Monday, March 24, 2008

Maulid Nabi: kegembiraan lintas batas

Oleh: Arwani Syaerozi*

Senin bulan Rabiul Awal tahun Gajah (570 M) merupakan hari kelahiran nabi Muhammad SAW, hari yang selalu diperingati olehnya dengan rutin berpuasa. Berangkat dari Sunnah Fi’liyah (aktivitas nabi) ini, masyarakat muslim di seluruh penjuru dunia antusias dan gembira menyambut datangnya bulan Rabiul Awal. Bahkan mayoritas umat muslim bergegas memperingati hari kelahiran sosok yang ditegaskan dalam al Qur’an sebagai “suri tauladan”. (Qs. al Ahzab: 21)

Berbagai kegiatan diadakan menyambut hari kelahiran Rasul, format acaranya pun beragam antara satu komunitas masyarakat dan komunitas yang lain. Namun secara garis besar, substansi seremonial peringatan maulid nabi ini tidak keluar dari lima hal: Pertama- bersedekah, baik kepada tetangga dekat maupun para kerabat, hal ini seperti tradisi yang dilakukan oleh masyarakat muslim Tunisia, mereka membuat Asidah (sejenis bubur manis) dibagikan kepada kerabat dan tetangga dekat. Kedua- berdzikir, dengan melalui pengajian-pengajian keagamaan, hal ini sebagaimana banyak diadakan di Indonesia, para penceramah tampil memberikan mauidzah hasanah kepada para jama’ah yang hadir. Ketiga- bersholawat, secara bersama-sama membaca sholawat kepada baginda Rasul, melantunkan syair, puji-pujian kepada Rasulullah SAW, hal ini seperti yang mewarnai peringatan maulid pada komunitas muslim Maroko. Keempat- Bertafakkur, bersama-sama mendengarkan sirah nabawiyah (sejarah Rasulullah SAW) yang dibacakan oleh beberapa orang melalui buku-buku sejarah Nabi, seperi ad Diba’I, Syaraf al Anam, al Barzanji, Simthu ad Durar, Dhiya al Lami’, hal ini seperti yang dilakukan oleh komunitas Muslim Yaman. Pembacaan sejarah ini lebih dikenal oleh kalangan pesantren di Indonesia dengan istilah “marhabanan”. Kelima- bakti sosial, yaitu dengan mengadakan gerakan peduli terhadap kondisi sesama, baik secara langsung dengan mengorganisir bantuan dan menyalurkannya, maupun secara tidak langsung, dengan mencari solusi tepat bagi problem sosial kemasyarakatan melalui seminar dan diskusi ilmiyah.

Dan hampir seluruh Negara Islam – mengacu pada pendapat mayoritas ulama yang menetapkan 12 Rabiul Awal sebagai hari kelahiran Rasul – menjadikan tanggal tersebut sebagai hari libur nasional, bahkan sebagai momen pertukaran Tahni’ah (ucapan selamat) seperti yang banyak dilakukan oleh para pimpinan Negara-negara Arab.

Antara legalitas dan realitas:

Tradisi peringatan maulid Nabi, pertama kali diperkenalkan kepada komunitas muslim pada masa dinasti Fatimiyah di Mesir (969-1171 M), dinasti Islam yang didirikan di Tunisia pada tahun 909 M dengan ibu kota Kairouan, kemudian melakukan ekspansi hingga ke Mesir dan menjadikan Kairo sebagai ibu kotanya.

Dalam perspektif fiqh Islam, terjadi pro-kontra seputar tradisi peringatan maulid nabi. Kalangan yang kontra adalah kelompok minoritas muslim yaitu golongan Wahabiyah/Salafiyah dan yang se-ideologi. Sebuah sekte Islam yang kental dengan metode tekstual dalam memahami ajaran Islam, sehingga apa yang tidak ditegaskan secara eksplisit dalam al Qur’an dan as Sunnah merupakan bid’ah (inovasi tanpa dalil) yang harus diberangus, dan sekte ini pun – dalam menggunakan as Sunnah - lebih menitik beratkan pada Sunnah Qauliyah (statemen Rasul) dari pada Sunnah Fi’liyah (aktivitas rasul) atau Sunnah Taqririyah (pengakuan implisit Rasul).

al Ikhtilaf (pro-kontra) ini timbul, karena sekte Wahabi/Salafiyah dan yang se-ideoligi hanya membatasi dalil pada teks lahir al Qur’an dan as Sunnah saja, sedangkan peringatan maulid Nabi – dalam bentuk seremonial – tidak ditegaskan dalam al Qur’an dan tidak disinggung oleh Rasulullah dalam as Sunnah. Namun, Jumhur Ulama (mayoritas ulama) membolehkan tradisi tersebut dan memandangnya sebagai bentuk ekspresi kegembiraan dan kecintaan kepada Rasulullah, dimana memuliakan dan mencintai Rasulullah telah dianjurkan baik dalam al Qur’an seperti firman Allah SWT: ”Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS 7:157), maupun as Sunnah seperti sabda Rasulullah SAW: ”Tidaklah beriman salah seorang dari kalian, sampai saya lebih dicintai olehnya dari pada orang tua, anak, dan semua orang” (HR. al Bukhari dan Muslim).

Ulama yang membolehkan tradisi peringatan maulid juga menyandarkan hukumnya pada dalil seperti al Istishlah (kaidah kemashlatahan), al Istihsan (kaidah kebaikan), dan Maqasid Syari’ah (Prinsip dasar Sayri’at), dimana mengorganisir masyarakat muslim untuk secara bersama-sama membaca Amdah Nabawiyah (pujian kepada nabi), Sirah Nabawiyah (sejarah nabi) dan sejenisnya dalam seremonial maulid merupakan sesuatu yang positif menurut perspektif Islam dan termasuk dalam lingkup Maqasid syari’ah berkenaan dengan syiar keagamaan. Sayangnya, para penentang tradisi maulid ini sama sekai tidak mentolerir dalil-dalil selain teks lahir al Qur’an dan as Sunnah, sehingga argumen Jumhur ulama (mayoritas ulama) ini tidak dianggap sebagai sebuah dalil yang valid.

Terlepas dari pro-kontra lingkup fiqh yang berimplikasi pada legalitas hukum, pada tataran realitas, justeru kegembiraan atas kelahiran Rasulullah SAW dan kecintaan kepadanya telah tercipta dalam masyarakat muslim secara alami tanpa ada sebuah polemik. Komunitas muslim dengan berbagai afiliasi sekte dan lintas negaranya mengakui bahwa bulan Rabiul Awal adalah bulan istimewa dalam kalender Islam. Dan mereka pun secara berkesinambungan memupuk rasa “cinta” kepada Rasul dengan berbagai cara. Paling tidak, kasus publikasi kartun nabi Muhammad yang digambarkan sebagai sosok teroris yang mengancam kedamaian dunia di beberapa media barat, dan telah mendapat respon agresif dari seluruh elemen muslim di dunia, adalah bukti bahwa rasa “cinta” itu benar-benar bersemayam dalam setiap pribadi muslim.


Meneladani spirit sejarah :

Inti dari datangnya bulan Rabiul Awal bagi setiap muslim adalah bagaimana bisa meneladani spirit yang terdapat pada sejarah nabi Muhammad SAW. Sebagaimana kita fahami, pada saat Nabi Muhammad dilahirkan ke alam dunia, bangsa Arab berada dalam posisi dehumanisasi, jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, sebab penguburan setiap bayi perempuan yang terlahir secara hidup-hidup dan pertumpahan darah menjadi fenomena keseharian saat itu.

Dengan kelahiran Rasulullah SAW, dan dengan misi Islam yang didakwahkannya, bangsa Arab pada akhirnya menjadi bangsa yang berperadaban, hingga bisa sejajar dengan bangsa-bangsa Persia, Romawi dan Yunani yang saat itu telah berada pada puncak kejayaan. Kemudian misi Islam yang bukan saja diperuntukkan bagi bangsa Arab, akan tetapi mencakup seluruh umat manusia bahkan bangsa jin sekalipun, telah disebarkan pula pada masyarkat non Arab, hingga saat ini Islam telah menyebar di berbagai penjuru dunia.

Hasil dakwah spektakuler ini tidak tercapai hanya dengan berpangku tangan, Rasulullah telah memberikan contoh konkrit dengan terjun langsung sebagai da’i handal yang tahan banting, tokoh yang tidak gentar dalam menghadapi berbagai ancaman dan rintangan. Pribadi yang mampu berdialog dengan zaman sehingga membawa perubahan signifikan bagi sejarah umat manusia. Padahal, secara kehidupan pribadi, Muhammad adalah sosok yatim yang hidup sederhana bukan dari kalangan bangsawan. Maka spirit hidup seperti inilah yang semestinya menjadi penekanan perhatian umat Islam pada saat tibanya bulan Rabiul Awal, bulan kelahiran Rasulullah SAW.

Akhirnya, walaupun segelintir komunitas muslim kontra terhadap peringatan maulid nabi, namun kegiatan bersedekah, berdzikir, bersholawat, bertafakkur, bakti sosial yang kerap mengisi setiap peringatan maulid telah menjadi ijma’ (konsesus ulama) dalam hukum dianjurkannya. Minimal - sebagai seorang muslim – kita merasakan kegembiraan dengan datangnya bulan Rabiul Awal, momen tibanya bulan ini, merupakan kesempatan kita untuk kembali meneladani sejarah hidupnya, sehingga rasa cinta itu akan selalu bersemayam dalam hati, cinta kepada tokoh yang diekspresikan dalam gubahan syair seorang sufi besar al Bushairi (w: 695 H / 1295 M): “sebagai sosok pemimpin lintas batas, pemimpin para penghuni langit dan penghuni bumi, pemimpin bangsa jin dan manusia, masyarakat Arab dan non Arab”. Wallahu A’lam.


Friday, March 7, 2008

Ritual Yahudi Maroko: devisa Negara?

Oleh: Arwani Syaerozi

“al Massae” surat kabar bonafid di Maroko menurunkan liputan menarik seputar aktifitas umat Yahudi di Maroko, hari ini (Jum’at 7/03/08) dalam rublik politiknya mengupas ritual tahunan komunitas Yahudi Maroko, baik yang masih menetap maupun yang telah tinggal di luar. “500 wisatawan asing Yahudi akan datang untuk melaksanakan Haji di kota Tetouan” tulis harian al Massae dalam judul besarnya. Acaranya sendiri akan berlangsung selama tiga hari, yaitu dari tanggal 14 sampai 16 Maret.

Dalam sejarah Maroko, Tetouan merupakan salah satu kota yang pernah menjadi pusat kaum Yahudi, pada zaman dulu kota ini menampung sekitar 35 ribu orang Yahudi. Namun, saat ini hanya tersisa 7 keluarga saja yang masih bertahan tinggal di kota yang secara geografis terletak di ujung utara kerajaan Maroko. Sebab mayoritas dari mereka telah hijrah ke Israel dan beberapa Negara Eropa. Menurut Ester bin Dahan - penulis Yahudi asal Tetouan yang sekarang telah menetap di Spanyol – orang Yahudi di Tetouan memutuskan untuk hijrah disebabkan oleh kondisi yang tidak menjanjikan, “posisi kami di Tetouan termarjinalkan” jelas Ester.

Ritual tahunan Yahudi Maroko yang diberi nama “Kelahiran haylulah ar Ra’bain Ishak bin al Walid” ini sampai sekarang masih menjadi seremonial tertutup, pasalnya, mereka masih khawatir dengan aksi penentang Yahudi, gelombang anti Zionis Israel kerap memukul rata kaum Yahudi secara keseluruhan, walaupun sebenarnya rakyat Maroko telah dewasa dalam menyikapi perbedaan (Islam-Yahudi). Hal inilah yang mendorong instansi keamanan Maroko bekerja ekstra dalam melindungi komunitas Yahudi dalam melaksanakan ritual keagamaannya. Sebab kerajaan yang dipimpin oleh Amir al mu’minin (pimpinan kaum beriman) ini memberikan rakyatnya hak kebebasan berakidah dan menjalankan keyakinannya.

Bagaimanapun, Maroko yang sedang gencar mempromosikan produk pariwisata dan menjadikannya sektor terbesar dalam devisa negera, berusaha untuk mensukseskan ritual keagamaan tersebut. Walaupun di banyak tempat di bumi Maroko - saat ini - sedang marak diadakan demonstrasi menentang kebiadaban kaum Zionis Israel terhadap bangsa Palestina. Slogan: “Israel mampus !!!” dan pembakaran bendera Israel yang menjadi pemandangan lumrah dalam setiap aksi demonstrasi, tidak akan mengganggu jalannya seremonial ini, sebab rakyat Maroko telah mampu membedakan antara jaringan Zionis dan umat Yahudi secara umum.