Serang, Banten 20/12/11
Kalangan generasi muda jangan terjebak pada aksi anarkis. Apalagi, aksi anarkis berupa tindakan terorisme yang mengatasnamakan agama.
Hal itu disampaikan pengamat politik dan hukum Timur Tengah, Dr. Arwani Syaerozi, MA dalam diskusi publik dengan tema "Gerakan Radikal, Mengapa Kalangan Muda" di gedung Korpri Serang Banten, Selasa (20/12)
Diskusi yang diselenggarakan Lingkar Kajian untuk Pencerahan (Lingkaran) menghadirkan juga pembicara dari DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ustaz Yasin Mutohar, dan mantan aktivis Jemaah Islamiyah, Nasser Abbas.
"Radikalisme bukanlah terorisme. Akan tetapi, pemikiran radikal akan mudah sekali melakukan terorisme, dan hal inilah yang sering menjebak. Generasi muda tentu menjadi sasaran utama. Oleh karena itu, hal ini harus diwaspadai," kata Arwani.
Ia mengungkapkan, belakangan ini aksi anarkis seperti tawuran di kalangan pelajar dan mahasiswa menjadi celah bagi oknum tertentu yang menyusup ke generasi muda untuk melakukan teror.
"Saya menyebut oknum tertentu itu sebagai 'penumpang gelap' yang harus diwaspadai," ungkapnya.
Oleh karena itu, menurut dia, kewaspadaan itu bisa dilakukan dengan cara mengisi waktu luang kegiatan-kegiatan bersifat ilmiah, seperti di bidang sains, kesenian atau keagamaan. "Generasi muda adalah aset bangsa yang harus dikawal mental dan pola berpikirnya," ungkapnya.
Arwani menegaskan, dirinya tidak setuju bahwa radikal dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan dan terlalu diidentikkan dengan umat Islam.
Tingkatkan kesejahteraan
Ia menyatakan, peran pemerintah untuk menanggulangi terorisme dan radikalisme tidak hanya dalam satu aspek, yakni sosial dan agama. Melainkan perlu adanya kerjasama semua pihak untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut dia, dengan hal tersebut setidaknya akan meminimalisasi, dan agar masyarakat tidak gampang diarahkan untuk satu persepsi yang salah."Indonesia itu negara yang paling mengakomodasi semua kalangan. Saya mengapresiasi gerakan-gerakan yang terjadi di Indonesia, asalkan positif dan tidak merugikan pihak lain," ujarnya.
Yasin Mutohar dengan tegas menyatakan, gerakan radikal tidak identik dengan terorisme. Gerakan radikal merupakan upaya melakukan perubahan secara mendasar.
"Jika di negara kita tatanan pemerintahnya sudah korup, sistem politik tidak tertata, sistem ekonomi sudah liberal, dan tatanan hidup jauh dari nilai Islam, perlu kita lakukan perubahan. Jadi, salah jika gerakan radikal selalu dicap sebagai terorisme yang selalu diawasi," tuturnya.
Pandai memilah
Sementara Nasser Abbas dalam pemaparannya menyatakan, generasi muda harus pandai memilah terhadap pengaruh yang menjerumuskan pemikiran pada tindakan terorisme.
"Selama ini, anak muda selalu jadi sasaran untuk melakukan aksi terorisme. Jadi, harus pandai memilah," katanya.
Ia juga menyatakan, dalam menyikapi aksi terorisme yang ditentang bukan orangnya tetapi aksinya melakukan kekerasan atas nama agama. "Membuat aksi bom buku dan meledakkan diri di mesjid dan lainnya dengan mengatasnamakan agama jelas perbuatan keji," katanya.
Sumber: www. http://kabar-banten.com/news/detail/4211)
Kalangan generasi muda jangan terjebak pada aksi anarkis. Apalagi, aksi anarkis berupa tindakan terorisme yang mengatasnamakan agama.
Hal itu disampaikan pengamat politik dan hukum Timur Tengah, Dr. Arwani Syaerozi, MA dalam diskusi publik dengan tema "Gerakan Radikal, Mengapa Kalangan Muda" di gedung Korpri Serang Banten, Selasa (20/12)
Diskusi yang diselenggarakan Lingkar Kajian untuk Pencerahan (Lingkaran) menghadirkan juga pembicara dari DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ustaz Yasin Mutohar, dan mantan aktivis Jemaah Islamiyah, Nasser Abbas.
"Radikalisme bukanlah terorisme. Akan tetapi, pemikiran radikal akan mudah sekali melakukan terorisme, dan hal inilah yang sering menjebak. Generasi muda tentu menjadi sasaran utama. Oleh karena itu, hal ini harus diwaspadai," kata Arwani.
Ia mengungkapkan, belakangan ini aksi anarkis seperti tawuran di kalangan pelajar dan mahasiswa menjadi celah bagi oknum tertentu yang menyusup ke generasi muda untuk melakukan teror.
"Saya menyebut oknum tertentu itu sebagai 'penumpang gelap' yang harus diwaspadai," ungkapnya.
Oleh karena itu, menurut dia, kewaspadaan itu bisa dilakukan dengan cara mengisi waktu luang kegiatan-kegiatan bersifat ilmiah, seperti di bidang sains, kesenian atau keagamaan. "Generasi muda adalah aset bangsa yang harus dikawal mental dan pola berpikirnya," ungkapnya.
Arwani menegaskan, dirinya tidak setuju bahwa radikal dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan dan terlalu diidentikkan dengan umat Islam.
Tingkatkan kesejahteraan
Ia menyatakan, peran pemerintah untuk menanggulangi terorisme dan radikalisme tidak hanya dalam satu aspek, yakni sosial dan agama. Melainkan perlu adanya kerjasama semua pihak untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut dia, dengan hal tersebut setidaknya akan meminimalisasi, dan agar masyarakat tidak gampang diarahkan untuk satu persepsi yang salah."Indonesia itu negara yang paling mengakomodasi semua kalangan. Saya mengapresiasi gerakan-gerakan yang terjadi di Indonesia, asalkan positif dan tidak merugikan pihak lain," ujarnya.
Yasin Mutohar dengan tegas menyatakan, gerakan radikal tidak identik dengan terorisme. Gerakan radikal merupakan upaya melakukan perubahan secara mendasar.
"Jika di negara kita tatanan pemerintahnya sudah korup, sistem politik tidak tertata, sistem ekonomi sudah liberal, dan tatanan hidup jauh dari nilai Islam, perlu kita lakukan perubahan. Jadi, salah jika gerakan radikal selalu dicap sebagai terorisme yang selalu diawasi," tuturnya.
Pandai memilah
Sementara Nasser Abbas dalam pemaparannya menyatakan, generasi muda harus pandai memilah terhadap pengaruh yang menjerumuskan pemikiran pada tindakan terorisme.
"Selama ini, anak muda selalu jadi sasaran untuk melakukan aksi terorisme. Jadi, harus pandai memilah," katanya.
Ia juga menyatakan, dalam menyikapi aksi terorisme yang ditentang bukan orangnya tetapi aksinya melakukan kekerasan atas nama agama. "Membuat aksi bom buku dan meledakkan diri di mesjid dan lainnya dengan mengatasnamakan agama jelas perbuatan keji," katanya.
Sumber: www. http://kabar-banten.com/news/detail/4211)