Oleh: Arwani Syaerozi*
Pada sepuluh hari pertama di bulan Dzul Hijjah (bulan ke dua belas dalam kalender hijriyah), umat Islam disuguhi tiga “ibadah tahunan” secara bersamaan, yaitu ibadah haji, ibadah kurban, dan sholat Idul adha. Tiga jenis ibadah ini akan mengingatkan kita pada sosok Ibrahim As (sekitar 2013 SM). Melalui tiga jenis ibadah ini pula, kita dapat mengambil pelajaran dari kisah hidupannya, untuk kita jadikan spirit dalam menjalani kehidupan saat ini.
Nabi Ibrahim As, yang kemudian dinisbatkan kepadanya tiga agama sekaligus (Yahudi, Kristen dan Islam) dengan sebutan agama-agama Ibrahimi atau Samawi, menjadi central pertalian nasab (keturunan) para nabi dan rasul yang hidup setelah zamannya.
Status Ibrahim A.s. sebagai “bapak para nabi”, dan perjalanan hidupnya yang penuh dengan ujian dan cobaan, membuat kita bertanya-tanya: Adakah sesuatu yang bisa dijadikan teladan dari kisah kehidupannya? Masih relevankah jika kita megadopsi kiat-kiatnya dalam menghadapi ujian hidup?
Ada dua peristiwa bersejarah berkaitan dengan nabi Ibrahim As yang akan saya angkat dalam tulisan ini, kedua kisah tersebut menunjukkan bagaimana saat seorang Ibrahim dihadapkan pada ujian terberat dalam hidupnya. Bagaimana ia harus berani menantang arus maensterm dalam hal akidah, dan bagaimana ia dihadapkan pada keadaan dilematis saat Allah SWT meng-intruksikan kepadanya satu perintah yang secara sekilas sangat “tidak manusiawi”.
Ibrahim dan kedzaliman penguasa:
Adalah kisah kehidupan Ibrahim di era kejayaan seorang raja yang bernama Namrud bin Kan’an (sekitar 1943-2275 SM) , penguasa diktator dari bangsa Babylon yang menjadi tiran bagi dakwah nabi Ibrahim di tengah keluarga dan masyarakatnya.
Kegigihan dan kecerdasannya dalam menyebarkan “misi illahi” menimbulkan murka raja Namrud dan bala tentaranya. Kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki oleh Namrud tidak menyurutkan semangat Ibrahim dalam berdakwah, walaupun Namrud selalu bersikap keras dan intoleran. Melihat proses dakwah nabi Ibrahim semakin menunjukkan hasil, Namrud mengeluarkan intruksi kontroversial, yaitu eksekusi dengan membakar Ibrahim secara hidup-hidup.
Apakah Ibrahim menjadi ciut nyali dengan ancaman ini? Apakah Ibrahim menghentikan proses dakwahnya agar selamat dari bahaya yang mengancam jiwanya? Di sinilah, kita bisa melihat ketegarannya saat menghadapi cobaan, kebulatan tekad dalam melaksanakan kewajiban dakwah kepada masyarakat untuk meng-Esakan Allah SWT membuatnya pantang untuk menyerah, dengan segala konsekuensinya ia tetap mendengungkan “kalimat tauhid”.
Keteguhan sikap yang dimiliki oleh Ibrahim ini akhirnya membuahkan hasil, Tuhan tidak membiarkan kekasihnya sendirian dalam menghadapi keganasan Namrud hambanya yang sangat dzalim. Jilatan api yang memanggang nabi Ibrahim saat itu telah perintahkan jinak tidak mampu membakar tubuhnya. (Qs. al Anbiya: 69).
Kisah pergulatan akidah antara nabi Ibrahim dengan keluarga dan masyarakat pada zamannya ini dapat kita lihat secara detail dalam al Quran melalui surat al Anbiya ayat 52 - 70.
Pada sepuluh hari pertama di bulan Dzul Hijjah (bulan ke dua belas dalam kalender hijriyah), umat Islam disuguhi tiga “ibadah tahunan” secara bersamaan, yaitu ibadah haji, ibadah kurban, dan sholat Idul adha. Tiga jenis ibadah ini akan mengingatkan kita pada sosok Ibrahim As (sekitar 2013 SM). Melalui tiga jenis ibadah ini pula, kita dapat mengambil pelajaran dari kisah hidupannya, untuk kita jadikan spirit dalam menjalani kehidupan saat ini.
Nabi Ibrahim As, yang kemudian dinisbatkan kepadanya tiga agama sekaligus (Yahudi, Kristen dan Islam) dengan sebutan agama-agama Ibrahimi atau Samawi, menjadi central pertalian nasab (keturunan) para nabi dan rasul yang hidup setelah zamannya.
Status Ibrahim A.s. sebagai “bapak para nabi”, dan perjalanan hidupnya yang penuh dengan ujian dan cobaan, membuat kita bertanya-tanya: Adakah sesuatu yang bisa dijadikan teladan dari kisah kehidupannya? Masih relevankah jika kita megadopsi kiat-kiatnya dalam menghadapi ujian hidup?
Ada dua peristiwa bersejarah berkaitan dengan nabi Ibrahim As yang akan saya angkat dalam tulisan ini, kedua kisah tersebut menunjukkan bagaimana saat seorang Ibrahim dihadapkan pada ujian terberat dalam hidupnya. Bagaimana ia harus berani menantang arus maensterm dalam hal akidah, dan bagaimana ia dihadapkan pada keadaan dilematis saat Allah SWT meng-intruksikan kepadanya satu perintah yang secara sekilas sangat “tidak manusiawi”.
Ibrahim dan kedzaliman penguasa:
Adalah kisah kehidupan Ibrahim di era kejayaan seorang raja yang bernama Namrud bin Kan’an (sekitar 1943-2275 SM) , penguasa diktator dari bangsa Babylon yang menjadi tiran bagi dakwah nabi Ibrahim di tengah keluarga dan masyarakatnya.
Kegigihan dan kecerdasannya dalam menyebarkan “misi illahi” menimbulkan murka raja Namrud dan bala tentaranya. Kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki oleh Namrud tidak menyurutkan semangat Ibrahim dalam berdakwah, walaupun Namrud selalu bersikap keras dan intoleran. Melihat proses dakwah nabi Ibrahim semakin menunjukkan hasil, Namrud mengeluarkan intruksi kontroversial, yaitu eksekusi dengan membakar Ibrahim secara hidup-hidup.
Apakah Ibrahim menjadi ciut nyali dengan ancaman ini? Apakah Ibrahim menghentikan proses dakwahnya agar selamat dari bahaya yang mengancam jiwanya? Di sinilah, kita bisa melihat ketegarannya saat menghadapi cobaan, kebulatan tekad dalam melaksanakan kewajiban dakwah kepada masyarakat untuk meng-Esakan Allah SWT membuatnya pantang untuk menyerah, dengan segala konsekuensinya ia tetap mendengungkan “kalimat tauhid”.
Keteguhan sikap yang dimiliki oleh Ibrahim ini akhirnya membuahkan hasil, Tuhan tidak membiarkan kekasihnya sendirian dalam menghadapi keganasan Namrud hambanya yang sangat dzalim. Jilatan api yang memanggang nabi Ibrahim saat itu telah perintahkan jinak tidak mampu membakar tubuhnya. (Qs. al Anbiya: 69).
Kisah pergulatan akidah antara nabi Ibrahim dengan keluarga dan masyarakat pada zamannya ini dapat kita lihat secara detail dalam al Quran melalui surat al Anbiya ayat 52 - 70.
Ibrahim harus kehilangan keluarga:
Saat nabi Ibrahim dihadapkan pada posisi dilematis, antara menolak atau menjalankan perintah Tuhannya untuk mengeksekusi Ismail anak kandungnya dari hasil pernikahan dengan istri keduanya siti Hajar, adalah “momen berat” yang harus dipertaruhkan olehnya.
Siapa orangnya yang tega membunuh keturunan sendiri? Orang tua mana yang rela menyembelih buah hatinya? Ibu mana yang tidak meronta saat nyawa anaknya dipertaruhkan? Pertanya’an-pertanya’an seperti ini yang mungkin terlintas dalam pikiran kita saat menyimak kisah lain tentang Ibrahim.
Pada fase ujian kali ini, kita bisa melihat ketegaran Ibrahim sekeluarga saat menerima intruksi Tuhan yang sekilas sangat “tidak manusiawi”. Apakah Ibrahim mengelak dari perintah ini? Atau bahkan memprovokasi istri dan anaknya untuk tidak menghiraukan perintah tersebut? Ibrahim bukanlkah tipe pembangkang, ia tidak berkarakter plin-plan, akan tetapi Ibrahim tegar dalam menghadapi ujian, bahkan yakin akan adanya hikmah dibalik sekenario Tuhan.
Sebagai bapak yang bijak, Ibrahim mendiskusikan perintah penyembelihan yang ia terima melalui mimpi tersebut kepada anaknya Ismail. Sang anak yang juga seorang nabi menjawab dengan tegas: “Wahai ayahku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (Qs. Ash Shafaat : 102)
Menjelang detik-detik penyembelihan, iblis gencar memprovokasi suasana, mempengaruhi siti Hajar sang ibu yang telah bersusah payah mengandung dan melahirkannya, iblis berceloteh: “Wahai siti Hajar ! Apakah benar suamimu yang membawa parang akan menyembelih anakmu Ismail yang sedang tumbuh dan menggemaskan itu?”. Siti Hajar sempat terprovokasi dan meminta agar suaminya mengurungkan niatnya untuk menyembelih, akan tetapi melihat ketegaran Ibrahim dan Ismail, siti Hajar akhirnya memahami situasi.
Benarlah apa yang diyakini oleh Ibrahim, Ismail dan siti Hajar saat itu, bahwa dibalik perintah Tuhan yang dinilai “tidak manusiawi” itu, terdapat skenario agung dan tersimpan hikmah yang sulit dinalar oleh akal. Dalam perintah penyembelihan ini, Allah SWT ingin menguji kepatuhan dan ketegaran Ibrahim sekeluarga. Sebab menjelang proses eksekusi, Allah SWT mengutus malaikat untuk mengganti Ismail dengan seekor hewan sembelihan. “Sesungguhnya ini adalah merupakan suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar“ (Qs. As Shafaat: 106-107).
Teladan yang selalu relevan:
Dalam dua kisah tentang nabi Ibrahim di atas, ada sesuatu yang dapat kita ambil sebagai uswah (teladan). Di antaranya adalah: sikap tegar, sabar dan yakin akan pertolongan Allah SWT saat kita diberi cobaan atau musibah.
Sikap tegar dalam menghadapi cobaan akan menumbuhkan rasa sabar dalam menjalani kehidupan, dan kesabaran ini akan membuahkan hasil suatu keyakinan akan perhatian dan pertolongan Tuhan.
Dapat kita bayangkan seandainya Ibrahim adalah sosok yang tidak tegar dalam menghadapi rintangan, maka ia pasti akan mengeluh pada saat datangnya ujian, ia akan menyerah dalam mengemban amanat dakwah karena adanya intimidasi penguasa, atau Ibrahim akan mengacuhkan intruksi Tuhan sa’at diperintah untuk menyembelih Ismail.
Akan tetapi, Ibrahim adalah sosok yang tegar dalam menghadapi cobaan, pribadi yang taat kepada perintah Tuhan dengan segala konsekuensinya, sebab ia percaya bahwa kebaikan menurut kacamata Tuhan di atas kebaikan menurut perspektif manusia “ Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui ” (Qs. al Baqarah: 216)
Namun, meneladani kisah hidup nabi Ibrahim bukan berarti harus kembali mengaplikasikan pola hidup seperti zaman sekian ribu tahun yang silam, sebab kehidupan kita saat ini jauh lebih modern, problematika yang kita hadapi pun jauh lebih kompleks. Akan tetapi teladan yang yang harus kita aplikasikan adalah; ketegaran, kesabaran, dan keyakinan yang pernah dicontohkan oleh nabi Ibrahim. Tiga hal ini merupakan kunci sukses dalam menghadapi ujian pada fase zaman kapan pun.
* Tulisan ini dipublikasikan di media www.fahmina.or.id