Sunday, September 28, 2008

Menyambut lailatul qadar di Maroko

Oleh: Arwani Syaerozi

Lailatul qadar
(malam kemuliaan) adalah momen yang sangat berkah bagi kaum muslim, keberkahannya telah diabadikan dalam al Qur'an melalui surat al Qadar. Namun, kapan tepatnya lailatul qadar itu tiba? Jawabannya masih misteri, kita tidak bisa memastikan pada tanggal berapa ia tiba. Rasulullah Saw sendiri hanya memberi sinyal kepada kita bahwa lailatul qadar jatuh pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.

Di Maroko, masyarakat antusias menyambut tanggal dua puluh tujuh Ramadhan, orang-orang menyambutnya secara spesial. Di rumah - secara sederhana – mereka mempersiapkan penyambutan dengan membakar bukhur (jenis kayu beraroma wangi), menyediakan menu untuk berbuka puasa berbeda dari hari-hari biasanya, sore ini menu makanan lebih variatif.

Pada malam harinya, masjid-masjid dipenuhi dengan kegiatan religius. Hampir seluruh masjid besar di Maroko dipadati masyarakat untuk mengikuti ritual khusus pada malam tersebut. Kegiatannya berkisar pada tadarrus al Qur'an, pembacaan amdah nabawiyah (pujian kepada nabi Muhammad), syair-syair sufi dan siraman ruhani.

Menjelang waktu Isya' tiba, masyarakat berbondong-bondong mengunjungi masjid, seperti Masjid al Umrah yang berada di kelurahan Ya'kub Manshur Rabat. Kegiatan di masjid ini hampir sama dengan masjid-masjid lainnya di bumi Maghribi. Sebelum sholat Isya', diisi ceramah agama oleh seorang Kyai seputar lailatul qadar dan nuzul al Qur'an. Usai sholat taraweh 20 raka'at mereka antri untuk masuk ke dalam tenda besar di halaman masjid yang disediakan oleh panitia, ternyata di situ telah disediakan meja-meja bundar dengan bangku-bangku melingkar. Untuk sekedar minum teh naknak dan menikmati kue ringan khas Maroko. Dan bagi yang berminat - usai menikmati hidangan - bisa bergabung dengan para qurra' (pembaca al Qur'an) mendengarkan baca'an alqur'an di dalam masjid hingga sepertiga akhir malam, untuk kermudian mereka melanjutkan sholat malam secara berjama'ah hingga menjelang terbit fajar.

Di luar aktivitas yang berkaitan dengan masjid, ada keunikan tersendiri dalam menyambut malam dua puluh tujuh ini. Yaitu bertebarannya studio photo dadakan di pinggir-pinggir jalan, lengkap dengan tanduk artistik layaknya singgasana seorang raja. Di setiap studio-studio photo berkerumun anak-anak kecil dengan dandanan narsis (pakaian, aksesoris, dan tampilan rambut serba baru) mereka antri untuk bergaya di depan kamera, para orang tua mereka pun harus rela meluangkan waktunya hanya untuk mengantar buah hati menuju studio photo.

Konon, tradisi photo-photo di malam dua puluh tujuh Ramadhan adalah salah satu usaha mereka dalam mengharap keberkahan lailatul qadar, malam yang kualitasnya lebih baik dari seribu bulan, satu malam yang teka-teki jatuhnya hanya bisa dijawab oleh mereka yang bersungguh-sungguh dalam meraihnya.

Friday, September 19, 2008

al Muwafaqat: referensi maqasid syari'ah

Oleh: Arwani Syaerozi

Maqasid syar'iah adalah kajian yang berkonsentrasi pada pembedahan esensi di balik teks keagamaan baik al Qur'an maupun as Sunnah, penjabaran atas hikmah dan tujuan hukum-hukum syari'at yang telah dibebankan kepada umat manuia. Dengan menguasai maqasid syari'ah, pemahaman kita terhadap teks al Qur'an dan as Sunnah akan lebih maksimal. Kajian ini pertama kali digulirkan - secara eksplisit - oleh Abu Ishak as Syatibi (w: 790 H / 1388 M), ulama Andalusia (Spanyol) yang hidup pada abad ke delapan Hijriyah atau empat belas Masehi.

Masyarakat muslim Andalusia saat itu mayoritas bermadzhab Maliki dan sangat fanatik terhadap madzhabnya. Pada saat yang sama, di sana juga terdapat minoritas muslim madzhab Syafi'i, Hanafi, Dzahiri, dan sekte Islam lainnya. Fanatisme kaum Maliki di Andalusia saat itu ternyata membawa jejak buram bagi kelangsungan kerukunan hidup masyarakat. Bagaimana tidak, pengikut madzhab Hanafi yang identik dengan penggunaan nalar dan akal dalam beragama dianggap menjadi seteru bagi mereka (kaum Maliki) yang dikenal dengan ahl al hadits. Konflik ideologi antar kedua aliran fiqh tersebut mencapai klimaks-nya, hingga tidak jarang diwarnai dengan bentrok fisik dan pemberangusan buku-buku referensi kaum Hanafi.

Melihat kondisi riil di masyarakat demikian, Abu Ishak as Syatibi sebagai salah satu ulama Maliki yang progresif, tergerak mencoba mendewasakan masyarakatnya, dengan mengusung misi memberangus fanatisme yang menjadi motif perpecahan umat.

Pada momen inilah bukunya al Muwafaqat disusun, sebagai salah satu upaya untuk meredam konflik ideologi, mencoba untuk mendewasakan pemahaman masyarakatnya dalam beragama. Pada mulanya buku tersebut akan diberi judul Inwan at Ta'rif bi Asrar at Taklif karena di dalamnya banyak mengupas tentang rahasia dan tujuan syari'at, akan tetapi dengan petunjuk dari salah seorang gurunya - melalui mimpi - akhirnya kata al Muwafaqat yang ia jadikan sebagai judul. Konon, karena misi yang dibawa adalah "perdamaian intelektual", kalau kita artikan secara tekstual kata al Muwafaqat bermakna "yang diselaraskan".

Dalam bukunya, Abu Ishak as Syatibi membagi pembahasan ke dalam lima sub judul: 1- pendahuluan seputar tujuan penulisan buku, 2- tentang hukum dan relasinya, mencakup hukum taklif dan hukum wadh'i, 3- maqasid syari'ah dan korelasinya dengan hukum, 4- ringkasan dalil syar'i dan proses aplikasinya terhadap hukum, 5- seputar ijtihad dan taklid, juga membahas masalah kontradiksi antara dalil dan proses pengunggulan salah satunya.

Sasaran buku ini - sebagaimana dijelaskan oleh penulis dalam prolognya - hanya diperuntukkan untuk komunitas high class, yaitu kalangan yang telah memiliki pemahaman luas dalam bidang fiqh dan ushul fiqh. Hal ini sepertinya sebagai upaya penulis agar tidak terjadi kerancuan dalam memahami isinya.

Pandangan-pandangan progresif Abu Ishak as Syatibi yang dirangkum dalam al Muwafaqat ini pada awalnya mendapat kecaman dan serangan dari ulama-ulama zamannya. Ide seputar maqasid syari'ah yang mendapat porsi luas dalam bukunya menuai reaksi keras, dianggap mengada-ada dan melakukan destruksi dari dalam terhadap syari'at Islam. Namun seiring dengan putaran waktu, masyarakat menjadi dewasa dengan setiap "ide baru" yang muncul ke permukaan, hingga saat ini, buku al Muwafaqat tetap beredar di pasaran, bahkan menjadi rujukan utama bagi kalangan yang menekuni bidang maqasid syari'ah, ushul fiqh dan kajian fiqh.

Mutiara pemikiran Abu Ishak as Syatibi yang dirangkum dalam al Muwafaqat ini pertama kali diterbitkan - dalam bentuk kitab - di Tunisia pada tahun 1302 H bertepatan dengan 1884 Masehi. Buku ini mendapat perhatian luas di kalangan pakar fiqh dan ushul fiqh dari dulu hingga sekarang. Karena volumenya tebal, dua orang murid Abu Ishak as Syatibi memodifikasi substansinya dengan membuat ringkasan. Yang pertama diberi judul: al Muna fi Ikhtisar al Muwafaqat, dan yang kedua, Nail al Muna min al Muwafaqat. Sementara dari kalangan ulama kontemporer, syaikh Ma'al Ainain merangkum substansi al Muwafaqat dalam gubahan bait-bait syair yang diberi judul Muwafiq al Muwafaqat.

Ahmad Baba dalam komentarnya mengatakan: "kitab al Muwafaqat sangat fantastis, menunjukkan kapabilitas penulisnya dalam bidang ushul fiqh dan maqasid syari'ah" (Nail al Ibtihaj: 48), di kesempatan lain, pakar maqasid asal Maroko Ahmad Raisuni (2003) menegaskan: "karena kualitasnya, buku ini telah mendapat perhatian publik intelektual cukup luas dari dulu hingga sekarang".