Oleh: Arwani Syaerozi *
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, keberadaannya hingga sekarang masih signifikan. Karena ia telah teruji dari masa ke masa dalam mencetak kader-kader muslim Indonesia yang kompeten dalam literatur Islam dan urusan kebangsaan.
Di mana salah satu ciri khas pendidikan pesantren, adalah penekanan terhadap kajian kitab kuning. Sebuah referensi yang menyimpan warisan intelektual ulama-ulama abad sebelumnya.
Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi, orientasi hidup dan pola berfikir masyarakat mengalami perubahan drastis. Dengan fasilitas teknologi informasi misalnya, masyarakat Indonesia dapat mengakses secara langsung kebudayaan, gaya hidup, dan aktivitas keseharian komunitas masyarakat dari berbagai belahan dunia. Akibatnya, tanpa melalui proses penyaringan, budaya, pola berfikir dan gaya hidup tersebut dapat diaplikasikan secara leluasa oleh masyarakat kita.
Lantas bagaimana dengan orientasi hidup kaum santri yang mengenyam pendidikan di pesantren-pesantren? Adakah nilai-nilai kesalafan yang patut dibanggakan dan harus dipertahankan di tengah gencarnya arus perubahan di segala lini kehidupan, di tengah menurunnya animo masyarakat untuk menitipkan anaknya di pesantren?.
Sejarah dan Katagori Pesantren:
Tidak ada penjelasan yang tegas terkait waktu di mana pesantren pertama kali didirikan. Namun, Mastuhu memperkirakan pesantren telah ada semenjak 300 - 400 tahun yang silam. Sedangkan data kementerian Agama menganggap pesantren pertama kali didirikan pada tahun 1062 M. Ada juga pendapat yang meyakini bahwa sistem pendidikan pesantren dikenalkan pertama kali oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) pada abad 15 M.
Menurut Mukti Ali(mantan menteri Agama RI), pesantren memiliki beberapa ciri khas sebagai berikut: 1-hubungan akrab kyai dan santri; 2- tradisi kepatuhan santri terhadap kyai; 3- hidup sederhana 4- mandiri 5- tolong menolong 6- disiplin 7- siap menderita demi tujuan; dan 8- tingkat relegius yang tinggi.
Pendidikan pesantren ini bisa dikatagorikan ke dalam dua macam, yaitu; pesantren salaf (tradisional) dan pesantren khalaf (modern), katagori pertama adalah yang hanya mengajarkan kitab kuning, sedangkan yang kedua mengadopsi sistem pendidikan modern, biasanya dengan menyediakan sekolah formal dan bahkan di beberapa tempat, pesantren jenis ini berafiliasi pada ideologi tertentu sebagai tempat doktrin dan kaderisasi.
Adapun pesantren salaf (tradisional), ia menyimpan potensi kesadaran akan ragam kebudayaan. Karena kearifan dan rasionalitas lokal selama ini diyakini menjadi custom-nya, sebagaimana konsep kemajuan pesantren jenis ini bertitik tolak dari tradisi.
Zamakhsyari Dhofier memahami ciri pesantren salaf terutama dalam hal sistem pengajaran dan kurikulumnya. Pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau sering disebut dengan "kitab kuning", karena kertasnya berwarna kuning, terutama karangan-karangan ulama yang menganut faham Syafi’iyah. Semua ini merupakan pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren tradisional.
Spirit Ajaran Pesantren Salaf:
Ada tiga point penting terkait dengan ajaran pesantren salaf yang patut dipertahankan dan bahkan harus terus disebarluaskan di tengah masyarakat muslim Indonesia. Sebenarnya, tiga point ini adalah intisari dari ciri khas pesantren salaf yang dikemukakan oleh Mukti Ali di atas. Oleh sebab itu, pesantren dianggap oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai ”subkultur” di tengah masyarakat.
Untuk memperkuat hal ini, Martin Van Bruinessen, meyakini bahwa pesantren tidak hanya subur dengan literatur keilmuan, akan tetapi mampu berperan dan berkontribusi bagi masyarakat di sekelilingnya.
Berikut ini penjelasan detail terkait tiga spirit ajaran pesantren salaf yang masih relevan dan harus terus dipertahankan di tengah derasnya kemajuan ilmu dan teknologi:
Pertama, kepasrahan total, hal ini merupakan tradisi keseharian yang ada di pesantren salaf, khusunya terkait relasi santri dan kyai. kepasrahan ini juga lumrah diungkapkan dengan istilah sami'na wa atho'na.
Di lingkungan pesantren salaf sangat kental dengan budaya ta’dzim pada guru dan kiai, kegigihan belajar yang disertai tirakat seperti puasa dan wirid, hingga percaya pada barokah.
Kepasrahan total yang saya maksud masih relevan dalam kehidupan modern adalah terkait ranah teologi. Artinya kepasrahan kepada Allah Swt sebagaimana didikan di pesantren untuk selalu pasrah kepada guru dan kyai (tentunya setelah pasrah kepada sang Khalik).
Dalam hal ini, kaum santri harus menempatkan posisi "pasrah" secara proporsional, yaitu dengan meyakini di dalam hati akan takdir atau suratan Tuhan atas seluruh makhluk ciptaan-Nya, pada saat yang sama kaum santri harus menunjukkan kegigihan dalam bekerja atau berusaha untuk menggapai tujuan-tujuan hidup.
Spirit seperti ini sulit ditemukan pada prilaku masyarakat modern, kalaupun ada, kualitas kepasrahannya tidak seperti mereka yang mengenyam pendidikan di pesantren salaf. Karena fenomena sifat putus asa -pada saat menghadapi kegagalan- lebih mendominasi masyarakat modern.
Kedua, keseimbangan duniawi dan ukhrowi. Orientasi masyarakat modern kerap dititikberatkan pada urusan dunia menyampingkan urusan akhirat. Seakan mereka berusaha menyebarkan opini bahwa kehidupan umat manusia hanya berhenti pada alam dunia.
Di sinilah urgensi pendidikan pesantren salaf terkait dengan spirit keseimbangan dunia-akhirat. Karena unsur-unsur ukhrowi selalu ditekankan kepada para santri, sebagaimana unsur-unsur duniawi diperhatikan. Tidak heran jika pendidikan di pesantren salaf akan memberikan dampak keseimbangan orientasi duniawi dan uhkrowi pada setiap anak didiknya.
Dalam hal ini, Abdurrahman Mas'ud melihat praktik keagamaan golongan yang sering disebut dengan tradisional Islam, yang berakar di pesantren salaf, sebagai penerus ajaran moderat para Wali Songo.
Ketiga, prioritas kemaslahatan umat, yaitu dengan mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan individu. Hal ini menjadi orientasi pendidikan di pesantren salaf. Di mana saat ini masyarakat terjebak dalam budaya kompetisi tidak sehat, akibatnya cara-cara tidak elegan dan tidak berperadaban (menghalalkan segala cara) menjadi hal yang lumrah –bahkan harus dilakukan- oleh masyarakat modern dalam rangka mengamankan kepentingan dan menggapai tujuan.
Contoh kecil terkait sikap kaum santri yang mendahulukan kemaslahatan umum atas kemaslahatan individu adalah penyediaan sarana pendidikan dengan orientasi nirlaba, hanya bertujuan sosial dan kemasyarakatan.
Jumlah puluhan, ratusan atau bahkan ribuan santri yang menetap di pesantren-pesantren salaf tidak dipungut biaya atau dipungut namun secara simbolis. Hal ini akan sangat kontras jika melihat realitas di masyarakat modern yang sengaja menjadikan pendidikan sebagai ladang penghasilan, sehingga industri pendidikan menjadi marak, konsekuensinya adalah biaya yang mahal, sementara pendidikan terjangkau semakin sulit ditemukan.
Kesimpulan:
Tiga point yang saya jelaskan di atas adalah sebagai contoh, bahwa nilai-nilai pendidikan salaf masih relevan dan bahkan harus dipertahankan dalam kehidupan modern, di tengah derasnya arus perubahan di segala lini kehidupan.
Bagaimanapun, tradisi keilmuan pesantren salaf yang merujuk pada kitab kuning adalah keunikan sekaligus nilai plus. Pandangan miring terhadap kitab kuning yang dianggap sebagai penyebab kejumudan, tidak boleh menyurutkan semangat kaum santri untuk berkontribusi dalam melakukan transformasi keilmuan.
Pada saat yang sama, kontekstualisasi kitab kuning melalui dialog teks-realita perlu digalakkan, sebagai cara efektif untuk menghidupkan kembali gairah intelektual yang cenderung loyo. Karena dengan cara ini, kekayaan literatur pesantren dapat terus dikembangkan dalam lingkungan budaya yang berbeda dengan masa lalunya. Maka, sesungguhnya pesantren salaf telah menjaga akar tradisinya sekaligus mengaktualisasikan diri dalam kondisi yang ada, sebagaimana ditegaskan dalam kaidah: Al muhafadzatu 'ala As salafi As salih Wa Al akhdzu Bi Al jadidi Al ashlah.
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, keberadaannya hingga sekarang masih signifikan. Karena ia telah teruji dari masa ke masa dalam mencetak kader-kader muslim Indonesia yang kompeten dalam literatur Islam dan urusan kebangsaan.
Di mana salah satu ciri khas pendidikan pesantren, adalah penekanan terhadap kajian kitab kuning. Sebuah referensi yang menyimpan warisan intelektual ulama-ulama abad sebelumnya.
Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi, orientasi hidup dan pola berfikir masyarakat mengalami perubahan drastis. Dengan fasilitas teknologi informasi misalnya, masyarakat Indonesia dapat mengakses secara langsung kebudayaan, gaya hidup, dan aktivitas keseharian komunitas masyarakat dari berbagai belahan dunia. Akibatnya, tanpa melalui proses penyaringan, budaya, pola berfikir dan gaya hidup tersebut dapat diaplikasikan secara leluasa oleh masyarakat kita.
Lantas bagaimana dengan orientasi hidup kaum santri yang mengenyam pendidikan di pesantren-pesantren? Adakah nilai-nilai kesalafan yang patut dibanggakan dan harus dipertahankan di tengah gencarnya arus perubahan di segala lini kehidupan, di tengah menurunnya animo masyarakat untuk menitipkan anaknya di pesantren?.
Sejarah dan Katagori Pesantren:
Tidak ada penjelasan yang tegas terkait waktu di mana pesantren pertama kali didirikan. Namun, Mastuhu memperkirakan pesantren telah ada semenjak 300 - 400 tahun yang silam. Sedangkan data kementerian Agama menganggap pesantren pertama kali didirikan pada tahun 1062 M. Ada juga pendapat yang meyakini bahwa sistem pendidikan pesantren dikenalkan pertama kali oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) pada abad 15 M.
Menurut Mukti Ali(mantan menteri Agama RI), pesantren memiliki beberapa ciri khas sebagai berikut: 1-hubungan akrab kyai dan santri; 2- tradisi kepatuhan santri terhadap kyai; 3- hidup sederhana 4- mandiri 5- tolong menolong 6- disiplin 7- siap menderita demi tujuan; dan 8- tingkat relegius yang tinggi.
Pendidikan pesantren ini bisa dikatagorikan ke dalam dua macam, yaitu; pesantren salaf (tradisional) dan pesantren khalaf (modern), katagori pertama adalah yang hanya mengajarkan kitab kuning, sedangkan yang kedua mengadopsi sistem pendidikan modern, biasanya dengan menyediakan sekolah formal dan bahkan di beberapa tempat, pesantren jenis ini berafiliasi pada ideologi tertentu sebagai tempat doktrin dan kaderisasi.
Adapun pesantren salaf (tradisional), ia menyimpan potensi kesadaran akan ragam kebudayaan. Karena kearifan dan rasionalitas lokal selama ini diyakini menjadi custom-nya, sebagaimana konsep kemajuan pesantren jenis ini bertitik tolak dari tradisi.
Zamakhsyari Dhofier memahami ciri pesantren salaf terutama dalam hal sistem pengajaran dan kurikulumnya. Pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau sering disebut dengan "kitab kuning", karena kertasnya berwarna kuning, terutama karangan-karangan ulama yang menganut faham Syafi’iyah. Semua ini merupakan pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren tradisional.
Spirit Ajaran Pesantren Salaf:
Ada tiga point penting terkait dengan ajaran pesantren salaf yang patut dipertahankan dan bahkan harus terus disebarluaskan di tengah masyarakat muslim Indonesia. Sebenarnya, tiga point ini adalah intisari dari ciri khas pesantren salaf yang dikemukakan oleh Mukti Ali di atas. Oleh sebab itu, pesantren dianggap oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai ”subkultur” di tengah masyarakat.
Untuk memperkuat hal ini, Martin Van Bruinessen, meyakini bahwa pesantren tidak hanya subur dengan literatur keilmuan, akan tetapi mampu berperan dan berkontribusi bagi masyarakat di sekelilingnya.
Berikut ini penjelasan detail terkait tiga spirit ajaran pesantren salaf yang masih relevan dan harus terus dipertahankan di tengah derasnya kemajuan ilmu dan teknologi:
Pertama, kepasrahan total, hal ini merupakan tradisi keseharian yang ada di pesantren salaf, khusunya terkait relasi santri dan kyai. kepasrahan ini juga lumrah diungkapkan dengan istilah sami'na wa atho'na.
Di lingkungan pesantren salaf sangat kental dengan budaya ta’dzim pada guru dan kiai, kegigihan belajar yang disertai tirakat seperti puasa dan wirid, hingga percaya pada barokah.
Kepasrahan total yang saya maksud masih relevan dalam kehidupan modern adalah terkait ranah teologi. Artinya kepasrahan kepada Allah Swt sebagaimana didikan di pesantren untuk selalu pasrah kepada guru dan kyai (tentunya setelah pasrah kepada sang Khalik).
Dalam hal ini, kaum santri harus menempatkan posisi "pasrah" secara proporsional, yaitu dengan meyakini di dalam hati akan takdir atau suratan Tuhan atas seluruh makhluk ciptaan-Nya, pada saat yang sama kaum santri harus menunjukkan kegigihan dalam bekerja atau berusaha untuk menggapai tujuan-tujuan hidup.
Spirit seperti ini sulit ditemukan pada prilaku masyarakat modern, kalaupun ada, kualitas kepasrahannya tidak seperti mereka yang mengenyam pendidikan di pesantren salaf. Karena fenomena sifat putus asa -pada saat menghadapi kegagalan- lebih mendominasi masyarakat modern.
Kedua, keseimbangan duniawi dan ukhrowi. Orientasi masyarakat modern kerap dititikberatkan pada urusan dunia menyampingkan urusan akhirat. Seakan mereka berusaha menyebarkan opini bahwa kehidupan umat manusia hanya berhenti pada alam dunia.
Di sinilah urgensi pendidikan pesantren salaf terkait dengan spirit keseimbangan dunia-akhirat. Karena unsur-unsur ukhrowi selalu ditekankan kepada para santri, sebagaimana unsur-unsur duniawi diperhatikan. Tidak heran jika pendidikan di pesantren salaf akan memberikan dampak keseimbangan orientasi duniawi dan uhkrowi pada setiap anak didiknya.
Dalam hal ini, Abdurrahman Mas'ud melihat praktik keagamaan golongan yang sering disebut dengan tradisional Islam, yang berakar di pesantren salaf, sebagai penerus ajaran moderat para Wali Songo.
Ketiga, prioritas kemaslahatan umat, yaitu dengan mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan individu. Hal ini menjadi orientasi pendidikan di pesantren salaf. Di mana saat ini masyarakat terjebak dalam budaya kompetisi tidak sehat, akibatnya cara-cara tidak elegan dan tidak berperadaban (menghalalkan segala cara) menjadi hal yang lumrah –bahkan harus dilakukan- oleh masyarakat modern dalam rangka mengamankan kepentingan dan menggapai tujuan.
Contoh kecil terkait sikap kaum santri yang mendahulukan kemaslahatan umum atas kemaslahatan individu adalah penyediaan sarana pendidikan dengan orientasi nirlaba, hanya bertujuan sosial dan kemasyarakatan.
Jumlah puluhan, ratusan atau bahkan ribuan santri yang menetap di pesantren-pesantren salaf tidak dipungut biaya atau dipungut namun secara simbolis. Hal ini akan sangat kontras jika melihat realitas di masyarakat modern yang sengaja menjadikan pendidikan sebagai ladang penghasilan, sehingga industri pendidikan menjadi marak, konsekuensinya adalah biaya yang mahal, sementara pendidikan terjangkau semakin sulit ditemukan.
Kesimpulan:
Tiga point yang saya jelaskan di atas adalah sebagai contoh, bahwa nilai-nilai pendidikan salaf masih relevan dan bahkan harus dipertahankan dalam kehidupan modern, di tengah derasnya arus perubahan di segala lini kehidupan.
Bagaimanapun, tradisi keilmuan pesantren salaf yang merujuk pada kitab kuning adalah keunikan sekaligus nilai plus. Pandangan miring terhadap kitab kuning yang dianggap sebagai penyebab kejumudan, tidak boleh menyurutkan semangat kaum santri untuk berkontribusi dalam melakukan transformasi keilmuan.
Pada saat yang sama, kontekstualisasi kitab kuning melalui dialog teks-realita perlu digalakkan, sebagai cara efektif untuk menghidupkan kembali gairah intelektual yang cenderung loyo. Karena dengan cara ini, kekayaan literatur pesantren dapat terus dikembangkan dalam lingkungan budaya yang berbeda dengan masa lalunya. Maka, sesungguhnya pesantren salaf telah menjaga akar tradisinya sekaligus mengaktualisasikan diri dalam kondisi yang ada, sebagaimana ditegaskan dalam kaidah: Al muhafadzatu 'ala As salafi As salih Wa Al akhdzu Bi Al jadidi Al ashlah.
* Makalah ini dipresentasikan dalam seminar acara haul masyayih Pondok Pesantren MIS Sarang Rembang Jawa Tengah, tanggal 9 Desember 2011