Wednesday, September 2, 2009

Membedah buku « al Fikr al Maqasidi » karya Dr. Raisuni


Oleh : Arwani Syaerozi *


Maqasid Syari'ah (selanjutnya disingkat menjadi MS) atau tujuan syari'at merupakan kajian yang awalnya menjadi suplemen dalam ilmu ushul fiqh, sejalan dengan waktu, para ulama yang berkonsentrasi di bidang ushul fiqh dan fiqh kontemorer menitik beratkan perhatiannya pada maqasid syar'iah.

Dalam Ushul Fiqh, biasanya pembahasan maqasid syari'ah dibahas berkaitan dengan masalah dalil al Qiyas (analogi), tepatnya pada pembahasan illat al Ahkam (motif / sebab hukum). Salah satu perangkat untuk menemukan illat yang tidak diungkapkan secara eksplisit dalam teks al Qur'an maupun as Sunnah adalah al Munasabah (keselarasan antara hukum dan hikmah), as Sabr (keterikatan hukum pada satu motif) ataupun al Istiqra (penelitian). Sub-sub judul seperti inilah yang pada awalnya menyinggung pembahasan maqasid syari'ah.

Seiring dengan semakin kompleksnya problematika yang dihadapi oleh umat Islam, banyak realitas di tengah masyarakat yang membutuhkan status hukum fiqh, pada saat yang sama, ulama memandang perlu adanya pengembangan perangkat ijtihad. Karena perangkat Ushul Fiqh yang ada, dipandang tidak lagi efektif untuk dijadikan sebagai satu-satunya otoritas yang menangani proses penggalian hukum fiqh. Kemudian ditangan maestro pemikir-pemikir Islam seperti al Juwainni, al Izz bin Abd. Salam, al Qarrafi, al Ghazali, dan as Syatibi, kajian maqasid syari'ah gencar digulirkan di tengah publik intelektual muslim.

Motif penulisan buku:
Dalam rangka upaya untuk mengefektifkan proses ijtihad fiqh dan menggulirkan reformasi pemikiran Islam dewasa ini, kajian maqasid syari'ah semakin banyak digandrungi oleh kalangan akademisi dan intelektual muslim. Indikasi awalnya bisa dilihat dengan penerbitan dan penyebaran dua buku karya ulama Andalusia (Spanyol) Abu Ishak as Syatibi, yaitu buku: al Muwafaqat dan al I'tisham.

Pada permulaan abad ke 20 Masehi, pasca terbitnya dua buku ini, semakin banyak kajian tentang maqasid syari'ah yang ditulis oleh kalangan akademisi dan intelektual muslim. Bahkan, menurut Ahmad Raisuni (penulis buku ini), minat dan perhatian tersebut berlanjut hingga sekarang, sehingga kita - saat ini - merasakan adanya "ladang maqasid" dalam literatur ilmu-ilmu Islam, dan « ladang maqasid » ini tentunya dapat kita kembangkan bersama sebagai spesifikasi kajian Islam kontemporer. Kajian maqasid syar'ah ini pun telah dijadiakan sebagai mata kuliyah di berbagai lembaga pendidikan Islam. (hlm. 7)

Diakui oleh Ahmad Raisuni, bahwa sebagai bentuk kontribusi atas proyek reformasi pemikiran Islam, sengaja saya menyusun buku seputar pemikiran maqasid syari'ah. Paling tidak, melalui buku ini, saya bisa menyampaikan gagasan dan pemikiran saya berkaitan dengan kajian ini. Di samping itu, buku ini juga ditulis atas permintaan dua orang intelektual, yaitu : Abd. al Kabir al Alawi (Direktur penerbitan Mansyurat az Zaman) dan Muhammad Sabila (dewan pakar di penerbitan Mansyurat az Zaman). Dengan demikian, buku ini ditulis dan diterbitkan sebagai kontribusi untuk pengembangan "ladang maqasid" juga sebagai respon atas permintaan dua orang kawan tersebut.

Substansi buku :
Sesuai dengan tema buku ini, isi yang dibahas di dalamnya mencakup tiga hal penting, yaitu: Pertama- seputar logika maqasid syari'ah, Kedua- seputar kaidah maqasid, dan Ketiga- berkaitan dengan manfaat dari kajian maqasid syai'ah.

A. Logika Maqasid Syari'ah

Setelah mendefinisikan istilah MS baik dalam makna etimologi maupun terminologinya, penulis mengupas sekilas tentang pemetaan maqasid ke dalam maqasid ijmaliyah (tujan global) dan maqasid tafsiliyah (tujuan parsial). Yang pertama, bahwa kita meyakini dalam hal penciptaan syari'at dan pembebanan hukumnya kepada umat manusia terdapat hikmah dan tujuan tertentu. Mengutip statemen as Syatibi: " Tujuan dari pembuatan syari'at adalah untuk menyelamatkan umat manusia dari kungkungan hawa nafsu, sehingga ia mengakui sebagai hamba Allah secara suka rela, sebagaimana ia mengakui hal demikian secara paksa " (al Muwafaqat: 2/168). Menurut Ahmad Raisuni, ini merupakan tujuan global, sebab berkaitan dengan landasan diciptakannya syari'at, juga karena tujuan yang demikian ini tidak hanya dikhususkan keterkaitannya dengan sisi tertentu dalam syari'at Islam.

Berbeda halnya dengan anjuran Rasulullah Saw kepada umatnya yang hendak membangun bahtera rumah tangga (menikah), ia menganjurkan kepada kaum laki-laki agar melihat langsung sosok wanita yang akan menjadi calon isterinya, hal ini dengan tujuan agar bahtera rumah tangganya dibangun atas dasar kesadaran dan kecintaan, sehingga kelak menjadi keluarga yang bahagia. Menurut penulis, hal semacam ini merupakan tujuan parsial, MS yang hanya berkaitan dengan bab Nikah, atau lebih spesifik lagi berkatan dengan proses pertunangan. (Hlm. 14-15)

Dalam kesempatan ini, Ahmad Raisuni juga membahas seputar tujuan diutusnya para Rasul (utusan Allah) kepada umat manusia. Inti dari maqasid al Bi'tsah an Nabawiyah adalah untuk memberikan petunjuk kepada umatnya agar berada dalam jalan yang diridhoi oleh Allah. Di samping tujuan untuk mendidik dan menyebarkan kasih sayang antar sesama. Yang menarik, dalam kajian seputar tujuan diutusnya para Rasul ini, Ahmad Raisuni mengkerucutkan kesimpulannya ke dalam dua hal: Pertama- bahwa MS secara umum hanya merupakan sisi aplikasi dari diutusnya para utusan. Kedua- bahwa pemahaman komprehensif terhadap tujuan di utusnya para Rasul akan sangat membantu dalam memahami MS secara umum. (Hlm. 17)

Setelah menjabarkan tingkat kemaslahatan, yang mencakup dharuriyat (primer), hajiyat (sekunder), dan tahsiniyat (tersier), Ahmad Raisuni mengarahkan pembaca buku ini kepada inti sub judul, yaitu makna al Fikr al Maqasidi (logika maqasid), di mana yang dimaksud dengan hal ini adalah: 1- pemikiran yang dilandasi pada keyakinan akan adanya tujuan bagi syari'at agama (khusunya Islam) 2- pemahaman detail dan komprehensif terhadap MS, 3- corak berfikir yang berorientasi mendialogkan antara teks-tujuan-realitas dalam memahami syari'at Islam. (Hlm. 34-35)

B. Kaidah Maqasid Syari'ah

Ada empat kaidah MS yang ditawarkan oleh Ahmad Raisuni dalam bukunya ini, Pertama- setiap hukum syari'at pasti mu’allalah (memiliki motif), Kedua- setiap maqasid (tujuan) harus memiliki dalil yang valid, Ketiga- pengurutan level maslahat dan mafsadat, Keempat- pembedaan secara jeli antara al Maqasid (tujuan) dan al Wasa'il (perantara).

Menurut Ahmad Raisuni, Allah Swt tidak menciptakan makhluk sekecil dan se-remeh apapun kecuali ada tujuan dan hikmahnya tersendiri. Begitu juga dengan interaksi manusia yang mencakup ucapan, tindakan dan keputusan, akan selalu memiliki tujuan. Dan tujuan-tujuan manusia ini kemudian harus singkron dengan tujuan pembuat syari'at (Allah Swt dan Rasulnya). Berkaitan dengan hal ini timbul kaidah fiqh "al Umur bi maqasidiha" (segala sesuatu tergantung tujuannya). Untuk menguatkan kesimpulannya ini, penulis menyertakan beberapa ayat al Qur'an yang berkaitan dengan hal ini, di antaranya adalah : Qs. Ad duhkan: 38 dan al Qamar: 49.

Yang menarik dari penjelasannya seputar at Ta'lil (motif hukum) ini, adalah keyakinan Ahmad Raisuni akan posisi asal dari hukum syari'at adalah mu’alllalah (memiliki motif) termasuk lingkup ibadah. Walaupun pada tataran praktisnya, ada beberapa hukum syari'at (lingkup ibadah) yang belum bisa diungkap motif dan hikmahnya, untuk itulah – menurut penulis - sekiranya para pakar harus terus berusaha mengungkapnya. (Hlm. 42-43)

Kemudian setiap al Maqasid (tujuan) ini harus memiliki dalil syar'i (argumen yang valid), hal ini merupakan kaidah kedua yang ditawarkan oleh penulis. Ada tiga dalil yang dijadikan oleh Ahmad Raisuni sebagai alat untuk mengungkap MS sekaligus untuk menguatkan eksistensinya. Pertama- Penguasaan bahasa arab, mengutip statemen as Syatibi dalam pembahasan tujuan Allah Swt dalam menetapkan syari'at kepada umat manusia, bahwa: " al Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab, maka tidak ada jalan untuk memahami substansi dan tujuannya kecuali dengan memahami bahasa ini " (al Muwafaqat: 2/64). Kedua- melalui metode penemuan illat (motif hukum), yaitu mencakup teks al Qur'an dan as Sunnah, Ijma' (konsesus ulama), isyarat terhadap satu tujuan, dan al Munasabah (keselarasan antara hukum dan obyeknya). Ketiga- al Istiqra' (penelitian) dengan mengkaji secara detail beberapa kasus dan atau beberapa teks dalam lingkup syari'at, kemudian mengambil konklusi sebuah maqasid (tujuan) dari penelitian tersebut.

Berkaitan dengan kaidah level maslahat dan mafsadat, menurut Ahmad Raisuni menertibkan urutan kemaslahatan dan kemafsadatan dianggap hal penting dalam kaidah MS (Hlm. 68). Sebagaimana kita ketahui bahwa kemaslahatan terbagai ke dalam tiga tingkatan yaitu dharuriyat (primer), hajiyat (sekunder) dan tahsiniyat (tersier), masing-masing tingkatan ini memiliki al Mukammilat (penyempurna). Ia menegaskan juga bahwa sebagaimana MS memiliki teori pengurutan antara kemaslahatan dan kemafsadatan, al Wasa’il (perantara) juga memiliki tingkatan yang sama sebagaimana al Maqasid.

Ahmad Raisuni menguatkan kaidah tingkatan maslahat dan mafsadat ini dengan realitas kehidupan, bahwa antara jenis makhluk ada perbedaan, bahkan - dari segi kualitas - satu jenis pun terdapat perbedaan. Ketika penulis mengembalikan realitas ini kepada teks al Qur’an, ia mengutip firman Allah « Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang di ajak berdialog langsung dengan Allah, dan sebagian yang lain ditinggikan beberapa derajat” (Qs. Al Baqarah : 253) bahwa para utusan Allah Swt pun memiliki tingkat perbedaan. Sedangkan dalam sebuah hadits, Ahmad Raisuni mengutip statemen Rasulullah ketika ditanya tentang amal perbuatan yang paling dicintai oleh Allah Swt, « Sholat pada waktunya, kemudian membahagiakan kedua orang tua, kemudian berjuang di Jalan Allah «. (HR. Bukhori dan Muslim)

Adapun pengurutan tingkat mafsadat, penulis mereferensikan kaidahnya kepada firman Allah (yang artinya) « Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang untuk dikerjakan, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia ». (Qs. an Nisa : 31) dalam tafsirnya, Ibn Asyur mengklasifikasi perbuatan ma’siat ke dalam katagori besar dan kecil. Referensi lain adalah sabda Rasulullah Saw: « Dosa paling besar adalah menyekutukan Allah, kemudian mendurhakai kedua orang tua, kemudian melakkukan kesaksian palsu « (HR. Bukhori). Dari kaidah pengurutan ini, kita mengenal teori yang menyatakan bahwa: « Syari’at akan menupayakan tercapainya sesuatu yang paling maslahat walaupun harus membiarkan maslahat-maslahat lainnya terlewat, dan ia akan mencegah sesuatu yang paling mafsadat walaupun harus melalui mafsadat-mafsadat lainnya ».

Yang menarik, sebagai penutup dari pembahasan ini, Ahmad Raisuni mengutip ungkapan hikmah bahwa : orang yang cerdas bukanlah mereka yang dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk kemudian memillih yang baik, akan tetapi orang yang mampu membedakan antara yang paling baik diantara yang baik dan yang paling madharat di antara yang madharat. (Hlm. 75-76)

Kaidah terakhir, adalah membedakan antara al Maqasid (tujuan) dan al Wasa’il (perantara), definisi « wasilah » adalah: sesuatu yang dijadikan sebagai perantara untuk menggapai tujuan, ia sendiri bukan merupakan tujuan. Kaidah ini oleh Ahmad Raisuni dikuatkan dengan statemen Imam al Qarrafi yang menyatakan bahwa muara hukum ada dua hal, yaitu al Maqasid (tujuan) yang mencakup maslahat-mafsadat, dan al Wasail (perantara) yang menjadi jalan untuk mencapai kepada tujuan. (Hlm. 78-79). Ahmad Raisuni kemudian mencoba memaparkannya dengan sebuah contoh, ia mengutip Qs. al Jum’at ayat : 9 yang memuat perintah as Sa’yu (bergegas) dan larangan al Bai (jual beli). Menurutnya, perintah dan larangan di sini bukan sesuatu yang dituju secara dzatnya, akan tetapi hanya sebagai perantara, dimana as Sa’yu (bergegas) adalah untuk tujuan sholat jum’at di masjid, begitu juga pelarangan al Bai (jual beli) pada waktu tiba sholat Jum’at, yaitu untuk tujuan terlaksananya sholat tersebut, karena transaksi jual beli akan mengganggu pelaksanaan sholat Jum’at. (Hlm. 78)

Inti dari kaidah ini adalah ; bahwa kita harus bisa 1- membedakan antara al Maqasid (tujuan) dan al Wasa’il (perantara) dalam segala hal, 2- Memahami bahwa dalam hukum syari’at pun terdapat tujuan dan perantara, 3- wasilah sendiri terkadang membutuhkan wasilah lainnya untuk bisa mencapai kepadanya, maka yang terakhir ini disebut sebagai wasilatu al wasilah (perantaranya perantara), dan yang demikian ini dianggap juga sebagai tujuan dari wasilah yang kedua. Adapun status hukum al Wasa’il tergantung tujuannya.

Sebagai contoh : perintah untuk mengeluarkan zakat fitrah berupa 1 Sha’ dari makanan, atau gandum, atau kurma, atau keju. Apakah bentuk makanan yang telah disebutkan oleh Rasulullah adalah maqasid atau wasilah?, dalam hal ini Ibn. Abbas Ra menjelaskan tujuan disyari’atkannya zakat fitrah adalah untuk membersihkan orang yang berpuasa dari keluputan dan kelalaian, juga sebagai bentuk kepedulian terhadap orang miskin. Maka menurut Ahmad Raisuni, bentuk-bentuk makanan dalam hadist di atas bukan merupakan tujuan akan tetapi hanya sebuah wasilah yang bisa berubah sesuai dengan tempat dan waktu. (Hlm. 83-84)

C. Manfaat kajian Maqasid Syari’ah :
Ada lima faedah yang diebutkan oleh penulis dalam bukunya, angka ini bukan merupakan suatu pembatasan atas manfaat-manfaat dari kajian MS, akan tetapi hanya sebagai contoh saja, sebab tidak menutup kemungkinan terdapat manfaat lain yang lebih luas jangkauannya.

1- MS sebagai kiblat para mujtahid
Istilah ini sebenarnya statemen imam al Ghazali yang dikutip oleh imam as Suyuthi dalam bukunya seputar pro-kontra penutupan pintu ijtihad. Menurut Ahmad Raisuni, kajian MS akan memberikan manfaat yang luar biasa bagi kalangan mujtahid. Dengan menguasainya, orientasi perhatian mereka akan selalu mengarah pada « tujuan » dibalik sisi lahir teks al Qur’an dan as Sunnah. al Ghazali dalam hal ini menganjurkan kepada pakar yurispunden Islam untuk berusaha mengkaji rahasia suatu perbuatan dan perkataan. (Hlm. 91-92)

Berkaitan dengan manfaat ini, Ahmad Raisuni juga menyinggung aliran-aliran dalam penafsiran teks agama. Ia membagi ke dalam tiga golongan: Pertama- al Ittijah al Maqasidi, yaitu ulama yang mengorientasikan tafsirnya pada MS, mereka meyakini bahwa Shohib an Nash (Allah dan Rasul-Nya) memiliki tujuan tertentu dibalik khitob (statemennya), kelompok ini dikenal proporsional dalam menyandarkan tafsirnya pada MS. Kedua, al Ittijah al Lafdzi, yaitu aliran yang hanya menyandarkan pada sisi lahir teks al Qur’an dan as Sunnah, tanpa memandang apa yang ada di balik teks, Ketiga, al Ittijah at Taqwili, yaitu mereka yang berlebihan dalam menyandarkan tafsirnya pada MS, tidak mengikat pada teori dan kaidah MS yang ditetapkan oleh pakar-pakarnya, sehingga terkesan serampangan dalam menafsirkannya. (Hlm. 94)

2- MS sebagai methode berpikir dan menganalisa.
Menurut Ahmad Raisuni, kajian MS bukan hanya layak dikonsumsi oleh para fuqaha dan mujtahid saja, akan tetapi bisa dikonsumsi oleh semua kalangan. Manfaatnya akan dirasakan sesuai dengan kadar pemahaman yang didapat. Paling tidak, akan memberikan imbas positif pada pola pikir dan cara pandang manusia. Bahwa sebelum melangkah dan mengerjakan sesuatu, ia akan mempertimbangkan prioritas tujuan yang harus dicapai, seberapa besar imbas positif dari tujuan tersebut, sehingga ia akan memfokuskan perhatian dan mencurahkan kemampuan dalam mengerjakan sesuatu. (Hlm. 99-104).

Barometer maslahat-mafsadat juga merupakan manfaat kajian MS bagi kalangan non fuqaha dan mujtahid, seperti mereka yang menekuni bidang ekonomi, politik, pendidikan, kemasyarakatan, kebudayaan dst. Mereka akan berusaha membedakan antara yang paling maslahat untuk kemudian dikerjakan, atau yang paling mafsadat untuk kemudian dihindari. Dengan cara pandang ini, pelaku ekonomi (misalkan) tidak akan melakukan proyek pengembangan ekonomi dan kesejahteraan, dengan mengorbankan pemeliharaan entitas manusia melalui dehumanisasi dan dekadensi moral. (Hlm. 101)

3- Orientasi buka-tutup jalan
Manfaat lain yang didapat dari kajian MS adalah pola membuka dan memblokir jalan, atau dalam istilah ushul fiqh-nya adalah « Adz Dzara’i : Saddan wa Fathan ». Pada saat kita memandang muara dari suatu perbuatan atau tindakan, kita akan mampu menghukumi « jalan « yang akan menuju ke muara tersebut. Inilah yang dimaksud dengan manfaat kajian MS, yaitu akan mampu menghukumi boleh tidaknya « proses / jalan » yang menuju ke muara suatu perbuatan. Sebenarnya, menurut Ahmad Raisuni, Orientasi membuka dan memblokir jalan (ad Dzara’i : Saddan wa Fatthan) ini merupakan contoh aplikatif dari kaidah MS yang berkaitan dengan membedakan antara tujuan dan perantara.

Dari pola buka-tutup jalan ini, kita mengenal kaidah fiqh « perkara yang menjadi penyempurna suatu kewajiban, maka hukumnya juga wajib «. Begitu juga ketika muara perbuatan atau tindakan itu negatif, maka jalan yang mengantarkan ke arahnya akan dilarang dan harus diblokir. (Hlm. 105-107)

4- Memperhatikan tujuan-tujuan manusia
Adalah kemampuan untuk mengapresiasi dan mempertimbangkan tujuan-tujuan hidup manusia, artinya bisa memposisikan «tujuan » sebagai barometer dalam berinteraksi sosial. Dalam hal ini Ahmad Raisuni mengutip statemen Imam as Syatibi yang membagi MS ke dalam dua katagori inti, Pertama- tujuan Allah Swt dan Rasulnya, Kedua- tujuan para manusia mukallaf (dewasa), masih menurut as Syatibi : bahwa hukum syari’at akan melihat tujuan sebagai barometer setiap tindakan dan perbuatan manusia « (al Muwafaqat : 2/323)

Di sini kita mengenal kaidah fiqh « setiap sesuatu tergantung tujuannya « atau kaidah dalam fiqh mu’amalat «Barometer akad transaksi adalah tujuan dan maknanya, bukan lafadz dan susunan kalimatnya«. Menguatkan eksistensi manfaat ini, penulis mengutip statemen Ibn. al Qayim: bahwa hal ini sebagaimana dalam lingkup Ibadah, niat atau tujuan juga menjadi barometer dalam interaksi sosial. (Hlm. 114)

5- MS menetralisir kejenuhan dan memupuk etos kerja
Ada ungkapan yang sangat terkenal berkaitan dengan manfaat kajian MS, yaitu : « Orang yang telah memahami tujuan, ia akan merasakan ringan atas segala rintangan ».

Menurut Ahmad Raisuni, apabila kita tidak mengetahui tujuan dan titik akhir dari suatu aktivitas dan kegiatan, maka kita akan cepat merasa bosan, malas, ragu, bahkan menghentikan aktivitasnya. Hal ini akan kerap terjadi pada saat kita menjalankan aktivitas atau kegiatan yang membutuhkan ketekunan, pengorbanan, keberlangsungan dalam waktu yang lama, serta membutuhkan kesungguhan. (Hlm. 115)

Dalam menjabarkan manfaat ini, Ahmad Raisuni juga menyinggung tentang cara perintah, larangan, atau anjuran dalam al Qur’an maupun as sunnah yang sering dibarengi dengan alasan dan sebabnya, hal ini menurut penulis tidak lain agar para hamba yang terkena khitob at taklif (pembebanan) menjalankan perintah, menjauhi larangan atau menetapi anjuran dengan penuh kesadaran.

6- MS sebagai perangkat da’wah Islamiyah.
Beranjak dari Firman Allah « «Katakanlah : inilah jalanku, saya akan mengajak kepada jalan yang di ridhoi oleh Allah dalam keadaan saya dan orang yang mengikutiku penuh perhatian dan pemahaman komprehensif » (Qs. Yusuf : 108)

Menurut penulis, dalam ayat ini terdapat dua hal berkaitan dengan dakwah : pertama, ajakan untuk menekuni jalan yang di ridhoi oleh Allah Swt, kedua- ajakan ini harus diejawentahkan dengan penuh perhatian dan pemahaman. (Hlm. 123)

Untuk itu, berkaitan dengan poin kedua, seorang da’i harus memahami kondisi sosial masyarakatnya, kondisi tempat dimana ia berdakwah, juga kondisi zaman pada waktu ia berdakwah, di samping ia juga harus memahahi subyek dakwah dalam hal ini pemahaman-pemahamn seputar agama. Dan dakwah dengan cara seperti ini tidak akan bisa dicapai kecuali seorang da’i telah menguasai kajain Maqasid syari’ah, memahami tujuan dan hikmah dalam syari’at Islam.

Penulis mencontohkan sosok da’i yang memenuhi kriteria ini adalah Dr. Yusuf al Qardhwai, menurutnya : ia telah memahami secara komprehensif kajian maqasid syari’ah. Dalam pembahasan ini juga penulis mengupas relasi antara kajian aqidah dan maqasid syari’ah.

Penutup :
Demikian ulasan buku seputar maqasid yang ditulis oleh Dr. Ahmad Raisuni, ternyata kajian maqasid syari’ah adalah hal yang sangat menarik bagi banyak kalangan, dan ia sendiri merupakan pengembangan kajian dari Ushul Fiqh. Buku ini, menurut saya adalah buku yang layak dikonsumsi oleh kalangan yang berminat memahami kajian maqasid syari’ah.


• Dipresentasikan dalam acara bedah buku yang diadakan oleh Departemen Sumber Daya Insani (SDI) Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Maroko, pada hari Minggu 30 Agustus 2009.