Friday, February 29, 2008

Memantapkan kembali eksistensi agama

Oleh: Arwani Syaerozi

Sudah menjadi maklum, bahwa peradaban modern telah memetakan umat manusia menjadi dua kelompok besar. Pertama; komunitas relegius, meyakini ajaran agama dan mengamalkannya. Kedua; komunitas hedonis, hanya mengedepankan kelezatan duniawi, tidak mengindahkan norma-norma agama, bahkan cenderung meragukan eksistensi Tuhan dan kehidupan di akhirat.

Hidup menurut kacamata hedonisme, hanya berorientasi pada terpenuhinya kebutuhan jasmani, biologis, dan menyangkut reputasi. Hidup - menurut kacamata ini - telah sempurna dan mencapai klimaks dengan terpenuhinya kebutuhan jasmani baik yang berskala primer, sekunder maupun tersier. Pandangan hedonisme ini menggiring kita untuk tidak peduli dengan apapun yang berkaitan dengan doktrin agama, seperti hari akhir, kehidupan akhirat, atau pembalasan atas amal perbuatan, sebab hal-hal seperti ini tidak bisa dinilai dengan materi dan tidak bisa dinalar dengan akal. Parahnya, bicara tentang agama dianggap “Jadul” (jaman dulu) bahkan dianggap sebagai obrolan primitif. Seirama dengan kaum hedonis, bapak sosialis Karl Mark memvonis agama sebagai candu bagi umat manusia yang harus diperangi.

Beranjak dari sudut pandang ini, kita - sebagai komunitas relegius - menjadi bertanya-tanya; sebenarnya apa tujuan hakiki dari hidup ini? mengapa agama didisposisikan “tragis” oleh sebagian manusia? Bukankah agama telah berperan menciptakan manusia yang beretika? Dan bukankah hanya agama yang selama ini mengisi kehampaan makna bagi kehidupan umat manusia ?

Agama dan kehidupan dunia:

Bahwa Islam adalah satu dari tiga agama samawi yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada para utusan-Nya, adalah premis yang tidak bisa dimentahkan, bahkan Islam adalah sebagai penutup dari agama-agama samawi tersebut, “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam”. (Ali Imran : 19), Dalam hal ini, Rasulullah Saw bersabda : “Perumpamaan diriku dan para nabi sebelumku adalah ibarat seseorang yang membangun sebuah rumah, dia menyempurnakan dan memperindah bangunannya, hanya tinggal satu batu bata belum terpasang di sudut bangunan, orang-orang pun mengelilingi bangunan tersebut dan terkagum-kagum, mereka berkata : segeralah batu bata itu diletakkan agar bangunannya sempurna, Rasulullah Saw menjawab: saya-lah batu bata itu, dan sayalah penutup para nabi” (HR. Bukhori dan Muslim)

Sebagai agama pamungkas dan paripurna, Islam memiliki konsep yang jelas dalam memandang kehidupan. Lantas bagaimana Islam menawarkan solusi bagi problem kehampaan makna kehidupan? Dalam hal ini, Islam mengarahkan para pemeluknya untuk saleh ritual dan saleh sosial, dimana dua kesalehan ini berimplikasi pada kepuasan jasmani dan ruhani yang merupakan tujuan kehidupan di dunia menurut perspektif Islam. Untuk mencapai tujuan ini, kita dituntut untuk memperhatikan tiga hal, yaitu; Iman (kepercayaan), Islam (kepasrahan) dan Ihsan (kebajikan).

Tiga kerangka Beragama:

Tiga hal berupa iman, islam dan ihsan yang akan membuat kehidupan manusia menjadi bermakna, sejatinya terinspirasi dari hadits Jibril As yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya. Yaitu peristiwa saat Rasulullah Saw berkumpul dengan para sahabatnya, kemudian secara tiba-tiba didatangi oleh malaikat Jibril yang menyamar sebagai sosok manusia tak dikenal di kalangan para sahabat yang hadir saat itu.

Pertama
; Iman, adalah point yang dijadikan skala prioritas, sehingga Ibn Khaldun (w : 1406 M) dalam bukunya al mukaddimah menegaskan: akidah adalah inti dari ajaran Islam. Kata “Iman” di sini adalah kepercayaan kita di dalam hati yang dibarengi dengan perilaku dan tindakan secara kasat mata.

Kita dituntut untuk mengimani enam hal yang terangkum dalam rukun Iman, yaitu, percaya akan ke-esa’an Allah, iman kepada para Rasul, percaya pada kesucian kitab-kitab Allah, meyakini keberadaan para malaikat, iman kepada hari akhir, dan percaya kepada ketetapan Allah. Dengan tuntutan untuk meyakini enam hal ini, perjalanan hidup manusia tidak hanya terbatas pada sisi lahir, tidak berhenti pada hal-hal yang kasat mata saja. Akan tetapi, kerangka pemikiran kita jauh melampaui hal-hal yang bersifat materi, kehidupan ini akan menjadi penuh makna, sebab dibalik wujud kebendaan yang kasat mata, hati kita terpatri pada rukun iman yang bersifat ruhani.

Namun kita pun bertanya, apa indikasi kevalidan iman seseorang, sehingga bisa dikatagorikan sebagai mukmin dan berimplikasi pada kedamaian ruhani ? Dalam hal ini Rasulullah SAW menjawab : “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian, sampai keinginan (hawa nafsunya) mengikuti apa yang telah saya bawa yaitu al Qur’an dan as Sunnah”. (HR. Ibn. Abi ‘Ashim). Dari jawaban ini, kita menjadi faham bahwa validitas iman seseorang bukan hanya pada level kepercayaan dalam hati dan penuturan lisan saja, akan tetapi teruji pada prilaku dan perbuatannya.

Kedua
,Islam, arti kata « Islam » di sini adalah; secara sadar dan tidak terpaksa menjalankan lima hal yang biasa disebut dengan rukun Islam. Kewajiban ibadah atas seorang muslim yang terangkum dalam rukun Islam yang lima ini, di samping sebagai inti penciptaan manusia (Qs. ad Dzariat: 56), juga merupakan momen refresing dari kesibukan aktivitas kita. Melalui taqarrub ilallah (pendekatan kepada Allah) ini, segala kesibukan, beban persoalan dan setumpuk pekerjaan yang kerap membawa kepenatan akan dinetralisir.

Bagaimanapun, melalui pengucapan kalimat syahadat insan relegius akan tersadar bahwa lisan memiliki peran yang vital dalam kehidupan, insan relegius akan menemukan ketenangan jiwa saat melakukan sholat bermunajat kepada Allah, insan relegius akan merasakan kepuasan bathin saat mendengar bahwa dalam hartanya terdapat hak bagi kalangan yang kurang beruntung, insan relegius akan menjadi peka terhadap situasi saat satu bulan penuh harus menahan lapar dan dahaga di waktu siang, dan insan relegius akan tahu diri bahwa atribut keduniaan tidaklah berarti di hadapan illahi saat datang kesempatan mengenakan kain ihram untuk menunaikan ibadah haji.

Ketiga
, Ihsan, sebab terpenuhinya dua tahap di atas yaitu Iman (percaya) dan Islam (sadar dan pasrah menjalankan aturan) belum dikatagorikan sempurna apabila kita tidak melengkapinya dengan tahap ketiga, yaitu Ihsan (kebajikan). Dalam hadits Jibril As dijelaskan bahwa Ihsan adalah: « Dengan menyembah Allah seakan-akan kalian melihat-Nya, kalaupun kalian tidak bisa melihat-Nya, sesungguhnya Allah selalu melihat kalian ». (HR. Muslim)

Saat melengkapi diri kita dengan Ihsan (kebajikan), kita didorong untuk memupuk etos berkarya selama hidup. Maka, tanpa Ihsan (kebajikan) Iman dan Islam kita akan pincang, dalam al Qur’an ditegaskan: “Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (Qs. Ali Imran: 148)

Tahap ihsan (kebjikan) juga telah disinggung oleh Rasulullah Saw, pada satu kesempatan beliau membenarkan ucapan Salman al Farisi kepada Abu Darda Ra, yaitu saat Abu Darda meremehkan hal-hal yang bersifat duniawi dan kurang memperhatikan kondisi keluarganya: « sesungguhnya dirimu, Tuhanmu, tamumu, keluargamu, memiliki hak atasmu, berikanlah hak pada setiap orang yang memilikinya « (HR. al Bukhori)

Kesimpulan :


Setelah kita memahami kerangka beragama yang terdiri dari Iman (keyakinan dalam hati yang dibarengi dengan aplikasi tindakan), Islam (sadar dan pasrah menjalankan perintah dan menjauhi larangan) dan Ihsan (berbuat kebajikan), di mana kerangka beragama yang demikian ini bisa menjadi jawaban atas kritik dari kalangan yang sinis terhadap agama, sekaligus penegasan bagi kalangan yang skeptis akan keagungan dan eksistensi Allah, maka menjadi benarlah apa yang pernah dikatakan oleh Rasulullah SAW lima belas abad yang silam bahwa: “Bahwa agama adalah nasihat, bagi Allah SWT, kitab suci, Rasulullah, para pemimpin dan seluruh umat Islam” (HR. Muslim)

Dengan demikian, di tengah gencarnya proyek globalisasi dalam segala lini kehidupan, di tengah pesatnya kemajuan teknologi dan media informasi, dan di tengah derasnya perubahan pola berfikir umat manusia, ternyata Agama tetap bertahan sebagai satu-satunya otoritas Ruhani yang menjadi harapan umat manusia untuk mengisi kehampaan makna kehidupan. Wallahu A’lam.


* Tulisan ini dipublikasikan di bulletin sayyidul ayyam terbitan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Maroko

Friday, February 22, 2008

Anyar/Baru/Jadid/New/Nouveau

Oleh: Arwani Syaerozi

Minggu 03 Februari 2008 saya ber-hijrah, alias pindah tempat tinggal. Mulai hari ini saya tidak lagi tinggal di kantor seketariat PPI yang berlokasi di kelurahan Kouass, saya memutuskan untuk hijrah ke sebuah rumah di kawasan hay al Khair masih di ibukota Rabat, berjarak sekitar 550 M dari tempat tinggal sebelumnya, setelah plus-minus 6 bulan saya menikmati suasana heterogen di bawah atap kantor sekretariat.

Alasan kepindahan ini sederhana, yaitu ingin menemukan tempat yang lebih kondusif untuk riset disertasi doktor yang semenjak 25 Desember 2007 lalu resmi saya garap. Tidak bisa saya pungkiri bahwa untuk proses riset ini saya membutuhkan tempat yang nyaman dan tenang, sedangkan kantor sekretariat adalah milik organisasi yang kapan dan siapapun bebas mengunjungi.

Dalam filsafat hidup, karekter manusia akan selalu mencari titik “yang lebih” dari fase sebelumnya. Hal ini manusiawi dan sangat wajar asalkan kita mau memperhatikan bagaimana keinginan untuk berpindah ke titik “yang lebih” bisa terwujudkan, yaitu dengan berusaha maksimal. Namun dengan catatan bahwa “yang lebih” tadi harus bersifat positif dan baik menurut perspektif moral dan agama, sebab keinginan yang sifatnya negatif dan tidak sesuai dengan norma etika dan ajaran agama akan menimbulkan kesengsaraan dan penyesalan dikemudian hari.

Di sisi lain, pengkebirian terhadap keinginan melaju ke tingkat “yang lebih” dengan dalih tipu daya “hawa nafsu” adalah sesuatu yang salah kaprah, apalagi doktrin agama dijadikan alat legitimasi untuk mengeliminasi kebebasan dan kreatifitas hidup, hal ini adalah sesuatu yang sangat paradoksal, sebab agama tidak membenarkan diri kita hidup dalam kebodohan, kevakuman dan kemiskinan.

Begitu banyak teks-teks agama yang menyinggungnya, bahkan tidak terhitung orang-orang relegius yang mengutipnya dalam sebuah tulisan, khutbah, atau sekedar obrolan. Namun, pada waktu yang sama terlalu banyak pula orang yang salah memahami, lupa atau pura-pura melupakan substansinya, sehingga realitas dalam masyarakat relegius justeru paradoksal. “agama menganjurkan hidup pintar, aktif dan berkecukupan sedangkan para pemeluknya mayoritas hidup bodoh, pasif dan terkurung dalam kemiskinan”.

Maka, tempat tinggal baru ini semoga memberikan inspirasi-inspirasi baru, atau paling tidak memberikan spirit baru dalam upaya merubah pola beragama masyarakat muslim yang selama ini memberikan konklusi paradoksal. Wallahu’alam.