Oleh: Arwani Syaerozi
Lailatul qadar (malam kemuliaan) adalah momen yang sangat berkah bagi kaum muslim, keberkahannya telah diabadikan dalam al Qur'an melalui surat al Qadar. Namun, kapan tepatnya lailatul qadar itu tiba? Jawabannya masih misteri, kita tidak bisa memastikan pada tanggal berapa ia tiba. Rasulullah Saw sendiri hanya memberi sinyal kepada kita bahwa lailatul qadar jatuh pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.
Di Maroko, masyarakat antusias menyambut tanggal dua puluh tujuh Ramadhan, orang-orang menyambutnya secara spesial. Di rumah - secara sederhana – mereka mempersiapkan penyambutan dengan membakar bukhur (jenis kayu beraroma wangi), menyediakan menu untuk berbuka puasa berbeda dari hari-hari biasanya, sore ini menu makanan lebih variatif.
Pada malam harinya, masjid-masjid dipenuhi dengan kegiatan religius. Hampir seluruh masjid besar di Maroko dipadati masyarakat untuk mengikuti ritual khusus pada malam tersebut. Kegiatannya berkisar pada tadarrus al Qur'an, pembacaan amdah nabawiyah (pujian kepada nabi Muhammad), syair-syair sufi dan siraman ruhani.
Menjelang waktu Isya' tiba, masyarakat berbondong-bondong mengunjungi masjid, seperti Masjid al Umrah yang berada di kelurahan Ya'kub Manshur Rabat. Kegiatan di masjid ini hampir sama dengan masjid-masjid lainnya di bumi Maghribi. Sebelum sholat Isya', diisi ceramah agama oleh seorang Kyai seputar lailatul qadar dan nuzul al Qur'an. Usai sholat taraweh 20 raka'at mereka antri untuk masuk ke dalam tenda besar di halaman masjid yang disediakan oleh panitia, ternyata di situ telah disediakan meja-meja bundar dengan bangku-bangku melingkar. Untuk sekedar minum teh naknak dan menikmati kue ringan khas Maroko. Dan bagi yang berminat - usai menikmati hidangan - bisa bergabung dengan para qurra' (pembaca al Qur'an) mendengarkan baca'an alqur'an di dalam masjid hingga sepertiga akhir malam, untuk kermudian mereka melanjutkan sholat malam secara berjama'ah hingga menjelang terbit fajar.
Di luar aktivitas yang berkaitan dengan masjid, ada keunikan tersendiri dalam menyambut malam dua puluh tujuh ini. Yaitu bertebarannya studio photo dadakan di pinggir-pinggir jalan, lengkap dengan tanduk artistik layaknya singgasana seorang raja. Di setiap studio-studio photo berkerumun anak-anak kecil dengan dandanan narsis (pakaian, aksesoris, dan tampilan rambut serba baru) mereka antri untuk bergaya di depan kamera, para orang tua mereka pun harus rela meluangkan waktunya hanya untuk mengantar buah hati menuju studio photo.
Konon, tradisi photo-photo di malam dua puluh tujuh Ramadhan adalah salah satu usaha mereka dalam mengharap keberkahan lailatul qadar, malam yang kualitasnya lebih baik dari seribu bulan, satu malam yang teka-teki jatuhnya hanya bisa dijawab oleh mereka yang bersungguh-sungguh dalam meraihnya.