(Dipandu oleh Ahmad Marzouk, wartawan senior radio BBC London)
Pada Februari tahun 2004, Maroko mulai menerapkan undang-undang baru, yang draftnya sempat menjadi sumber perdebatan sengit berbulan-bulan.
UU bernama Moudawana atau Mudawwanah al Usrah itu digambarkan mengubah banyak ketentuan pernikahan, perceraian dan pembagian warisan.
Mengapa undang-undang itu masih menjadi bahan pembicaraan hangat, lima tahun setelah mulai diberlakukan, seperti film komedi laris Number One.
Musik pengiring film tersebut populer di Maroko, sebagaimana alur ceritanya.
Sila dengar Paket Minggu: Kontroversi UU Keluarga Maroko
Tokoh utama film komedi ini adalah Aziz, yang digambarkan suka emperlakukan para wanita yang bekerja di perusahaannnya dan istrinya secara semena-mena.
Meski demikian, belakang karena pengaruh pesona istrinya, Aziz mulai lebih menghormati wanita dan berubah menjadi pria idola mereka.
Film Number One dinilai mencerminkan perubahan tajam yang dibawa oleh undang-undang Moudawana. Berdasarkan UU tersebut, wanita di Maroko kini bebas untuk menikah tanpa perlu izin kerabat pria, dan lebih mudah mengajukan tuntutan perceraian.
Mengenyam kebebasan
Di mata orang luar, perubahan status hukum bagi Wanita Maroko ini tidak begitu kentara, sebab banyak dari mereka telah mengenyam kebebasan seperti rekan mereka di dunia Barat. Setidaknya itulah pengamatan Maryam El-Wahdah yang tengah menyelesaikan program master sastra Arab di universitas Cadi Eyyadh di Marakesh.
Kondisi kehidupan kaum wanita di Maroko, seperti yang diamati Maryam El-Wahdah, dirasa sebagian kalangan masih perlu diperluas.
Apa penyebabnya? Arwani Syaerozi, adalah peneliti syariah yang tengah merampungkan program doktor di Universitas Mohammed V di Rabat.
Menurut Arwani, Moudawana menjanjikan pemberdayaan seperti dikehendaki aktivis hak wanita dan kubu sekuler di Maroko.
Dan, Sanae, seorang wanita muda yang berprofesi sebagi guru mengatakan telah mendapat manfaat dari UU Moudawana. Sanae bisa bercerai dan perceraian itu mungkin tidak akan terjadi tanpa Moudawana.
Di Pengadilan Keluarga di Kota Rabat, banyak orang mengurus perkara seputar sengketa perkawinan mereka.
Moudawana atau UU Keluarga memang mempercepat proses perceraian bagi wanita. Tapi, bagaimana kaum pria di negara memandang undang-undang tersebut?
"Ini bagus untuk wanita Maroko, sebab mereka mendapatkan hak," kata seorang pria.
"Tapi, bagi pria, ini mungkin benar-benar sia-sia. Akibat Moudawana, banyak orang bercerai. Mereka juga berfikir dua kali sebelum menikah," katanya.
Seorang pria menyatakan penolakan yang tegas. "Perlu waktu lama untuk membangun rumah tangga, dan akibat masalah sepele, anda bisa kehilangan segalanya. Tidak ada stabilitas antara istri dan suami," ujar si pria.
Dalam masa beberapa tahun setelah Moudawana diterapkan, jumlah perceraian sempat naik tajam, sebelum turun lagi.
Faktor mentalitas
Sementara itu, jumlah poligami meningkat.dan banyak perempuan usia d bawah 18 tahun diperkenankan menikah.
Menurut aktivis hak asasi manusia, Fatima Boutaleb, kondisi ini terjadi akibat Moudawana tidak diterapkan sebagaimana mestinya.
Menurut Fatima Boutaleb, undang-undang tersebut prestasi terbesar bagi kami kaum wanita Maroko, dan para aktivis wanita.
"Namun, pada saat yang sama, setelah lima tahun, kami kini dihadapkan dengan banyak tantangan, seperti kurangnya pelatihan tenaga yang bertugas menerapkan undang-undang," kata Fatima.
Dia juga menyinggung faktor mentalitas. "Kami benar-benar yakin bahwa orang belum mehamami benar isi dan makna, serta alasan di balik revisi undang-undang keluarga ini," katanya.
Bagi sebagian wanita Maroko, Moudawana mungkin mendatangkan kebebasan baru bagi mereka, termasuk kesempatan belajar bagi wanita seperti pengalaman wanita ini.
Namun, bertahun-tahun setelah diberlakukan, undang-undang itu masih menjadi topik hangat dalam kehidupan sehari-hari Maroko, kata Maryam el Wahdah.
Perdebatan mengenai UU Keluarga tidak lepas latar belakang sosial politik Maroko sendiri.
Meski mayoritas penduduknya muslim, dan tradisi Islam dan Arab masih berakar kuat, Maroko juga masih memiliki banyak warisan kolonial Prancis, kata Arwani Syaerozi.
(Sumber:http://www.bbc.co.uk/indonesian/indepth/story/2009/03/090315_morroccanact.shtml)