Tuesday, October 25, 2011

Nahdlatul Ulama Dan Kekuasaan Politik


Oleh: Arwani Syaerozi

Melalui muktamar Ke-27 di Situbondo pada tahun 1984, secara resmi Nahdlatul Ulama kembali ke Khittah tahun 1926. Hal ini dikuatkan dengan keluarnya NU dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dimana partai NU –saat itu- menjadi motor berdirinya PPP pada tahun 1957. Maka melalui muktamar Situbondo, NU kembali menjadi organisasi sosial keagamaan sebagaimana saat didirikan, 31 Januari 1926.

Topik khittah 1926 erat dikaitkan dengan ranah politik. Padahal, cakupan khittah tidak hanya menerangkan ihwal hubungan organisasi NU dengan dunia politik, tetapi juga hal-hal mendasar terkait masalah ubudiyah dan muamalah. Khittah NU mencakup tujuan pendirian dan gerakan NU, tema-tema terkait kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut KH. Muchit Muzadi, Khittah NU 1926 merupakan dasar agama warga NU, akidah, syariat, tasawuf dan faham kenegaraannya.

Terkait dengan politik dan kekuasaan, khittah tahun 1962 ini kemudian difahami dengan berbagai macam interpretasi oleh kalangan Nahdliyin. Sebagian menganggap bahwa khittah adalah upaya memisahkan organisasi NU dengan dunia politik praktis, NU sebagai organisasi keagamaan harus dikonsentrasikan pada kerja-kerja sosial dan keagamaan, pemahaman khittah seperti ini, mengharuskan para pengurus NU baik di pusat maupun di daerah tidak diperbolehkan -baik secara langsung maupun tidak langsung- terlibat di dunia politik praktis.

Sebagian lain beranggapan, bahwa khittah NU hanya sebatas mengembalikan identitas ke-ormas-an NU, artinya Nahdlatul Ulama adalah bukan partai politik dan tidak terikat -secara organisasi- dengan partai politik apapun. Namun pada saat yang sama, setiap orang yang menjadi pengurus NU –sebagai warga Negara yang memiliki hak berpolitik- diperbolehkan terlibat di dunia politik, dengan tidak mengatasnakaman organisasi NU.

Melihat fenomena interpretasi-interpretasi di atas, NU menjaga jarak yang sama dengan semua kekuatan politik, dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan aturan tentang rangkap jabatan bernomor 015/A.II.04d/III/2005, dalam bab I pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa pengurus NU –mencakup pengurus harian, lembaga, lajnah dan badan otonom di semua tingkatan – tidak diperbolehkan merangkap jabatan.

Kemudian bab I pasal 2 dalam peraturan tersebut menjelaskan: "Yang dimaksud dengan jabatan politik dalam peraturan ini adalah meliputi jabatan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, wakil wali kota, anggota DPR/DPRD dan anggota DPD".

Sikap NU Terhadap Penguasa:

Bagaimana sikap NU terhadap para penguasa, baik di tingkat pusat, provinsi maupun daerah? Apakah pengurus NU berhak mengarahkan organisasi yang dipimpinnya untuk mendukung salah satu kandidat calon dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan gubernur (pilgub) atau pemilihan presiden (pilpres)?.

Tidak diragukan lagi bahwa sebuah organisasi membutuhkan biaya untuk mengoperasikan roda kepengurusan dan merealisasikan program kerjanya. Nahdlatul Ulama yang notebene organisasi non profit, dalam hal ini akan sangat bergantung pada instansi dan pihak sponsor dalam memenuhi kebutuhan finansialnya, karena dana yang dimiliki –baik di pusat maupun di daerah- jauh dari target yang dibutuhkan.

Menyikapi realitas ini, pengurus NU di pusat dan daerah akan memiliki kebijakan yang berbeda. Namun yang paling mendominasi adalah, kebijakan menyokong penguasa atau kandidat penguasa dengan kompensasi bantuan dana (apabila menang), hal ini menurut saya sah saja, asalkan atas dasar mutualisme dan tidak mengatasnamakan ormas NU, akan tetapi dukungan individu para pengurus dan anggota.

Namun di sini akan muncul dua permasalahan: pertama, pada saat kandidat penguasa yang didukung oleh tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama kalah dalam bertarung, imbasnya sangat fatal, yaitu akan terjadi marjinalisasi kaum Nahdliyin oleh penguasa yang menjadi rival dalam pemilihan. Padahal NU sebagai sebuah organisasi tidak terlibat secara langsung dalam ajang perebutan kekuasaan tersebut. Semestinya, siapapun yang menang NU akan berada pada jarak dan posisi yang sama.

Kedua, pada saat calon yang diusung memenangi pemilihan, NU sebagai organisasi akan mendapatkan keuntungan materi dan fasilitas, walaupun ini semua bersifat pragmatis (jangka pendek). Namun dalam hal kebijakan dan pemberdayaan anggota, NU akan banyak menemukan kendala dan benturan dengan keinginan penguasa. Ia tidak bisa lagi mengkritisi kebijakan yang tidak pro-rakyat bahkan secara tidak langsung NU akan menjadi alat "legitimasi" atas keputusan apapun yang diinginkan oleh penguasa.

Dua fenomena tersebut –menurut saya- tidak akan teradi apabila organisasi Nahdlatul Ulama memiliki badan usaha yang kuat, yang mampu mengelola wakaf dan kekayaan warganya secara profesional, sehingga menghasilkan dana besar untuk membiayai roda organisasi. Dengan demikian ia akan menjadi organisasi yang independen dalam bidang pendanaan dan kebijakan.

Mensingkronkan dua kepentingan:

Dalam keputusan Musyawarah Nasional NU tahun 1983 di Situbondo tentang "Pemulihan Khittah Nahdlatul Ulama 1926", ada empat hal sebagai konsideran. Pertama, sebagai organisasi keagamaan, NU mengalami hambatan karena kurangnya ikhtiar kreatif yang sesuai dengan kebutuhan zaman; Kedua, karena keterlibatan NU di dalam kegiatan politik praktis secara berlebihan, NU menjadi kurang peka menanggapi perkembangan sehingga NU tidak lagi berjalan sesuai dengan hakikatnya sebagai organisasi keagamaan; Ketiga, sudah menjadi tekad NU untuk senantiasa terikat dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara; Keempat, ulama sebagai unsur utama NU menyadari keprihatinan terhadap perkembangan NU dan merasa perlu menegaskan pedoman dan petunjuk bagi perkembangan organisasi.

Dewasa ini, persaingan antar organisasi sosial dan keagamaan di tanah air semakin ketat, banyak ormas-ormas baru bermunculan, mereka berebut massa dan menjaring simpati masyarakat. Sehingga kalau pengurus NU -baik di pusat maupun daerah- tidak peka terhadap kondisi zaman dan tidak melakukan operasi turba (turun ke bawah) dengan cara mendengar keluhan warga, mencarikan solusi dan melakukan konsolidasi melalui kegiatan-kegiatan, maka tidak heran jika di kemudian hari NU yang selama ini dianggap sebagai ormas terbesar di tanah air akan menyurut dan kehilangan anggota.

Pada saat pengurus NU -di pusat dan daerah- memposisikan sebagai partner penguasa, maka semestinya harus dalam posisi yang sejajar (baca: tidak menjadi alat legitimasi penguasa). Artinya, setiap kebijakan penguasa tidak selamanya didukung oleh NU, akan tetapi hanya kebijakan pro-rakyat (memberikan kemaslahatan bagi masyarakat) yang akan didukung, sedangkan kebijakan yang bersifat menguntungkan individu atau golongan tertentu, dalam hal ini pengurus NU harus berani menjadi oposisi yang mengkritisi.

Cara paling efektif untuk mensingkronkan kepentingan penguasa dan kemaslahatan warga NU adalah melakukan penguatan basis finansial dan ekonomi agar bisa mendanai roda kepengurusan sendiri, pada saat yang sama NU melakukan pendekatan (menjadi partner penguasa) dengan tujuan untuk ikut urun rembug dan menjadi inspirator setiap kebijakan yang akan dikeluarkan oleh penguasa.

Untuk mencapai apa yang saya uraikan di atas memang sulit, karena itu adalah salah satu bentuk ideal dari sebuah organisasi sosial keagamaan. Akan tetapi hal ini bisa dilakukan secara bertahap, langkah awalnya adalah mempersiapkan kader-kader pemimpin NU yang memiliki visi dan misi meng-independenkan organisasi dalam hal pendanaan. Saya kira, kader-kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), adalah aset berharga bagi jamiyah Nahdlatul Ulama, karena bagaimanapun antara NU dan PMII memiliki hubungan sejarah dan emosional yang erat.


• Makalah ini dipresentasikan pada acara Diskusi dan Halal Bihalal keluarga besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) kota Serang Banten, pada tanggal 22 September 2011.