Oleh: Arwani Syaerozi*
Indonesia dari sisi ekonomi dan finansial dalam keadaan mengkhawatirkan, konklusi ini saya tarik dari peryataan menteri keuangan Sri Mulyati Indrawati (10/5) yang mengindikasikan perekonomian Negara saat ini mirip seperti saat akan terjadinya krisis sepuluh tahun yang silam. Derasnya aliran dana asing yang masuk ke kawasan Asia, termasuk Asia Tenggara, akhir-akhir ini, dikhawatirkan dapat menyeret ekonomi regional ke jurang kehancuran, sehingga apabila ekonomi global tiba-tiba bergejolak dikhawatirkan Indonesia akan mengalami krisis kembali.
Reformasi sebagai langkah strategis menghadapi multi krisis yang diawali dengan krisis ekonomi dan finansial pada tahun 1997 telah diprediksi oleh banyak kalangan sebagai startpoint bangkitnya bangsa Indonesia dari keterpurukan selama pemerintahan orde baru, pada kenyataannya sejauh reformasi berlalu, nasib bangsa ini belum menunjukkan kemajuan yang signifikan.
Secara tegas pernyataan di atas ditampik oleh wakil presiden Jusuf Kalla (11/5) dengan menyuguhkan argumentasi perbedaan situasi bangsa saat menjelang krisis 1997 dengan kondisi tahun 2007, Wapres mencontohkan jika pada saat krisis cadangan devisa yang dimiliki hanya sekitar 20 milyar dollar AS, sekarang cadangan devisa yang ada sekitar 55 milyar dollar AS, data lainnya, pada saat krisis ekspor nasional baru mencapai 40 milyar dolar AS per tahun sedangkan saat ini telah mencapai 100 milyar dollar.
Argumen teoritis boleh banyak, namun realita kondisi bangsa yang telah satu dasawarsa belum juga pulih dari imbas krisis setidaknya akan membawa kita pada rasa takut terjebak dalam krisis berikutnya. Kekhawatiran ini sangat beralasan kalau kita mencermati tiga hal krusial berikut ini:
Pertama, sepuluh tahun bukan waktu yang singkat dalam menata kembali keterpurukan bangsa, empat periode kepemimpinan telah silih berganti, empat nama kabinat pun telah bekibar, namun pemerataan kesejahteraan belum maksimal bahkan terkesan jalan di tempat. Angka 39 juta rakyat miskin dan 11 juta pengangguran adalah bukti kuat klaim di atas. Kita akan terperangah ketika melihat laporan badan pusat statistik No 47/IX/1 september 2006 yang mencatat jumlah penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan hingga Maret 2006 sebesar 39,05 juta atau 17, 75 persen. Parahnya 30, 29 persen penduduk hampir miskin pada februari 2005 menjadi miskin pada maret 2006 dan 11, 82 persen penduduk hampir tidak miskin jatuh miskin pada maret 2006. bahkan 2,29 persen penduduk tidak miskin juga jatuh miskin pada maret 2006. Kalau jargon kampanye yang disuarakan lantang oleh politisi begitu menggiurkan, namun orientasi setelah duduknya mereka di kursi eksekutif dan legislatif bertolak belakang maka kemajuan apa yang dihasilkan pada lini politik dan demokrasi untuk kehidupan riil masyarakat? kita justeru beranggapan sukses reformasi di bidang politik bukan jaminan sukses di bidang-bidang lainnya, padahal saat didengungkannya reformasi, sukses lini politik sebagai taruhan keselamatan bangsa dari multi krisis.
Kedua, Indonesia secara infrastruktur dan bangunan fisik bisa dikatakan berkembang pesat, saat ini bangunan megah, hunian mewah, bahkan kendaraan bergengsi mudah kita jumpai. Orientasi masyarakat lebih memprioritaskan penampilan, walau secara kebutuhan belum diperlukan, maka kredit kendaraan bermotor, telpon seluler bertebaran, belanja di Mall lebih diminati dari pada pasar tradisional. Pertanyaannya adalah apakah ini semua sebagai indikasi kemapanan ekonomi atau justeru sebaliknya? Bukankah budaya konsumtif suatu bangsa menunjukkan kekroposan pilar ekonominya? Bangsa yang kokoh dalam tatanan sistem ekonominya mampu menekan rakyatnya dari pola hidup konsumerisme dan luxurius. Sebab pelaku ekonomi konsumtif tidak mampu menghadapi persaingan bisnis, prilaku ini justeru membawa bangsa Indonesia pada posisi lemah dalam persaingan ekonomi global. dan Ini erat berkaitan dengan kesadaran masyarakat dalam pola hidupnya, kesuksesan pemerintah dalam hal ini melalui program sosialisasi pentingnya hidup sederhana, cinta produk lokal, dan anti konsumtif masih harus dipertanyakan, karena realita lapangan menunjukkan masyarakat lebih bangga dengan produk luar dari pada lokal, bahkan sikap konsumtif lebih mendominasi dari pada produktif.
Ketiga, Walaupun hasil survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong, menempatkan Indonesia pada posisi kedua negara terkorup di Asia pada tahun 2007, data ini menunjukkan adanya kemajuan dibanding pada tahun 2006 yang berada pada urutan pertama. Namun budaya korupsi bangsa kita masih dalam taraf membahayakan. Dimana kebijakan memperkaya diri eksekutif dan legislatif di alam demokrasi ini semakin menjadi, Istilah yang digunakan oleh cendekiawan Syafi’I Maarif adalah pengemasan kerjasama eksekutif dengan legislatif dalam merancang APBD berdasarkan kalkulasi pembagian rezeki masing-masing.
Ironisnya, para penjahat koruptor yang sudah jelas divonis bersalah oleh pengadilan masih bisa bermain kongkalingkong dengan aparat, sehingga fenomena kerjasama sistematis antara koruptor dan para pemburunya masih tetap eksis, vonis salah boleh dijatuhkan namun bukan jaminan ia akan merasakan hukuman dan mengembalikan uang Negara. jadi dengan cara apapun selama moralitas para pejabat dan wakil rakyat tidak berorientasi kerakyatan usaha menekan angka korupsi dan meratakan kesejahteraan tidak akan menuai hasil optimal.
Akhirnya, mampukah bangsa yang sedang berusaha memulihkan dari imbas multi krisis dan diindikasikan masuk ke krisis berikutnya menanggalkan moralitas dan karakter korup para pemimpinnya? Logiskah bangsa yang sedang gencar meratakan hasil “keringat bersama” tetap bergumul dengan paradigma lama: Yang kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin? Wallahu’A’lam
* Tulisan ini dipublikasikan di situs www.hadhramaut.info/indo