Ada satu kaidah substansial dalam Islam, yaitu : “ al Islam sahalih likulli zaman wa makan “ (Islam selalu sesuai dengan ruang dan waktu), kaidah ini sebenarnya terinspirasi dari firman Allah Swt; “ Sesungguhnynya kami-lah yang menurunkan al Qur’an, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya” (Qs. al Hijr: 9), dan sabda Rasul Saw: “ Islam itu unggul dan tidak terungguli ” (HR. al Baihaqi: 205). Dalam ranah sejarah, usia peradaban Islam telah mendekati hitungan millennium kedua, tepatnya 15 abad yang silam misi Islam pertama kali didakwahkan Rasulullah Saw di semenanjung kepulauan Arab, kini Islam telah tersebar di segala penjuru, sepanjang itu pula Islam – melalui interpretasi penganutnya - telah berinteraksi dengan ruang dan waktu. Maka, klaim universalitas Islam di atas sejatinya akan selalu mendapat tantangan di setiap zaman. Pertanyaan terhadap klaim tersebut adalah: apanya yang selalu sesuai dengan setiap ruang dan waktu? Sementara tidak diragukan saat kita menyinggung kata “ Islam “ yang pertama kali terbersit adalah lingkup syari’at, yang merupakan sharing dari akidah, dan syari’at sendiri lebih kental dengan hukum-hukum fiqh, dengan demikian apakah lingkup fiqh inilah yang dimaksud dengan eksisnya Islam sepanjang masa?
Melihat gelegat sebagian komunitas Fuqaha (yurispunden Islam) akhir-akhir ini terjebak dalam perdebatan masalah khilafiyah yang tidak substansial, semisal pro-kontra peringatan Maulid nabi dan masalah bid’ah, pakar maqasid syari’ah dari universitas Ezzitouna Tunisia Prof. Dr. Nuruddin al Khadimi mengingatkan; “ Paradigma fiqh Islam dewasa ini semestinya lebih dititik beratkan pada upaya penghayatan maqasid syari’ah, bukan hanya sebatas pemahaman teks dan pengaplikasiannya pada kasus tertentu “ (al ijtihad al maqasidi, jld: 2 hal: 35). Statemen ini penulis anggap penting dalam kaitannya dengan tulisan kali ini, karena setiap pelik persoalan agama yang timbul ditengah komunitas masyarakat muslim, jawaban hukum yang diharapkan adalah solusi hakiki bukan hanya sekedar retorika ulama yang kerap menyisakan pertanyaan kritis.
Kerangka maqasid dalam ijtihad kontemporer :
Pakar ushul fiqh dan maqasid abad ke 7 hijriyah Izzuddin bin Abd. Salam (w: 660 H / 1262 M) berargumen bahwa: “ kemashlahatan umat manusia – menurut pandangan Islam - tidak dalam satu tingkatan, ada yang layak diprioritaskan pencapaiannya, begitu juga dengan kemafsadatan, ada yang layak diprioritaskan pencegahannya “. (Qawaidu al ahkam, jld: 1 hal: 43). Hal ini mengharuskan para mujtahid (pakar ijtihad) dan mufti (pakar fatwa) lebih jeli dalam berijtihad untuk menemukan status hukum dan memfatwakannya, agar hukum fiqh selalu dirasakan “nyaman” oleh masyarakat, meminjam istilah Ibn al Qoyyim (w: 752 H / 1350 M) “ essensi syari’at adalah kemaslahatan dan kasih sayang ”. Untuk menimbang level kemashlatan dan kemafsadatan ini mereka memerlukan dua perangkat inti:
Pertama, pengetahuan seputar teori ijithad dan Ifta, ini mencakup skill tentang maqasid syari’ah, sebagaimana yang ditegaskan oleh as Syatibi (w: 790 H / 1388 M) dalam bukunya al Muwafaqat. Di sisi lain Ibn. al Qoyyim (w: 751 H / 1350 M) menguatkan: “ Pakar fiqh adalah mereka yang memahami maqasid dan titik akhir suatu tindakan “. (I’lam al Muwaqqi’in, jld: 3, hal: 5). Berkaitan dengan skill maqasid, kajian seputar “ al Munasabah “ (penyelarasan antara hukum dan sebab) juga dianggap urgen oleh al Ghazali (w: 505 H / 1112 M) yang secara singkat memaknainya dengan perhatian terhadap kemaslahatan. Bagaimana pun sub judul Ijtihad dan Ifta dalam pembahasan ushul fiqh tetap sebagai bekal rujukan bagi yurispunden Islam dewasa ini, namun pembacaan terhadap dua sub tema di atas, jangan sampai dikebiri hanya sebatas menghafal syarat dan rukun tanpa dibarengi dengan tela’ah kritis, yang pada akhirnya akan menjadikan mereka terjebak dalam kesempitan bernalar.
Kedua, pemahaman realita, dengan hanya mengandalkan teori, kecil kemungkinan yurispunden Islam bisa menarik kesimpulan hukum yang tepat dalam konteks yang dihadapi. Imam Syafi’I (w: 204 H / 820 M) pernah mengklarifikasi al qaul al qadim (pendapat lamanya) dengan memfatwakan al qaul al jadid (pendapat-pendapat baru), hal ini tidak terlepas dari kejeliannya dalam membaca realita di tengah masyarakat. Secara eksplisit dalam bukunya al Risalah beliau menegaskan: “ pakar fiqh yang tidak mengikuti perkembangan dunia finansial tidak boleh memfatwakan hukum yang berkaitan dengan masalah ini ”. dari eratnya keterkaitan “realita” ini pada akhirnya komunitas fuqaha merumuskan kaidah “ Taghayuru al ahkam bi taghayuri al azman wa al amkinah wa al a’raf ” (berubahnya hukum sesuai dengan waktu, tempat dan adat).
Pada tataran praktisnya, langkah at Tashawwur qabla at Tashdik (memahami deskripsi sebelum memutuskan desisi) juga penting diperhatikan, hal ini agar keputusan hukum benar-benar mengena pada titik persoalan. Sebagai contoh, kasus cloning (Manusia, hewan, dan tumbuhan) yang hingga saat ini masih hangat, apalagi setelah tim riset dokter Iran berhasil membuat eksperimen pada seekor kambing (September 2006). Memahami hakikat cloning, motivasi para penemu dan pengeksperimen, efek negative-positif yang timbul di masyarakat, adalah di antara unsur yang harus difahami terlebih dahulu sebelum memutuskan hukumnya. Untuk katagori cloning manusia, Dr. Nuruddin al Khadimi dalam bukunya “Cloning perspektif maqasid syari’ah” (2001), menegaskan hukum haramnya, keputusan ini sebagaimana yang dikeluarkan oleh fatwa MUI.
Selain dilandaskan pada argumen teks al Qur’an dan as Sunnah, yang mana cloning manusia secara kasat mata bertentangan dengan ayat yang menjelaskan tentang proses reproduksi yang sah, di antaranya surat an Najm: 45-46, dan sabda Rasul Saw : “ Nikahilah wanita yang penuh kasih sayang dan dapat memberikan keturunan ” (HR. Ahmad: 13594), konklusi hukum ini juga ditakar dengan Maqasid syari’ah, bagaimanapun proses cloning akan merenggut fungsi seorang bapak, Ibu, dan anak dalam struktur keluarga. Sedangkan Maqasid syari’ah konsen terhadap tiga unsur dalam keluarga ini, tercermin dengan tujuan pernikahan adalah untuk membangun bahtera rumah tangga yang sakinah, terwujudnya link kekerabatan, terciptanya regenerasi umat manusia, di samping terpenuhinya kebutuhan biologis.
Maqasid syari’ah dan pencerahan pemikiran:
Mengutip pertanyaan yang diungkapkan oleh Jamaluddin Athiyah dalam bukunya “ Nahwa Taf’il al Maqasid “ (2003), Akankah kajian Maqasid Syari’ah menjadi cabang keilmuan yang independen?, sebagai penengah, atau hanya sekedar pengembangan tematik dari ilmu ushul fiqh?. Sebenarnya pertanyaan teoritis semacam ini penulis anggap tidak terlalu substansial, sebab tiga opsi yang diajukan oleh Doktor asal Mesir tersebut lebih bersifat dikotomi ilmu pengetahuan, apapun masa depan kajian maqasid syari’ah, implementasi utamanya adalah pencerahan pemikiran bagi komunitas ulama yang konsen terhadap problematika umat melalui kerangka ijtihad fiqh.
Apabila kajian literatur Islam klasik (baik lingkup akidah maupun syari’ah) masih minim dari pengaruh pendekatan maqasid, maka kajian keilmuan Islam kontemporer justru terpanggil untuk mengambil faedah dari kajian maqasid syari’ah, hal ini terbukti dengan banyaknya tulisan, kajian, dan pengamatan yang menggunakan pendekatan maqasid. Misalnya buku “ Kerukunan beragama dalam tinjauan maqasid syari’ah”, “ cloning perspektif maqasid syari’ah “, “ Internet perspektif maqasid syari’ah “ ketiga-tiganya ditulis oleh Dr. Nuruddin al Khadimi. “ maqasid syari’ah dan problematika umat Islam kontemporer “ oleh Muhammad Yahya, “ maqasid syari’ah dan masalah Biologi “ oleh Hasan Misdaq, “ maqasid syari’ah dan interaksi sosial “ oleh Izzuddin bin Zaghibah.
Di sinilah letak ide “al Aqliyah al Maqasidiyah” (pemikiran maqasid) yang pernah ditawarkan oleh Jamaluddin Athiyah bisa penulis katakan sebagai langkah riil yang harus dikembangkan oleh komunitas yurispunden Islam. Sebab manfaat kajian maqasid syari’ah tidak hanya terbatas pada bidang ijtihad fiqh, akan tetapi dirasakan juga pada bidang-bidang lain, seperti lingkup pemikiran kontemporer, baik individu maupun masyarakat.
Senada dengan tawaran di atas, intelektual asal Maroko Ahmad Raisuni dalam bukunya “ al Fikr al Maqasidi “ (1999) menegaskan: “ setiap orang yang mendalami pengetahuan maqasid syari’ah, akan bisa merasakan manfaatnya sesuai dengan kadar pengetahuan yang dicapai, tidak hanya terbatas pada komunitas pakar fiqh dan para mujtahid saja, dengan demikian kajian maqasid syari’ah dengan perangkat dasar, teori, pembagian dan segala unsurnya akan mampu membentuk corak berfikir dan bernalar tersendiri “.
Dari uraian di atas, maka penetapan hukum haramnya menggunakan dasi, sepatu dan celana panjang pada masa penjajahan yang pernah difatwakan oleh ulama Indonesia, dengan fakta paradoksal banyaknya ulama dan muslim berdasi, bersepatu dan bercelana dewasa ini, tidak bisa dijadikan senjata untuk mengatakan Islam tidak bisa eksis mengikuti ruang dan waktu, sebab kasus tadi bersifat kondisional bukan prinsipil. Untuk itulah pertanyaan kritis atas universalitas Islam dalam prolog tulisan ini telah membawa kita pada suatu kesimpulan bahwa: pada akhirnya yang bersifat selalu sesuai dengan ruang dan waktu, pastilah sesuatu yang bersifat prinsip-prinsip dasar atau moral values, yakni nilai-nilai moral yang universal (Maqasid Syari’ah) bukan pemecahan dan jalan keluar Islam yang faktual dan ad hoc pada suatu zaman tertentu. Wallahu A’lam.
* Tulisan ini dipublikasikan di majalah Laduni Cirebon edisi ketiga