Monday, October 22, 2007

Sisi lain fikih Ibn Hazm

Oleh: Arwani Syaerozi

Kebanyakan, orang mengenal Ibn Hazm al Andalusi (w: 456 H) sebagai sosok yang kaku dalam memahami agama. Pengusung fikih madzhab Dzahiri (aliran tekstual) ini, kerap dijadikan sebagai “ikon” penentang kaum rasionalis Islam, yang termasuk di dalamnya para fuqaha arba`a (ulama empat madzhab). Dimana Ibn Hazm – dalam pernyataan eksplisitnya - menolak al qiyas (dalil analog) yang telah disepakati oleh jumhur ulama (mayoritas ulama) sebagai salah satu landasan hukum syari’at, bahkan menganggap pencetus pertama dalil analog adalah Iblis.

Ibn Hazm yang memiliki nama lengkap Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm ini memiliki kakek bernama Yazid yang berkebangsaan Persia (Iran). Yazid sendiri adalah salah seorang hamba sahaya (budak) milik Yazid bin Abi Sofyan (w: 19 H) saudara Muawiyah bin Abi Sofyan (w: 60 H). Setelah dimerdekakan dari status budak, keturunan Yazid terus menjalin hubungan baik dengan keturunan Muawiyah, sehingga kedekatan dua keluarga besar ini menjadikan pribadi Ibn Hazm setia dan fanatik terhadap dinasti bani Umayah di Andalusia (Spanyol).

Berkaitan dengan sosok Ibn Hazm yang kontroversial, isu negatif dan tuduhan miring kerap dihembuskan. Cap sebagai “antek Nasrani” sempat disematkan kepadanya, bahkan pakar sejarah klassik semisal Abu Hayan al Wahidi meragukan geneologinya yang memiliki darah keturunan Persia. Atau penulis Muhammad Toha al hajizi dalam bukunya “Ibn Hazm Potret Andalusia” sempat meragukan ke-Islaman para pendahulu nasabnya (hlm : 23).

Di sisi lain, sejarawan Arab kenamaan al Jiyani (w: 462 H) meyakinkan validitas nasab yang diakui oleh Ibn Hazm. Hal ini membuat Abu Zuhrah – penulis buku Biografi pemikiran Ibn Hazm – memvonis; “yang paling faham akan garis nasabnya hanyalah Ibn Hazm sendiri“. Artinya, beliau adalah keturunan bangsa Persia dan tidak diragukan ke-Islaman para pendahulu nasabnya.

Terlepas dari pro kontra geneologinya, yang jelas Ibn Hazm telah memiliki kontribusi luar biasa bagi dunia Islam. Melalui kiprah dan puluhan karya tulisnya yang lintas spesifikasi keilmuan, beliau digelari juga sebagai filusuf, teolog, sejarawan, sastrawan, pakar fikih, negarawan, akademisi dan politisi yang handal. Dua karya monumentalnya al Ihkam fi Ushul al Ahkam (Ushul Fikih) dan kitab al Muhalla (Fikih) menjadi rujukan utama fuqaha mu’ashirin (pakar fikih kontemporer) dalam upaya penyelarasan khazanah fikih Islam.

Dalam tulisan ini, ada tiga point yang akan menjadi barometer untuk menyelami sisi lain fikih Ibn Hazm, dimensi yang mungkin belum pernah diekspos atau jarang “dilirik” oleh para penulis, kalau tidak saya katakan belum “terjamah” sama sekali. Yaitu; fikih kemaslahatan, fikih rasional, dan fikih ekologi.

Fikih kemaslahatan:

Secara eksplisit, Ibn Hazm menyatakan bahwa landasan hukum Islam hanya terbatas pada dua sumber saja, yaitu dzahir (sisi lahir) teks al Qur’an dan as Sunnah, selain dua sumber tadi, tidak bisa dijadikan rujukan hukum. Otomatis beberapa dalil yang disepakati oleh jumhur (mayoritas) ulama seperti al Qiyas (analog) tidak termasuk dalam dalil syar’i.

Keterbatasan dalil yang ditetapkan oleh Ibn Hazm ini, tidak berarti membawa kita pada kesimpulan bahwa; fikih Ibn Hazm tidak berorientasi pada kemaslahatan. Walaupun opini publik yang berkembang demikian, diperkuat dengan statemen eksplisit dalam beberapa bukunya semisal; al Ihkam fi ushul al Ahkam (1980), an Nubdzah al Kafiyah (1940), Mulakhosh fi ibtholi al Qiyas wa ar Ra’y wa al Istihsan wa at Taqlid wa at Ta’lil (1982). Namun, kalau kita menyelami lebih dalam samudera pemikiran melalui ensikolpedi fikihnya kitab al Muhalla (1353), maka kita akan disuguhkan nuansa lain, fikih yang berorientasi kemaslahatan akan banyak kita temukan dalam bentuk parsialnya, kita pun sepertinya dihadapkan pada kenyataan paradoksal antara tataran teori dan tataran praktis tokoh asal Andalusia abad ke lima hijriyah ini.

Salah satu indikasinya adalah; keberpihakan Ibn Hazm pada konsep “kedaulatan kepemilikan”, Ibn Hazm mendukung hak mutlak dalam menggunakan kepemilikan. Kepemilikan seseorang terhadap sesuatu, membuat dia bebas menggunakan dan memanfaatkannya. Apalagi dalam keadaan susah, pemilik boleh memanfaatkannya tanpa mempertimbangkan efek buruk yang timbul bagi orang lain. Pada posisi dilematis inilah beliau tetap mempertahankan pembolehan memanfaatkan kepemilikannya, walaupun akan ada pengaruh negatif bagi orang lain. Sebab – menurut Ibn hazm - melarang pemilik untuk memanfaatkan, padahal dia sendiri dalam keadaan susah, dengan alasan menghindari kesulitan yang akan menimpa orang lain, adalah sesuatu yang tidak ada justifikasi syari’atnya, justeru hal ini akan lebih memberikan dampak negatif bagi sang pemilik. (al Muhalla Jld. 8 hlm. 241)

Dalam kasus di atas, menghindarkan kesulitan yang akan menimpa “pemilik” lebih diprioritaskan oleh Ibn Hazm, dari pada menghindarkan kesulitan yang sama yang akan menimpa orang lain. Di sinilah, kita bisa melihat kejelian beliau dalam menimbang kemaslahatan, sebab terlepas dari kesulitan adalah sebuah kemaslahatan. Mengapa Ibn hazm memprioritaskan sang pemilik? Jelas, karena faktornya adalah berhubungan dengan “hak milik”, yang di situ terkandung unsur “hak menggunakan dan memanfaatkan”, dan hak-hak ini harus dilindungi secara hukum.

Fikih rasional:

Islam adalah agama yang mengkhitobi akal, ajaran Islam mendorong umat manusia untuk berfikir dan meneliti apa yang terjadi disekelilingnya untuk kemudian disikapi, bahkan Islam menganjurkan umatnya untuk mengamati setiap perubahan yang terjadi pada seisi alam (Qs. al Baqarah: 164, Ali Imran: 190-191, az Zumar: 5) sehingga manusia benar-benar sadar akan eksistensi kehidupan dan adanya sirkulasi pelaku kehidupan yang merupakan sunnatullah (hukum alam).

Pada struktur bangunan fikih, akal memiliki peran yang signifikan dalam proses istinbath al ahkam (menarik kesimpulan hukum). Akal memahami problematika umat, menalarnya dengan teks, atau menganalogkkan dengan kasus lain yang sepadan, kemudian menarik kesimpulan hukum. Sebagai pakar fikih yang tekstual, ternyata Ibn Hazm sangat mengapresiasi peran akal pikiran dalam hal ini, bahkan menjadikannya sebagai landasan metodologi berijtihad. Secara tegas dia menyatakan; tidak ada benturan antara akal sehat dengan teks syari’at, justeru keduanya akan saling bertemu dan menguatkan (al Ihkam: Jld. 8 hlm. 138). Meminjam istilah yang digunakan oleh al Ghazali (w: 505 H) “Syari’at adalah akal dari luar diri manusia, dan akal adalah syari’at dari dalam diri manusia” (Ma’arij al Quds: 57)

Senada dengan penegasan tadi, pakar maqasid syari’ah Izzuddin bin Abd. Salam (w: 660 H) memperkuat bahwa; kemashalatan dan kemafsadatan duniawi ditemukan dengan rasio, begitu juga dengan kebanyakan hukum syari’at, akal banyak berperan di dalamnya (Qawaid al ahkam, Jld. 1 hlm. 4) Artinya, kebanyakan hukum syari’at sifatnya rasional, bisa dinalar dengan akal sehat.

Berkaitan dengan hal ini, Ibn Hazm dalam bukunya al Muhalla mendiskusikan kasus pernikahan yang tidak sesuai dengan persyaratan yang diajukan sebelumnya, seseorang yang menikahi perempuan dengan catatan perempuan tersebut tidak cacat, ketika usai akad nikah ternyata tidak sesuai dengan permintaannya (bebas dari cacat), maka akad pernikahan tadi - menurut Ibn Hazm - diangap batal, bahkan perempuan tadi tidak berhak menerima mahar, tidak ada konsekuensi warisan, hukumnya sama seperti tidak terjadi akad nikah sebelumnya, sebab yang dimaksud untuk dinikahi oleh mempelai pria adalah wanita normal, sedangkan wanita cacat tidak yang dimaksud untuk dinikahi. (al Muhalla: Jld. 10 hlm. 110) Pada statemennya ini, Abu Zuhrah menegaskan bahwa; Ibn Hazm hanya melandaskan pendapatnya pada argumen rasional saja, tidak pada dalil syar’i yang lumrah digunakan (Biografi pemikiran Ibn Hazm, Hlm. 506-507).

Di sini, tampak sekali usaha Ibn Hazm dalam merasionalkan argumennya, apalagi pada alasan yang dikemukakan yaitu “perempuan cacat bukanlah perempuan yang normal, ini tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh mempelai pria”, dari argumen ini, beliau menarik kesimpulan bahwa akad pernikahannya batal dan sama sekali tidak memiliki konsekuensi hukum.

Apresiasi Ibn Hazm terhadap peran akal, dapat juga kita lihat dari sub judul yang dituangkan dalam buku ushul fikihnya, yaitu al Ihkam fi ushul al Ahkam, disitu terdapat pembahasan khusus mengenai Hujjiyat al ‘Aql (Argumen akal), begitu juga dalam dua buku lainnya yaitu al Fishal fi al Milal wa al Ahwa’i wa an Nihal (1986) dan at Taqrib li Haddi al Mantiq (2003). Dari sudut pandangnya, Ibn Hazm bisa digolongkan pada “poros tengah”, yaitu kalangan yang tidak menganggap akal sebagai tumpuan utama dalam istinbath al ahkam (menarik kesimpulan hukum), pada saat bersamaan tidak pula menafikan peran signifikan akal pikiran. Istilah pemetaan “lahan” yang bisa dijamah oleh akal dan “lahan” yang tidak bisa dijamah pun dijabarkan dalam pembahasan seputar hujjiyat al Aql (Argumen akal).

Fikih ekologi:

Kata “ekologi” di sini mencakup dua hal; lingkungan masyarakat dan lingkungan hidup. Di balik kesan radikal dari fikih Ibn Hazm yang tekstual, ternyata ada beberapa pendapat fikihnya yang membawa pesan “ramah lingkungan”, sebagai salah satu upaya untuk menjaga keharmonisan hidup dan kelangsungan kehidupan.

Andalusia – pada masa Ibn Hazm - sebagai bumi Islami yang multi budaya, ras, dan agama, membutuhkan keseriusan dalam menampung perbedaan. Terutama masalah kesenjangan sosial, yang ternyata mendapat perhatian khusus dari Ibn Hazm. Pesan “solidaritas” bisa dilihat dari pendapatnya yang menetapkan hukum wajib bagi kalangan konglomerat untuk memenuhi kebutuhan hidup (sandang, pangan dan papan) orang-orang miskin. Sebagai penunjang teknisnya, Ibn Hazm memandang kewajiban pemerintah untuk turun langsung mengorganisir para konglomerat dan memaksanya jika menolak. Ketentuan hukum ini, apabila dana pemerintah melalui zakat, dan bait al Maal (dana kesejahteraan) tidak mencukupi. (al Muhalla Jld. 6 hlm. 156).

Ahmad Syakir - sebagai pengamat fikih Ibn Hazm - mengomentari pendapat tersebut: Ini adalah pendapat yang sangat brilian dalam nalar fikihnya, sebab melalui keyakinannya, Ibn Hazm telah mencoba membumikan pandangan yang menyatakan bahwa syari’at Islam puncak kebersamaan dan keadilan. (ibid Jld. 6 hlm. 156) Kewajiban berbagi yang ditekankan oleh Ibn Hazm, tidak lain merupakan makna kebersamaan yang pada akhirnya membawa pada keharmonisan hubungan horizontal antara sesama manusia.

Sedangkan fikih Ibn Hazm yang kompeten terhadap lingkungan hidup, kita dapat menyimak perhatiannya dalam meminimalisir kerusakan alam, terutama berkaitan dengan polusi udara. Ibn hazm berpendapat bahwa mengekspor asap (berasal dari dapur dsb) secara berlebihan dan menimbulkan keresahan masyarakat sekitar hukumnya haram (al Muhalla Jld. 8 hlm. 241). Memang kasus yang diungkapkan oleh Ibn Hazm ini lebih mengarah pada interaksi sosial, akan tetapi kalau kita tinjau dari aspek lingkungan, fikih yang ditawarkan olehnya juga sarat dengan pesan “ramah lingkungan”. Bagaimanapun, masyarakat akan resah dengan polusi udara, dan pelarangannya ini menjadi indikasi perhatian Ibn Hazm terhadap kondisi lingkungan hidup.

Kesimpulan:

Dengan contoh fikih kemaslahatan, Ibn Hazm ternyata berbicara dalam konteks fikih dengan kacamata kemaslahatan, melampaui batas-batas dzahir (sisi lahir) teks al Qur’an dan as Sunnah yang menjadi trademark pemikirannya. Dari sini kita pun bisa melihat adanya kontradiksi antara statemen eksplisit dalam pembatasan dalil hanya pada dzahir (sisi lahir) teks al Qur’an dan as Sunnah dengan realita yang terjadi dalam fatwa dan ijtihadnya. Sebab dalam beberapa kasus, ternyata beliau pun melandaskan fatwa dan ijtihadnya bukan hanya pada sisi lahir teks syari’at saja

Pada fikih rasional, apresiasi Ibn Hazm terhadap peran akal dalam istinbath al Ahkam (mengambil keputusan hukum), membawa kita pada kesimpulan, bahwa dia juga termasuk tokoh yang mencoba me-rasionalkan syari’at Islam, walaupun usahanya ini tidak mendominasi dalam ensiklopedi pemikirannya. Setidaknya Indikasi ke arah itu terlihat pada pendapatnya yang menafikan perseteruan antara akal dan syari’at. Sedangkan tinjauan fikih ekologi yang mencakup lingkungan masyarakat dan lingkungan hidup, membawa kesimpulan bahwa orientasi fikih Ibn Hazm bukan hanya pada dimensi hubungan vertikal, akan tetapi juga mencakup hubungan horizontal.

Paling tidak, pengkajian terhadap fikih Ibn Hazm dari sudut yang jarang dilirik oleh para penulis kontemporer, akan memperkaya khazanah pengetahuan kita terhadap pemikiran pakar fikih asal Andalusia ini. Bagaimanapun, Ibn Hazm adalah tokoh yang memilki kapabilitas keilmuan yang tidak diragukan, sosok Ibn Hazm yang selama ini lebih dikenal sebagai garda depan kaum tekstual, ternyata memiliki sisi paradoksal yang penting dicatat dalam lembaran sejarah pemikiran. Wallahu A’lam


* Tulisan ini dipublikasikan di situs resmi BKPPI www.jurnalislam.net/id

Saturday, October 6, 2007

Antara usaha, do'a dan pasrah

Oleh: Arwani Syaerozi

"Berdo’a tanpa usaha bagaikan pengemis, berusaha tanpa do’a bagaikan komunis",
adagium ini sangat merakyat, di sisi lain kita pun mendengar seruan bernada pasrah dalam menjalani kehidupan "Hidup matiku ada di tangan Tuhan", saya yakin kebanyakan dari kita pernah mendengar ungkapan tersebut. Lantas apa pesan dari kalimat-kalimat sederhana yang sarat dengan makna ini? Sehingga gaungnya benar-benar merambah ke segenap penjuru dunia.

Entah sadar atau tidak, ternyata hari-hari kita selalu diliputi dengan beragam keinginan dan angan-angan, timbul silih berganti tidak pernah hilang, semakin hari semakin bertambah, karena inilah sebenarnya yang dinamakan dengan tabiat manusia. Potensi "tidak puas" adalah sifat dasar yang selalu melekat dalam diri kita. Munculnya keinginan erat berhubungan dengan adanya ketidak puasan, Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir" (Qs. al Maarij: 19). Kalau kenyataanya demikian, bagaimanakah Islam menyikapi sifat dasar yang melekat dalam diri setiap manusia ini?

Keinginan dan angan-angan di sini sifatnya universal, mencakup cita-cita dan harapan. Seorang pedagang berkeinginan sukses dalam berbisnis, stok dagangannya laku kemudian meraup keuntungan, komunitas pelajar berharap lulus saat ujian sehingga cita-citanya dapat tercapai, para pemikir berangan-angan mewujudkan tatanan sosial masyarakat yang damai sejahtera agar tercipta baldatun thayibah wa rabbun ghafur (gemah ripah loh jinawi). Ujung dari semuanya akan berhubungan dengan "kesuksesan" atau "kegagalan" (predikat berhasil atau gagal).

Pada deskripsi singkat tadi, apakah hanya dengan berusaha kita bisa meraih target yang diinginkan? Adakah unsur-unsur lain yang sekiranya penting diperhatikan dalam menyikapi derasnya angan, keinginan, harapan dan cita-cita? Sebab, bukankah kita sering mendengar kabar kegagalan seorang negarawan dalam menjalankan tugasnya, padahal dia telah mencurahkan segala kemampuan. Atau kita sering mendengar kabar buruk para pelajar dalam menghadapi ujian, padahal mereka telah belajar maksimal, bahkan kita juga sering mendengar cerita orang-orang yang frustasi dan berakhir dengan bunuh diri akibat depresi saat menghadapi kegagalan. Disinilah ajaran Islam datang memberikan solusi atas fenomena di atas, dalam Islam kita dikenalkan anjuran berdo’a dan berpasrah di samping kita dituntut untuk berusaha.

Makna berusaha:"
"Dan katakanlah; bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu" (Qs. at Taubah: 105), spirit berusaha dan berikhtiar terkandung dalam ayat ini. perintah untuk bekerja artinya perintah untuk berusaha keras dalam menggapai suatu tujuan baik duniwai maupun ukhrowi.

Berusaha adalah langkah pertama yang harus dijadikan pijakan seorang muslim dalam meraih sejuta impian dan harapan, tanpa unsur "usaha" jangan berharap orang akan bisa mewujudkan keinginannnya. Rasulullah Saw sebagai suri tauladan telah memberi contoh konkrit dalam hal ini, yaitu dengan terjun berbisnis sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dalam al Qur'an dijelaskan; "Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri" (Qs. ar Ra’d : 11) Artinya, Allah SWT tidak akan merubah keadaan kita selama kita tidak berusaha merubah sebab-sebab kemunduran. Kalaupun terjadi "kesuksesan" tanpa dilalui dengan proses usaha, maka hal itu termasuk dalam katagori anugerah khusus dari Allah, bagaimanapun jika Allah SWT berkehendak maka tidak ada sesuatu pun yang bisa menghalangi. "Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya; jadilah ! maka terjadilah" (Qs. Yasin : 82)

Makna berdo’a:
Dalam segala aktivitas, kita dianjurkan untuk berdo’a memohon pertolongan dan petunjuk dari Allah SWT. al Qur’an menjelaskan; "Dan apabila hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasannya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku" (Qs. al Baqarah: 186). Menjadi jelaslah bahwa Allah akan mendengar setiap permintaan para hamba-Nya, dan bahkan akan mengabulkan segala permintaanya.

Namun, apa yang dimaksud dengan pengabulan setiap do’a di sini? Apakah Allah akan menuruti setiap permintaan kita (sesuai bentuk, kualitas dan kuantitas) dari apa yang kita inginkan saat berdo’a, atau memiliki makna yang lebih luas?

Pakar tafsir Muhamad bin Ali as Syaukani (w: 1250 H) dalam bukunya fath al Qadir menjelaskan; pengabulan do’a bisa seketika, bisa juga ditunda, bisa sesuai dengan apa yang terlintas saat berdo’a, atau bentuk lain yang lebih bermanfaat bagi si pendo’a. Rasulullah Saw bersabda: "Tidak ada seorang muslim yang berdo’a memohon kepada Allah, yang do’anya tidak mengandung unsur dosa dan pemutusan hubungan persaudaraan, kecuali Allah akan mengabulkan dengan tiga kemungkinan; memberikan apa yang dinginkan, disimpan (pahalanya) hingga di alam akhirat, atau diselamatkan dari bahaya yang mengancam". (HR. Bukhori).

Makna berpasrah:
Di antara ayat al Qur’an yang menjelaskan tentang urgensi tawakkal (berpasrah) bagi pribadi muslim dalam menjalani kehidupan adalah firman Allah dalam surat at Talaq: "Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya, sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu" (Qs. at Talaq: 3)

Dikisahkan, sufi besar Ibrahim bin Adham bertemu dengan seorang pemuda yang tampak gelisah, beliau berkata: saya akan bertanya tentang tiga hal: 1- apakah ada sesuatu di alam ini terjadi tanpa kehendak dari Allah?, Pemuda menjawab: tidak ada. 2- apakah rizkimu bisa berkurang dari apa yang telah ditetapkan oleh Allah?, Pemuda menjawab: tidak, 3- apakah ajalmu bisa datang sebelum tanggal yang telah ditetapkan oleh Allah? Pemuda menjawab: tidak mungkin, kemudian Ibrahim bin Adham berkata: kalau begitu kamu harus mengkhawatirkan apa?

Namun, tawakal (berpasrah) harus diposisikan setelah proses usaha dan berdo’a, hal ini sebagai antisipasi agar kita tidak berburuk sangka terhadap Allah SWT (atas segala ketetapan-Nya). Maka dengan berpasrah saat menunggu hasil jerih payah dan usaha keras, kita diarahkan kepada dua hal positif, yaitu; bersyukur saat menemukan kesuksesan, dan bersabar saat menghadapi kegagalan. Di sinilah Rasulullah Saw bersabda: "saya kagum dengan keadaan orang Islam, semuanya istimewa; ketika sukses mereka bersyukur, dan ketika gagal mereka bersabar" (HR. Muslim).

Epilog:
Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa; dalam menjalani kehidupan di alam fana, kita dianjurkan berusaha keras untuk merealisasikan keinginan dan cita-cita, hal ini tentunya dibarengi dengan berdo’a memohon pertolongan dan petunjuk dari Allah SWT, kemudian apapun hasil dari usaha keras yang telah kita curahkan, semuanya kita kembalikan kepada Allah SWT. Saat usaha kita berhasil kita tidak lupa daratan, begitu juga saat usaha gagal, kita tidak dihinggapi rasa frustasi dan kekecewaan. Yang demikian inilah sebagai bentuk penyelarasan antara tiga hal yang ditekankan dalam ajaran Islam; yaitu berusaha, berdo’a dan berpasrah.


* Tulisan ini dipublikasikan di situs resmi BKPPI www.jurnalislam.net/id