Friday, August 29, 2008

Kondisi Maroko 2007-2008

Oleh: Arwani Syaerozi

Tema tulisan kali ini adalah judul dari sebuah buku, buku yang saya dapat dari pedagang kaki lima di sudut trotoar Jl. Mohammed V Rabat (Rabu, 27/8/08). Usai menyelesaikan satu urusan di kantor L'agence Marocain de Cooperation Internationale (Agen Maroko untuk kerjasama internasional) saya menyempatkan diri untuk menikmati suasana sore hari di pusat kota Rabat. Tidak sia-sia, di samping buku ini, saya juga berhasil memboyong tujuh buku lainnya dari toko buku "Alfiyah Tsalitsah" (Millenium ke tiga), semua buku tersebut berkaitan dengan kajian Maqasid Syari'ah, diskursus yang selama ini saya geluti melalui penulisan disertasi.

Kembali ke judul tulisan ini, lantas ada apa dengan kondisi Maroko di tahun 2007-2008? Sehingga saya begitu antusias untuk mengikuti perkembangannya melalui buku ini. Adakah sesuatu yang istimewa atau kejadian spektakuler di Maroko pada periode tersebut? Sehingga saya harus rela merogoh kocek 30 Dirham (sekitar Rp. 35. 000, 00) untuk memindah kepemilikan sebuah buku dari seorang pedagang kaki lima.

Sebenarnya, buku yang saya dapatkan kali ini adalah buku rutin yang diterbitkan tiap tahun oleh pusat kajian Wijhat Nadzar (Perspektif), pusat kajian sekaligus penerbitan yang terkenal kritis di bumi Maghribi. Jadi, kurang lebih semacam evaluasi dan laporan tahunan kepada publik seputar kinerja perangkat Negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif), seputar isu politik, hak asasi manusia, ekonomi, sosial, budaya, olah raga, keagamaan, dan pergaulan Maroko dalam level internasional.

Laporan yang disajikan dalam buku ini sangat menarik, terdiri dari 11 sub judul pembahasan. Penyusunan buku ini pun melibatkan beberapa pakar sesuai dengan spesifikasi tiap kajian, sebagaimana yang dijelaskan dalam prolognya: "Dalam merealisasikan terbitnya buku ini, kami melibatkan sekitar 12 orang pakar, yang dalam kerjanya, mereka tidak mengacu pada hukum "hitam-putih", akan tetapi didasarkan pada realitas dan data akurat dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan sumber-sumber valid lainnya, baik dalam lingkup nasional maupun internasional" (hlm: 3).

Dari dua belas orang pakar yang terlibat dalam mengungkap "Kondisi Maroko 2007-2008" ini, di antaranya adalah; Abd. Latif Husni (pakar bidang hukum), Muntashir Hammadah (Jurnalis pengamat bidang keagamaan), Abd. Rohim al Ithri (pakar Sosiologi), Farid al Merini (pakar Antropologi budaya), Mohammad Barras (pakar sejarah) dan Munshif al Yazaghi (Pengamat Olah raga).

Problematika kemanusiaan:

Semenjak berada dalam kepemilikan saya dan hingga saat menulis review kali ini (Jum'at 29/8/08), dalam buku setebal 224 halaman ini hanya ada beberapa point saja yang menjadikan saya fokus, selebihnya saya hanya mengikuti sekilas. Inti point tersebut adalah seputar Hak Asasi Manusia (HAM), hal ini tidak lain karena bahasan ini erat berkaitan dengan kajian diseratsiku seputar "Maqasid Syari'ah dan Problematika Kemanusiaan".

Adalah Hind Aroub seorang guru besar bidang hukum dan hak asasi manusia yang menulis laporan tahunan seputar HAM di Maroko periode 2007-2008. Dalam salah satu sesi laporannya, ia menegaskan ada empat bentuk pelanggaran terhadap hak-hak kemanusiaan selama periode ini.

Pertama, Maraknya penangkapan dan penyiksaan yang disebabkan oleh faktor beda pendapat. Kebebasan berpendapat dan berserikat, dengan mengungkapkan ide dan mengekspresikan suara bagi setiap individu masyarakat masih dibayang-bayangi sikap subversif penguasa. Artinya, kebebasan asasi bagi setiap individu masyarakat yang selama ini terjadi pada tataran praktis masih semu. Dalam hal ini, penulis menyodorkan data dan fakta di lapangan, sekaligus menyebutkan beberapa contoh kasus dari orang-orang yang mengalaminya (hlm. 105 - 116).

Kedua, Kenaikan harga sembako (sembilan bahan pokok), isu ini dikupas oleh penulis dalam sub judul "Murka kenaikan harga: pengekangan atas hak hidup layak". Menurutnya, krisis harga sembako kali ini mengingatkan kita pada era 70-an, dimana pernah terjadi krisis hebat di bidang ekonomi yang berimplikasi pada kenaikan drastis harga-harga kebutuhan pokok. Keadaan saat itu (dekade 70-an) memaksa berbagai elemen masyarakat yang dikoordinir oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menggugat pemerintah Maroko dengan berbagai tuntutan. Di antaranya adalah: menaikkan standar gaji pegawai dan upah minimum pekerja, membebaskan biaya layanan publik seperti pendidikan serta pengobatan, dan meninjau kembali kebijakan dalam menaikkan harga. Dalam konteks krisis kenaikan harga di tahun 2007 hingga saat ini, penulis menyodorkan laporannya dengan dibarengi bukti gejolak di lapangan yang marak terjadi, yaitu unjuk rasa secara damai mempertanyakan kebijakan pemerintah dalam menaikan harga (hlm. 117-125).

Ketiga, Tingginya angka pengangguran, adalah isu lain yang dilaporkan oleh penulis. Dijelaskan olehnya, bahwa yang sangat tragis, pengangguran ini juga mencakup kalangan yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi Starta S2 dan atau yang sedang menyelesaikan program S3 di perguruan tinggi dalam Negeri. Maka tidak heran, jika sepanjang tahun 2007 komunitas terpelajar yang masih belum menemukan pekerjaan gencar turun ke jalan, mereka bersama-sama menyuarakan asiprasi dan keluhan. Isu ini pun – menurut penulis - akhirnya mendapat perhatian serius dari pemerintah Maroko untuk segera dicarikan solusinya. (hlm: 125-128)

Keempat, Lemahya penegakan supremasi hukum, menurut penulis, penegakan supremasi hukum melalui lembaga yudikatif masih sangat jauh dari yang diharapkan. Keputusan hakim dalam beberapa kasus yang ditangani oleh kejaksaan di beberapa daerah masih kental diwarnai dengan ketidakadilan dan kedzaliman. Kasus suap merajalela, begitu juga dengan sikap tebang pilih dalam mengusut pejabat dan pengusaha bermasalah. Dalam hal ini pun, penulis tidak lupa melengkapi laporannya dengan pengungkapan beberapa contoh kasus. (hlm: 128-131)

Tampaknya, masih banyak sub judul dalam buku ini yang harus diseriusi dalam membacanya. Untuk level negara-negara Arab, saya merasakan adanya keberanian dari tim penyusun buku ini, mereka cukup transparan dan blak-blakan dengan apa yang disajikan. Data yang dijadikan acuannya pun cukup valid, di samping para penulisnya selalu menyertai isu yang diangkat dengan contoh kasus yang ada di lapangan. Sungguh sangat menarik !

Saturday, August 16, 2008

Sejarah dan hikmah puasa

Oleh : Arwani Syaerozi*

Puasa merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima, ia menduduki peringkat ke tiga setelah dua kalimat syahadat dan sholat lima waktu. Hukum wajib berpuasa di bulan Ramadhan bagi umat Islam sudah final, tidak bisa diganggu gugat, ia termasuk katagori "perkara agama" yang hukumnya diketahui secara gamblang dan pasti. Dalam teks syar'i, baik al Qur'an maupun as Sunnah kita akan menemukan banyak dalil-dalilnya. Kemudian, karena ia termasuk dalam katagori al ma'lum min ad dien bi ad dharudah, maka menurut para fuqaha (pakar fikih Islam), pengingkaran atas hukum wajibnya (bukan sekedar malas melakukannya) berimplikasi pada status murtad (keluar dari Islam).

Kronologi sejarah:

Kewajiban ibadah puasa sebenarnya bukan hal baru bagi sejarah umat manusia, sebab - selain dalam agama Islam - ia pernah disyari`atkan juga pada penganut agama-agama samawi lainnya (Yahudi dan Nasrani), walaupun dari segi tata cara pelaksanaan dan ketentuan waktunya berbeda antara satu ajaran dengan ajaran lainnya, hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam al Qur'an surat al Baqarah ayat:183.

Dalam Islam sendiri, Ibadah puasa mulai diwajibkan pada tahun ke 2 Hijriyah atau 624 Masehi, bersamaan dengan disyari`atkannya sholat ied, zakat fitrah dan kurban idul adha. Hal ini berarti, bahwa puasa adalah sebuah kewajiban yang bersifat universal, berlaku semenjak umat terdahulu, umat muslim saat ini dan masa yang akan datang.

Proses pensyari'atan ibadah puasa dalam Islam, tercatat memiliki tiga fase penting. Pertama : ketika Rasulullah Saw datang ke kota Madinah, puasa diwajibkan dengan cara tiga hari dalam satu bulan. Mekanisme seperti ini dirubah dengan diberlakukannya puasa wajib di hari Asyura (tanggal 10 bulan Muharram), bentuk ini dianggap sebagai tahap yang kedua. Fase ketiga atau terakhir, yang hingga saat ini dan bahkan sampai seterusnya akan diterapkan, adalah puasa wajib di bulan Ramadhan dengan hitungan satu bulan penuh.

Pada tahap terakhir ini pun kewajiban puasa Ramadhan masih mengalami beberapa perubahan yang tidak prinsipil. Kalau kita menela'ah buku tarikh tasyri' (sejarah penetapan hukum syari'ah), dijelaskan bahwa pada awal diwajibkan puasa Ramadhan, jenis puasa ini masih memiliki "kelonggaran" bagi seorang muslim, yaitu bebas memilih - walaupun dalam kondisi sehat - antara berpuasa atau bersedekah memberi makan kepada fakir miskin sebagai ganti dari berpuasa, kemudian dengan turunnya ayat “barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (Qs. al Baqarah: 185) kebebasan memilih ini ditiadakan.

Di sisi lain, kesempitan dalam tata cara berpuasa pada awal-awal diwajibkannya, seperti larangan untuk makan, minum, dan bersetubuh dengan istri pada malam hari, ketika telah mengerjakan sholat Isya` atau tertidur walau belum melaksanakan sholat Isya`, ditiadakan dan ditoleransi dengan turunnya ayat “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu” (Qs. al Baqarah : 187).

Eksistensi ibadah puasa:


Dalam bukunya Ihya Ulum ad Dien, Imam al Ghazali (w: 505 H) menjelaskan bahwa ibadah puasa adalah seperempat dari iman, statemennya ini dilandaskan pada hadits Nabi Saw yang menjelaskan bahwa “Puasa itu setengahnya sifat sabar” (HR. Ahmad dan Turmudzi) dan hadist yang lain “Sifat sabar itu setengahnya iman” (HR. Abu Nuaim), dari kombinasi dua hadits inilah al Ghazali menarik kesimpulan bahwa ibadah puasa adalah seperempat dari iman.

Puasa memiliki sisi keutamaan jika dibanding dengan ibadah lainnya apabila kita memandang dari dua sudut berikut: Pertama, bahwa puasa adalah proses menahan dan meninggalkan dalam diri seseorang, yang mana tidak ada aktivitas nyata yang bisa dilihat, kecuali hanya oleh Allah Swt. Sedangkan semua perbuatan ta`at (ibadah) bisa dilihat oleh orang lain, sehingga kerap menimbulkan sifat riya (pamer) bagi pelakunya. Kedua, Bahwa puasa adalah upaya bani Adam dalam meminimalisir pengaruh ajakan Iblis. Sebab, syahwat yang notebene alat utama Iblis dalam menjerumuskan anak cucu Adam ke dalam lembah kenistaan, menjadi kuat pengaruhnya dengan suplay makanan dan minuman, sedangkan ibadah puasa adalah upaya menahan kedua-duanya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw pernah menjelaskan bahwa keleluasan Iblis dalam menggoda manusia hanya bisa dipersempit dengan rasa lapar (HR. Bukhori dan Muslim).

Sedangkan dalam kacamata Tasawuf - menurut imam al Ghazali - ibadah puasa terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu : Pertama, Shaum al Umum, hanya menahan perut dan alat kelamin dari syahwat. Kedua, Shaum al Khusus, yaitu puasanya orang-orang saleh, menahan anggota tubuh dari perbuatan maksiat, dengan menjaga enam perkara :
  1. menjaga mata dari melihat sesuatu yang buruk menurut norma agama
  2. menjaga lisan dari berdusta, memfitnah, dan perkataan keji
  3. menjaga telinga dari mendengar segala sesuatu yang haram untuk didengar.
  4. menjaga seluruh anggota tubuh dari perbuatan-perbuatan negatif
  5. menjaga untuk tidak berlebihan saat berbuka puasa
  6. menjaga hati untuk terus terikat dengan khauf (rasa takut) dan raja' (pengharapan), agar sadar bahwa ibadah puasanya bisa saja diterima oleh Allah Swt, sehingga termasuk orang-orang yang beruntung atau ditolak sehingga termasuk orang-orang yang merugi.
Tingkatan terakhir, Shaum khusus al Khusus, mencakup puasanya hati dari sesuatu yang hina dan rendah, dari urusan-urusan duniawi kecuali yang diharapkan untuk bekal ukhrowi. Tingkatan ini hanya bisa direalisasikan oleh Anbiya (para nabi), Shidiqien (para hamba yang jujur), dan Muqorrobien (para kekasih).

Kandungan hikmah:

Banyak pakar dari lintas spesifikasi kajian yang telah membahas tentang maqasid (tujuan), hikmah dan faedah berpuasa, dari kalangan ulama klassik kita bisa mengambil contoh al Ghazali yang membahas seputar "Asrar as Shiyam" (rahasia ibadah puasa) dalam bukunya Ihya Ulum ad Dien, atau Imam Izzuddin Ibn Abd. Salam (w: 660 H) yang menyusun buku dengan judul "Maqasid as Shaum" (tujuan disyari'atkannya ibadah puasa), sedangkan dari ulama kontemporer, salah satunya adalah Ahmad al Syarbasi, dosen di universitas al Azhar Mesir. Dalam bukunya Yas`aluunaka An ad Dien Wa al Hayat ia mencoba mengupas hikmah puasa dari berbagai sisi, berikut ini adalah beberapa point yang ia paparkan:
  1. Dalam berpuasa tersimpan makna patuh terhadap perintah Tuhan sang pencipta
  2. Puasa menyerupai revolusi jiwa atas belenggu tradisi buruk yang memperbudak manusia.
  3. Saat tidak berpuasa, manusia bebas makan dan minum sesuai selera, maka ketika tiba waktu berpuasa, dia berusaha mencegah hawa nafsunya selama tiga puluh hari, setiap hari dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Ini merupakan proses latihan hidup disiplin
  4. Bahwa rotasi kehidupan dunia selalu berputar. Kadang kaya kadang miskin, senang dan susah, bermukim dan bepergian, maka saat kita terbiasa dengan ritme berpuasa, kondisi kehidupan seperti ini secara otomatis mampu dinikmati dengan penuh kesadaran.
  5. Puasa melatih kesabaran dan menguatkan iradah (kehendak)
  6. Meningkatkan kepekaan sosial, orang berpuasa akan merasakan lapar dan pahitnya menahan syahwat, maka ketika dia menemui masyarakat di sekelilingnya tertimpa musibah, ia akan tanggap segera memberikan bantuan.
  7. Ketenangan jiwa yang merupakan efek dari berpuasa, sangat membantu dalam mengatasi problematika kehidupan.
Kupasan seputar hikmah berpuasa di atas, menjadikan kita yakin bahwa diwajibkannya puasa tidak hanya sekedar "pembebanan" tanpa arti, atau "pembebanan" tanpa kandungan essensi. Bagaimanapun, Maqasid Syari`ah membuktikan adanya nilai maslahat bagi umat manusia atas apapun yang diperintah atau yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.

Namun, satu hal yang akhirnya harus diperhatikan oleh kita semua, bahwa hikmah dan faedah berpuasa ini akan kita rasakan apabila kita melaksanakannya secara khusyu' sesuai dengan mekanisme yang telah ditetapkan oleh fuqaha (pakar fikih Islam) dalam kajian fikih. Wallahu A'lam

* Tulisan ini dipublikasikan (dengan judul "membedah filsafat puasa") di situs resmi PBNU www.nu.or.id