Friday, February 22, 2008

Anyar/Baru/Jadid/New/Nouveau

Oleh: Arwani Syaerozi

Minggu 03 Februari 2008 saya ber-hijrah, alias pindah tempat tinggal. Mulai hari ini saya tidak lagi tinggal di kantor seketariat PPI yang berlokasi di kelurahan Kouass, saya memutuskan untuk hijrah ke sebuah rumah di kawasan hay al Khair masih di ibukota Rabat, berjarak sekitar 550 M dari tempat tinggal sebelumnya, setelah plus-minus 6 bulan saya menikmati suasana heterogen di bawah atap kantor sekretariat.

Alasan kepindahan ini sederhana, yaitu ingin menemukan tempat yang lebih kondusif untuk riset disertasi doktor yang semenjak 25 Desember 2007 lalu resmi saya garap. Tidak bisa saya pungkiri bahwa untuk proses riset ini saya membutuhkan tempat yang nyaman dan tenang, sedangkan kantor sekretariat adalah milik organisasi yang kapan dan siapapun bebas mengunjungi.

Dalam filsafat hidup, karekter manusia akan selalu mencari titik “yang lebih” dari fase sebelumnya. Hal ini manusiawi dan sangat wajar asalkan kita mau memperhatikan bagaimana keinginan untuk berpindah ke titik “yang lebih” bisa terwujudkan, yaitu dengan berusaha maksimal. Namun dengan catatan bahwa “yang lebih” tadi harus bersifat positif dan baik menurut perspektif moral dan agama, sebab keinginan yang sifatnya negatif dan tidak sesuai dengan norma etika dan ajaran agama akan menimbulkan kesengsaraan dan penyesalan dikemudian hari.

Di sisi lain, pengkebirian terhadap keinginan melaju ke tingkat “yang lebih” dengan dalih tipu daya “hawa nafsu” adalah sesuatu yang salah kaprah, apalagi doktrin agama dijadikan alat legitimasi untuk mengeliminasi kebebasan dan kreatifitas hidup, hal ini adalah sesuatu yang sangat paradoksal, sebab agama tidak membenarkan diri kita hidup dalam kebodohan, kevakuman dan kemiskinan.

Begitu banyak teks-teks agama yang menyinggungnya, bahkan tidak terhitung orang-orang relegius yang mengutipnya dalam sebuah tulisan, khutbah, atau sekedar obrolan. Namun, pada waktu yang sama terlalu banyak pula orang yang salah memahami, lupa atau pura-pura melupakan substansinya, sehingga realitas dalam masyarakat relegius justeru paradoksal. “agama menganjurkan hidup pintar, aktif dan berkecukupan sedangkan para pemeluknya mayoritas hidup bodoh, pasif dan terkurung dalam kemiskinan”.

Maka, tempat tinggal baru ini semoga memberikan inspirasi-inspirasi baru, atau paling tidak memberikan spirit baru dalam upaya merubah pola beragama masyarakat muslim yang selama ini memberikan konklusi paradoksal. Wallahu’alam.