Sunday, November 4, 2007

Melacak "preman" dalam organisasi

Oleh: Arwani Syaerozi

Ada berita menarik yang dilansir majalah gatra online (Kamis, 1/11/07), seputar tindak tanduk preman kampung yang sering meresahkan warga desanya dan berakhir dengan kematian tragis ditangan warga. Preman yang tinggal di desa Toso kecamatan Bandar kabupaten Batang Jawa tengah

Berita itu melaporkan; sejak lama korban sudah meresahkan ketenangan warga Desa Toso, dia tidak segan-segan melukai warga yang tidak mengikuti keinginannya, Warga menilai korban ini dikenal sebagai preman kampung dan tidak segan-segan juga merusak infrastruktur bangunan warga yang berusaha melawannya. Karena sering diancam, puncaknya warga yang semula ketakutan berbalik marah dan bersama-sama menggeruduk rumah sang preman. (www.gatra.com/ 1/11/07)

Dalam kasus di atas, Preman terjun di dunia fisik dan materi, mengintimidasi dan merampas harta benda, memaksa orang lain untuk memberikan apa yang diinginkan. Awalnya warga ketakutan dan selalu menerima dan mengkabulkan setiap “keinginan gila” sang preman. Namun akumulasi dari kesewenang-wenangannya, warga menjadi marah, kesabaran hilang, dan berujung dengan peristiwa tragis. Aparat pemerintah yang akan menindak “sang preman” secara jalur hukum tidak berdaya akibat emosi massa yang meluap.

Kalau kita amati, dalam dunia organisasi dan akademisi kasus serupa banyak terjadi. Sadar atau tidak, di tubuh sebuah organisasi kadang terdapat “preman” yang berprilaku persis seperti pemberitaan majalah online Gatra di atas. Bedanya, preman dalam organisasi tidak merampas harta benda, tidak mengintimidasi secara fisik dan tidak menodong pisau ke leher. Akan tetapi merampas kestabilan organisasi, menebarkan intimidasi maknawi, memprovokasi informasi, dan tidak segan-segan memutar balikkan fakta.

Imbas negatif “preman” jenis kedua ini, lebih dahsyat jika kita bandingkan dengan preman kampung yang diberitakan Gatra. Preman kampung hanya menimbulkan kebencian warga terhadap dirinya saja, sedangkan “preman organisasi” - dengan kemampuan mempropaganda fakta dan mengemas niat busuk dengan nalar akademisnya – akan memberikan dampak kerancuan luas dan mahadahsyat bagi komunitasnya, di samping menimbulkan kebencian komunitas terhadap prilaku antar sesama (fitnah).

Padahal, yang dibutuhkan dalam berorganisasi adalah kedewasaan sikap, kelapang dada-an watak dalam segala situasi dan kondisi, berorganisasi hanya butuh ide dan kritik yang sifatnya konstruktif bukan destruktif, berorganisasi adalah upaya mengelola beragam visi dan misi agar bisa berjalan se-irama, berorganisasi tujuannya untuk memproses diri menjadi “mapan” bukan “preman”.

Walhasil, preman jenis kedua ini, biasanya sering memperjuangkan “kepentingan pribadi” dengan mengatas namakan hak asasi manusia (HAM), kebebasan berpendapat, intelektualitas bahkan motif organisasi. Indikasinya; apabila mengungkapkan kritik, ide, tanggapan dan pemikiran, tidak melalui mekanisme yang semestinya (tidak prosedural) bahkan tidak mengindahkan kode etik dan moral. Kesan yang menonjol pun selalu emosional, subyektif dan provokatif.

Jelas antara dua jenis “preman” di atas berbeda; yang pertama menyerang warga melalui intimidasi fisik, yang kedua merampas hak, melempar kewajiban dan mempropaganda fakta melalui media. Preman yang pertama kerap membunuh nyawa, sedangkan preman yang kedua selalu berusaha membunuh karakter.

Namun, saya tetap melihat titik persamaan antara kedua jenis preman ini, yaitu, sama-sama “brutal menyerang” dan sama-sama menyandang titel “kampungan”. Wallahu A’lam