Thursday, December 22, 2011

Transformasi Nilai Salaf Dalam Kehidupan Modern


Oleh: Arwani Syaerozi *

Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, keberadaannya hingga sekarang masih signifikan. Karena ia telah teruji dari masa ke masa dalam mencetak kader-kader muslim Indonesia yang kompeten dalam literatur Islam dan urusan kebangsaan.

Di mana salah satu ciri khas pendidikan pesantren, adalah penekanan terhadap kajian kitab kuning. Sebuah referensi yang menyimpan warisan intelektual ulama-ulama abad sebelumnya.

Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi, orientasi hidup dan pola berfikir masyarakat mengalami perubahan drastis. Dengan fasilitas teknologi informasi misalnya, masyarakat Indonesia dapat mengakses secara langsung kebudayaan, gaya hidup, dan aktivitas keseharian komunitas masyarakat dari berbagai belahan dunia. Akibatnya, tanpa melalui proses penyaringan, budaya, pola berfikir dan gaya hidup tersebut dapat diaplikasikan secara leluasa oleh masyarakat kita.

Lantas bagaimana dengan orientasi hidup kaum santri yang mengenyam pendidikan di pesantren-pesantren? Adakah nilai-nilai kesalafan yang patut dibanggakan dan harus dipertahankan di tengah gencarnya arus perubahan di segala lini kehidupan, di tengah menurunnya animo masyarakat untuk menitipkan anaknya di pesantren?.

Sejarah dan Katagori Pesantren:

Tidak ada penjelasan yang tegas terkait waktu di mana pesantren pertama kali didirikan. Namun, Mastuhu memperkirakan pesantren telah ada semenjak 300 - 400 tahun yang silam. Sedangkan data kementerian Agama menganggap pesantren pertama kali didirikan pada tahun 1062 M. Ada juga pendapat yang meyakini bahwa sistem pendidikan pesantren dikenalkan pertama kali oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) pada abad 15 M.

Menurut Mukti Ali(mantan menteri Agama RI), pesantren memiliki beberapa ciri khas sebagai berikut: 1-hubungan akrab kyai dan santri; 2- tradisi kepatuhan santri terhadap kyai; 3- hidup sederhana 4- mandiri 5- tolong menolong 6- disiplin 7- siap menderita demi tujuan; dan 8- tingkat relegius yang tinggi.

Pendidikan pesantren ini bisa dikatagorikan ke dalam dua macam, yaitu; pesantren salaf (tradisional) dan pesantren khalaf (modern), katagori pertama adalah yang hanya mengajarkan kitab kuning, sedangkan yang kedua mengadopsi sistem pendidikan modern, biasanya dengan menyediakan sekolah formal dan bahkan di beberapa tempat, pesantren jenis ini berafiliasi pada ideologi tertentu sebagai tempat doktrin dan kaderisasi.

Adapun pesantren salaf (tradisional), ia menyimpan potensi kesadaran akan ragam kebudayaan. Karena kearifan dan rasionalitas lokal selama ini diyakini menjadi custom-nya, sebagaimana konsep kemajuan pesantren jenis ini bertitik tolak dari tradisi.

Zamakhsyari Dhofier memahami ciri pesantren salaf terutama dalam hal sistem pengajaran dan kurikulumnya. Pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau sering disebut dengan "kitab kuning", karena kertasnya berwarna kuning, terutama karangan-karangan ulama yang menganut faham Syafi’iyah. Semua ini merupakan pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren tradisional.

Spirit Ajaran Pesantren Salaf:

Ada tiga point penting terkait dengan ajaran pesantren salaf yang patut dipertahankan dan bahkan harus terus disebarluaskan di tengah masyarakat muslim Indonesia. Sebenarnya, tiga point ini adalah intisari dari ciri khas pesantren salaf yang dikemukakan oleh Mukti Ali di atas. Oleh sebab itu, pesantren dianggap oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai ”subkultur” di tengah masyarakat.

Untuk memperkuat hal ini, Martin Van Bruinessen, meyakini bahwa pesantren tidak hanya subur dengan literatur keilmuan, akan tetapi mampu berperan dan berkontribusi bagi masyarakat di sekelilingnya.

Berikut ini penjelasan detail terkait tiga spirit ajaran pesantren salaf yang masih relevan dan harus terus dipertahankan di tengah derasnya kemajuan ilmu dan teknologi:

Pertama, kepasrahan total, hal ini merupakan tradisi keseharian yang ada di pesantren salaf, khusunya terkait relasi santri dan kyai. kepasrahan ini juga lumrah diungkapkan dengan istilah sami'na wa atho'na.

Di lingkungan pesantren salaf sangat kental dengan budaya ta’dzim pada guru dan kiai, kegigihan belajar yang disertai tirakat seperti puasa dan wirid, hingga percaya pada barokah.

Kepasrahan total yang saya maksud masih relevan dalam kehidupan modern adalah terkait ranah teologi. Artinya kepasrahan kepada Allah Swt sebagaimana didikan di pesantren untuk selalu pasrah kepada guru dan kyai (tentunya setelah pasrah kepada sang Khalik).

Dalam hal ini, kaum santri harus menempatkan posisi "pasrah" secara proporsional, yaitu dengan meyakini di dalam hati akan takdir atau suratan Tuhan atas seluruh makhluk ciptaan-Nya, pada saat yang sama kaum santri harus menunjukkan kegigihan dalam bekerja atau berusaha untuk menggapai tujuan-tujuan hidup.

Spirit seperti ini sulit ditemukan pada prilaku masyarakat modern, kalaupun ada, kualitas kepasrahannya tidak seperti mereka yang mengenyam pendidikan di pesantren salaf. Karena fenomena sifat putus asa -pada saat menghadapi kegagalan- lebih mendominasi masyarakat modern.

Kedua, keseimbangan duniawi dan ukhrowi. Orientasi masyarakat modern kerap dititikberatkan pada urusan dunia menyampingkan urusan akhirat. Seakan mereka berusaha menyebarkan opini bahwa kehidupan umat manusia hanya berhenti pada alam dunia.

Di sinilah urgensi pendidikan pesantren salaf terkait dengan spirit keseimbangan dunia-akhirat. Karena unsur-unsur ukhrowi selalu ditekankan kepada para santri, sebagaimana unsur-unsur duniawi diperhatikan. Tidak heran jika pendidikan di pesantren salaf akan memberikan dampak keseimbangan orientasi duniawi dan uhkrowi pada setiap anak didiknya.

Dalam hal ini, Abdurrahman Mas'ud melihat praktik keagamaan golongan yang sering disebut dengan tradisional Islam, yang berakar di pesantren salaf, sebagai penerus ajaran moderat para Wali Songo.

Ketiga, prioritas kemaslahatan umat, yaitu dengan mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan individu. Hal ini menjadi orientasi pendidikan di pesantren salaf. Di mana saat ini masyarakat terjebak dalam budaya kompetisi tidak sehat, akibatnya cara-cara tidak elegan dan tidak berperadaban (menghalalkan segala cara) menjadi hal yang lumrah –bahkan harus dilakukan- oleh masyarakat modern dalam rangka mengamankan kepentingan dan menggapai tujuan.

Contoh kecil terkait sikap kaum santri yang mendahulukan kemaslahatan umum atas kemaslahatan individu adalah penyediaan sarana pendidikan dengan orientasi nirlaba, hanya bertujuan sosial dan kemasyarakatan.

Jumlah puluhan, ratusan atau bahkan ribuan santri yang menetap di pesantren-pesantren salaf tidak dipungut biaya atau dipungut namun secara simbolis. Hal ini akan sangat kontras jika melihat realitas di masyarakat modern yang sengaja menjadikan pendidikan sebagai ladang penghasilan, sehingga industri pendidikan menjadi marak, konsekuensinya adalah biaya yang mahal, sementara pendidikan terjangkau semakin sulit ditemukan.

Kesimpulan:

Tiga point yang saya jelaskan di atas adalah sebagai contoh, bahwa nilai-nilai pendidikan salaf masih relevan dan bahkan harus dipertahankan dalam kehidupan modern, di tengah derasnya arus perubahan di segala lini kehidupan.

Bagaimanapun, tradisi keilmuan pesantren salaf yang merujuk pada kitab kuning adalah keunikan sekaligus nilai plus. Pandangan miring terhadap kitab kuning yang dianggap sebagai penyebab kejumudan, tidak boleh menyurutkan semangat kaum santri untuk berkontribusi dalam melakukan transformasi keilmuan.

Pada saat yang sama, kontekstualisasi kitab kuning melalui dialog teks-realita perlu digalakkan, sebagai cara efektif untuk menghidupkan kembali gairah intelektual yang cenderung loyo. Karena dengan cara ini, kekayaan literatur pesantren dapat terus dikembangkan dalam lingkungan budaya yang berbeda dengan masa lalunya. Maka, sesungguhnya pesantren salaf telah menjaga akar tradisinya sekaligus mengaktualisasikan diri dalam kondisi yang ada, sebagaimana ditegaskan dalam kaidah: Al muhafadzatu 'ala As salafi As salih Wa Al akhdzu Bi Al jadidi Al ashlah.


* Makalah ini dipresentasikan dalam seminar acara haul masyayih Pondok Pesantren MIS Sarang Rembang Jawa Tengah, tanggal 9 Desember 2011

Sunday, December 11, 2011

Menggali Hikmah Idul Adha


Oleh: Arwani Syaerozi *

Hari ini adalah di mana kita –sebagai umat Islam- merayakan salah satu dari dua hari raya, yaitu Idul Adha, yang artinya hari raya kurban.

Marilah kita mulai aktivitas pada hari yang berbahagia ini dengan memupuk keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt, yaitu dengan selalu mematuhi perintah dan menjauhi larangan-Nya, karena hanya dengan iman dan takwa kebahagiaan di dunia dan akhirat dapat kita raih.

"Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan". (Qs. An Nahl: 128)

Dalam sebuah hadits, dikisahkan bahwa Rasulullah Saw selalu memohon kepada Allah agar diberi ketakwaan, beliau berdo'a:

"Ya Allah…sungguh kami memohon dari-Mu petunjuk, takwa, terjaga (dari hal-hal yang negatif) dan berjiwa besar". (HR. Muslim)

Seorang penyair Arab berkata:

"Aku yakin bahwa takwa dan murah hati merupakan niaga paling menguntungkan seseorang, apabila sudah sampai pada ajalnya".

Jamaah Sholat Id yang dimuliakan oleh Allah

Pada saat hari Idul Adha tiba, ada tiga ibadah bersifat tahunan (dilaksanakan setahun sekali) yang disambut oleh umat Islam, yaitu: pelaksanaan sholat Idul adha, penyembelihan hewan kurban dan pelaksanaan Ibadah haji. Ketiga ibadah ini terkait erat dengan syari'at-syari'at agama samawi sebelum datangnya agama Islam, terutama terkait dengan sosok nabi Ibrahim A.S sebagai sentral pertalian nasab para nabi dan rasul.

"Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu". (Qs. Al Mu'min: 78)

Pelaksanaan sholat Ied dan penyembelihan hewan kurban ini telah dijelaskan dalam Al Qur'an, Allah Swt berfirman:

"Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah". (Qs. Al Kautsar:2)

Imam Qatadah dan Ikrimah, dua orang ulama tafsir Al Qur'an dari kalangan Tabi'in, memahami ayat tersebut sebagai perintah pelaksanaan sholat idul adha dan penyembelihan hewan kurban.

Adapun ibadah haji, adalah salah satu rukun Islam yang lima, ia merupakan kewajiban yang juga pernah disyari'atkan pada umat-umat terdahulu, dalam hal ini Al Qur'an menganggap Nabi Ibrahim A.S sebagai orang yang pertama kali menerima perintah dari Allah Swt untuk menyerukan haji kepada seluruh umat manusia.

"Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh" (Qs. Al Haj: 27)

Melihat prioritas tiga ibadah pada saat datangnya Idul Adha ini, kita sebagai umat Islam harus meyakini bahwa ibadah-ibadah tersebut memiliki hikmah dan maqasid (tujuan) yang harus kita ambil sebagai pijakan, sebagai pelajaran sekaligus wasilah untuk memperkuat keimanan kita.

Setidaknya ada dua hal penting yang akan saya sampaikan pada khutbah ini, pertama; makna pengorbanan demi agama dan bangsa, kedua; makna ukhuwah dan kebersamaan.

Jamaah Sholat Id yang berbahagia

Islam di berbagai penjuru dunia, khususnya di Indonesia -saat ini- membutuhkan perjuangan yang serius dan pengorbanan yang besar dari para pemeluknya.

Hal ini terkait dengan penyebaran opini dan image negatif seputar Ad Din Al Islami. Agama Islam -oleh kalangan yang tidak bertanggung jawab- kerap diidentikkan dengan anarkisme, barbarisme, bahkan dicap sebagai sumber teroris, sungguh keterlaluan, na'udzubillahi min dzalik !.

Sebagai umat Islam, tentunya kita merasa tersinggung dan terpukul dengan label dan tuduhan tersebut. Untuk itulah, kita harus bersama-sama berjuang menepis dan membuktikan pada dunia bahwa Islam adalah agama Rahmatan Lil Alamin, agama yang membawa kasih sayang bagi seisi alam.

"Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam". (Qs. Al Anbiya: 107)

Nabi Muhammad sendiri telah menegaskan bahwa dirinya adalah seorang rasul yang selalu mengedepankan perdamaian bukan ancaman dan kekerasan, sebagaimana yang dilabelkan oleh kalangan yang tidak bertanggung jawab, dalam hal ini nabi Muhammad bersabda:

"Sesungguhnya saya ini didedikasikan untuk perdamaian / kasih sayang". (HR. Hakim)

Lantas sejauh mana pengorbanan dan perjuangan umat Islam demi agama dan bangsanya? Tentunya perjuangan dan pengorbanan ini menyangkut unsur materi dan maknawi.

Sebagai flash back, Nabi Ibrahim A.S dalam rangka menjalankan perintah Allah Swt dan demi proses dakwah, ia harus berseteru dengan ayahnya, berseberangan pendapat dengannya. Hal ini tidak lain untuk menegakkan tauhid (meng-esakan Tuhan) dan melakukan reformasi sosial.

"Ingatlah ketika (Ibrahim) berkata kepada bapaknya: "Wahai ayahku, mengapa kau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong sedikit pun? Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus". (Qs. Maryam: 42-43)

Atau pada saat nabi Ibrahim A.S harus merelakan anaknya Isma'il untuk disembelih, hal ini tidak lain karena patuh kepada perintah Tuhannya, ia ingin menjadi seorang hamba yang siap menjalankan segala perintah dan menghindari segala larangannya. Sebuah pengorbanan yang luar biasa dari seorang kekasih Allah Swt. Al Qur'an mengabadikan peristiwa ini dalam surat As Shafaat:

"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (Qs. As Shafaat: 102)

Jika kita melihat perjuangan dan pengorbanan nabi Ibrahim tersebut, sungguhlah sangat berat. Di mana ia harus menjadi "lawan" dari keluarganya sendiri dan harus kehilangan salah seorang buah hatinya yang bernama Isma'il.

Tentunya kita sebagai manusia biasa –bukan seorang nabi atau rasul- harus bisa mengambil teladan dari perjuangan dan pengorbanan yang telah dicontohkan oleh nabi Ibrahim A.S.

"Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya". (Qs. Al Mumtahinah: 4)

Jamaah Sholat Id yang dimuliakan oleh Allah

Dalam kehidupan berbangsa yang majemuk seperti bangsa Indonesia, kita dituntut untuk bisa hidup berdampingan dengan siapapun, saling tolong menolong dan saling mempererat tali persaudaraan. Apalagi dengan sesama muslim, sesama orang yang satu iman meng-esakan Allah dan meyakini Muhammad adalah utusan Allah.

Memperhatikan ukhuwah dan kebersamaan sesama umat Islam, bahkan sesama satu bangsa, memiliki keterkaitan dengan usaha kita untuk menghilangkan Islamphobia. Sebab Islam adalah agama yang menganjurkan kepada pemeluknya untuk memupuk persaudaraan.

"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu". (Qs. Al Hujurat: 10)

Paling tidak, tradisi bersalam-salaman setelah shalat ied adalah contoh kecil dari aplikasi masyarakat muslim terhadap nilai ukhuwah dan persaudaraan. Rasulullah memberikan sinyal tentang urgensi ukhuwah ini melalui sabdanya:

"Tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri". (HR. Bukhori)

Makna ukhuwah dan kebersamaan juga bisa dilihat dengan adanya fenomena penyembelihan hewan-hewan kurban, suatu ibadah yang sangat dianjurkan oleh Islam saat tiba hari raya idul adha.

Kemudian daging kurban yang dibagi-bagikan kepada para kerabat, tetangga dan orang-orang yang tidak mampu di sekitar kita, memberikan bukti kuat akan anjuran Islam untuk memupuk ukhuwah dan kebersamaan.

Dalam ibadah haji, yang baru saja selesai dilaksanakan oleh saudara-saudara se-iman kita, juga menyimpan makna ukhuwah dan kebersamaan. Sebagaimana kita ketahui bahwa para hujjaj (jamaah haji) bukan hanya muslim dari Indonesia, akan tetapi dari seluruh penjuru dunia.

Mereka yang berangkat menunaikan ibadah haji, pada hakikatnya adalah wakil-wakil umat Islam sedunia, berkumpul menjadi satu di padang Arafah untuk melakukan wukuf pada tanggal 9 Dzulhijjah kemarin, Rasulullah Saw bersabda:

"Haji adalah wukuf di padang Arafah". (HR. Ahmad)

Kebersamaan umat Islam saat ibadah haji ini memberikan pemahaman tersendiri bagi kita sebagai masyarakat muslim, dalam khutbahnya di hari tasyrik, Rasulullah Saw menegaskan:

"Wahai umat manusia…ketahuliah bahwa Tuhan kalian satu, nasab kalian satu, sesungguhnya tidak ada keistimewaan orang Arab atas non Arab, begitu juga sebaliknya, tidak ada kesitimewaan orang berkulit merah atas kulit hitam, begitu juga sebaliknya, kecuali dengan ketakwaan". (HR. Ahmad)

Jamaah Sholat Id yang berbahagia

kita – sebagai umat Islam- harus siap berkorban demi agama dan bangsanya, sebagaimana pengorbanan luar biasa nabi Ibrahim A.S saat menyebarkan risalah ilahiyah di tengah masyarakat primitif yang jauh dari nilai-nilai peradaban.

Harus siap berjuang -di antaranya- untuk menepis citra negatif atas Islam yang sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, kemudian membuktikan kepada dunia bahwa Islam adalah agama berperadaban, agama rahmatan lil alamin, tentunya dalam hal ini, kita harus mengikuti metode yang telah dianjurkan oleh Al Qur'an:

"Serulah (wahai manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik". (Qs. An Nahl: 125)

Sebagaimana kita juga harus selalu memupuk ukhuwah dan kebersamaan baik sesama satu agama maupun sesama satu bangsa. Sebisa mungkin kita pun dituntut untuk menghindari saling menyalahkan, menyudutkan atau saling menghujat.

"Janganlah kalian saling menghasut, saling bersaing tidak sehat, saling membenci dan janganlah saling bermusuhan". (HR. Muslim)

"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu". (Qs. Al Anfal: 46)


• Naskah khutbah ini disampaikan pada sholat Idul Adha 1432 H / 2011 M, di Masjid Jami As Syuhada Komplek Beji Permai Tanah Baru Depok.

Sunday, December 4, 2011

Maulid Nabi: Tinjauan Sosial Dan Budaya


Oleh: Arwani Syaerozi *

Nabi Muhammad Saw sebagai Rasul terakhir bagi umat manusia, dengan membawa risalah yang bernama Islam, ia telah ditegaskan dalam al Qur'an sebagai suri tauladan bagi umat manusia.

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah" (Qs. Al Ahzab: 21)

Keistimewaan sosok Muhammad dari segi garis keturunan, bisa dilihat melalui sebuah hadits:

"Allah telah memilih Isma'il dari keturunan Nabi Ibrahim, memilih Kinanah dari keturunan Isma'il, memilih Quraisy dari keturunan Kinanah, memilih Bani Hasyim dari keturunan Quraisy dan memilih saya dari keturunan Bani Hasyim". (HR. Muslim)

Di samping garis nasab, Muhammad juga memiliki keistimewaan budi pekerti yang luhur, jiwa kepemimpinan yang tangguh dan kepala keluarga yang bijak. Semua inilah yang kemudian menjadikan Muhammad dianggap sebagai tokoh paling sukses dalam menjalankan misi hidupnya sebagai seorang Nabi dan Rasul.

Sejarah Peringatan Maulid Nabi:

Hari kelahiran Muhammad yang disepakati oleh para sejarawan adalah bulan Rabi'ul Awal tahun Gajah (April 570 Masehi). Masyarakat muslim menjadikan momentum ini sebagai hari yang diperingati secara khusus. Tujuannya adalah untuk meneladani kepribadian sosok Muhammad, menghidupkan semangat perjuangannya dan menyanjungkan pujian, sholawat dan salam kepadanya keluarga dan para sahabat.

Tradisi memperingati hari kelahiran nabi Muhammad ini menurut pakar sejarah Ibn Katsir dalam bukunya "Al Bidayah wa An Nihayah" pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat muslim pada masa dinasti Fatimiyah yang berkuasa di Mesir pada tahun 973 – 1154 Masehi.

Pendapat lain mengatakan bahwa tradisi maulid ini mulai diperkenalkan oleh seorang gubernur kota Irbil di Irak yang bernama Abu Said al-Qakburi (W: 1193 M).

Yang jelas, saat ini masyarakat muslim di dunia antusias melaksanakan kegiatan peringatan maulid Nabi Muhammad, bahkan di tanah air, masyarakat dari pelosok desa hingga ke kota-kota rutin mengadakan peringatan maulid nabi di bulan Rabi'ul Awal.

Inilah sebuah tradisi positif yang mengandung sisi maslahat dan manfaat bagi umat Islam. Telah ditegaskan dalam sebuah hadits bahwa:

"Barangsiapa yang menciptakan inovasi positif dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahala atas inovasinya dan atas orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang tersebut". (HR. Muslim)

Peringatan Maulid di Tanah Air:

Di beberapa daerah di tanah air, dalam menyambut hari kelahiran Rasulullah dilakukan kegiatan-kegiatan khusus. Secara umum, bentuk kegiatan ini tidak lepas dari 3 (tiga) hal: 1- dimensi keagamaan, 2- dimensi sosial, dan 3-dimensi kebudayaan.

Sebagai contoh; di Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat tradisi Sekaten, yaitu budaya masyarakat yang dipelopori oleh keraton Yogyakarta dalam menyambut hari kelahiran nabi Muhammad. Masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya sangat antusias menghadiri dan mengikuti jalannya acara ini.

Di Cirebon Jawa Barat, terdapat Panjang Jimat, sebuah kegiatan yang mengandung tiga dimensi tersebut di atas, yaitu keagamaan, sosial dan kebudayaan. Dimensi agama bias dilihat dengan diadakannya pembacaan mada'ih nabawiyah, ad diba'i dan al barzanji.

Dimensi sosial bisa dilihat dengan adanya sedekah dan pembagian makanan khas daerah, maraknya pasar kagetan yang menjual berbagai macam makanan dan kerajinan hasil kreasi masyakarat. Sedangkan dimensi kebudayaan bisa dilihat dengan adanya pertunjukan-pertunjukan kebudayaan lokal.

Conoh lain, di Sumatra Barat, pada tanggal 12 Rabiul Awal umat Islam berziarah ke kuburan Syekh Burhanuddin (seorang ulama besar). Hal ini karena masyarakat meyakini bahwa kedudukan ulama adalah sebagai pewaris para nabi.

Kesimpulan:

Apa yang terjadi di masyarakat Indonesia dalam memperingati hari kelahiran nabi Muhammad Saw dengan melalui kegiatan tradisional seperti Sekaten (Di Yogyakarta), Panjang Jimat (di Jawa Barat), ziarah ke makam ulama (di Sumatera Barat) adalah salah satu bentuk kearifan lokal.

Tradisi dan kebudayaan lokal yang sengaja memoles dakwah-dakwah keagamaan, sehingga pada waktu bersamaan, masyarakat melaksanakan even kebudayaan yang bermuatan relegius.

Dalam kegiatan ini, terdapat beberapa manfaat besar bagi umat Islam, di antaranya: memupuk sikap saling peduli, saling mengingatkan, dan saling mempererat kebersamaan. Wallahu A'lam.


• Makalah ini dipresentasikan dalam acara dialog interaktif seputar Maulid Nabi di KBRI Rabat Maroko pada tanggal 14 Februari 2011.

Tuesday, November 8, 2011

Ulama Maroko dan Islam di Indonesia


Oleh: Arwani Syaerozi *

Maroko secara georafis terletak di bagian utara benua Afrika, adalah Negara yang memiliki peran penting dalam sejarah masuknya Islam ke benua Eropa. Dimana keberhasilan Thariq bin Ziyad (w: 720 M) dan pasukannya dalam melakukan ekspansi militer pada tahun 711 M merupakan awal periode kejayaan Islam di Eropa.

Di Afrika bagian barat, ulama Maroko pun memiliki andil besar dalam penyebaran dan eksistensi Islam di kawasan tersebut. Pengaruh ulama ahli thoriqat (sufi) asal Maroko sangat kental dalam masyarakat muslim di Senegal, Nigeria, Ghana dan beberapa Negara Afrika barat lainnya.

Lantas, apakah ulama Maroko juga memiliki peran dalam penyebaran Islam di tanah air? Sejauh mana pengaruh ulama dan intelektual Maroko di tengah masyarakat muslim di Indonesia?.

Kehadiran Ulama Maroko di Tanah Air:

Sejarah mencatat, bahwa ulama Maroko memiliki andil dalam proses penyebaran dan perkembangan Islam di Indonesia, setidaknya ada dua indikator yang menguatkan kesimpulan ini:

Pertama, kunjungan petualang muslim asal kota Tanger Maroko, Ibnu Batutah (w: 1369 M) ke pulau Sumatera pada abad ke-14 Masehi, tepatnya pada saat kerajaan Samudera Pasai dipimpin oleh Sultan Malik Al Zahir (w: 1383 M). Kunjungan ini dicatat dalam bukunya yang sangat popular, yaitu "Rihlah Ibnu Batutah" sebagai rangkuman dari misi dakwah dan petualangannya.

Kedua, peran Maulana Malik Ibrahim (w: 1419 M) -salah seorang wali songo- yang merupakan tokoh sentral dalam penyebaran Islam di pulau Jawa. Ia dijuluki dengan nama "Syaikh Maghribi", hal ini mengindikasikan bahwa ia berasal dari Maroko. Namun demikian, para sejarawan tidak satu kata, sebab ada yang berpendapat ia berasal dari Samarkand, ada juga yang mengatakan berasal dari Kashan Iran.

Pengaruh Keilmuan Ulama Maroko di Indonesia:

Pada periode berikutnya, pengaruh ulama Maroko dalam pengembangan Islam di Indonesia semakin jelas. Yaitu dengan melalui literatur keilmuan dan tradisi intelektual. Dalam hal ini, saya akan mengerucutkannya ke dalam dua katagori, yaitu peran ulama klassik dan ulama kontemporer.

Ada beberapa ulama Klassik Maroko yang hingga saat ini memiliki pengaruh intelektual kuat di kalangan muslim Indonesia, di antaranya; Muhammad Ibn. Ajurrum As Sonhaji (w: 1324 M) pengarang Kitab Al Muqaddimah Al ajurrumiyah, dikenal dengan kitab Jurumiyah. Kitab ini sangat sederhana, mengupas teori dasar grametika Arab, ia diperuntukkan bagi kalangan pemula. Namun demikian, mayoritas kyai dan santri di tanah air pernah mengkaji kitab ini.

Ulama klassik Maroko yang juga memiliki pengaruh besar di tanah air adalah Muhammad Bin Sulaiman Al Jazuli (w: 1465 M), pengarang kitab Dala'il al Khoirat, kumpulan sholawat dan dzikir. Karena kualitas ruhaninya, kitab ini menjadi bacaan istiqamah (wiridan) bagi banyak ulama dan muslim di tanah air.

Selain As Sonhaji dan Al Jazuli, ulama klassik Maroko yang ikut andil dalam pengembangan Islam di Indonesia adalah Sidi Ahmad At Tijani (w: 1815 M). tokoh pendiri thariqat Tijaniyah ini dikagumi oleh banyak muslim Indonesia, sehingga ajaran tahriqatnya hingga saat ini diminati oleh muslim di tanah air.

Sedangkan intelektual kontemporer Maroko yang memiliki pengaruh kuat di Indonesia, di antaranya adalah: Mohammed Abid Aljabiri (w: 2010), proyeknya dalam bidang "reformasi pemikiran" yang dituangkan dalam beberapa buku, menjadi rujukan bagi kalangan akademisi dan intelektual muslim di Indonesia. Selain Al Jabiri, beberapa ulama dan intelektual Maroko turut mewarnai pemikiran dan keilmuan di tanah air, di antaranya; Ahmad Raisuni (pakar Maqasid Syari'ah), Bensalim Himmich (filsuf) dan Fatimah Mernissi (Pemikir dan Novelis).

Kesimpulan:

Hubungan intelektual Maroko dengan masyarakat muslim di Indonesia telah terjalin semenjak masa penyebaran Islam abad ke 14 Masehi hingga saat ini. Pengaruh dan kontribusi mereka di kalangan muslim di tanah air bisa disimpulkan ke dalam dua hal:

Pertama, interaksi secara langsung, yaitu kehadiran mereka secara fisik di tengah masyarakat Indonesia, hal ini terbukti dengan adanya syaikh Maghribi atau Maulana Malik Ibrahim sebagai salah seorang wali songo dan kunjungan Ibnu Batutah ke pulau Sumatera pada masa kerajaan Samudera Pasai.

Kedua, pengaruh kelimuan, hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa kitab karya ulama dan intelektual Maroko yang menjadi rujukan penting bagi masyarakat muslim Indonesia, sekaligus mempengaruhi perkembangan keilmuan di tanah air, walaupun secara fisik, para penulisnya tidak hadir di tengah-tengah muslim Indonesia. Wallahu a'lam.



• Dipublikasikan di media Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Maroko

Tuesday, October 25, 2011

Nahdlatul Ulama Dan Kekuasaan Politik


Oleh: Arwani Syaerozi

Melalui muktamar Ke-27 di Situbondo pada tahun 1984, secara resmi Nahdlatul Ulama kembali ke Khittah tahun 1926. Hal ini dikuatkan dengan keluarnya NU dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dimana partai NU –saat itu- menjadi motor berdirinya PPP pada tahun 1957. Maka melalui muktamar Situbondo, NU kembali menjadi organisasi sosial keagamaan sebagaimana saat didirikan, 31 Januari 1926.

Topik khittah 1926 erat dikaitkan dengan ranah politik. Padahal, cakupan khittah tidak hanya menerangkan ihwal hubungan organisasi NU dengan dunia politik, tetapi juga hal-hal mendasar terkait masalah ubudiyah dan muamalah. Khittah NU mencakup tujuan pendirian dan gerakan NU, tema-tema terkait kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut KH. Muchit Muzadi, Khittah NU 1926 merupakan dasar agama warga NU, akidah, syariat, tasawuf dan faham kenegaraannya.

Terkait dengan politik dan kekuasaan, khittah tahun 1962 ini kemudian difahami dengan berbagai macam interpretasi oleh kalangan Nahdliyin. Sebagian menganggap bahwa khittah adalah upaya memisahkan organisasi NU dengan dunia politik praktis, NU sebagai organisasi keagamaan harus dikonsentrasikan pada kerja-kerja sosial dan keagamaan, pemahaman khittah seperti ini, mengharuskan para pengurus NU baik di pusat maupun di daerah tidak diperbolehkan -baik secara langsung maupun tidak langsung- terlibat di dunia politik praktis.

Sebagian lain beranggapan, bahwa khittah NU hanya sebatas mengembalikan identitas ke-ormas-an NU, artinya Nahdlatul Ulama adalah bukan partai politik dan tidak terikat -secara organisasi- dengan partai politik apapun. Namun pada saat yang sama, setiap orang yang menjadi pengurus NU –sebagai warga Negara yang memiliki hak berpolitik- diperbolehkan terlibat di dunia politik, dengan tidak mengatasnakaman organisasi NU.

Melihat fenomena interpretasi-interpretasi di atas, NU menjaga jarak yang sama dengan semua kekuatan politik, dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan aturan tentang rangkap jabatan bernomor 015/A.II.04d/III/2005, dalam bab I pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa pengurus NU –mencakup pengurus harian, lembaga, lajnah dan badan otonom di semua tingkatan – tidak diperbolehkan merangkap jabatan.

Kemudian bab I pasal 2 dalam peraturan tersebut menjelaskan: "Yang dimaksud dengan jabatan politik dalam peraturan ini adalah meliputi jabatan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, wakil wali kota, anggota DPR/DPRD dan anggota DPD".

Sikap NU Terhadap Penguasa:

Bagaimana sikap NU terhadap para penguasa, baik di tingkat pusat, provinsi maupun daerah? Apakah pengurus NU berhak mengarahkan organisasi yang dipimpinnya untuk mendukung salah satu kandidat calon dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan gubernur (pilgub) atau pemilihan presiden (pilpres)?.

Tidak diragukan lagi bahwa sebuah organisasi membutuhkan biaya untuk mengoperasikan roda kepengurusan dan merealisasikan program kerjanya. Nahdlatul Ulama yang notebene organisasi non profit, dalam hal ini akan sangat bergantung pada instansi dan pihak sponsor dalam memenuhi kebutuhan finansialnya, karena dana yang dimiliki –baik di pusat maupun di daerah- jauh dari target yang dibutuhkan.

Menyikapi realitas ini, pengurus NU di pusat dan daerah akan memiliki kebijakan yang berbeda. Namun yang paling mendominasi adalah, kebijakan menyokong penguasa atau kandidat penguasa dengan kompensasi bantuan dana (apabila menang), hal ini menurut saya sah saja, asalkan atas dasar mutualisme dan tidak mengatasnamakan ormas NU, akan tetapi dukungan individu para pengurus dan anggota.

Namun di sini akan muncul dua permasalahan: pertama, pada saat kandidat penguasa yang didukung oleh tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama kalah dalam bertarung, imbasnya sangat fatal, yaitu akan terjadi marjinalisasi kaum Nahdliyin oleh penguasa yang menjadi rival dalam pemilihan. Padahal NU sebagai sebuah organisasi tidak terlibat secara langsung dalam ajang perebutan kekuasaan tersebut. Semestinya, siapapun yang menang NU akan berada pada jarak dan posisi yang sama.

Kedua, pada saat calon yang diusung memenangi pemilihan, NU sebagai organisasi akan mendapatkan keuntungan materi dan fasilitas, walaupun ini semua bersifat pragmatis (jangka pendek). Namun dalam hal kebijakan dan pemberdayaan anggota, NU akan banyak menemukan kendala dan benturan dengan keinginan penguasa. Ia tidak bisa lagi mengkritisi kebijakan yang tidak pro-rakyat bahkan secara tidak langsung NU akan menjadi alat "legitimasi" atas keputusan apapun yang diinginkan oleh penguasa.

Dua fenomena tersebut –menurut saya- tidak akan teradi apabila organisasi Nahdlatul Ulama memiliki badan usaha yang kuat, yang mampu mengelola wakaf dan kekayaan warganya secara profesional, sehingga menghasilkan dana besar untuk membiayai roda organisasi. Dengan demikian ia akan menjadi organisasi yang independen dalam bidang pendanaan dan kebijakan.

Mensingkronkan dua kepentingan:

Dalam keputusan Musyawarah Nasional NU tahun 1983 di Situbondo tentang "Pemulihan Khittah Nahdlatul Ulama 1926", ada empat hal sebagai konsideran. Pertama, sebagai organisasi keagamaan, NU mengalami hambatan karena kurangnya ikhtiar kreatif yang sesuai dengan kebutuhan zaman; Kedua, karena keterlibatan NU di dalam kegiatan politik praktis secara berlebihan, NU menjadi kurang peka menanggapi perkembangan sehingga NU tidak lagi berjalan sesuai dengan hakikatnya sebagai organisasi keagamaan; Ketiga, sudah menjadi tekad NU untuk senantiasa terikat dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara; Keempat, ulama sebagai unsur utama NU menyadari keprihatinan terhadap perkembangan NU dan merasa perlu menegaskan pedoman dan petunjuk bagi perkembangan organisasi.

Dewasa ini, persaingan antar organisasi sosial dan keagamaan di tanah air semakin ketat, banyak ormas-ormas baru bermunculan, mereka berebut massa dan menjaring simpati masyarakat. Sehingga kalau pengurus NU -baik di pusat maupun daerah- tidak peka terhadap kondisi zaman dan tidak melakukan operasi turba (turun ke bawah) dengan cara mendengar keluhan warga, mencarikan solusi dan melakukan konsolidasi melalui kegiatan-kegiatan, maka tidak heran jika di kemudian hari NU yang selama ini dianggap sebagai ormas terbesar di tanah air akan menyurut dan kehilangan anggota.

Pada saat pengurus NU -di pusat dan daerah- memposisikan sebagai partner penguasa, maka semestinya harus dalam posisi yang sejajar (baca: tidak menjadi alat legitimasi penguasa). Artinya, setiap kebijakan penguasa tidak selamanya didukung oleh NU, akan tetapi hanya kebijakan pro-rakyat (memberikan kemaslahatan bagi masyarakat) yang akan didukung, sedangkan kebijakan yang bersifat menguntungkan individu atau golongan tertentu, dalam hal ini pengurus NU harus berani menjadi oposisi yang mengkritisi.

Cara paling efektif untuk mensingkronkan kepentingan penguasa dan kemaslahatan warga NU adalah melakukan penguatan basis finansial dan ekonomi agar bisa mendanai roda kepengurusan sendiri, pada saat yang sama NU melakukan pendekatan (menjadi partner penguasa) dengan tujuan untuk ikut urun rembug dan menjadi inspirator setiap kebijakan yang akan dikeluarkan oleh penguasa.

Untuk mencapai apa yang saya uraikan di atas memang sulit, karena itu adalah salah satu bentuk ideal dari sebuah organisasi sosial keagamaan. Akan tetapi hal ini bisa dilakukan secara bertahap, langkah awalnya adalah mempersiapkan kader-kader pemimpin NU yang memiliki visi dan misi meng-independenkan organisasi dalam hal pendanaan. Saya kira, kader-kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), adalah aset berharga bagi jamiyah Nahdlatul Ulama, karena bagaimanapun antara NU dan PMII memiliki hubungan sejarah dan emosional yang erat.


• Makalah ini dipresentasikan pada acara Diskusi dan Halal Bihalal keluarga besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) kota Serang Banten, pada tanggal 22 September 2011.

Tuesday, October 18, 2011

Urgensi Menulis Bagi Generasi Muda


Oleh: Arwani Syaerozi*

Menulis adalah suatu aktivitas untuk menuangkan gagasan, ide, informasi keluhan dan apa pun yang dirasakan atau ditemukan oleh panca indera melalui sebuah rangkaian huruf dan kata.

Berbeda dengan ucapan, yang hanya diungkapkan melalui lisan, sebuah tulisan akan lebih tajam dan abadi, sedangkan ucapan cepat menguap dan lenyap dari ingatan para pendengarnya. Untuk itulah kita sering mendengar ungkapan bahwa "Apa yang kita ucapkan akan menguap, sedangkan apa yang kita tulis akan abadi".

Sebagai sebuah generasi bangsa yang memiliki potensi peradaban luar biasa, kita dituntut untuk melestarikan warisan kebudayaan dan kelimuan yang telah diperkenalkan oleh leluhur kita, kita pun dituntut untuk mengembangkannya agar pondasi kebudayaan dan khazanah keilmuan tersebut bisa eksis di tengah pesatnya kemajuan teknologi dan persaingan global.

Salah satu cara untuk melestarikan dan mengembangkan warisan intelektual dan kebudayaan adalah dengan membekali generasi muda dengan keterampilan menulis, keterampilan ini sangat penting karena akan menjadi media perekam ide, gagasan dan informasi untuk kemudian bisa diakses dan dijadikan referensi oleh generasi-generasi berikutnya.

Dalam makalah ini, ada empat hal yang akan dijadikan sebagai barometer urgensi menulis khususnya bagi generasi muda, bagaimanapun juga pemuda sekarang adalah pemimpin di masa mendatang, dan generasi muda yang notebone masih energik, akan lebih leluasa dalam melakukan mobilitas untuk pelestarian dan pengembangan intelektual dan kebudayaan.

1. Menulis Sebagai Hobi:
Hobi adalah kegemaran utama atau kesukaan. Apapun yang menjadi hobi seseorang akan diprioritaskan dalam skala aktivitas kesehariannya. Tidak jarang langkah awal seorang penulis profesional, adalah memposisikan aktivitas menulis sebagai sebuah hobi dan kegemaran, menanamkan tekad dalam dirinya bahwa menulis bisa dilakukan kapan dan dimana saja.

Di komunitas pesantren Babakan Ciwaringin, kita mengenal para penulis handal yang telah menelurkan beberapa karya tulisnya, bahkan telah mendedikasikan hidupnya untuk menulis. Sebagai contoh; Nyai Hj. Masriyah Amva yang terkenal di publik luas melalui karya pertamanya "Bangkit Dari Terpuruk", dan Muhammad Baequni Haririe yang telah popular dengan novelnya "Habib Palsu Tersandung Cinta". keduanya adalah keluarga pesantren yang memiliki kegemaran dan perhatian dalam dunia tulis menulis.

2. Menulis Sebagai Profesi:
Hobi menulis pada level tertentu bisa menjadi sebuah pekerjaan yang menghasilkan uang. Para wartawan di media-media cetak dan online, baik yang masih pemula maupun yang sudah senior dan menjadi pemimpin di lembaganya, adalah mereka yang menghidupi diri dan keluarganya dari hasil jerih payah sebagai "kuli tinta".

Para penulis kelas amatir yang hasil tulisannya jauh dari sorotan publik, adalah kader-kader signifikan bagi dunia jurnalistik. Mereka akan terus eksis dengan aktivitas menulisnya pada saat dibarengi dengan pelatihan dan pendidikan tulis-menulis, kemudian menyeriusinya dengan bergabung sebagai wartawan di sebuah media cetak, baik tingkat lokal semisal Radar Cirebon maupun tingkat nasional seperti Jawa Pos.

Dengan berkarir di dunia jurnalistik, sesorang yang memiliki kegemaran menulis akan menemukan dua hal sekaligus, yaitu pelampiasan hobi dan profesi yang akan menghasilkan materi sebagai biaya hidup.

3. Menulis Sebagai Media Dakwah:
Seorang da'i dan pendidik dapat melakukan aktivitas dakwah dan pendidikannya melalui tulisan. Santri yang menguasai disipilin ilmu agama dan memiliki tanggung jawab dalam proses Amar Ma'ruf Nahi Munkar akan lebih sempurna jika dibarengi dengan usaha menuangkan materi dakwahnya ke dalam sebuah tulisan.

Pada saat pesan-pesan keagamaan dan pendidikannya dikonsumsi oleh masyarakat melalui tulisan, maka para pembacanya akan lebih terpengaruh jika dibandingkan dengan dakwah dan pendidikan yang disampaikan secara lisan.

Hal ini tentunya bisa maksimal, pada saat masyarakat yang menjadi target dakwah dan pendidikan telah memiliki minat baca yang tinggi, seperti di perkotaan. Apablia masyarakatnya belum memiliki minat baca, maka bagi para da'i dan pendidik yang ingin mencoba melalui media tulisan harus disertasi dengan usaha mendorong masyarakat untuk terbiasa membaca.

4.Menulis Sebagai Media Pengembangan Intelektual:

Selain bisa dijadikan sebagai media dakwah, mengajak orang lain untuk melakukan Amar Ma'ruf Nahi Munkar, aktivitas menulis juga bisa dijadikan sebagai media pengayaan khazanah keilmuan dan pengembangannya.

Karya tulis ilmiyah dan riset-riset yang dilakukan oleh para ahlinya akan dikaji dan dijadikan rujukan ilmiyah oleh para pelajar dan pengambil kebijakan. Karya tulis ilmiyah tersebut akan dikonsumsi, baik pada saat penulisnya masih hidup maupun pada saat ia telah wafat. Sebagai contoh, para santri di pesantren-pesantren mengkaji dan mendalami literatur ilmu agama dengan rujukan kitab-kitab kuning yang merupakan hasil karya ulama-ulama abad sebelumnya.

Dalam khazanah kelimuan Islam, kita bisa membaca kitab-kitab karya Imam Nawawi Banten, kitab-kitab karya Syaikh Ihsan Jampes dan kitab-kitab karya Syaih Mahfudz Termas. Mereka adalah para cendekiawan muslim asal Indonesia yang karya-karya tulisnya dibaca oleh publik luas bukan saja di tanah air akan tetapi di seluruh dunia.

Epilog:
Empat point yang saya kupas dalam makalah ini memberikan dua kesimpulan penting: Pertama, urgensi menulis di lihat dari kaitannya dengan personal generasi muda, yaitu sebagai hobi dan profesi. Kedua, dilihat dari keberadaannya sebagai wasilah efektif untuk dakwah dan pengembangan intelektual.

Begitu dahsyatnya pengaruh tulisan terhadap para pembacanya, padahal proses untuk membuat sebuah tulisan sangat sederhana, hanya membutuhkan keberanian dan ketekunan untuk menuangkan apa yang ada dalam pikiran baik berupa ide, gagasan, informasi maupun pengalaman.

Untuk itulah tidak ada pilihan bagi generasi muda, agar membekali diri dengan keterampilan menulis. Keterampilan ini pada saat yang sama harus diperkuat dengan pelatihan dan kunjungan lapangan, kunjungan ke sebuah media cetak baik lokal maupun nasional, hal ini agar bisa melihat secara langsung bagaimana para wartawan melakukan pekerjaanya.

Keterampilan menulis harus diimbangi dengan minat baca dan analisa yang kuat, karena ide, gagasan dan informasi akan banyak ditemukan dari referensi-refernsi yang kita baca.


•Makalah ini dipresentasikan pada pelatihan jurnalistik, tanggal 16, 17 dan 18 Agustus 2011, di Aula Madrasah Al Hikamus Salafiyah (MHS) yang diselenggarakan oleh MB2 Babakan Ciwaringin Cirebon

Monday, October 3, 2011

PCNU Kab Cirebon Seminarkan Pembumian Aswaja


Sumber www.nu.or.id

Sabtu 17 September 2011, PC NU kabupaten Cirebon bekerjasama dengan Persatuan Seluruh Pesantren Babakan (PSPB), Majalah Laduni, Komunitas Seniman Santri (KSS) dan bulletin MB2, menggelar seminar nasional bertajuk Membumikan Faham dan Gerakan Ahlussunnah wal Jama’ah.

Acara yang diselenggarakan di gedung aula Madrasah Al Hikamus Salafiyah (MHS) Lt. 2 pondok pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon ini menghadirkan Dr KH Abdul Syakur Yasin MA dan KH Husain Muhammad sebagai narasumber dan H Abdul Muiz Syaerozi STh.I. sebagai moderatornya.

Selain kedua narasumber, acara ini juga di hadiri sejumlah tokoh diantaranya, KH Mahtum Hannan, rais Jamiyyah Ahlutthoriqoh Al Mu’tabarah Annahdliyyah Jawa Barat, KH Marzuqi Ahal, katib syuriyah PCNU Kabupaten Cirebon, KH Azka Hammam Syaerozi, pengasuh pesantren Babakan Ciwaringin dan Dr. H. Arwani Syaerozi, Lc, MA intelektual muda NU.

Menurut Hasan Malawi; ketua panitia penyelenggara, pilihan tema Membumikan Faham dan Gerakan Aswaja dilatari oleh kegelisahan kalangan muda nahdliyyin atas merebaknya faham dan aliran keagamaan yang secara eksplisit mengancam keutuhan bangsa dan negara kesatuan republik Indoensia.

“Kita perlu merumuskan strategi bagaimana agar nilai-nilai Ahlussunnah Waljama’ah yang di anut oleh kalangan nahdliyyin menjadi alat perekat bangsa, sekaligus menjaga keanekaragaman budaya di Indonesia,” tegas Hasan Malawi di sela-sela sambutannya.

Acara yang di gelar sejak pukul 13.00 sampai 16.30 ini diikuti oleh ratusan peserta, baik dari kalangan ulama, santri, mahasiswa, guru-guru maupun aktivis-aktivis muda NU. Bahkan, diantara peserta yang hadir, terdapat peserta berkewarganegaraan Maroko dan Malaysia.

Monday, September 19, 2011

Tuntutan Formalisasi Islam Akibat Dangkalnya Pengetahuan Maqasid Syari’ah


sumber: www.nu.or.id

Tuntutan untuk menerapkan syari’at Islam sebagai undang-undang di Indonesia, baik melalui partai politik maupun gerakan organisasi massa, adalah bentuk kurangnya pemahaman tentang maqasid syari’ah atau tujuan disyariatkannya agama Islam.

Kelompok-kelompok ini yang beranggapan bahwa hukum Islam tidak berubah sampai kapan pun terus mengkampanyekan pentingnya formalisasi syari’ah di Indonesia.

Demikian disampaikan Dr. Arwani Syaerozie pada acara buka bersama dan Tasyakkuran HUT ke-66 RI di pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, Rabu (17/8).

Menurutnya, keinginan tersebut bukan hal baru. “Dalam konteks sejarah Islam, Imam Malik pernah menolak tawaran Harun Ar-Rasyid yang hendak menjadikan Al Muwattha sebagai rujukan para hakim. Ini karena Imam Malik menyadari bahwa mengambil hokum apa adanya pada masa tertentu untuk diterapkan dimasa yang berbeda adalah tindakan yang semena-mena,” katanya.

Untuk meluruskan kelompok ini, kajian tentang Maqashid Syari’ah di Indonesia menjadi penting, mengingat Indonesia adalah bangsa yang plural. Karena itu, formalisasi syari’ah, menurut pria yang meraih gelar doctor termuda di Maroko ini, adalah langkah yang tidak perlu dilakukan di Indonesia.

Karenanya menguatkan pemahaman maqashid Syari’ah di kalangan ummat Islam di Indonesia menjadi hal yang urgen. Nahdlatul Ulama (NU) diharapkan menjadi pelopor dalam hal ini.

“NU harus menjadi pelopor penguatan pendidikan maqashid Syari’ah, sebab, NU dikenal sebagai organisasi keagamaan yang inklusif,” Kata Arwani Syaerozie.

Tasyakuran HUT RI yang ke 66 ini di hadiri oleh Rais Thariqoh Al Mu’tabarah An-Nahdliyyah Wilayah Jawa Barat KH Mahtum Hannan, sekretaris PCNU Cirebon H. Lukaman Hakim dan MUI (Majlis Ulama Indonesia) kabupaten Cirebon KH. Bahruddin Yusuf. Hadir pula tokoh-tokoh ulama setempat, diantaranya, KH. Tamam Kamali, KH Zamzami Amin, KH Azka Hammam, dan KH Ahmad Najiullah Fauzi (Rdksi)


Monday, September 12, 2011

Maroko: Pilihan Mualaf Baca Syahadat


Hasil wawancara dengan Majalah Ummi

Indonesia mempunyai hubungan politik yang baik dengan Maroko. Ini berawal sejak terjalinnya persahabatan antara Ir Soekarno dengan Raja Muhammad ke­V. Bahkan, Pemerintah Maroko mengabadikan nama Soekarno sebagai nama salah satu jalan protokol di ibukota Rabat.

Ya, kedua negara ini memiliki kesamaan: sebagian besar penduduk beragama Islam. Di Maroko tercatat 99% penduduknya Muslim. Selebihnya, beragama Yahudi dan Kristen.

Islam di Maroko berkembang setelah bangsa Arab melakukan ekspansi ke Afrika Utara pada pertengahan abad ke­VII. Sejak itu, negara yang berpenduduk asli bangsa Berber ini menganut sistem pemerintahan monarki. Kini, Maroko dipimpin Raja Mohammed VI, dari keturunan Alawiyin.

Selain sebutan Negeri Seribu Benteng—hampir di tiap sudut kota terdapat benteng—Maroko juga terkenal dengan keindahan alam bukit yang menyejukkan mata. Penduduknya yang agamis, ramah dan berpemikiran terbuka, menjadi magnet tersendiri bagi wisatawan asing untuk kembali menginjakkan kakinya di Maroko.

Barat Mitra Dialog

Masyarakat Maroko cukup terbuka dengan kebudayaan dan tradisi komunitas lain. Tak terkecuali bangsa tetangga sebelahnya, Eropa. "Mereka tidak 'menutup pintu rapat­ rapat' terhadap kebudayaan bangsa Eropa seperti halnya negara Arab di kawasan Teluk, Timur Tengah, pada umumnya," kata Arwani Syaerozi, mahasiswa program doktoral di Universitas Mohammed V.

Mereka, lanjut pria yang bermukim di Rabat ini, memandang bangsa lain yang berpotensi kerjasama untuk memajukan negaranya sebagai mitra dan sahabat. Nah, yang patut diacungkan jempol, pemerintah Maroko mampu menempatkan diri secara imbang antara kepentingan bangsa Arab dan Eropa.

Maroko tercatat sebagai anggota Organisasi Konferensi Islam, Liga Arab dan Organisasi Maghrib Arabi, tapi di saat yang sama aktif pula dalam organisasi negara kawasan Mediterania yang dimotori Perancis dan Italia.

Sementara menurut mahasiswa program doktoral studi Dialogue of Religions and Cultures, Universitas Sidi Mohamed Ben Abdellah, Arya Bagus Aji Shofin, pemerintah Maroko memandang dunia Barat sebagai mitra berdialog.

Di mata Barat, Maroko menjadi pintu gerbang masuknya tradisi ilmiah Islam ke Eropa. Kota Fes, Maroko, misalnya, dikenal sebagai pintu gerbang pertemuan antara arus filsafat Yunani dari Eropa dan arus pemikiran Islami yang dibawa para keturunan Rasulullah saw. "Jadi, sejak dulu sudah terjadi dialog dan pergulatan pemikiran antara tradisi Islam dan tradisi Barat di Maroko. Dan, itu terjadi hingga saat ini," ungkap Arya. Inilah, lanjutnya, yang membentuk Muslim Maroko berwatak logis.

Ramai-ramai Bersyahadat

"Ada kebiasaan anak muda Maroko yang cukup menarik dan menggelitik," ungkap Arwani. Tiap kali bertemu dengan orang asing, mereka selalu bertanya, "Apakah Anda Muslim?" Kalau kita menjawab, "Ya, saya Muslim." Mereka akan meminta kita bersyahadat. Setelah permintaan itu terpenuhi mereka mengucap hamdalah.

Maroko juga dikenal sebagai negara yang banyak mengawal syahadat. Para mualaf itu tak melulu dari Eropa dan Afrika. Rilis Kementerian Wakaf tahun 2007 mencatat 2.398 warga asing mualaf berasal dari 68 bangsa. "Prosesi pengucapan kalimat syahadat biasa­nya berlangsung di Masjid Hassan II di Kota Cassablanca, Masjid As-Sunnah di Rabat Dan di Masjid Al Kairouiyien Fes". Alasan mengapa memilih Maroko sebagai tempat bersyahadat. Menurut Arwani, karena interaksi Muslim Maroko dengan orang Eropa dan Afrika terjalin baik. Warga Maroko banyak bermukim di negara Eropa. Letak geografisnya berada di sebelah Spanyol dan menjadi jalur penghubung antara negara Afrika dan Eropa.

Sementara Arya berpendapat, karena sikap Muslim Maroko yang ramah terhadap pendatang dan open mind. Mayoritas Muslim Maroko menganut teologi Asy'ariyyah— pengikut paham Imam abul Hasan al­Asy'ariy untuk bidang akidah, mengikuti ajaran Imam Junaid al­ Baghdadi dalam bidang tasawuf, dan bermazhab Maliki—Imam Malik ibn Anas untuk bidang fikih.

Selain itu, Maroko terkenal kaya tradisi tasawuf. Bahkan, konon mampu menarik mantan presiden Vietnam –yang non muslim- berguru pada seorang sufi Maroko. Kemuliaan akhlak dan keikhlasan para sufi tersebut mewarnai keberagamaan masyarakat Islam Maroko

Meski Maroko letaknya dekat Eropa dan terbuka dengan kebudayaan asing, tak berarti mereka melepas identitas keislamannya. Kaum mudanya berpenampilan Islami. Perempuan mengenakan jilbab dan pakaian lebar sedangkan pria mengenakan jalabah (gamis) khas Maroko. "Seperti di Indonesia, mereka mengenakan baju Muslim atas dasar kesadaran dan keinginan masing­masing," kata Arwani seraya menambahkan Maroko melakukan pengkaderan bagi pemuda yang tertarik menjadi da'i internasional.

Keunikan lain, kaum muda Maroko memanfaatkan kafe bukan metodologi, ilmu humaniora modern atau belajar kelompok ditemani musik Arab atau sufi.

Seperti halnya Indonesia, Pemerintah Maroko memberikan kebebasan beribadah. Namun sayang, masjid tak bebas dikunjungi setiap saat. "Di sini, masjid hanya dibuka satu jam sebelum azan dan ditutup setelah selesai shalat jamaah. Kecuali antara waktu Maghrib dan Isya," kata Arya.

Berbeda tapi Tetap Satu

Arwani mengatakan, penerapan hukum Islam di Maroko tak seperti negara Arab. Justru, lebih condong ke Indonesia. Nah, kalau beribadah, Muslim Maroko mengacu mazhab Maliki sementara mayoritas Muslim Indonesia mengacu mazhab Syafi'i. "Perbedaan ini hanya sebatas masalah furu' (cabang). Bukan dalam hal prinsip/akidah," katanya.

Ia mencontohkan, Muslim Maroko menggunakan bacaan Al­ Qur'an qira'at imam Warasy dari Imam Nafi'. Sementara Indonesia, qira'at imam Hafs dari Imam Ashim. Tata cara shalat pun ada perbedaan. Misal, saat berdiri, Muslim Maroko tidak melakukan sedekap menyatukan kedua tangan di atas dada. Mereka membiarkan tangannya ke bawah searah paha. Sama halnya saat berwudhu, mereka irit menggunakan air. Cukup satu ember kecil karena hanya mengusap anggota wudhu tanpa mengalirkan air.

Apakah perbedaan ini mengganggu? "Bukan masalah. Perbedaan ini justru memberi banyak pelajaran bahwa fikih itu luas, banyak pendapat, dan masing­masing memiliki landasan hukum dan argumen," pungkas Arwani. (Rtna Krtka)

Sunday, September 4, 2011

Arwani Syaerozi, Mahasiswa RI Peraih Doktor Termuda di Maroko


www.detik.com - Jakarta, Arwani Syaerozi layak merasa bangga. Sebab di usia 30 tahun, dia telah menggondol gelar doktor sekaligus menjadi doktor termuda di negeri orang, Maroko. Tak hanya itu, dia berhasil mempertahankan disertasinya dengan nilai summa cum laude. Selamat!

Arwani menempuh pendidikan doktornya di Universitas Mohammed V Agdal, Rabat. Untuk disertasinya, dia mengambil judul Konsep Maqasid Syari'ah Dalam Pengembangan Hukum Fikih: Perspektif Al Harrasi. Sidang disertasinya digelar 9 Juni lalu.

Dalam sidang tersebut, ada 4 penguji dalam tim yakni Prof Dr Abdurrazak Aljay sebagai ketua, Prof Dr Mohammed Kajoui sebagai pembimbing/promotor, serta Prof Dr Ahmad Mharzi dan Prof Dr Abdul Karim Akkiwi sebagai anggota.

Dari barisan suporter, ada Duta Besar RI untuk Kerajaan Maroko Tosari Widjaja beserta istri, keluarga besar KBRI Rabat, civitas akademika Universitas Mohammed V, mahasiswa Indonesia, mahasiswa Maroko dan mahasiswa asing lainnya.

Dalam disertasinya, Arwani mengupas konsep Maqasid Syariah menurut perspektif Al Harrasi dalam buku tafsirnya Ahkam Al Qur'an. Al Harrasi merupakan salah seorang ulama tafsir bermadzhab Syafii, sebuah madzhab fikih yang dianut oleh mayoritas muslim di Indonesia. Warisan intelektual Al Harrasi dalam bidang Maqashid Syariah melalui kitab tafsirnya Ahkam Al Quran, menurut para penguji menarik dan layak ditulis lantaran belum ada yang mengupasnya.

Di mata penguji, pria yang akrab disapa Kang Wawan ini dinilai sangat menguasai pemikiran Maqashid Syariah Al Harrasi karena latar belakang karir akademisnya di jurusan yang sama kala menjalani pendidikan S2 di Universitas Zaitouna Tunisia dan S1 di Universitas Al Ahgaf Yaman. Maqashid Syariah merupakan kajian yang banyak dikembangkan kalangan intelekutal dan akademisi di wilayah Maghrib Arabi, seperti Maroko, Aljazair dan Tunisia.

Menurut Arwani, konsep Maqashid Syariah menjadi solusi dalam mengeksiskan fikih Islam di tengah-tengah pesatnya modernisasi dan globalisasi di segala aspek kehidupan. "Agar fikih Islam dapat memberikan jawaban hukum yang tepat bagi setiap persoalan yang dihadapi oleh umat" jelas Arwani dalam mempresentasikan disertasinya.

Dalam disertasinya, dia juga membahas contoh-contoh aplikasi dari kaidah Maqasid Syariah, kaidah hirarki kemaslahatan yang berupa Ad Dharuriyat (primer), Al Hajiyat (sekunder) dan At Tahsiniyat (tersier). Kesemuanya difokuskan pada pandangan fikih Al Harrasi dalam buku tafsirnya Ahkam Al Qur'an. Dalam salah satu rekomendasinya Arwani menegaskan urgensi dikembangkannya kajian Maqasid Syariah di dunia muslim lainnya termasuk di Indonesia.

Berita terkait di:

Republika
Kantor Berita Antara
Metro TV
NU-Online

Okezone
Yahoo Indonesia
Warta Nasional
Indonesia Berprestasi
Warta Islam