Tuesday, November 20, 2007

Memperkenalkan “tafsir maqasidi”

Oleh: Arwani Syaerozi

Diskursus seputar “pengkajian al Qur’an” selalu hangat diperbincangkan, pertengahan April 2007 yang lalu, simposium ilmiyah internasional yang mengusung tema “metode alternatif penafsiran al Qur’an” diadakan di kota Oujda Maroko. Kegiatan ilmiyah yang memakan waktu selama tiga hari ini (18, 19, 20) sengaja dikonsentrasikan pada kajian seputar tafsir maqasidi (tafsir al Qur’an melalui pendekatan maqasid syari’ah). Apakah tafsir ini dianggap sebagai model yang dapat memaksimalkan peran tafsir al Qur’an dalam menyentuh problematika umat? Apakah tafsir maqasidi sebagai alternatif untuk menghindari “pendekatan hermeneutika” yang selama ini digembor-gemborkan oleh kalangan kiri Islam? Sejauh manakah efektifitas tafsir maqasidi dalam memberikan pemahaman masyarakat muslim terhadap isi kandungan al Qur’an?

Kajian tafsir maqasidi yang diangkat sebagai topik utama dalam simposium saat itu, mengacu pada tiga tujuan, yaitu; meningkatkan budaya membaca al Qur’an, budaya menghayati makna kandungan, dan budaya mengaplikasi ajarannya. Diskusi tafsir maqasidi tetap mengacu pada eksistensi keistimewaan al Qur’an sebagai wahyu illahi (kitab suci), yang menjadi petunjuk bagi umat Islam.

Kacamata Maqasid Syari’ah:

Aliran dalam Tafsir bisa kita sederhanakan menjadi dua kelompok besar; pertama, yang berkonsentrasi pada dzahir (sisi lahir) teks al Qur’an. Biasanya, metode ini hanya mengandalkan tafsir bi al Ma’tsur (dengan riwayat hadits dan pendapat ulama klasik) saja. Metode kedua, bukan hanya berhenti pada sisi lahir teks al Qur’an, akan tetapi melampaui ke al Maqasid (titik tujuan) dari sebuah teks, model ini melegalkan tafsir dengan ar Ra’yu (nalar ijtihad) yang akan membawa para mufassirin (pakar ilmu tafsir) bisa mendialogkan teks al Qur’an dengan realita zaman lebih leluasa.

Pemetaan di atas, sebagaimana yang digambarkan oleh Ahmad Raisuni, pakar maqasid syari’ah dari universitas Muhammad V Maroko (al madkhal ila al maqasid: 8-9), dan dalam pemetaan ini, kita bisa melihat bahwa dengan pendekatan maqasid syari’ah akan membawa tafsir al Qur’an lebih lentur mengikuti perkembangan zaman, isi kajian tafsir pun akan selalu aktual karena memperhatikan konteks tempat dan waktu, dan yang demikian ini tidak lain merupakan pesan universalitas al Qur’an sendiri (Qs. An Nahl: 89, al An’am: 38, al Maidah:3)

Pada tataran teorisnya, tafsir al Qur’an dengan pendekatan maqasad syari’ah, tidak sepenuhnya menolak ide segar yang ditawarkan oleh produk pemikiran barat dalam pandangannya terhadap teks keagamaan. Sebab metode tafsir ini juga mengakomodir kajian lingusitik, sosiologi, antropologi dan histori namun dengan kadar tertentu, dan para ulama Maghrib Arabi yang membidani tafsir maqisidi ini sepakat mengusungnya dengan terlebih dahulu memposisikan ayat-ayat al Qur’an sebagai wahyu Illahi (kitab suci) yang tidak bisa diganggu gugat keistimewaannya dan tidak bisa disejajarkan dengan kalam manusia. Point inilah yang membedakan antara ide hermeneutika yang dipopulerkan oleh peradaban barat (non muslim) dengan ide tafsir maqasidi yang diusung oleh para pemikir Islam asal Maghrib Arabi (wilayah barat Arab).

Pada saat yang sama, tafsir maqasidi tidak mengadopsi sepenuhnya model tafsir yang selama ini ditawarkan oleh ulama-ulama klassik, terutama yang membatasi tafsir al Qur’an hanya bi al Ma’tsur (dengan riwayat hadits dan pendapat ulama klasik). Dengan demikian, tafsir ini lebih ditekankan sebagai upaya mencari metode yang tepat untuk menafsiri ayat-ayat al Qur’an sesuai dengan peradaban manusia modern.

Maqasid Syari’ah dan Teks Keagamaan:

Syari’at Islam melalui hukum-hukum dan teks-teks sucinya memiliki tujuan dan hikmah yang berorientasi pada kemaslahatan umat manusia. Dengan keyakinan ini, ulama ushul fiqh membidani lahirnya kajian khusus seputar maqasid syari’ah. Dan pada akhir abad ke-20, oleh ulama asal Tunisia at Tahir Ibn Asyur (w: 1973) kajian ini diindependenkan dari kajian ushul fikih, sehingga saat ini, kita lebih mengenalnya dengan ilmu maqasid syari’ah. Pada perkembangannya, Fan keilmuan ini tidak hanya dimaksud untuk mengkaji essensi syari’at (dalam arti wacana) saja, akan tetapi, ilmu maqasid syari’ah pada prakteknya banyak membantu kalangan ulama dalam memahami teks-teks al Qur’an dan as Sunnah. Terutama saat memahami nash (teks) yang memiliki tingkat Dznonniyatu ad Dalalah (makna yang tidak fix), yang makna lahirnya tidak sejalan dengan maqasid syari’ah. Dalam hal ini, ulama akan berusaha mengarahkan makna teks tersebut agar sesuai dengan maqasid syari’ah. (Thuruq al Kasyf an Maqasid as Syari’ah: 46)

Sebagaimana kita maklumi, bahwa hubungan antara teks, makna dan maqasid (tujuan dibalik makna) adalah lingkup kajian tafsir maqasidi (pendekatan maqasid syari’ah). Di mana setiap lafadz (kata) memiliki makna, dan di balik makna terdapat maqasid (tujuan). Tujuan atau maqasid inilah yang menjadi penekanan mufassirin (pakar tafsir) yang berorientasi pada aliran maqasidi. Artinya, para pakar tafsir diarahkan untuk melepas perhatiannya dari sekat-sekat makna lafadz (kata) apalagi makna lahirnya. Biasanya, dari kalangan ulama Islam yang lekat dengan metode ini adalah ulama sufi, sebab dengan dzauk (intuisi) yang mereka legalkan, ulama sufi bisa mendalami lebih jauh makna ayat-ayat al Qur’an dan as Sunnah, bahkan cenderung menepikan “perangkat bedah” yang diformulasikan oleh ulama ushul fikih seperti kriteria ta’wil (mengalihkan) makna, takhsis (penyederhanaan) makna dsb.

Pertanyaan yang muncul di sini adalah; bagaimana dengan istinbathu al ahkam al fikhiyyah (proses pengambilan hukum fikih) yang disandarkan pada metode tafsir maqasidi terhadap teks-teks al Qur’an dan as Sunnah? Bukankah lingkup kajian ushul fikih telah ditetapkan hanya pada relasi lafadz (kata) dengan lafadz, atau lafadz dengan makna? Dan bukankah cakupan fikih dan ushulnya hanya berhenti pada dzahir (sisi lahir) dan makna teks saja?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas – menurut saya – pernah dituangkan melalui ide brilian tokoh asal Tunisia at Tahir Ibn Asyur dalam bukunya “al Maqasid as Syar’iyah”. Di mana tokoh yang digelari sebagai imam Syatibi kecil ini menyuarakan untuk membangun ushul fikih (landasan fikih) baru, landasan fikih yang dititik beratkan pada hal yang bersifat qath’I (pasti) yaitu maqasid syari’ah. Sebab menurutnya, ushul fikih yang ada saat ini sifatnya dzanni (tidak pasti), akibatnya, hukum fikih yang tercipta pun rentan ikhtilaf (berbeda pendapat), bahkan fikih Islam – menurutnya - tidak akan eksis mengikuti zaman apabila hanya ditopang dengan formulasi ushul fikih klasik tanpa dikembangkan dan dilengkapi dengan maqasid syari’ah (Maqasid as Syari’ah: 42).

Sinyal Tafsir Maqasidi:

Dua kitab tafsir dan satu pandangan tafsir yang pernah ditulis oleh ulama kita, memberi "sinyal" atas model tafsir al Qur’an dengan pendekatan maqasid syari’ah. Pertama, buku tafsir “Ahkam al Qur’an” yang disusun oleh imam Ibn al Arabi (w: 543 H), kedua buku tafsir at Tahrir wa at Tanwir karya imam besar masjid Ezzitouna Tunisia at Tahir Ibn Asyur, dan ketiga pandangan tafsir yang digagas oleh imam Khomaini (w: 1989) ulama besar yang juga pimpinan revolusi Islam di Iran

Muhammad Kajoui – pakar tafsir dari universitas Muhammad V Maroko – dalam sebuah kuliyahnya memaparkan bahwa; “Ahkam al Qur’an” buku tafsir yang ditulis pada abad ke 6 Hijriyah ini, memiliki banyak indikasi yang mengarah pada metode Ibn al Arabi (penyusun) menggunakan pendekatan maqasid syari’ah. Di antaranya, proses tarjih (mengunggulkan pendapat) yang dituangkan dalam bukunya selalu disandarkan pada sisi maqasid. misalnya pada pembahasan Qs. An Nur: 4. Bahwa ulama sepakat apabila tuduhan berzina diungkapkan secara tasrih (eksplisit), maka hukumnya al qadzf (pencemaran nama baik) yang harus di hukum cambuk. Akan tetapi apabila secara ta’rid (implisit) ulama berbeda pendapat, madzhab Maliki menetapkan sama seperti halnya eksplisit, artinya tetap terkena hukum cambuk, namun menurut madzhab Hanafi dan Syafi’I bukan al qadzf (pencemaran nama baik). Pada kasus ini, Ibn al Arabi menegaskan bahwa pendapat Maliki lebih tepat karena mendekati maqasid syari’ah (tujuan) atas disyariatkannya hukum al qadzf. (Ahkam al Qur’an: jld. 3 hlm. 342)

Begitu juga dengan buku tafsir at Tahrir wa at Tanwir karya Ibn Asyur. Dalam hal ini, penulis kontemporer al Maisawi melalui resensinya menguatkan; bahwa pemikiran Ibn Asyur secara umum banyak terpengaruh oleh sudut pandang Imam as Syatibi (w: 790 H). Untuk itulah, tidak heran jika dalam menafsiri ayat-ayat al Qur’an, Ibn Asyur banyak melandaskan pada at tahlil al maqasidi (penguraian ayat dari sisi Maqasid syari’ah).

Sebagai pelengkap, kita juga bisa menengok pandangan-pandangan tafsir Imam Khomaini melalui beberapa karya tulisnya, di mana sinyal adanya pendekatan maqasid pada pandangan tafsir Imam Khomaini ini pernah dikupas oleh Abd. Salam Zainal Abidin saat membedah pemikiran tafsirnya melalui buku Manhaj imam Khomaini fi at Tafsir (metode tafsir Imam Khomaini). Dia mengatakan, bahwa tafsir maqasidi yang diterapkan oleh Imam Khiumaini ini mengacu pada tiga unsur penting, yaitu; ar Riwa’I (riwayat), al Irfani (hikmah), dan at Tadabbur al Aqli (nalar akal) tiga unsur penting inilah yang kemudian mendominasi pandangan-pandangan tafsir pimpinan besar revolusi Islam Iran. (Manhaj imam al Khomaini fi at Tafsir: 1998)

Epilog:

Kata Maqasidi dalam susunan kalimat “tafsir maqasidi” berposisi sebagai nisbat, yaitu menisbatkan cara menafsiri al Qur’an dengan pendekatan maqasid syari’ah, ide pengguliran tafsir ini, sebenarnya dikembalikan pada para penyemangat kajian maqasid syari’ah seperti imam al Izz bin Abdus Salam (w: 660 H), al Qarrafi (w: 684 H), Najmu Dien at Thufi (w: 717 H), as Syatibi (w:790 H), at Thahir Ibn asyur (w:1973), Alal al fasi (w: 1973). Di mana Ibn Asyur sendiri tegas menyatakan bahwa; dalam memahami teks-teks syari’at (al Qur’an dan as Sunnah) mutlak dibutuhkan pengetahuan seputar maqasid syari’ah. (Maqasid as Syari’ah: 847)

Dengan demikian, terobosan ulama Maghrib Arabi (wilayah barat Arab) untuk mendiskusikan pembacaan al Qur’an melalui tafsir maqasidi (pendekatan maqasid syari’ah) akan melengkapi corak tafsir yang selama ini telah eksis di tengah-tengah kita, seperti; tafsir falsafi (pendekatan filsafat) yang mewarnai tafsir al kabir karya Fahru ad Dien ar Razi (w: 604 H), tafsir Ijtima’i (pendekatan sosial kemasyarakatan) yang terkandung dalam tafsir al Manar yang disusun oleh Rashid Ridho (w: 1935), tafsir Adabi (pendekatan kesusastraan) yang pernah ditekuni oleh Amin al Khuli (w: 1966), tafsir maudhu’i (pendekatan tematik) yang pernah digagas oleh Sayyid Sabik (w: 2000).

Sebenarnya, topik seputar tafsir maqasidi pernah diangkat secara tuntas oleh Nuruddin Qirath dalam disertasi doktoralnya (di universitas Muhammad V) tentang tafsir maqasidi menurut perspektif ulama Maghrib Arabi, begitu juga oleh profesor Jelal al Merini dari universitas al Qurawiyien dalam bukunya Dhowabitu at Tafsir al Maqasidi li al Qur’an al Karim (ketentuan tafsir maqasidi terhadap al Qur’an), dan Hasan Yasyfu, dosen senior di universitas Oujda Maroko dalam bukunya al Murtakazaat al maqasidiyah fi tafsir an Nash ad Dini (penekanan sisi maqasid dalam menafsiri teks keagamaan), namun sebagai pendongkrak ide yang dituangkan melalui karya-karya tulis mereka ini, komunitas ulama, intelektual, dan akademisi Maroko bahu membahu mensosilaisasikannya melalui simposium ilmiyah internasional pada bulan April yang silam. Wallahu A’lam

* Tulisan ini dipublikasikan di situs resmi BKPPI www.jurnalislam.net/id

Sunday, November 4, 2007

Melacak "preman" dalam organisasi

Oleh: Arwani Syaerozi

Ada berita menarik yang dilansir majalah gatra online (Kamis, 1/11/07), seputar tindak tanduk preman kampung yang sering meresahkan warga desanya dan berakhir dengan kematian tragis ditangan warga. Preman yang tinggal di desa Toso kecamatan Bandar kabupaten Batang Jawa tengah

Berita itu melaporkan; sejak lama korban sudah meresahkan ketenangan warga Desa Toso, dia tidak segan-segan melukai warga yang tidak mengikuti keinginannya, Warga menilai korban ini dikenal sebagai preman kampung dan tidak segan-segan juga merusak infrastruktur bangunan warga yang berusaha melawannya. Karena sering diancam, puncaknya warga yang semula ketakutan berbalik marah dan bersama-sama menggeruduk rumah sang preman. (www.gatra.com/ 1/11/07)

Dalam kasus di atas, Preman terjun di dunia fisik dan materi, mengintimidasi dan merampas harta benda, memaksa orang lain untuk memberikan apa yang diinginkan. Awalnya warga ketakutan dan selalu menerima dan mengkabulkan setiap “keinginan gila” sang preman. Namun akumulasi dari kesewenang-wenangannya, warga menjadi marah, kesabaran hilang, dan berujung dengan peristiwa tragis. Aparat pemerintah yang akan menindak “sang preman” secara jalur hukum tidak berdaya akibat emosi massa yang meluap.

Kalau kita amati, dalam dunia organisasi dan akademisi kasus serupa banyak terjadi. Sadar atau tidak, di tubuh sebuah organisasi kadang terdapat “preman” yang berprilaku persis seperti pemberitaan majalah online Gatra di atas. Bedanya, preman dalam organisasi tidak merampas harta benda, tidak mengintimidasi secara fisik dan tidak menodong pisau ke leher. Akan tetapi merampas kestabilan organisasi, menebarkan intimidasi maknawi, memprovokasi informasi, dan tidak segan-segan memutar balikkan fakta.

Imbas negatif “preman” jenis kedua ini, lebih dahsyat jika kita bandingkan dengan preman kampung yang diberitakan Gatra. Preman kampung hanya menimbulkan kebencian warga terhadap dirinya saja, sedangkan “preman organisasi” - dengan kemampuan mempropaganda fakta dan mengemas niat busuk dengan nalar akademisnya – akan memberikan dampak kerancuan luas dan mahadahsyat bagi komunitasnya, di samping menimbulkan kebencian komunitas terhadap prilaku antar sesama (fitnah).

Padahal, yang dibutuhkan dalam berorganisasi adalah kedewasaan sikap, kelapang dada-an watak dalam segala situasi dan kondisi, berorganisasi hanya butuh ide dan kritik yang sifatnya konstruktif bukan destruktif, berorganisasi adalah upaya mengelola beragam visi dan misi agar bisa berjalan se-irama, berorganisasi tujuannya untuk memproses diri menjadi “mapan” bukan “preman”.

Walhasil, preman jenis kedua ini, biasanya sering memperjuangkan “kepentingan pribadi” dengan mengatas namakan hak asasi manusia (HAM), kebebasan berpendapat, intelektualitas bahkan motif organisasi. Indikasinya; apabila mengungkapkan kritik, ide, tanggapan dan pemikiran, tidak melalui mekanisme yang semestinya (tidak prosedural) bahkan tidak mengindahkan kode etik dan moral. Kesan yang menonjol pun selalu emosional, subyektif dan provokatif.

Jelas antara dua jenis “preman” di atas berbeda; yang pertama menyerang warga melalui intimidasi fisik, yang kedua merampas hak, melempar kewajiban dan mempropaganda fakta melalui media. Preman yang pertama kerap membunuh nyawa, sedangkan preman yang kedua selalu berusaha membunuh karakter.

Namun, saya tetap melihat titik persamaan antara kedua jenis preman ini, yaitu, sama-sama “brutal menyerang” dan sama-sama menyandang titel “kampungan”. Wallahu A’lam