Oleh: Arwani Syaerozi
Fikih atau biasa disebut dengan hukum Islam beserta perangkat-perangkatnya, seperti Ushl al Fiqh dan Qawaid al Fiqh, adalah diantara unsur-unsur penting dalam peradaban Islam. Semenjak pertama kali Islam diwahyukan kepada Muhammad SAW sebagai utusan, semenjak itu pula benih-benih wacana fikih digulirkan di tengah komunitas muslim.
Dalam sejarahnya, kajian fikih ini mulai memasuki tahap perkembangan secara pesat setelah berakhirnya periode Khulafa ar Rasyidin (kepemimpinan empat sahabat Nabi), lebih tepatnya pada masa para pemimpin mujtahid, seperti Abu Hanifah (w: 150 H / 767 M), Malik bn Anas (w: 179 H / 796 M), Muhammad bn Idris as Syafi’I (w: 204 H / 820 M), dan Ahmad bn Hanbal (w: 241 H / 855 M). Pada periode ini, literatur Islam semakin pesat berkembang, khususnya yang berkaitan dengan kajian fikih atau hukum Islam yang dibarengi juga dengan munculnya pakar-pakar kelimuan yang berkaitan, seperti ilmu hadits, tafsir, ushul fikih.
Keterbatasan teks baik al Qur’an maupun as Sunnah, yang mana telah final pasca wafatnya Rasulullah SAW, pada saat yang sama pola hidup manusia melalui kreativitas dan inovasinya terus berkembang seiring dengan perputaran waktu, telah mengharuskan para ulama fikih untuk bekerja keras dalam berijtihad untuk menemukan status hukum fikih dari setiap kasus dan persoalan yang terjadi di tengah masyarakat muslim.
Berkaitan dengan istinbath al Ahkam (pengambilan hukum fikih), proses ini akan memberikan konklusi hukum yang tidak mengena jika tidak dibarengi dengan pemahaman paripurna terhadap konsep dan kaidahnya. Dewasa ini, kita bisa melihat dua aliran yang cukup ekstrim, yang pertama kaum trekstualis, hanya menyandarkan proses pengambilan hukum fikih pada dzahir (sisi lahir) dari teks al Qur’an maupun as Sunnah, sehingga kesimpulan hukum yang dihasilkannya pun terkesan kaku, tidak jarang berbenturan dengan rasio dan realita.
Kelompok kedua adalah kalangan liberalis, yang dengan lantang menyuarakan pendekatan kemaslahatan dalam proses pengambilan hukum fikih. Di mana kemaslahatan yang dimaksud oleh kalangan ini adalah sebuah konsep “liar” yang tidak terikat oleh teks al Qur’an maupun as Sunnah, bahkan dalam beberapa hal, terkesan melampaui koridor Islam.
Kedua kalangan ini sangat ekstrim, yang pertama membatasi istinbath al Ahkam hanya pada sisi lahir dari teks al Qur’an dan as Sunnah saja, yang mengakibatkan lingkup ijtihad menjadi sempit. Sedangkan yang kedua tampak ekstrim dengan menyuarakan kaidah kemaslahatan “tanpa batas” yang cenderung ingin melepas proses ijtihad dari perhatian terhadap teks keagamaan.
Padahal, pada saat perangkat fikih berupa ushul fikih diwacanakan oleh as Syafi’i melalui karyanya ar Risalah, ulama-ulama fikih mulai membahas secara seksama segala hal yang berkaitan dengannya. al Juwaini misalnya, melalui bukunya al Burhan menyinggung Maqasid Syari’ah, begitu juga dengan muridnya al Ghazali dalam buku al Mustashfa. al Izz bn Abd. Salam melalui Qawaid al Ahkam membahas tuntas seputar kemaslahatan dalam koridor Maqasid Syari’ah, atau as Syatibi yang secara eksplisit mengangkat tema Maqasid Syari’ah dalam bukunya al Muwafaqat sebagai unsur pendukung Ushul Fikih produk ulama abad sebelumnya. Melihat realitas adanya ekstrim kiri dan ekstrim kanan di atas, kaidah kemaslahatan dalam koridor Maqasid Syari’ah yang digagas oleh para ulama ini patut untuk terus diwacanakan dewasa ini.
Dari sinilah kita perlu mendiskusikan, sejauh mana kaidah kemashlahatan ditolerir dalam proses pengambilan hukum fikih, Di manakah posisi Maqasid Syari’ah (tujuan syari’at) dalam proses ijtihad. Selama ini kita pun banyak mengenal pakar-pakar Fikih, Ushul Fikih, Tafsir Ahkam, Hadits Ahkam dari ulama-ulama yang hidup sebelum abad ke 21, yang mana mereka memiliki ide dan gagasan seputar kemaslahatan dan maqasid syari’ah, baik yang tertuang secara ekslpisit maupun secara implisit dalam karya-karya tulis mereka.
Sudah menjadi keharusan bagi para intelektual dan akademisi muslim yang berkecimpung dalam ranah kajian Islam untuk terus mengaktualisasikan konsep maqasid Syari’ah agar dapat dijadikan sebagai pijakan dalam proses istinbath al Ahkam dalam menyikapi kasus baik yang berkaitan dengan interaksi sosial, dunia bisnis dan ekonomi, lingkup politik, maupun kemajuan teknologi. Mengutip statemen Ibn Asyur (w: 1973 M) “Agar kita faham mana yang masuk dalam katagori tujuan, yang mana Syari’at dalam hal ini akan memprioritaskan perhatiannya, dan mana yang masuk dalam katagori perantara, sehingga ia hanya akan menjadi batu loncatan untuk merealisasikan tujuan” (Maqasid as Syari’ah al Islamiyah: 141).
Fikih atau biasa disebut dengan hukum Islam beserta perangkat-perangkatnya, seperti Ushl al Fiqh dan Qawaid al Fiqh, adalah diantara unsur-unsur penting dalam peradaban Islam. Semenjak pertama kali Islam diwahyukan kepada Muhammad SAW sebagai utusan, semenjak itu pula benih-benih wacana fikih digulirkan di tengah komunitas muslim.
Dalam sejarahnya, kajian fikih ini mulai memasuki tahap perkembangan secara pesat setelah berakhirnya periode Khulafa ar Rasyidin (kepemimpinan empat sahabat Nabi), lebih tepatnya pada masa para pemimpin mujtahid, seperti Abu Hanifah (w: 150 H / 767 M), Malik bn Anas (w: 179 H / 796 M), Muhammad bn Idris as Syafi’I (w: 204 H / 820 M), dan Ahmad bn Hanbal (w: 241 H / 855 M). Pada periode ini, literatur Islam semakin pesat berkembang, khususnya yang berkaitan dengan kajian fikih atau hukum Islam yang dibarengi juga dengan munculnya pakar-pakar kelimuan yang berkaitan, seperti ilmu hadits, tafsir, ushul fikih.
Keterbatasan teks baik al Qur’an maupun as Sunnah, yang mana telah final pasca wafatnya Rasulullah SAW, pada saat yang sama pola hidup manusia melalui kreativitas dan inovasinya terus berkembang seiring dengan perputaran waktu, telah mengharuskan para ulama fikih untuk bekerja keras dalam berijtihad untuk menemukan status hukum fikih dari setiap kasus dan persoalan yang terjadi di tengah masyarakat muslim.
Berkaitan dengan istinbath al Ahkam (pengambilan hukum fikih), proses ini akan memberikan konklusi hukum yang tidak mengena jika tidak dibarengi dengan pemahaman paripurna terhadap konsep dan kaidahnya. Dewasa ini, kita bisa melihat dua aliran yang cukup ekstrim, yang pertama kaum trekstualis, hanya menyandarkan proses pengambilan hukum fikih pada dzahir (sisi lahir) dari teks al Qur’an maupun as Sunnah, sehingga kesimpulan hukum yang dihasilkannya pun terkesan kaku, tidak jarang berbenturan dengan rasio dan realita.
Kelompok kedua adalah kalangan liberalis, yang dengan lantang menyuarakan pendekatan kemaslahatan dalam proses pengambilan hukum fikih. Di mana kemaslahatan yang dimaksud oleh kalangan ini adalah sebuah konsep “liar” yang tidak terikat oleh teks al Qur’an maupun as Sunnah, bahkan dalam beberapa hal, terkesan melampaui koridor Islam.
Kedua kalangan ini sangat ekstrim, yang pertama membatasi istinbath al Ahkam hanya pada sisi lahir dari teks al Qur’an dan as Sunnah saja, yang mengakibatkan lingkup ijtihad menjadi sempit. Sedangkan yang kedua tampak ekstrim dengan menyuarakan kaidah kemaslahatan “tanpa batas” yang cenderung ingin melepas proses ijtihad dari perhatian terhadap teks keagamaan.
Padahal, pada saat perangkat fikih berupa ushul fikih diwacanakan oleh as Syafi’i melalui karyanya ar Risalah, ulama-ulama fikih mulai membahas secara seksama segala hal yang berkaitan dengannya. al Juwaini misalnya, melalui bukunya al Burhan menyinggung Maqasid Syari’ah, begitu juga dengan muridnya al Ghazali dalam buku al Mustashfa. al Izz bn Abd. Salam melalui Qawaid al Ahkam membahas tuntas seputar kemaslahatan dalam koridor Maqasid Syari’ah, atau as Syatibi yang secara eksplisit mengangkat tema Maqasid Syari’ah dalam bukunya al Muwafaqat sebagai unsur pendukung Ushul Fikih produk ulama abad sebelumnya. Melihat realitas adanya ekstrim kiri dan ekstrim kanan di atas, kaidah kemaslahatan dalam koridor Maqasid Syari’ah yang digagas oleh para ulama ini patut untuk terus diwacanakan dewasa ini.
Dari sinilah kita perlu mendiskusikan, sejauh mana kaidah kemashlahatan ditolerir dalam proses pengambilan hukum fikih, Di manakah posisi Maqasid Syari’ah (tujuan syari’at) dalam proses ijtihad. Selama ini kita pun banyak mengenal pakar-pakar Fikih, Ushul Fikih, Tafsir Ahkam, Hadits Ahkam dari ulama-ulama yang hidup sebelum abad ke 21, yang mana mereka memiliki ide dan gagasan seputar kemaslahatan dan maqasid syari’ah, baik yang tertuang secara ekslpisit maupun secara implisit dalam karya-karya tulis mereka.
Sudah menjadi keharusan bagi para intelektual dan akademisi muslim yang berkecimpung dalam ranah kajian Islam untuk terus mengaktualisasikan konsep maqasid Syari’ah agar dapat dijadikan sebagai pijakan dalam proses istinbath al Ahkam dalam menyikapi kasus baik yang berkaitan dengan interaksi sosial, dunia bisnis dan ekonomi, lingkup politik, maupun kemajuan teknologi. Mengutip statemen Ibn Asyur (w: 1973 M) “Agar kita faham mana yang masuk dalam katagori tujuan, yang mana Syari’at dalam hal ini akan memprioritaskan perhatiannya, dan mana yang masuk dalam katagori perantara, sehingga ia hanya akan menjadi batu loncatan untuk merealisasikan tujuan” (Maqasid as Syari’ah al Islamiyah: 141).