Senin 12 Maret yang lalu saya resmi meraih gelar Master dari universitas Ezzitouna Tunisia, setelah saya berhasil mempertahankan tesis yang saya susun selama kurang lebih satu tahun. Judul tesisnya “al Maqasid as Syar’iyah Inda Ibn Hazm ad Dzahiri” (Konsep Maqasid Syari’ah menurut Ibn Hazm Ad Dzahiri). Sebuah tema yang menurut Prof. Dr. Nuruddin al Khadimi - pakar Maqasid dan direktur pasca sarjana universitas Ezzitouna - sangat menantang dan membutuhkan keseriusan dalam mengggarapnya. Dan sekarang saya bisa menarik nafas lebih panjang, sebab momen sidang telah berlalu, predikat lulus dengan nilai memuaskan yang saya raih diantara indikasi keseriusan dalam menggarap tesis tersebut.
Di sela-sela kesibukan dalam mengurus registrasi program S3, Mohammad Jamaluddin – saudara sekaligus teman diskuksi – melalui emailnya meminta saya untuk menjadi kontributor sekaligus koresponden pada majalah bernama “Laduni”. Majalah yang mengusung misi “pembumian nilai-nilai pesantren” dan konon merupakan kelanjutan dari majalah “Maktab” yang pada akhir abad ke 20 sangat popular di komunitas “kaum sarungan” se-wilayah III Cirebon.
“Pucuk dipinta ulam pun tiba“ ungkapan ini tepat bagi posisi saya saat ini, lebih dari hitungan 24 bulan saya tinggal di Tunisia untuk kepentingan belajar, dalam rentang waktu itu pula saya sempat berfikir untuk ikut nimbrung dan berpartisipasi dengan saudara-saudara yang sedang mengabdi kepada masyarakat melalui dunia pendidikan. Maka, melalui edisi perdana majalah Laduni saya mencoba untuk berbagi cerita tentang studi di Tunisia, format tulisan ini pun sengaja saya desain santai, agar kesan yang ditangkap oleh sidang pembaca lebih bersifat “sharing of experience”.
Mengenal sejarah Tunisia :
Secara garis besar, sejarah Tunisia dapat ditelusuri semenjak eksisnya dinasti Carthage yang didirikan oleh Ratu Elissa (Didon) beberapa abad sebelum Masehi. Kemudian pasca runtuhnya dinasti Carthage pada abad ke 2 SM, kekuasaan asing di Tunisia saling silih berganti, dari kekuasaan bangsa Romawi jatuh ketangan orang-orang Bizantium, kemudian jatuh ke genggaman bangsa Arab, bangsa Turki dan terakhir penjajah Perancis. Dengan demikian kehidupan rakyat Tunisia saat ini sangat kental dengan komplikasi warna budaya Berber, Arab, Turki dan Eropa.
Bangsa Arab dan agama Islam sendiri mulai memasuki Tunisia pada akhir abad ke 7 Masehi, saat itu seorang sahabat Rasulullah SAW bernama Uqbah bin Nafi` dengan pasukannya berhasil menaklukkan kota Kairouan – sekitar 156 km selatan ibu kota Tunisia - yang kemudian dijadikan sebagai pusat penyebaran Islam di wilayah Afrika utara. Penyebaran Islam generasi berikutnya dipimpin oleh Hassan bin an Nu`man dan Musa bin Nashr, Islam cepat berkembang di kalangan masyarakat Berber (penduduk asli Tunisia). Dari rintisan mereka berdua, Islam menjadi jaya di wilayah Afrika Utara, bahkan pada tahun 711 M komunitas muslim telah tersebar di daratan Eropa dengan berhasil menaklukkan Andalusia (Spanyol dan sekitarnya).
Pasca runtuhnya dinasti Umayah di Damaskus pada tahun 748 M, Tunisia terlepas dari pengawasan pusat, sampai datangnya kekuasaan dinasti Abbasiyah yang berkuasa di Irak dan dapat merebut kembali kota Kairouan. Pada tahun 767 M, akibat kekacauan yang timbul di pusat pemerintahan Abbasiyah, kota Kairouan terlepas lagi, hingga pada tahun 800 M pemerintahan Abbasiyah menunjuk Ibrahim Ibn Aghlab sebagai wakilnya untuk berkuasa di Afrika Utara dan mendirikan negara Tunisia.
Memasuki Tahun 1881 M, Tunisia berada dibawah protektorat Perancis. Masa protektorat ini berakhir dengan dicapainya kemerdekaan Tunisia pada tanggal 20 Maret 1956, namun masih dibawah seorang Bey (gelar raja) sebagai kepala negara. Hingga pada tanggal 25 Juli 1957 Bey terakhir diturunkan oleh parlemen dan sejak saat itulah Tunisia menjadi Republik dengan dipimpin oleh Habib Bourguiba sebagai presiden pertama.
Habib Bourgiba yang dijuluki bapak revolusioner didaulat sebagai ’’Presiden Seumur Hidup’’, namun di tengah-tengah kehidupan politik dan ekonomi yang kacau, sulit dan semakin tidak menentu, di samping usianya yang semakin lanjut, dia harus rela menyerahkan jabatannya kepada Zeine el-Abidin Ben Ali yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri. Kudeta tidak berdarah ini disambut positif oleh rakyat Tunisia dan dunia Internasional. Maka tanggal 7 November tahun 1987 merupakan hari peralihan kepemimpinan nasional di Tunisia, masa perpindahan dari orde lama ke orde baru.
Ezzitouna universitas Islam tertua di dunia :
Lembaga ini sekarang berada dibawah naungan kementrian pendidikan tinggi, riset dan teknologi. Sesuai dengan ketetapan undang-undang nomor: 83 tahun 1987 tertanggal 31 Desember 1987, menetapkan bahwa : "Ezzitouna merupakan salah satu lembaga tinggi dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Tunisia".
Dari sisi sejarah, Sejarawan Arab terkenal Hasan Husni Abd. Wahab menetapkan Ezzitouna sebagai universitas Islam tertua di dunia, terkenal dengan julukan "Menara Peradaban Islam". Dimana kiprahnya berawal dari kegiatan halqoh ilmiyah (pengajian) di masjid Ezzitouna yang di bangun oleh gubernur Afrika Ubaidillah bin al Habhab pada abad ke 7 Masehi (tahun 116 H / 737 M), pada masa pemerintahan Hisyam bin Abd. Malik dari dinasti Umayah.
Di antara Masyaih pertama yang mengajar di masjid Ezzitouna adalah Khalid bin Amran, yang pernah mengaji pada al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar as-Shiddiq Ra, dari Salim bin Abdillah bin Umar bin Khattab Ra, dan dari Sulaiman bin Yassar pakar fiqh di kota Madinah al Munawwarah.
Almamater ini dari masa ke masa telah mencetak tokoh - tokoh terkenal, seperti : Ahmad at Tifasyi pengarang pertama mausu`ah Arabiyah (Ensiklopedi Arab), Sahnun dan Ibn Arfah (pakar Fiqh madzhab Maliki), Abd. Rahman Ibn Khaldun (Bapak sosiologi), Abu al Qassim as Syabi atau terkenal dengan at Tahir al Haddad (penyair Arab ternama), Muhammad at Tahir Ibn `Asyur (pakar maqasid syari’ah dan tafsir dengan karya monumentalnya kitab at Tahrir wa at Tanwir)
Universitas ini juga telah melakukan perannya yang siginfikan dalam mendidik insan yang berkepribadian Islami, hingga sekarang tetap sebagai simbol pengetahuan dan peradaban dengan misi mencetak kader muslim yang inklusif dan moderat.
Sistem pendidikan dan spesifikasi kajian :
Universitas Ezzitouna saat ini memiliki empat fakultas, yaitu : Ushuluddin, Syari’ah, Peradaban Islam, dan Informatika. Fakultas yang disediakan untuk mahasiswa asing hanya fakultas Peradaban Islam untuk tingkat S1, sedangkan untuk program S2 dan S3 terdapat tiga pilihan, Ushuluddin, Syari`ah, dan Peradaban Islam.
Awal tahun ajaran baru setiap tahunnya pada bulan September. Sistem perkuliahan yang diterapkan adalah tatap muka dalam bentuk paket, delapan semester untuk tingkat S1, dua tahun untuk jenjang S2 dengan perincian 6 bulan pertama masa belajar, dan delapan belas bulan berikutnya untuk penulisan tesis yang terlebih dahulu dimulai dengan program pembekalan metodologi penulisan. Sedangkan program doktoral diberi tenggang waktu tiga tahun untuk penulisan disertasi. Universitas Ezzitouna juga menyediakan program Tamhidiyah (kelas persiapan) bagi calon mahasiswa asing yang belum menguasai bahasa Arab, program ini terbagi menjadi dua tingkat yang masa studinya masing-masing satu tahun.
Di antara sisi keunggulan Ezzitouna jika dibanding dengan universitas-universitas Islam lain di negara-negara Arab adalah penekanan pada metodologi pemahanam dan penyampaian pengetahuan, serta penugasan-penugasan analisa pada beberapa literatur yang telah ditentukan oleh dosen sesuai dengan spesifikasi kajian. Sehingga mahasiswa menjadi produktif dan mampu berfikir kristis dalam mengkaji permasalahan, berbeda dengan penekanan yang dititik beratkan oleh universitas di negara-negara Arab lainnya (seperti Arab saudi, Mesir, dan Jordan) yang lebih mengarah pada kajian tekstual. Hal ini tidak lain karena sistem pendidikan di Ezzitouna merupakan perpaduan antara sistem pendidikan barat dan timur.
Materi kuliyah yang diajarkan di universitas Ezzitouna dengan berbagai fakultas dan spesifikasinya, pada dasarnya untuk membekali para mahasiswa agar bisa menggali nilai-nilai luhur Islam dalam lingkup Aqidah, Syari’ah dan Peradaban. Agar mampu mendialogkannya dengan agama dan peradaban lain, untuk itu para mahasiswa pun dibekali dengan pengetahuan tentang Filsafat, Humanisme, Sosiologi, Hak Asasi manusia, Pemikiran Modern, serta penguatan bahasa asing seperti Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, Persia, Turki dan Latin.
Sebagai wujud dedikasi terhadap pendidikan komunitas muslim, universitas ini telah membangun link kerja sama dengan beberapa lembaga pendidikan Islam lainnya, diantaranya:
- Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Indonesia
- Universitas al Qurowiyien Fes Maroko
- Universitas Sorbone Perancis
- Institut Kajian Arab dan Islam Roma
- Lembaga kajian Islam Cardova Spanyol
- Universitas al Emarat Uni Emirat Arab
- Universitas Sulthon Qabus Oman
- Universitas al Azhar Mesir, dll.
Ezzitouna sebagai universitas Islam tertua, tidak pernah lelah mencetak generasi muslim yang peduli terhadap problematika zaman, generasi yang aktif dalam menyikapi fenomena yang terjadi di tengah masyarakat, untuk itulah pada pertengahan bulan Februari 2007, bekerja sama dengan Konrad Adenauer Stiftung LSM Jerman yang bergerak dibidang sosial dan politik, universitas Ezzitouna menyelenggarakan seminar internasional dengan mengangkat Tema: “Agama dan budaya berperadaban umat manusia“. Hadir dalam acara yang dibuka oleh menteri pendidikan Tunisia Lazhar Bououni beberapa tokoh dari lintas agama dan kepercayaan, dari beberapa negara Arab, Eropa, dan Afrika. Wallahu A’lam.
* Tulisan ini dipublikasikan di majalah Laduni Cirebon edisi pertama