Monday, September 12, 2011

Maroko: Pilihan Mualaf Baca Syahadat


Hasil wawancara dengan Majalah Ummi

Indonesia mempunyai hubungan politik yang baik dengan Maroko. Ini berawal sejak terjalinnya persahabatan antara Ir Soekarno dengan Raja Muhammad ke­V. Bahkan, Pemerintah Maroko mengabadikan nama Soekarno sebagai nama salah satu jalan protokol di ibukota Rabat.

Ya, kedua negara ini memiliki kesamaan: sebagian besar penduduk beragama Islam. Di Maroko tercatat 99% penduduknya Muslim. Selebihnya, beragama Yahudi dan Kristen.

Islam di Maroko berkembang setelah bangsa Arab melakukan ekspansi ke Afrika Utara pada pertengahan abad ke­VII. Sejak itu, negara yang berpenduduk asli bangsa Berber ini menganut sistem pemerintahan monarki. Kini, Maroko dipimpin Raja Mohammed VI, dari keturunan Alawiyin.

Selain sebutan Negeri Seribu Benteng—hampir di tiap sudut kota terdapat benteng—Maroko juga terkenal dengan keindahan alam bukit yang menyejukkan mata. Penduduknya yang agamis, ramah dan berpemikiran terbuka, menjadi magnet tersendiri bagi wisatawan asing untuk kembali menginjakkan kakinya di Maroko.

Barat Mitra Dialog

Masyarakat Maroko cukup terbuka dengan kebudayaan dan tradisi komunitas lain. Tak terkecuali bangsa tetangga sebelahnya, Eropa. "Mereka tidak 'menutup pintu rapat­ rapat' terhadap kebudayaan bangsa Eropa seperti halnya negara Arab di kawasan Teluk, Timur Tengah, pada umumnya," kata Arwani Syaerozi, mahasiswa program doktoral di Universitas Mohammed V.

Mereka, lanjut pria yang bermukim di Rabat ini, memandang bangsa lain yang berpotensi kerjasama untuk memajukan negaranya sebagai mitra dan sahabat. Nah, yang patut diacungkan jempol, pemerintah Maroko mampu menempatkan diri secara imbang antara kepentingan bangsa Arab dan Eropa.

Maroko tercatat sebagai anggota Organisasi Konferensi Islam, Liga Arab dan Organisasi Maghrib Arabi, tapi di saat yang sama aktif pula dalam organisasi negara kawasan Mediterania yang dimotori Perancis dan Italia.

Sementara menurut mahasiswa program doktoral studi Dialogue of Religions and Cultures, Universitas Sidi Mohamed Ben Abdellah, Arya Bagus Aji Shofin, pemerintah Maroko memandang dunia Barat sebagai mitra berdialog.

Di mata Barat, Maroko menjadi pintu gerbang masuknya tradisi ilmiah Islam ke Eropa. Kota Fes, Maroko, misalnya, dikenal sebagai pintu gerbang pertemuan antara arus filsafat Yunani dari Eropa dan arus pemikiran Islami yang dibawa para keturunan Rasulullah saw. "Jadi, sejak dulu sudah terjadi dialog dan pergulatan pemikiran antara tradisi Islam dan tradisi Barat di Maroko. Dan, itu terjadi hingga saat ini," ungkap Arya. Inilah, lanjutnya, yang membentuk Muslim Maroko berwatak logis.

Ramai-ramai Bersyahadat

"Ada kebiasaan anak muda Maroko yang cukup menarik dan menggelitik," ungkap Arwani. Tiap kali bertemu dengan orang asing, mereka selalu bertanya, "Apakah Anda Muslim?" Kalau kita menjawab, "Ya, saya Muslim." Mereka akan meminta kita bersyahadat. Setelah permintaan itu terpenuhi mereka mengucap hamdalah.

Maroko juga dikenal sebagai negara yang banyak mengawal syahadat. Para mualaf itu tak melulu dari Eropa dan Afrika. Rilis Kementerian Wakaf tahun 2007 mencatat 2.398 warga asing mualaf berasal dari 68 bangsa. "Prosesi pengucapan kalimat syahadat biasa­nya berlangsung di Masjid Hassan II di Kota Cassablanca, Masjid As-Sunnah di Rabat Dan di Masjid Al Kairouiyien Fes". Alasan mengapa memilih Maroko sebagai tempat bersyahadat. Menurut Arwani, karena interaksi Muslim Maroko dengan orang Eropa dan Afrika terjalin baik. Warga Maroko banyak bermukim di negara Eropa. Letak geografisnya berada di sebelah Spanyol dan menjadi jalur penghubung antara negara Afrika dan Eropa.

Sementara Arya berpendapat, karena sikap Muslim Maroko yang ramah terhadap pendatang dan open mind. Mayoritas Muslim Maroko menganut teologi Asy'ariyyah— pengikut paham Imam abul Hasan al­Asy'ariy untuk bidang akidah, mengikuti ajaran Imam Junaid al­ Baghdadi dalam bidang tasawuf, dan bermazhab Maliki—Imam Malik ibn Anas untuk bidang fikih.

Selain itu, Maroko terkenal kaya tradisi tasawuf. Bahkan, konon mampu menarik mantan presiden Vietnam –yang non muslim- berguru pada seorang sufi Maroko. Kemuliaan akhlak dan keikhlasan para sufi tersebut mewarnai keberagamaan masyarakat Islam Maroko

Meski Maroko letaknya dekat Eropa dan terbuka dengan kebudayaan asing, tak berarti mereka melepas identitas keislamannya. Kaum mudanya berpenampilan Islami. Perempuan mengenakan jilbab dan pakaian lebar sedangkan pria mengenakan jalabah (gamis) khas Maroko. "Seperti di Indonesia, mereka mengenakan baju Muslim atas dasar kesadaran dan keinginan masing­masing," kata Arwani seraya menambahkan Maroko melakukan pengkaderan bagi pemuda yang tertarik menjadi da'i internasional.

Keunikan lain, kaum muda Maroko memanfaatkan kafe bukan metodologi, ilmu humaniora modern atau belajar kelompok ditemani musik Arab atau sufi.

Seperti halnya Indonesia, Pemerintah Maroko memberikan kebebasan beribadah. Namun sayang, masjid tak bebas dikunjungi setiap saat. "Di sini, masjid hanya dibuka satu jam sebelum azan dan ditutup setelah selesai shalat jamaah. Kecuali antara waktu Maghrib dan Isya," kata Arya.

Berbeda tapi Tetap Satu

Arwani mengatakan, penerapan hukum Islam di Maroko tak seperti negara Arab. Justru, lebih condong ke Indonesia. Nah, kalau beribadah, Muslim Maroko mengacu mazhab Maliki sementara mayoritas Muslim Indonesia mengacu mazhab Syafi'i. "Perbedaan ini hanya sebatas masalah furu' (cabang). Bukan dalam hal prinsip/akidah," katanya.

Ia mencontohkan, Muslim Maroko menggunakan bacaan Al­ Qur'an qira'at imam Warasy dari Imam Nafi'. Sementara Indonesia, qira'at imam Hafs dari Imam Ashim. Tata cara shalat pun ada perbedaan. Misal, saat berdiri, Muslim Maroko tidak melakukan sedekap menyatukan kedua tangan di atas dada. Mereka membiarkan tangannya ke bawah searah paha. Sama halnya saat berwudhu, mereka irit menggunakan air. Cukup satu ember kecil karena hanya mengusap anggota wudhu tanpa mengalirkan air.

Apakah perbedaan ini mengganggu? "Bukan masalah. Perbedaan ini justru memberi banyak pelajaran bahwa fikih itu luas, banyak pendapat, dan masing­masing memiliki landasan hukum dan argumen," pungkas Arwani. (Rtna Krtka)