Al Haj: 27)

Melihat prioritas tiga ibadah pada saat datangnya Idul Adha ini, kita sebagai umat Islam harus meyakini bahwa ibadah-ibadah tersebut memiliki hikmah dan maqasid (tujuan) yang harus kita ambil sebagai pijakan, sebagai pelajaran sekaligus wasilah untuk memperkuat keimanan kita.

Setidaknya ada dua hal penting yang akan saya sampaikan pada khutbah ini, pertama; makna pengorbanan demi agama dan bangsa, kedua; makna ukhuwah dan kebersamaan.

Jamaah Sholat Id yang berbahagia

Islam di berbagai penjuru dunia, khususnya di Indonesia -saat ini- membutuhkan perjuangan yang serius dan pengorbanan yang besar dari para pemeluknya.

Hal ini terkait dengan penyebaran opini dan image negatif seputar Ad Din Al Islami. Agama Islam -oleh kalangan yang tidak bertanggung jawab- kerap diidentikkan dengan anarkisme, barbarisme, bahkan dicap sebagai sumber teroris, sungguh keterlaluan, na'udzubillahi min dzalik !.

Sebagai umat Islam, tentunya kita merasa tersinggung dan terpukul dengan label dan tuduhan tersebut. Untuk itulah, kita harus bersama-sama berjuang menepis dan membuktikan pada dunia bahwa Islam adalah agama Rahmatan Lil Alamin, agama yang membawa kasih sayang bagi seisi alam.

"Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam". (Qs. Al Anbiya: 107)

Nabi Muhammad sendiri telah menegaskan bahwa dirinya adalah seorang rasul yang selalu mengedepankan perdamaian bukan ancaman dan kekerasan, sebagaimana yang dilabelkan oleh kalangan yang tidak bertanggung jawab, dalam hal ini nabi Muhammad bersabda:

"Sesungguhnya saya ini didedikasikan untuk perdamaian / kasih sayang". (HR. Hakim)

Lantas sejauh mana pengorbanan dan perjuangan umat Islam demi agama dan bangsanya? Tentunya perjuangan dan pengorbanan ini menyangkut unsur materi dan maknawi.

Sebagai flash back, Nabi Ibrahim A.S dalam rangka menjalankan perintah Allah Swt dan demi proses dakwah, ia harus berseteru dengan ayahnya, berseberangan pendapat dengannya. Hal ini tidak lain untuk menegakkan tauhid (meng-esakan Tuhan) dan melakukan reformasi sosial.

"Ingatlah ketika (Ibrahim) berkata kepada bapaknya: "Wahai ayahku, mengapa kau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong sedikit pun? Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus". (Qs. Maryam: 42-43)

Atau pada saat nabi Ibrahim A.S harus merelakan anaknya Isma'il untuk disembelih, hal ini tidak lain karena patuh kepada perintah Tuhannya, ia ingin menjadi seorang hamba yang siap menjalankan segala perintah dan menghindari segala larangannya. Sebuah pengorbanan yang luar biasa dari seorang kekasih Allah Swt. Al Qur'an mengabadikan peristiwa ini dalam surat As Shafaat:

"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (Qs. As Shafaat: 102)

Jika kita melihat perjuangan dan pengorbanan nabi Ibrahim tersebut, sungguhlah sangat berat. Di mana ia harus menjadi "lawan" dari keluarganya sendiri dan harus kehilangan salah seorang buah hatinya yang bernama Isma'il.

Tentunya kita sebagai manusia biasa –bukan seorang nabi atau rasul- harus bisa mengambil teladan dari perjuangan dan pengorbanan yang telah dicontohkan oleh nabi Ibrahim A.S.

"Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya". (Qs. Al Mumtahinah: 4)

Jamaah Sholat Id yang dimuliakan oleh Allah

Dalam kehidupan berbangsa yang majemuk seperti bangsa Indonesia, kita dituntut untuk bisa hidup berdampingan dengan siapapun, saling tolong menolong dan saling mempererat tali persaudaraan. Apalagi dengan sesama muslim, sesama orang yang satu iman meng-esakan Allah dan meyakini Muhammad adalah utusan Allah.

Memperhatikan ukhuwah dan kebersamaan sesama umat Islam, bahkan sesama satu bangsa, memiliki keterkaitan dengan usaha kita untuk menghilangkan Islamphobia. Sebab Islam adalah agama yang menganjurkan kepada pemeluknya untuk memupuk persaudaraan.

"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu". (Qs. Al Hujurat: 10)

Paling tidak, tradisi bersalam-salaman setelah shalat ied adalah contoh kecil dari aplikasi masyarakat muslim terhadap nilai ukhuwah dan persaudaraan. Rasulullah memberikan sinyal tentang urgensi ukhuwah ini melalui sabdanya:

"Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri". (HR. Bukhori)

Makna ukhuwah dan kebersamaan juga bisa dilihat dengan adanya fenomena penyembelihan hewan-hewan kurban, suatu ibadah yang sangat dianjurkan oleh Islam saat tiba hari raya idul adha.

Kemudian daging kurban yang dibagi-bagikan kepada para kerabat, tetangga dan orang-orang yang tidak mampu di sekitar kita, memberikan bukti kuat akan anjuran Islam untuk memupuk ukhuwah dan kebersamaan.

Dalam ibadah haji, yang baru saja selesai dilaksanakan oleh saudara-saudara se-iman kita, juga menyimpan makna ukhuwah dan kebersamaan. Sebagaimana kita ketahui bahwa para hujjaj (jamaah haji) bukan hanya muslim dari Indonesia, akan tetapi dari seluruh penjuru dunia.

Mereka yang berangkat menunaikan ibadah haji, pada hakikatnya adalah wakil-wakil umat Islam sedunia, berkumpul menjadi satu di padang Arafah untuk melakukan wukuf pada tanggal 9 Dzulhijjah kemarin, Rasulullah Saw bersabda:

"Haji adalah wukuf di padang Arafah". (HR. Ahmad)

Kebersamaan umat Islam saat ibadah haji ini memberikan pemahaman tersendiri bagi kita sebagai masyarakat muslim, dalam khutbahnya di hari tasyrik, Rasulullah Saw menegaskan:

"Wahai umat manusia…ketahuliah bahwa Tuhan kalian satu, nasab kalian satu, sesungguhnya tidak ada keistimewaan orang Arab atas non Arab, begitu juga sebaliknya, tidak ada kesitimewaan orang berkulit merah atas kulit hitam, begitu juga sebaliknya, kecuali dengan ketakwaan". (HR. Ahmad)

Jamaah Sholat Id yang berbahagia

kita – sebagai umat Islam- harus siap berkorban demi agama dan bangsanya, sebagaimana pengorbanan luar biasa nabi Ibrahim A.S saat menyebarkan risalah ilahiyah di tengah masyarakat primitif yang jauh dari nilai-nilai peradaban.

Harus siap berjuang -di antaranya- untuk menepis citra negatif atas Islam yang sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, kemudian membuktikan kepada dunia bahwa Islam adalah agama berperadaban, agama rahmatan lil alamin, tentunya dalam hal ini, kita harus mengikuti metode yang telah dianjurkan oleh Al Qur'an:

"Serulah (wahai manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik". (Qs. An Nahl: 125)

Sebagaimana kita juga harus selalu memupuk ukhuwah dan kebersamaan baik sesama satu agama maupun sesama satu bangsa. Sebisa mungkin kita pun dituntut untuk menghindari saling menyalahkan, menyudutkan atau saling menghujat.

"Janganlah kalian saling menghasut, saling bersaing tidak sehat, saling membenci dan janganlah saling bermusuhan". (HR. Muslim)

"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu". (Qs. Al Anfal: 46)


• Naskah khutbah ini disampaikan pada sholat Idul Adha 1432 H / 2011 M, di Masjid Jami As Syuhada Komplek Beji Permai Tanah Baru Depok.

Sunday, December 4, 2011

Maulid Nabi: Tinjauan Sosial Dan Budaya


Oleh: Arwani Syaerozi *

Nabi Muhammad Saw sebagai Rasul terakhir bagi umat manusia, dengan membawa risalah yang bernama Islam, ia telah ditegaskan dalam al Qur'an sebagai suri tauladan bagi umat manusia.

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah" (Qs. Al Ahzab: 21)

Keistimewaan sosok Muhammad dari segi garis keturunan, bisa dilihat melalui sebuah hadits:

"Allah telah memilih Isma'il dari keturunan Nabi Ibrahim, memilih Kinanah dari keturunan Isma'il, memilih Quraisy dari keturunan Kinanah, memilih Bani Hasyim dari keturunan Quraisy dan memilih saya dari keturunan Bani Hasyim". (HR. Muslim)

Di samping garis nasab, Muhammad juga memiliki keistimewaan budi pekerti yang luhur, jiwa kepemimpinan yang tangguh dan kepala keluarga yang bijak. Semua inilah yang kemudian menjadikan Muhammad dianggap sebagai tokoh paling sukses dalam menjalankan misi hidupnya sebagai seorang Nabi dan Rasul.

Sejarah Peringatan Maulid Nabi:

Hari kelahiran Muhammad yang disepakati oleh para sejarawan adalah bulan Rabi'ul Awal tahun Gajah (April 570 Masehi). Masyarakat muslim menjadikan momentum ini sebagai hari yang diperingati secara khusus. Tujuannya adalah untuk meneladani kepribadian sosok Muhammad, menghidupkan semangat perjuangannya dan menyanjungkan pujian, sholawat dan salam kepadanya keluarga dan para sahabat.

Tradisi memperingati hari kelahiran nabi Muhammad ini menurut pakar sejarah Ibn Katsir dalam bukunya "Al Bidayah wa An Nihayah" pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat muslim pada masa dinasti Fatimiyah yang berkuasa di Mesir pada tahun 973 – 1154 Masehi.

Pendapat lain mengatakan bahwa tradisi maulid ini mulai diperkenalkan oleh seorang gubernur kota Irbil di Irak yang bernama Abu Said al-Qakburi (W: 1193 M).

Yang jelas, saat ini masyarakat muslim di dunia antusias melaksanakan kegiatan peringatan maulid Nabi Muhammad, bahkan di tanah air, masyarakat dari pelosok desa hingga ke kota-kota rutin mengadakan peringatan maulid nabi di bulan Rabi'ul Awal.

Inilah sebuah tradisi positif yang mengandung sisi maslahat dan manfaat bagi umat Islam. Telah ditegaskan dalam sebuah hadits bahwa:

"Barangsiapa yang menciptakan inovasi positif dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahala atas inovasinya dan atas orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang tersebut". (HR. Muslim)

Peringatan Maulid di Tanah Air:

Di beberapa daerah di tanah air, dalam menyambut hari kelahiran Rasulullah dilakukan kegiatan-kegiatan khusus. Secara umum, bentuk kegiatan ini tidak lepas dari 3 (tiga) hal: 1- dimensi keagamaan, 2- dimensi sosial, dan 3-dimensi kebudayaan.

Sebagai contoh; di Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat tradisi Sekaten, yaitu budaya masyarakat yang dipelopori oleh keraton Yogyakarta dalam menyambut hari kelahiran nabi Muhammad. Masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya sangat antusias menghadiri dan mengikuti jalannya acara ini.

Di Cirebon Jawa Barat, terdapat Panjang Jimat, sebuah kegiatan yang mengandung tiga dimensi tersebut di atas, yaitu keagamaan, sosial dan kebudayaan. Dimensi agama bias dilihat dengan diadakannya pembacaan mada'ih nabawiyah, ad diba'i dan al barzanji.

Dimensi sosial bisa dilihat dengan adanya sedekah dan pembagian makanan khas daerah, maraknya pasar kagetan yang menjual berbagai macam makanan dan kerajinan hasil kreasi masyakarat. Sedangkan dimensi kebudayaan bisa dilihat dengan adanya pertunjukan-pertunjukan kebudayaan lokal.

Conoh lain, di Sumatra Barat, pada tanggal 12 Rabiul Awal umat Islam berziarah ke kuburan Syekh Burhanuddin (seorang ulama besar). Hal ini karena masyarakat meyakini bahwa kedudukan ulama adalah sebagai pewaris para nabi.

Kesimpulan:

Apa yang terjadi di masyarakat Indonesia dalam memperingati hari kelahiran nabi Muhammad Saw dengan melalui kegiatan tradisional seperti Sekaten (Di Yogyakarta), Panjang Jimat (di Jawa Barat), ziarah ke makam ulama (di Sumatera Barat) adalah salah satu bentuk kearifan lokal.

Tradisi dan kebudayaan lokal yang sengaja memoles dakwah-dakwah keagamaan, sehingga pada waktu bersamaan, masyarakat melaksanakan even kebudayaan yang bermuatan relegius.

Dalam kegiatan ini, terdapat beberapa manfaat besar bagi umat Islam, di antaranya: memupuk sikap saling peduli, saling mengingatkan, dan saling mempererat kebersamaan. Wallahu A'lam.


• Makalah ini dipresentasikan dalam acara dialog interaktif seputar Maulid Nabi di KBRI Rabat Maroko pada tanggal 14 Februari 2011.