Saturday, April 19, 2008

Ulama dan Politik

Oleh: Arwani Syaerozi

Demokrasi benar-benar telah menggema di seluruh penjuru nusantara, kebebasan berserikat, berpendapat dan berpolitik telah dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat. Setelah lebih dari tiga dasawarsa, suara rakyat dalam pemilihan umum rentan direkayasa, bahkan dalam pemilihan kepala desa pun banyak terjadi manipulasi hasil suara. Kini, di era reformasi sistem pemilihan langsung diterapkan bukan hanya untuk memilih wakil rakyat dan kepala desa saja, akan tetapi pemilihan presiden, gubernur, bupati atau walikota diserahkan langsung kepada masyarakat.

Terlepas dari plus-minus sistem Pilsung (pemilihan secara langsung) ini, kita dapat melihat tiga realitas baru dalam ranah perpolitikan bangsa; Pertama, rakyat tidak lagi membeli “kucing dalam karung”, sebab setiap calon yang akan berkompetensi turun secara aktif mensosialisasikan profil dan program unggulannya. Kedua, tertutupnya kemungkinan jual beli dukungan oleh wakil-wakil rakyat dalam setiap pemilihan, dimana kerap merugikan masyarakat sebagai pihak yang mewakilkan. Ketiga, menjamurnya “tim sukses” dalam setiap pemilihan untuk menggalang kekuatan massa. Tim sukses ini terdiri dari lintas profesi, mulai politisi, pengusaha, intelektual, akademisi, artis sampai para ulama.

Berkaitan dengan ulama, yang notebene sebagai penyangga moral-relegiuitas umat, dan secara emosional dekat dengan masyarakat, eksistensi mereka menjadi signifikan dalam setiap diadakannya pemilihan, baik level lokal maupun nasional. Para calon saling berdatangan untuk menarik dukungan, dengan harapan suara umat yang ada dibelakangnya bisa mendongkrak kemenangan.

Ulama dan kepentingan politik:

Kotornya dunia politik, sebenarnya tidak harus menjadikan ulama pasif untuk terjun di dalamnya, misi dakwah sangat mungkin disisipkan melalui aktivitas berpolitik. Walaupun tidak bergabung dalam partai politik tertentu yang mengusung orientasi “dakwah”, para kyai yang politisi semestinya bisa menjadi pelopor dalam menjunjung etika berpolitik dikalangan politisi. Jika kita menengok ke belakang, sepanjang sejarah perpolitikan bangsa, ternyata tidak pernah sepi dari kiprah para ulama di dalamnya. kita pun banyak mengenal partai politik yang berbasis ulama dan santri, sebut saja misalnya Partai Masyumi dan partai NU (di masa orde lama), Partai Persatuan Pembangunan (di masa orde baru), Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (di masa orde Reformasi), para kyai-kyai politisi ini mampu berdiri di atas dua sisi secara bersamaan, dunia dakwah dan politik.

Untuk itulah pada saat kyai menguasai skill berpolitik dan mampu dalam membagi perhatian kepada umat di sela-sela aktifitas berpolitik, maka penyaluran “syahwat politik” seorang kyai berkriteria demikian bukanlah sesuatu yang negatif, justeru akan menampakkan kapasitas ulama yang bukan saja menguasai lingkup keagamaan.

Beda halnya pada saat ulama hanya dirangkul oleh politisi, sementara dia sendiri tidak memiliki skill dalam kancah politik, di sini kepentingan para politisi akan dapat menyetir ketulusan ulama, dan posisi ulama tidak lebih hanya sebagai “magnet” pemikat tanpa memberikan manfaat yang jelas bagi umat. Apalagi jika kondisi para ulama tidak satu kata dalam pandangan politik, dan hal inilah yang kerap terjadi di masyarakat kita. Maka imbasnya adalah timbul kerancuan umat seirama dengan perang urat saraf antar ulama yang berbeda dalam ijtihad politik.

Sebenarnya, ulama yang direkrut oleh politisi ke dalam “tim sukses” sama sekali tidak ada niat untuk memecah belah umat – walaupun mereka berbeda dalam ijtihad berpolitik – akan tetapi perpecahan umat terjadi akibat ulah para politisi melalui propaganda dan provokasi saat mereka menyerang lawan-lawan politiknya. Sementara di mata masyarakat, ulama memiliki tingkat reputasi lebih tinggi ketimbang para politisi. Namun, sayangnya, banyak sekali ulama kita yang kurang waspada saat berinteraksi dengan para politisi, mengutip ungkapan ketua umum PBNU KH. Hasyim Muzadi dalam tausiyahnya seputar Pilkada, bahwa ulama selalu Husnudzan (berbaik sangka) terhadap siapapun, padahal yang mereka hadapi adalah politisi yang terkenal dengan prinsip: “tidak ada kawan dan lawan yang sejati, yang ada hanyalah kepentingan”. Maka ulama pun kerap menjadi korban tarik menarik kepentingan politik.

Di sisi lain, karena ulama pada saat menjadi “tim sukses” secara moral-politik bertanggung jawab untuk menggiring suara umat kepada calonnya, meyakinkan umat akan kapabilitas calon yang didukung. Lantas bagaimana semsetinya para ulama yang berposisi demikian harus bersikap? Apa sebaiknya tidak bergabung menjadi “tim sukses” tapi cukup hanya sebagai penonton setia? Atau tampil sebagai penghubung antara kepentingan politisi dengan kepentingan masyarakat tanpa harus terikat pada salah seorang calon?

Alternatif sikap ulama:

Sebagaimana saya jelaskan, berbeda ketika ulama terjun langsung sebagai politisi dengan mereka yang hanya menjadi tim sukses untuk calon tertentu. Saat ulama menjadi politisi setidaknya mereka telah mempersiapkan diri dengan skill berpolitik, mereka sudah menghitung segala konsekuensinya, telah memprediksi berbagai kemungkinan dan telah memformat bentuk pengayoman terhadap masyarakat di luar kesibukan politiknya. Akan tetapi ulama yang hanya menjadi simpatisan atau tim sukses, mereka biasanya dirangkul oleh politisi untuk kepentingan mendongkrak suara dalam pemilihan. Dalam hal ini, kepentingan para politisi akan mendominasi kepentingan ulama, untuk itulah katagori ulama kedua ini harus lebih waspada dan selektif dalam berinteraksi dengan para politisi, jangan sampai karena kepentingan para politisi kondisi umat menjadi carut marut.

Ada dua alternatif bagi ulama non politisi dalam bersikap: Pertama, sikap netral-aktif, yaitu tidak berpihak kepada siapa pun, akan tetapi dia berusaha memperkenalkan profil dan agenda politik setiap calon kepada umatnya, untuk selanjutnya pilihan diserahkan secara penuh kepada masyarakat. Peran ulama seperti ini lebih efektif dalam mendidik masyarakat mengenal dunia politik dan membimbing mereka dalam menggunakan hak suara, tanpa harus berpihak pada satu calon. Kedua, netral-pasif, yaitu sama sekali tidak menyentuh lingkup politik dalam batas minimal sekalipun, artinya hanya mengayomi moral-relegiuitas umat saja yang menjadi perhatiannya, ulama yang bersikap demikian biasanya akan lebih diakui keikhlasannya oleh masyarakat.

Adapun dalam posisi ulama berpihak pada salah satu calon, hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah; berusaha meredam efek perbedaan ijtihad politik di kalangan masyarakat luas, artinya, perbedaan pandangan politik di antara ulama jangan sampai menimbulkan imbas carut marutnya umat. Tugas ulama dalam hal ini adalah; menggiring umatnya ke salah satu calon sambil mendewasakan mereka agar tidak konfrontatif terhadap calon dan pendukung lain. Hal ini agar prilaku berpolitiknya tidak seperti politisi non ulama yang tidak memiliki tanggung jawab moral terhadap umat.

Maka, sekali lagi saya tegaskan bahwa keterlibatan ulama – secara pribadi bukan atas nama organisasi - dalam berpolitik dengan terjun langsung atau hanya sebatas bergabung dalam tim sukses pemilihan presiden, gubernur, bupati, walikota atau kepala desa adalah fenomena alamiah dan bukan sesuatu yang negatif. Bahkan saya melihat fenomena perekrutan para ulama dalam lingkup politik, khususnya pada saat pemilihan langsung baik tingkat lokal maupun nasional merupakan bukti kuat betapa peran ulama sangat vital bukan hanya dalam lingkup dakwah keagamaan saja. Wallahu A’lam.

* dipublikasiklan di media www.jurnalislam.net/id