Saturday, October 4, 2008

Ibnu Hazm dan kaum tekstualis kontemporer

Oleh: Arwani Syaerozi *

Bagi umat Islam, al Qur’an dan as Sunnah merupakan referensi utama yang dijadikan rujukan dalam menyikapi problematika hidup. Sebenarnya, pembacaan terhadap teks syar'i – yang pada akhirnya memunculkan konklusi hukum - bisa diartikan sebagai interpretasi manusia terhadap pesan-pesan tuhan. Metode pendekatan yang digunakan pun beragam, di antaranya pendekatan maqasidi (menitik beratkan pada esensi), dimana al maqasid (tujuan teks), asbab an nuzul / al wurud (kronologi sejarah), realitas sosial dan budaya masyarakat menjadi bagian tidak terpisahkan dalam corak penafsiran ini.

Ada juga manhaj harfi (metode tekstual), apa yang tersurat dalam teks adalah hasil final pesan tuhan, peran akal manusia dalam hal ini tidak lebih hanya ibarat kedua telinga yang menangkap gelombang suara, tidak memiliki hak untuk menalar dan mendialogkan teks dengan realitas.

Berbeda dengan pendekatan yang pertama (manhaj maqasidi), menurut pendekatan harfiah (literal), kemaslahatan umat manusia dengan memperhatikan dimensi waktu, tempat, dan kondisi, sama sekali tidak bisa dijadikan pertimbangan dalam memahami “pesan gamblang” sebuah teks keagamaan. Otomatis makna gamblang firman Allah “apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik dimana saja kamu jumpai mereka“ (Qs. at Taubah: 5) adalah perintah untuk melakukan holocaust (pemusnahan satu komunitas) yang tidak bisa ditafsir ulang sesuai dengan situasi dan kondisi.

Catatan kaum tekstualis:

Sudut pandang harfiyah ini telah sejak lama berkembang dalam sejarah Islam, bias awalnya adalah pada masa hidupnya Rasulullah, dimana kisah bani Quraidzah yang di situ muncul multi penafsiran dari para sahabatnya terhadap komando Rasul “Kalian jangan sholat Ashar kecuali di kampung bani Quraidzah” (Hr. Bukhori: 904), sebagian memahami secara tekstual, sholat Ashar di kampung tersebut walaupun telah keluar dari waktu sholat. Sebagian lain memaknai dengan ta’wil melakukan sholat Ashar di perjalanan pada waktunya, sebab mereka memahami ucapan tersebut sebagai perintah untuk segera tiba di lokasi.

Kemudian deklarasi kaum Khawarij “tidak ada hukum kecuali dari Allah“ pada tahun 37 H / 657 M saat pemerintahan Ali bin Abi Thalib, adalah fase berikutnya. Hingga pada abad ketiga Hijriyah / kesembilan Masehi, madzhab Dzahiri (literal) sebagai organisasi fiqh resmi kaum tekstualis, dideklarasikan oleh Daud bin Ali (w: 271 H / 883 M) di kota Isfahan Iran. Madzhab ini eksis sampai kemudian surut dan lenyap secara formal dari dunia Islam pada akhir abad ke 8 Hjiriyah / 14 masehi. Madzhab ini sempat didukung resmi oleh beberapa penguasa Negara, di wilayah timur oleh pemerintahan dinasti al Buwaihi, dan di wilayah barat oleh dinasti al Muwahidiyah.

Tokoh-tokoh klasik yang tercatat sebagai pengusung aliran ini adalah Ibn Hazm Ali bin Ahmad (w: 456 H), Abdullah bin Muhammad bin Hilal (w: 272 H), Ibn Mughlis Abu al Hasan (w: 324 H), Abu al Khattab bin Dakhiyah (w: 633 H), mereka inilah yang tersebar dari Isfahan, Baghdad dan Andalusia yang sepeninggal Daud bin Ali (pendirinya) berusaha mengeksiskan sekte ini.

Bahkan Abu Zuhrah dalam bukunya “Sejarah dan Pemikiran Ibn Hazm“ menganggap sufi besar Ibn Arabi (w: 638 H / 1240 M) termasuk dalam list nama pengusung madzhab tekstual, Walaupun dalam lingkup akidah – sebagaimana menjadi maklum – ia adalah pelopor kaum Bathiniyah, dan pengusung aliran tasawuf wihdatul wujud. (hlm: 578).

Secara umum, identitas kaum tekstualis bisa terbaca dalam tiga point berikut; pertama: Membatasi dalil agama hanya pada al Qur’an dan as Sunnah, Islam adalah dzowahir an nushush (sisi lahir teks), selain itu tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum.

Kedua: Menolak penggunaan dalil Qiyas (Analogi), Daud bin Ali menegaskan: “yang pertama kali menggunakan dalil analogi adalah Iblis, saya menemukan argumen untuk membatalkan Istihsan, ternyata ia juga dapat dijadikan sebagai dalil untuk membatalkan Qiyas“ (Tarikh Baghdad, jld. 8 hlm. 374). Senada dengan statemennya, Ibn Hazm menguatkan: “dalam memecahkan masalah agama tidak boleh menggunakan al Qiyas dan ar Ra’yu, sebab perselisihan pendapat dalam Islam harus dikembalikan pada al Qur’an dan as Sunnah“ (al Muhalla, jld. 1 hlm. 56).

Ketiga: Bahwa dalam syari’at tidak ada istilah Ta’lil atau illat (alasan atau motif), Allah bebas melakukan dan tidak melakukan apa saja tanpa harus disertai alas an. Dalil mereka dalam hal ini adalah firman Allah: “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai “ (Qs. Al Anbiya: 23). Point ini berimbas signifikan pada corak mereka dalam memahami teks al Qur'an dan as Sunnah secara tekstual.

Namun, dalam hal identitas ini, Abu Thoyib al Mauludi merampingkannya hanya pada satu point saja, yaitu penolakan terhadap dalil analogi (al Qiyas), alasannya karena hanya point ini yang paling krusial dalam pembedaan madzhab Dzahiri dengan lainnya, dimana dengan tidak menerima dalil analogi berarti tidak menerima ta'lil atau illat. (Mashadir at Tasyri’ al Islami Inda Ibn Hazm: 11).

Ibn Hazm: tekstualis reformis

Sosok Ibn. Hazm yang telah saya sebutkan sebagai pengusung madzhab Dzahiri (tekstual) di atas, ternyata menurut beberapa sarjana muslim kontemporer seperti Nuruddin al Khadimi (Tunisia), Muhammad Abid al Jabiri (Maroko) dan Abu Zuhrah (Mesir) dianggap sebagai salah seorang tokoh pembaharu dalam Islam. Bahkan Abd. Hadi Abd. Rahman dalam bukunya The Authority of the text menobatkannya sebagai "mega mujtahid" dalam sejarah fiqh Islam.

Umumnya mereka melabelkan status “pembaharu“ karena melihat metodologi Ibn Hazm dalam memahami agama. Di sini muncul pertanyaan: apakah metode harfiyah (tekstual) yang dianut Ibn Hazm merupakan copy-paste (jiplakan) metode Daud bin Ali sebagai pendiri madzhab Dzahiri? Apakah kaum harfiyah di Andalusia (barat Islam) adalah kaderisasi kaum tekstualis di Persia (timur Islam) yang muncul lebih dulu? hasil riset beberapa penulis menyatakan bahwa metode harfiyah Ibn Hazm yang hidup di Andalusia berbeda dengan kaum tekstualis di wilayah timur, bahkan dengan Daud bin Ali pendiri madzhab Dzahiri sekalipun.

Di antara indikasinya, keputusan Ibn Hazm untuk memilih jalur tekstual dalam memahami syari’at Islam adalah sebagai bentuk revolusi bermadzhab, sebagai implikasi ketidakpuasan terhadap madzhab Maliki yang menjadi mainsterm saat itu, bukan karena motif taqlid (mengikuti) kepada madzhab Dzahiri, hal ini sebagaimana yang ditegaskannya dalam ketidakbolehan taklid kepada para pemimpin madzhab (al Ihkam Fi Ushul al Ahkam: jld. 1 hlm. 99)

Ibn. Hazm beranggapan bahwa madzhab yang berpengaruh - saat itu - telah mempolitisir hakikat ajaran Islam, secara continue ia pun mensosialisasikan pandangannya melalui forum kajian dan media tulisan. Dalam hal dakwahnya ini, ia sering menggunakan ungkapan provokatif, hal ini bisa kita lihat dalam beberapa bukunya seperti; al Muhalla, an Nubdzah al Kafiyah, al Fisal fi al Milal wa an Nihal dan al Ihkam fi Ushul al Ahkam.

Gugatan Ibn. Hazm terhadap madzhab Maliki yang berpengaruh saat itu ditampakkan juga dalam bentuk “debat publik“, sisi ini mendapat perhatian khusus dari Abd. Majid Turki guru besar kajian Islam dari universitas Sorbone Perancis, dia berhasil merangkum data - data perdebatan antara Ibn Hazm dan Abu al Walid al Baji - tokoh madzhab Maliki yang saat itu disegani - dalam sebuah buku yang diberi titel al munadzarat fi ushul as Syari’ah baina Ibn hazm wa al Baji (Perdebatan seputar dasar syari’at antara Ibn Hazm dan al Baji).

Indikasi lain atas label "pembaharu" bagi Ibn. Hazm adalah universalitas proyek pemikirannya jika kita bandingkan dengan gagasan pemikiran Daud bin Ali. Menurut Abid al Jabiri, proyek pemikiran Ibn. Hazm bukan hanya sebatas pemahaman harfiyah terhadap teks keagamaan, akan tetapi juga mencakup segala aspek kebudayaan dan peradaban Arab / Islam hingga lingkup filosofisnya. (surat kabar al Ittihad al Imaratiyah, 22/11/2005)

Kaum tekstualis kontemporer: cenderung jadi ekstrimis

Berbeda dengan kaum tekstualis klasik yang hanya berkonsentrasi pada wacana intelektual melalui debat ilmiyah secara lisan dan tulisan, kaum tekstualis kontemporer yang akhir-akhir ini marak pengorganisasiannya, lebih menitik beratkan pada implementasi atas model beragama yang diyakininya. Perusakan infrastruktur, penutupan paksa atas tempat kegiatan publik, dan pemberangusan ketentraman masyarakat melalui tindakan anarkis atas nama Islam adalah aktivitas mereka. Massa militan kaum tekstualis ini hanya mengikuti komando para pimpinannya, yang sebenarnya kita pun mempertanyakan kapabilitas keilmuan para pimpinan mereka.

Dalam konteks Indonesia, kaum tekstualis - pasca reformasi - yang turut bersemi dengan berani menampakkan identitasnya, tidak semuanya berpandangan cupet. Mereka yang terjun ke dunia politik dengan terlibat dalam partai politik berhaluan Islam semisal PPP, PKS, PBB dll bisa dikatagorikan sebagai representasi kaum tekstualis moderat. Jalur diplomasi politik dan dialog adalah pilihan dalam menegoisasikan misinya. Berbeda dengan kaum tekstualis yang tidak turun berpolitik, semisal organisasi MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), Laskar Jihad, HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), FPI (Front Pembela Islam) dll, seringnya kalangan ini lebih mengedepankan sikap konfrontatif dan emosional saat menghadapi perbedaan pandang.

Benang merah yang mempertemukan semua organisasi ini adalah “pemahaman tekstual“ terhadap ajaran Islam. Walaupun bentuk penekanan atas model beragamanya berbeda, Laskar Jihad berkonsentrasi pada jalur komando jihad menebar sentimen anti non muslim, MMI fokus memberangus bid'ah dan khurafat (penyimpangan akidah), HTI berambisi mendirikan Dinasti atau kekhilafahan sebagai solusi Islami dalam membangun negara, dan FPI berjalan pada rel pemberangusan kemaksiatan dalam masyarakat atau yang lebih popular dengan istilah Pekat (penyakit masyarakat).

Lantas, apakah munculnya para pimpinan kaum tekstualis di tanah air semisal Abu Bakar Ba'asyir, Ja'far Umar Thalib dan Habib Riziek yang cenderung radikal sebagai bentuk revolusi bermadzhab?, hal ini sebagaimana yang pernah terjadi pada Ibn Hazm di Andalusia? ataukah hanya karena faktor politis dan dangkalnya penyelaman terhadap substansi ajaran Islam?

Apabila kemunculannya merupakan “revolusi bermadzhab“ sebagai mana yang dialami oleh Ibn Hazm, maka dari kerangka logis semestinya para pemimpin aliran tekstual ini telah jauh menjelajahi Islam baik dari sisi doktrin, sejarah, psikologi, dan filsafatnya. Sebab sosok Ibn Hazm kapasitasnya bukan hanya sebagai seorang pakar fiqh dan ushul fiqh saja, akan tetapi ia juga seorang teolog, filsuf, sejarawan, sastrawan, sekaligus pakar perbandingan agama. Bagaimana dengan pimpinan kaum tekstualis di tanah air? Adakah bukti tertulis kepiawaian mereka dalam memahami Islam, sebagaimana Ibn. Hazm yang telah mewarisi setumpuk karya ilmiyah?

inilah titik krusial yang bisa dijadikan pembeda antara proyek pemikiran Ibn Hazm dan pemikiran kaum tekstualis kontemporer, sehingga efek tekstual gaya Ibn Hazm tidak sampai merambah pada tindakan fisik yang merugikan rivalnya, justeru imbasnya positif, Ibn. Hazm telah berhasil merangsang komunitas intelektual dan cendekiawan saat itu untuk lebih tajam dalam bernalar.

Dari sini, saya pun melihat maraknya pengorganisasian kaum tekstualis (yang cenderung radikal) di tanah air, tidak lebih akibat dangkalnya pemahaman masyarakat kita terhadap ajaran agama, atau bahkan karena faktor politis. Semestinya, Indonesia - sebagai negara mayoritas muslim paling demokratis yang telah memberikan hak penuh bagi rakyatnya untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran agama - harus bisa terbebas dari segala bentuk teror dan intimidasi atas nama agama, sebab pemahaman paripurna atas esensi agama akan meredam tindakan garang para penganutnya.



* Tulisan ini dipublikasikan di http://www.fahmina.or.id/ dengan judul: Belajar dari Ibnu Hazm: seharusnya Islam tekstualis tidak menjadi ekstrimis