Monday, January 7, 2008

Menjadi Temus haji, sebuah pengabdian?

Oleh: Arwani Syaerozi

Dalam tradisi masyarakat kita, sering terdengar ungkapan ; “mungkin belum dipanggil“ saat tersiar kabar bahwa si Fulan tidak jadi berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. ketidak jadian berangkat ini bisa disebabkan oleh faktor administrasi, kesibukan, kesehatan dll. Karena rukun Islam yang kelima ini dalam pelaksanaannya membutuhkan sekaligus tiga kesiapan. Yaitu; siap biaya, siap jiwa dan siap raga.

Urgensi biaya bisa kita lihat dengan adanya prosedur administrasi haji yang selama ini kita kenal di tanah air, sebagai gambaran jarak antara tanah air dan tanah suci yang cukup jauh mutlak dibutuhkan transportasi serta akomodasi, hal ini jelas membutuhkan dana yang harus ditanggung oleh setiap calon jamaah.

Kesiapan mental merupakan syarat bagi orang yang akan melaksanakan ibadah haji, sebab pemandangan lautan manusia yang berkumpul di masjid Haram, di tanah Arafah saat wukuf atau di Muzdalifah saat mabit (menginap sejenak) akan mengakibatkan dampak negatif bagi orang yang secara mental tidak siap. Bahkan dalam perspektif hukum fikih, berakal sehat adalah syarat validitas ibadah haji, tanpa akal sehat haji seseorang tidak dianggap sah.

Begitu juga kesiapan raga atau fisik. Dalam ibadah haji sangat dibutuhkan kondisi fisik yang sehat. Tawaf (berkeliling mengitari ka`bah) dan sa`I (berlari kecil di antara bukit Shafa dan Marwa) sebanyak tujuh putaran, melempar jumrah yang memerlukan waktu untuk berjalan dan berdesak-desakan merupakan gambaran betapa vitalnya kebugaran fisik saat menunaikan ibadah haji. Dari sini menjadi jelas bahwa komplikasi tiga unsur di atas merupakan interpretasi kata “Istitha`ah” dalam ayat 97 surat Ali Imran yang menetapkan kewajiban ibadah haji hanya bagi orang-orang yang mampu.

Memahami Temus haji
Di antara rutinitas menjelang dan selama berlangsungnya musim haji adalah dibentuknya panitia pelaksana ibadah haji (PPIH) di bawah naungan Departemen agama RI, kepanitiaan yang fungsinya membina, melayani dan melindungi jamaah haji Indonesia selama berada di Arab Saudi ini, dalam kinerjanya akan merekrut tenaga musiman (Temus) untuk ikut mensukseskan pelaksanaan ibadah haji.

Perekrutan ini melibatkan personal-personal dari berbagai lintas profesi, seperti tenaga kerja di Arab Saudi dan mahasiswa di Timur Tengah dan sekitarnya. Bagi komunitas mahasiswa, terpilih menjadi anggota temus (tenaga musim) merupakan "rizki three in one". Sebab, dengan temus bisa menunaikan rukun Islam yang kelima, bisa melayani para jamaah, sekaligus dengan gaji yang diterima bisa untuk menunjang proses studi. Dengan tiga nilai plus ini, tidak heran jika para mahasiswa di Timur Tengah dan sekitarnya senantiasa berharap terpilih menjadi temus saat musim haji tiba.

Dalam tugas temus kita akan berinteraksi langsung dengan jamaah, seperti bagian kedatangan di bandara, bagian pencarian orang tersesat, bagian kesehatan, bagian akomodasi, dan bagian konsumsi, atau paling tidak bagi mereka yang ditugaskan di kesekretariatan akan turut memberikan pelayanan walaupun tidak secara langsung.

Untuk itulah, menjadi temus adalah kesempatan untuk mempraktekkan apa yang telah kita pelajari selama ini, belajar bersabar dalam berinteraksi sosial, belajar melayani masyarakat, sekaligus sebagai salah satu wujud pengabdian kepada bangsa.

Mekanisme perekrutan
Mata rantai perekrutan terfokus pada tiga instansi, pertama konsulat jenderal RI Jeddah yang berperan sebagai perekrut utama serta yang menentukan kriteria dan persyaratan umum bagi calon temus. Dari Konjen diteruskan ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di beberapa negara di Timur Tengah dan sekitarnya, kemudian berikutnya ditangani oleh organisasi pelajar mahasiswa Indonesia setempat, yang biasanya berperan sebagai perekrut lapangan.

Porsi anggota temus yang diberikan oleh pihak KJRI Jeddah kepada mahasiwa di beberapa negara pun berbeda-beda sesuai dengan jumlah mahasiswanya. Sebagai contoh, mahasiswa Maroko pada tahun ini diberi jatah temus 15 dari total mahasiswa sekitar 50 orang, mahasiswa Yaman 25 dari sekitar 700 pelajar, dan Tunisia diberi porsi 3 dari jumlah mahasiswa sekitar 16 orang.

Sebagai upaya pengerucutan dan penertiban calon temus di masing-masing negara yang jumlah peminatnya melebihi kuota yang ada. Pihak organisasi mahasiswa setempat biasanya akan menambahkan persyaratan dan kriteria khusus, seperti syarat telah berdomisili di negara setempat minimal selama satu tahun atau kriteria belum pernah menjadi temus pada tahun-tahun sebelumnya.

Metode penyeleksiannya pun berbeda-beda dari satu negara ke negara yang lain. Misalnya, di Yaman diadakan tes lisan dan tulisan bagi yang termasuk kriteria Temus, di Maroko dengan menggunakan nomor urut kedatangan, sedangkan penyeleksian yang diterapkan oleh mahasiswa di Tunisia lebih mengutamakan musyawarah kekeluargaan karena jumlah komunitasnya tidak terlalu banyak.

Mengapa mahasiswa Timur Tengah?
Sebenarnya yang terlibat dalam tenaga musiman (temus) bukan hanya dari kalangan mahasiswa Timur Tengah dan sekitarnya saja, akan tetapi mahasiswa Indonesia di Malaysia dan di Tanah Air pun dilibatkan walaupun jumlahnya tidak banyak, sehingga yang mendominasi keanggotaan temus adalah mahasiswa dari Timur Tengah dan tenaga kerja yang berdomisili di Arab Saudi.

Perekrutan anggota temus yang selama ini dititik beratkan pada mahasiswa di Timur Tengah dan sekitarnya setidaknya karena mempunyai beberapa faktor kelebihan, misalnya dari segi komunikasi bahasa, penguasaan medan, efisiensi dana transportasi, bahkan dari segi pengetahuan seputar kajian ibadah haji.

Yang jelas – sebagaimana ditegaskan oleh Konjen RI Jeddah Bapak Tajuddin Nur saat pembukaan pelatihan temus 2005-2006 - selain kuantitas mahasiswa, kualitas kinerja para anggota temus pun sangat menentukan eksistensi porsi yang diberikan oleh KJRI Jeddah kepada mahasiswa di tiap-tiap negara, bisa saja porsi yang diberikan kepada mahasiswa di satu negara dikurangi apabila kinerja anggota temusnya kurang baik padahal jumlah mahasiswanya bertambah, begitu pula sebaliknya dengan reputasi kinerja yang baik maka tidak menutup kemungkinan komunitas mahasiswa di satu negara akan diberi tambahan jatah walaupun jumlah mahasiswanya tetap atau bahkan berkurang.

Kebijakan di atas, saya pandang sebagai langkah yang tepat untuk mengoptimalkan kinerja pelayanan PPIH, karena pada realitasnya tidak semua anggota temus dari kalangan mahasiswa maupun non mahasiswa bekerja secara maksimal, di sana sini masih terdapat oknum-oknum yang justru meremehkan tugas serta tanggung jawab bahkan membuat kekisruhan antar sesama petugas.

Akhirnya, suratan Tuhan bukan hanya berlaku pada lingkup ibadah haji saja, akan tetapi seluruh isi jagat raya dengan berbagai corak aktifitas penghuninya tidak terlepas dari Masyi`atillah (kehendak Allah), “Segala puji bagi-Nya tidak ada kekuatan kecuali atas pertolongan-Nya, apa yang dikehendai oleh Allah akan terjadi dan apa yang tidak dikehendai tidak akan pernah terjadi“ demikian petikan salah satu do`a Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud Ra. Wallahu A`lam


* Tulisan ini dipublikasikan di situs resmi PBNU www.nu.or.id