Friday, November 28, 2008

Para pionir kajian maqasid syari'ah

Oleh: Arwani Syaerozi*

Maqasid syari'ah
(esensi syari'ah) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan The objectives of Islamic law atau The philosophy of Islamic law selalu hangat diperbincangkan oleh para sarjana muslim, khususnya mereka yang berkonsentrasi dalam bidang hukum Islam.

Kapan kajian maqasid ini pertama kali digulirkan dalam literatur Islam? pertanyaan ini telah dijawab secara diplomatis oleh Nuruddin al Khadimi, dalam bukunya al Maqasid fi al Mazdhab al Maliki (2003).

Pertama, Apabila maqasid syari'ah adalah sekedar wacana ilmiyah yang pembahasannya disinggung dalam berbagai disiplin keilmuan Islam seperti Tafsir, Hadits, Fiqh, dan Ushul Fiqh. Maka sejarah awalnya dikembalikan pada periode ke-Rasulan (masa turunnya wahyu pada nabi Muhammad Saw), sebab kata al maqasid (esensi) dan sinonimnya, seperti kata al hikmah, al illat (motif), al asrar (rahasia), dan al ghayat (tujuan akhir) banyak disinggung baik dalam al Qur'an maupun as Sunnah yang keduanya merupakan sumber utama literatur Islam. Akan tetapi, fase ini hanya sekedar timbulnya istilah maqasid, bukan dalam bentuknya yang telah dibakukan apalagi dibukukan secara spesifik.

Kedua, Apabila yang dimaksud dengan maqasid syari'ah adalah sebuah disiplin keilmuan yang independen, keilmuan yang memiliki devinisi, kerangka pembahasan dan target kajian tersendiri. Maka sejarah awalnya dinisbatkan pada Imam Syatibi (w: 790 H / 1388 M) tokoh asal Andalusia (Spanyol) yang telah menjadikan satu bab dalam bukunya al Muawafaqat sebagai lembaran khusus membahas secara tuntas maqasid syari'ah.

Kesimpulan sejarah kajian maqasid syari’ah ini diambil oleh Nuruddin al Khadimi, dengan pertimbangan karena sebelum imam Syatibi, para ulama semisal Abu Bakar al Qaffal (w: 365 H / 975 M), al Juwaini (w: 478 H / 1185 M) al Ghazali (w: 505 H / 1111 M), al Izz bin Abd. Salam (w: 660 H / 1261 M), al Qarrafi (w: 684 H / 1285 M), dan Ibn al Qayyim (w: 751 H / 1350 M), hanya menyinggung tentang maqasid secara sekilas di tengah pembahasan mereka seputar masalah fiqh atau ushul fiqh. (hlm. 35-36).

Kronologi sejarah yang demikian, lantas siapakah tokoh-tokoh penting dalam perkembangan kajian maqasid syari'ah hingga sekarang? Adakah kawasan tertentu di yang menjadi sentral pemasok sarjana Islam yang berdedikasi terhadap kajian maqasid? Dalam tulisan ini, saya mencoba untuk memetakan secara global tokoh_tokoh yang dianggap menjadi pionir dalam kajian ini, kemudian diambil konklusi berkaitan dengan peta geografisnya.

Abu Ishak as Syatibi, tokoh penggagas:

Sosok ulama Andalusia (saat itu termasuk wilayah Maghrib Arabi) yang hidup pada abad ke 8 Hijriyah / 14 Masehi ini, adalah rujukan primer bagi siapa saja yang berbicara tentang kajian maqasid. Imam Syatibi melalui bukunya al Muwafaqat telah meletakkan pondasi untuk kajian ini. Ide brilyannya adalah dengan mengkatagorikan maqasid syari'ah ke dalam dua kelompok besar. pertama, maqasid as syari' (tujuan pembuat syari'ah yaitu Allah Swt dan Rasul-Nya), kedua, maqasid al mukallaf (tujuan para hamba yang menjadi target hukum).

Dengan dua katagori pokok ini, imam Syatibi kemudian menekankan kajiannya seputar maqasid syari'ah pada enam point berikut.

1- Tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam membuat syari'at agama bagi umat manusia
2- Tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam memberikan pemahaman tentang syari'at kepada umat manusia
3- Tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam membebankan hukum syari'at pada umat manusia
4- Tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam mentargetkan hukum syari'at hanya pada kalangan mukallaf (orang dewasa dan berakal sehat) saja.
5- Tujuan manusia dalam menjalankan hukum-hukum syari'at.
6- Metode untuk menguak maqasid syari' (tujuan Allah dan Rasul-Nya)

Pembahasan maqasid syari'ah secara tuntas dan komprehensif seperti ini sama sekali belum pernah dijamah oleh ulama-ulama sebelumnya. Bahkan – menurut Ahmad Raisuni – pembahasan maqasid dalam kitab al Muwafaqat karya imam Syatibi ini, sepatutnya menjadi buku tersendiri di luar kitab tersebut (Nadzariyat al Maqasid inda as Syatibi: 315)

Thahir Ibn Asyur dan Alal al Fasi, generasi penerus:

Sepeninggal imam Syatibi, kajian maqasid syari'ah ini sempat redup, dalam arti tidak ada sarjana Islam yang khusus mendedikasikan diri dalam bidang ini. Kemudian, pada separoh akhir dari abad ke 20 masehi, wacana maqasid syari'ah kembali digulirkan oleh ulama asal Tunisia syaikh Muhammad Thahir Ibn Asyur (w: 1393 H / 1973 M) dan tokoh asal Maroko Muhammad Alal al Fasi (w: 1394 H / 1974 M). Mereka berdua hidup dalam satu masa, yang pertama mutakharij Ezzitouna dan yang kedua mutakhorij al Kairouiyien, di tangan mereka berdua inilah proyek maqasid syari'ah yang telah dicanangkan jauh hari oleh imam Syatibi diteruskan.

Thahir Ibn Asyrur menuangkan ide maqasidnya secara khusus dalam buku Maqasid as Syari'ah al Islamiyah (tebal 216 halaman), dan secara kondisional dalam karya lainnya semisal tafsir at Tahrir wa at Tanwir, buku Ushul an Nidzam al Ijtima'i dan Alaisa as Shubhu bi Qarib. Sedangkan syaikh Alal al Fasi mengkajinya secara komprhensif dalam buku Maqasid as Syari'ah al Islamiyah wa Makarimuha (tebal 288 halaman) juga menyinggung secara parsial dalam karyanya yang lain, semisal Difa' an as Syari'ah, buku Hal Insan fi hajatin ila al falsafah dan bukunya yang berjudul an Naqd ad Dzati.

Banyak kesamaan ide dan pemikiran dari dua tokoh asal Maghrib Arabi ini, satu contohnya adalah: pandangan yang menyatakan bahwa maqasid syari'ah berdiri di atas fitrah manusia. Berangkat dari firman Allah Swt dalam surat ar Ruum ayat 30 dan surat al A'raf ayat 119, Thahir Ibn Asyur dan Alal al Fasi sepakat bahwa menjaga fitrah manusia adalah termasuk dalam maqasid syari'ah, untuk itu syari'at Islam tidak akan pernah bertentangan dengan akal manusia, selama ia dalam kondisi normal. (Thahir Ibn Asyur: hlm. 57 dan Alal al Fasi: hlm. 70)

Hanya saja sisi perbedaan dari keduanya adalah: bahwa Thahir Ibn Asyur lebih berkonsentrasi pada proyek meng-independenkan maqasid syari'ah sebagai sebuah disiplin keilmuan tersendiri lepas dari kerangka ilmu ushul fiqh, dengan merumuskan konsep, kaidah serta substansi kajiannya. Sedangkan Alal al Fasi lebih berkonsentrasi pada penjabaran tuntas seputar tujuan syar'iat Islam, hikmah dan rahasianya, tidak mewacanakan integrasi atau independensinya dari ilmu ushul fiqh.

Melalui ide-ide dalam bukunya tersebut, kedua ulama ini pada akhirnya disepakati oleh para sarjana muslim kontemporer sebagai tokoh sentral maqasid syari'ah pasca imam Syatibi. Salah satu buktinya adalah, setiap diskursus seputar maqasid yang diangkat oleh kalangan ulama sekarang, banyak merujuk pada dua tokoh ini. Bahkan secara khusus Muhammad Habib Balkhoujah mantan sekjend Majma' Fiqh Islami (komunitas pakar fiqh Islam) berpusat di Jeddah, mengungkap kerangka pemikiran Ibn Asyur dalam bukunya Ibn Asyur dan proyek maqasid syari'ah (2004), dan Husni Ismail intelektual Maroko menyusunnya dalam buku yang berjudul Konsep Maqasid Syari'ah menurut Ibn Asyur (1995), sedangkan disertasi doktoral seputar Konsep Maqasid Syari'ah menurut Alal al Fasi dan disertasi seputar kajian komparatif antara kedua tokoh ini pun telah dirampungkan di universitas Ezzitouna Tunisia, atau makalah berjudul Fiqh al Maqasid fi al Maghrib al Arabi; baina Ibn Asyur wa Alal al Fasi yang ditulis oleh Ahmidah an Naifar.

al Kahdimi dan ar Raisuni: ulama maqasidi

Pada akhir abad ke 20 Masehi hingga saat ini, tepatnya sepeninggal dua tokoh Muhammad Thahir Ibn. Asyur dan Muhammad Alal al Fasi, kajian maqasid syari'ah semakin banyak digandrungi oleh para sarjana muslim diberbagai belahan dunia Islam. Yang menarik, ternyata ulama wilayah Maghrib Arabi (Barat Arab) tetap menjadi rujukan dalam bidang ini. Ada dua tokoh penting lain dalam fase zaman kali ini, yaitu Nuruddin al Khadimi dan Ahmad ar Raisuni pertama asal Tunisia dan yang kedua asal Maroko, keduanya memiliki dedikasi tinggi terhadap kajian maqasid.

Nuruddin al Khadimi adalah guru besar bidang maqasid dari universitas Ezzitouna Tunsia, adalah tokoh penting yang kerap dijadikan nara sumber dalam berbagai seminar dan lokakarya nasional dan internasional yang berkaitan dengan kajian ini.

Karya monumental yang menjadi start point-nya dalam menekuni kajian maqasid syari'ah adalah disertasi doktoral yang berjudul: al Maqasid fi al Madzhab al Maliki; Khilal al Qarnain al Khamis wa as Sadis al Hijriyain (Maqasid syari'ah perspektif ulama madzhab Maliki pada abad kelima dan keenam Hijriyah). Dalam disertasi yang kemudian dicetak menjadi buku (1996) atas instruksi dewan pengujinya saat itu, al Khadimi mengupas bagaimana pemahaman dan interaksi para ulama madzhab Maliki dengan maqasid syari'ah baik pada saat berijtihad, berfatwa maupun berdebat seputar masalah-maslah keagamaan khususnya lingkup fiqh

Khas pemikiran Nuruddin al Khadimi sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang telah diusung oleh pendahulunya, guru besar masjid jami' Ezzitouna syaikh Muhammad Thahir Ibn Asyur. Yaitu cenderung untuk menjadikan maqasid syari'ah sebagai disiplin keilmuan independen lepas dari ushul fiqh. Hal ini bisa dilihat dari salah satu bukunya yang diberi judul: Ilmu maqasid syari'ah (2001), bahkan dalam rangkaian empat buku yang dilaunching secara bersamaan, ia menuangkan kembali impiannya untuk proyek independensi ilmu maqasid syari'ah. "Melihat urgensitas dan perannya yang signifikan dalam lingkup hukum Islam, sudah sepatutnya kajian ini menjadi sebuah disiplin keilmuan yang independen, sejajar dengan ilmu Akidah, Fiqh, Tafsir, dan ilmu Hadits" (al Maqasid as Syar'iyah ta'rifuha, amtsilatuha, hujjiyatuha: 7)

Ada indikasi lain yang menjadikan kepakarannya dalam bidang ini diakui oleh publik intelektual, yaitu setumpuk karya seputar maqasid yang telah dihasilkannya, ide-idenya banyak dituangkan dalam buku, di antaranya adalah: 1- al Ijtihad al maqasidi (2000), 2- al Istinsakh fi Dhou'i al Maqasid (2001), 3- al Maqasid as Syar'iyah: ta'rifuha, amtsilatuha, hujjiyatuha (2003), 4- al Maqasid as Syar'iyah: wa shillatuha bi al adillah as syar'iyah wa al musthalahat al ushuliyah (2003), 5- al Mashlahah al Mursalah (2004), 6- al Istiqra wa Dauruhu fi ma'rifati al Maqasid (2005), 7- al Munasabah as Syar'iyah (2006), 8- al Maqasid a Syar'iyah fi al Hajj (2007), 9- Abhats fi al Maqasid as Syar'iyah (2008).

Tokoh lain dalam fase zaman kali ini adalah Ahmad ar Raisuni, ulama besar bidang maqasid yang juga dosen senior di universitas Mohammed V Rabat Maroko. Seperti halnya dengan Nuruddin al Khadimi yang memulai konsentrasinya dengan garapan disertasi doktoral, Ahmad Raisuni pun demikian, disertasinya yang berjudul Nadzariyat al Maqasid inda as Syatibi (Konsep maqasid syari'ah perspektif imam Syatibi) mendapat nilai cume laude dan dianggap layak untuk naik cetak menjadi sebuah buku.

Di antara kesimpulan penting dari disertasinya adalah; bahwa imam Syatibi yang dianggap sebagai founding father kajian maqasid syari'ah ternyata dalam membangun idenya ia tidak berangkat dari ruang kosong, akan tetapi ada pengaruh dari diskursus ulama fiqh dan ushul fikih sebelumnya, baik dalam setting ideologi maupun dalam penggunaan terminologi, dan unsur ini telah memberikan andil cukup besar dalam ide maqasidnya.

Ahmad Raisuni mencontohkan, bahwa kemaslahatan yang dibagi ke dalam dhoruriyah (primer), hajiyah (sekunder) dan tahsiniyah (tersier) adalah istilah yang sebelumnya pernah digunakan oleh al Ghazali dalam bukunya al Mustashfa. Begitu juga lima perkara yang dianggap dalam katagori kemaslahatan dhoruriyah yaitu; hifdz ad Dien (menjaga keyakinan), hifdz an Nafs (menjaga nyawa), hifdz al 'Aql (menjaga akal), hifdz an Nasl (menjaga keturunan) dan hifdz al Mal (menjaga harta) adalah terminologi yang sebelumnya pernah diungkapkan oleh al Juwaini dalam bukunya al Burhan. Kemudian pembagian masyaqah (kesukaran) ke dalam dua katagori, yaitu; mulazimah li at Taklif (selalu mengikuti pembebanan hukum) dan ghoiru mulazimah laha (tidak selalu mengikuti pembebanan hukum) adalah istilah yang pernah digunakan oleh al Izz bin Abd. Salam dalam bukunya Qawaid al Ahkam. (Nadzariyat al maqasid inda as Syatibi: 292-310)

Buah pemikiran Ahmad Raisuni sendiri, dapat kita kenali melalui buku-bukunya yang mayoritas berada pada lini maqasid, di antaranya adalah; 1- Nadzariyat at taqrib wa at Taghlib fi al Ulum al Islamiyah (1995), 2- al Fikr al Maqasidi Qawaiduhu wa Fawaiduhu (1999), 3- al Ijtihad; an Nash wa al Mashlahah wa al Waqi' (2002), 4- Min A'lam al Fikr al Maqasidi (2003), 5- Madkhal ila Maqasid as Syari'ah (2004), 6- al Kulliyat al Assasiyat li as Syari'ah al Islamiyah (2008).

Maghrib Arabi (Barat Arab) sebagai lumbung pionir:

Masih banyak sarjana muslim dewasa ini yang turut memberikan kontribusi dalam kajian maqasid syari'ah, pasca imam Syatibi sebagai penggagas awal, pasca Syaikh Muhammad Thahir Ibn Asyur dan Muhammad Alal al Fasi dua tokoh penerus proyek imam Syatibi yang wafat pada dekade 70-an.

Sebut saja misalnya; Muhammad Sai'd Ramadhan al Buthi, ulama Syria penulis buku Dhowabit al Mashlahah fi as Syari'ah al Islamiyah (2005), Yusuf al Qardhawi, ulama Qatar, yang dianggap oleh Ahmad Raisuni sebagai pakar fikih berorientasi maqasid syari'ah, Jamaluddin Athiyah, ulama Mesir penulis buku Nahwa Taf'il Maqasid as Syari'ah (2003) atau Hassan Turabi, ulama Sudan yang termasuk dalam tokoh "dialog seputar maqasid" yang diterbitkan oleh Dar al Fikr (2005)

Lantas mengapa mereka tidak dikatagorikan pionir kajian maqasid? Secara kapabilitas saya tidak meragukannya, namun orientasi perhatian dan mainsterm pemikiran mereka lebih dominan pada kajian ushul fiqh, fiqh kontemporer atau bahkan pemikiran Islam secara umum, sehingga ide khusus dalam bidang maqasid syari'ah tidak menjadi trademark, atau bahkan hanya dikupas oleh mereka di sela-sela pembahasan topik lainnya.

Sedangkan dedikasi ulama Maghrib Arabi (Barat Arab) yang dimotori oleh Nuruddin al Khadimi (Tunisia) dan Ahmad ar Raisuni (Maroko), telah terbukti dengan berlimpahnya karya khusus mereka, baik dalam bentuk buku, makalah, artikel, maupun audio visual yang memperkaya khazanah maqasid syari'ah. Kalau kita telusuri, proyek pemikiran kedua tokoh ini lebih dominan dalam bidang maqasid, disamping turut kontribusi dalam kajian ushul fiqh dan masalah fiqh kontemporer. Di tangan merekalah, kajian maqasid syari'ah terus digulirkan.


* Tulisan ini dipublikasikan situs http://www.fahmina.or.id/ dan situs BKPPI www.jurnalislam.net/id

Friday, November 7, 2008

Mahasiswa Tim-Teng dalam misi haji

Oleh: Arwani Syaerozi

Musim haji tahun 1429 H / 2008 M adalah kali kedua bagi saya dalam keterlibatan di misi haji Indonesia. Sebagai pelajar Indonesia di Maroko (salah satu negara Arab), kami diberi kesempatan untuk bergabung dan direkrut oleh kantor Teknis Urusan Haji (TUH) Departemen Agama RI ke dalam tim yang dipersiapkan untuk melayani dan membimbing jama'ah haji kita selama di tanah suci.

Keberadaan komunitas pelajar dan mahasiswa Indonesia yang berada di Timur Tengah dan sekitarnya sangat signifikan untuk dilibatkan dalam aktivitas ini. Dengan kemampuan bahasa Arab dan penguasaan lapangan, para pelajar dan mahasiswa akan membantu Panitia Pelaksana Ibadah Haji (PPIH) dalam menjalankan misinya. Tidak heran jika pada musim haji kali ini, porsi rekrutmen mahasiswa dan pelajar lebih banyak jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yaitu sekitar 220 orang, hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh ketua panitia pada sambutannya saat penataran para petugas di hotel Medina Palace Jeddah.

Bahasa jendela dunia:

Adagium yang menegaskan bahwa "bahasa adalah jendela dunia" akan semakin nyata validitasnya saat musim haji tiba. Di Saudi Arabia yang merupakan negara berbahasa resmi Arab, jelas membutuhkan personal yang mumpuni dalam bahasa Arab untuk interaksi dan komunikasi dengan berbagai instansi, petugas, dan masyarakatnya. dengan menggunakan bahasa lokal tentunya akan lebih efektif dalam mengkomunikasikan kepentingan. Dari sisi ini, peran mahasiswa dan pelajar di Timur Tengah dan sekitarnya yang dilibatkan dalam tugas misi haji menjadi urgen dan signifikan.

Ada beberapa realitas yang saya alami dan saya saksikan dengan mata kepala sendiri berkaitan dengan pentingnya rekrutmen mahasiswa dan pelajar kita di negara Arab dalam tugas misi haji, yaitu saat petugas-petugas inti dari Jakarta (baik instansi Depag maupun Depkes) yang kurang menguasai bahasa Arab berkomunikasi dengan petugas dan instansi Saudi Arabia, pada momen inilah peran mereka dibutuhkan sebagai penerjemah dan "penyambung lidah" antar kedua belah fihak.

Peran mahasiswa sangat menentukan:

Di samping itu, kondisi fisik para mahasiswa kita yang masih energik dikarenakan faktor usia yang rata-rata masih muda, jika kita bandingkan dengan petugas dari unsur lainnya, akan berpengaruh besar pada tingkat optimal kinerja petugas haji, di mana secara lapangan, kondisi udara dan kultur masyarakat Saudi Arabia jauh berbeda dengan di tanah air. Yang jelas, dengan fisik yang masih kuat dan daya pikir yang masih segar, tidak lah berlebihan jika para mahasiswa dan pelajar kita ini dianggap sebagai salah satu faktor pendukung suksesnya pelaksanaan misi haji Indonesia.

Melihat urgensitanya ini, kantor Teknis Urusan Haji (TUH) sebagai pihak perekrut para mahasiswa dan pelajar dalam setiap misi haji, diharapkan mampu memposisikan mereka secara proporsional baik berkaitan dengan kewajiban maupun haknya. Bagaimanapun, mereka adalah kaum terpelajar yang selalu menjaga profesionalisme dan berharap akan adanya transparansi dalam berbagai hal.