Monday, July 27, 2009

Bom Bunuh Diri: Perspektif Maqasid Syari’ah


Oleh: Arwani Syaerozi*

Atas nama Agama, segelentir orang masih menjustifikasi tindakan anarkisnya. Atas nama Tuhan, sekelompok manusia melegalkan pelenyapan nyawa sendiri dan hak hidup orang lain. Atas nama Nabi dan Rasul, satu komunitas bangga menimbulkan suasana kisruh di tengah masyarakat. Dan atas nama kitab suci, mereka pun tega memporak porandakan tempat sumber nafkah para karyawan dan pekerja yang tidak berdaya.

Baru-baru ini bom bunuh diri terjadi lagi di Negara kita (17/07), untuk kesekian kalinya, dalam motif yang tidak jauh berbeda dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Korban meninggal dan terluka berjatuhan, kerusakan infrastruktur dan bangunan tidak bisa dihindarkan, imbas psikologi bagi masyarakat disekitar kejadian yang lolos dari maut akan terus menghantui, sumber penghidupan bagi mereka yang bekerja di lokasi kejadian terganggu, kalau tidak terputus sama sekali, saling curiga dan berprasangka buruk antar sesama komponen bangsa menjadi fenomena berikutnya.

Motif dan Ideologi pelaku:

Dalam beberapa kasus yang terjadi di tanah air, mulai dari bom bunuh diri di Bali I dan II, sekitar kedutaan Australia di Jakarta, di hotel Ritz Carlton dan Jw Marriot I dan II, motif yang dapat kita simpulkan – dari hasil penyidikan pihak yang berwenang - adalah sentimen agama atau akidah. Harus kita akui, bahwa segelintir dari komunitas muslim di tanah air masih memandang perlu menggunakan kekerasan dalam upaya melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar (berdakwah di Jalan Allah), bahkan mungkin menganggapnya sebagai satu-satunya cara untuk melenyapkan kemungkaran di muka bumi. Akar dari cara pandang ini, kalau kita telusuri akan kembali pada salah satu dari dua kutub pro-kontra seputar formalisasi syari’at Islam di tanah air.

Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, menurut pandangan sebagian masyarakat muslim, harus mengaplikasikan syariat Islam secara formal, dijadikan sebagai pijakan dan konstitusi negara. Pendapat demikian ini berangkat dari pemahaman tekstual terhadap firman Allah dalam al Qur’an (Qs. 2:208, 5:49). Sementara sebagian muslim lainnya berpendapat, bahwa Syari’at Islam tidak harus diformalkan dalam sebuah institusi Negara, justeru syariat Islam harus diamalkan oleh setiap pemeluk Islam secara natural dan penuh kesadaraan, tidak perlu adanya penekanan dari sebuah institusi atau lembaga. Pendapat ini dilandaskan pada hasil ijtihad para ulama dengan melakukan pendekatan antara teks al Qur’an maupun as Sunnah dengan realitas dan kemaslahatan.

Menurut saya, dua wacana di atas harus direspon positif dan diapresiasi oleh semua komponen bangsa, terlepas dari mana yang lebih tepat untuk diterapkan dalam konteks negara Indonesia. Karena beberapa faktor; Pertama, komunitas muslim di Indonesia adalah mayoritas, maka yang disuarakannya pun akan sangat logis untuk didengarkan. Kedua, realitas heterogennya umat Islam di Indonesia, hampir semua madzhab akidah, fikih dan sekte pemikiran berkembang secara pesat. Hal ini menuntut timbulnya multi penafsiran terhadap ajarannya dan menafikan mono-tafsir. Ketiga, iklim demokrasi yang semakin kondusif dalam beberapa tahun terakhir telah mengakomodir kebebasan berekspresi, berpendapat dan berserikat. Kita tidak bisa memaksa para pengusung formalisasi syari’at untuk bungkam atau melarang dalam mewacanakannya ke publik, karena itu adalah wujud berpendapat yang haknya dilindungi oleh undang-undang, begitu juga kalangan yang kontra terhadap formalisasi syari’at, mereka punya hak untuk menyuarakannya, mempengaruhi publik dan pemerintah dalam hal ini. Yang penting dicatat dalam masalah ini adalah, bagaimana dua sudut pandang ini bisa ditemukan sehingga ada titik temu yang bisa diterima oleh kedua belah pihak. Bagaimana agar konflik “penafsiran” ini tidak menimbulkan teror, intimidasi dan huru-hara yang mengoyak ketentraman masyarakat. Dan bagaimana agar kebijakan pemerintah – dalam masalah ini – berjalan sesuai dengan keinginan publik, yang multi etnis, suku dan keyakinan sehingga bisa diterima oleh seluruh komponen bangsa.

Dari polemik di atas, para pelaku teror, intimidasi dan bom bunuh diri yang mengatas namakan agama, memiliki keyakinan bahwa perintah amar ma’ruf dan nahi munkar (berdakwah di jalan Allah) di bumi Indonesia perlu dilakukan dengan cara yang “tegas”, walaupun berakibat timbulnya korban jiwa, hancurnya infrastruktur, dan lenyapnya ketentraman dalam masyarakat. Keyakinan mereka ini, diperkuat dengan klaim bahwa Islam yang benar adalah apa yang mereka fahami, sementara yang lain tidak murni atau bahkan dikatagorikan sebagai komunitas syrik.

Akan tetapi, tidak berarti seluruh aktivis pengusung formalisasi syari’at di tanah air berpandangan sama seperti katagori di atas yang terkesan kaku dan keras. Kenyataannya banyak dari kalangan yang pro-formalisasi syari’at mengutuk peristiwa bom bunuh diri, dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak harus terjadi di tanah air. Seperti pernyataan sikap Partai Keadian Sejahtera (PKS) yang mengutuk peristiwa ini, dan respon Abu Bakar Ba’asyir pimpinan jama’ah Ansharut Tauhid, yang menurutnya hal semacam ini tidak perlu terjadi, karena justeru akan menghambat proses dakwah. (Koran tempo: 17/07).

Menjaga hak hidup: pilar maqasid syari’ah

Sejauh ini, para pelaku bom bunuh diri di berbagai Negara termasuk di tanah air merupakan orang-orang yang direkrut oleh jaringan tertentu. Mereka yang telah menjadi anggota akan dikader secara militan, didoktrin ideologi khusus, bahkan difasilitasi untuk berbagai kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Untuk kepentingan ini, dengan berkedok ajaran Islam, dalam diri mereka akan dipupuk sikap benci terhadap selain komunitas muslim, ditanam pemahaman legalitas (halal-nya) darah orang-orang non muslim dan para pelaku kemaksiatan kapan dan di manapun, sehingga dapat dilenyapkan dengan cara apapun, tanpa harus membedakan non muslim yang dilindungi secara hukum dan lainnya.

Dalam kerangka maqasid syari’ah (tujuan syari’at), hifdz an Nafs (menjaga hak hidup) termasuk dalam katagori ad Dharuriyat (hal-hal primer) yang akan selalu diperhatikan dan dijaga keberlangsungannya, bersentuhan dengan wilayah ini, berarti bersentuhan dengan pilar sangat sakral dalam maqasid syari’ah (tujuan syari’at). Untuk itu, syari’at Islam dan agama apapun menurut Abu Hamid al Ghazali (al Mustashfa: 2/482) dan Abu Ishak as Syatibi (al Muwafaqat: 2/266), melarang pemeluknya untuk menganiaya apalagi sampai menghabisi nyawa sendiri atau hak hidup orang lain (Qs. 6: 151), dengan tanpa adanya sebab yang membolehkan, seperti peperangan atau hukuman atas tindakan sebelumnya (Qishah), maka Islam memperbolehkannya. “Dan dalam Qishah itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” (Qs. 2:179).

Berkaitan dengan kasus bom bunuh diri akhir-akhir ini, ada dua pertanyaan menarik: Apakah perjuangan untuk formalisasi syari’at - oleh para pengusungnya - harus melalui mekanisme “huru-hara”?, sedangkan pada saat yang sama iklim demokrasi di Negara kita mengakomodir dan memungkinkannya untuk diperjuangkan melalui jalan damai (politik praktis). Apakah kewajiban untuk amar ma’ruf nahi munkar (berdakwah di jalan Allah) tetap dibenarkan dengan cara-cara kekerasan? Sedangkan kondisi di tanah air yang heterogen baik di internal umat Islam maupun di masyarakat secara keseluruhan menuntut untuk terciptanya toleransi antar sesama.

Realitas membuktikan bahwa mayoritas penggerak formalisasi syari’at memilih untuk berdiplomasi lewat jalur politik praktis, terbukti dengan adanya partai-partai politik berideologi Islam, walaupun sebagian lainnya masih memandang tabu dan haram mengikuti alam demokrasi. Dan para ulama pun telah sepakat bahwa amar ma’ruf nahi munkar tidak boleh dilaksanakan dengan mekanisme yang menimbulkan fitnah, seperti timbulnya ketidak tentraman di tengah masyarakat, dalam hal ini Rasulullah SAW sebenarnya telah mengingatkan fase-fasenya, yaitu: dengan kekuatan, atau dengan ucapan atau kalau tidak memungkinkan maka cukup dengan mengingkari di dalam hati (HR. Muslim: 49).

Apapun konteknya, dalam kacamata maqasid syari’ah (tujuan syari’at), Hifdz an Nafs (menjaga hak hidup) merupakan ad Dharuriyat (hal-hal primer) yang akan selalu diperhatikan dan dijaga keberlangsungannya. Hak hidup ini dijamin oleh agama untuk dirasakan oleh semua orang tanpa pandang bulu. Para ulama pun berpendapat bahwa menghapus kedzaliman (saling menganiaya) di tengah umat manusia adalah al Maqasid al Udzma (tujuan utama) diutusnya para Rasul ke muka bumi. Untuk itu, kalaupun benar bom bunuh diri baru-baru ini berdalih amar ma’ruf nahi munkar (berdakwah di jalan Allah) yang diyakini dan dilakukan oleh pelakunya, maka pada hakikatnya bersumber dari dangkalnya pemahaman terhadap ajaran agama, bukan dari ajaran agama itu sendiri. Wallahu’a’lam

Wednesday, July 15, 2009

Relasi kajian Maqasid Syari'ah


Oleh: Arwani Syaerozi

Tulisan ini terinspirasi dari buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Nuruddin al Khadimi, pakar Maqasid Syari'ah dari universitas Ezzitouna Tunisia. Yaitu buku yang berjudul "al Maqasid as Syar'iyah wa sillatuha bi al Adillah as Syar'iyah wa al Musthalahat al Ushuliyah" (Relasi kajian Maqasid Syari'ah dengan dalil Syar'i dan term-term Ushul fiqh). Buku ini merupakan rentetan dari empat buku yang diterbitkan dalam satu waktu, cetakan pertama pada tahun 2003.

Dalam uraiannya, penulis menjabarkan relasi maqasid Syari'ah dengan Dalil Syar'i yang disepakati oleh seluruh sekte Islam, seperti al Qur'an, as Sunnah, al Ijma' dan al Qiyas. dan dalil-dalil yang debatable (masih diperdebatkan), seperti al Istislah, al Istihsan, al Istishab, Qaul as Shahabi, al Urf, dll. Ia juga menyinggung hubungan kajian Maqasid Syari'ah dengan term-term ushul fiqh, seperti al Illat, al Hikmah, al Bid'ah, al Hilah, al Ahkam at Taklifiyah dan al Wad'iyah. dan disempurnakan juga dengan mengupas relasinya dengan ka'idah fiqh dan fiqh perbandingan.

Dalam relasi Maqasid Syari'ah dengan ushul fiqh, penulis menganggapnya sebagai hubungan cabang dengan induk, sebab, maqasid syari'ah - dalam arti sebagai sebuah kajian - dalam sejarahnya ia merupakan pengembangan dari skup pembahasan ushul fiqh. Secara substansi ia disarikan dari point-point parsial kajian ushul fiqh yang kemudian dikembangkan dan dispesifikkan dengan nama kajian Maqasid Syari'ah.

Bahasa yang digunakan dalam buku ini sangat sederhana, mudah dicerna, tampaknya, penulis sengaja mengemasnya dengan format demikian karena sasaran dari buku ini adalah para peminat kajian maqasid syari'ah yang masih dalam katagori pemula. Hal ini tentunya berbeda dengan beberapa bukunya yang lain, seperti "al Maqasid fi al Madzhab al Maliki" dan "al Ijtihad al maqasidi" kedua buku tersebut disetting oleh penulisnya sebagai bacaan kalangan intelektual menengah ke atas.

Nuruddin al Khadimi telah menelurkan lebih dari 20 karya ilmiyah dalam bidang ini, yang menarik dari penulis yang merupakan guru besar ini adalah, kemampuannya dalam mengklasifikasi karya tulisnya sesuai dengan target konsumennya, ia menulis secara sistematik buku-buku tentang maqasid syari'ah mulai dari yang diperuntukkan untuk kalangan pemula hingga para pakar.