Saturday, June 23, 2007

Islam berperadaban ala Tunsia

Oleh: Arwani Syaerozi*

Medio Februari 2007 yang lalu, universitas Ezzitouna Tunisia (lembaga pendidikan Islam yang didirikan akhir abad ke 7 Masehi) bekerja sama dengan Konrad Adenauer Stiftung LSM Jerman yang bergerak dibidang sosial dan politik, mengadakan kegiatan seminar internasional. Tema yang di angkat adalah : “Agama dan budaya berperadaban umat manusia“. Hadir dalam acara yang dibuka oleh menteri pendidikan Tunisia Lazhar Bououni beberapa tokoh dari lintas agama dan kepercayaan, dari beberapa negara Arab, Eropa, dan Afrika.

Dalam seminar yang digelar di lantai 5 auditorium hotel Afrika (hotel bintang lima yang berlokasi dijantung ibu kota) hadir Prof. Dr. Nuruddin al Khadimi pakar Maqasid Syari’ah dari universitas Ezzitouna, Prof. Dr. Abu Ya’rab al Marzuki filsuf kontemporer Tunisia, Prof. Labica Georges pakar keagamaan dari universitas Paris Perancis, Prof. Dr. Nu’man Saleh pakar antropologi dari Universitas Malek Abdul Kader Aljazair, Prof. Hanna Miled peneliti senior Asal Mesir, Prof. Pallavicini Yahya aktivis Islam Italia, Prof. Ansorge Dirk delegasi Akademi Katolik Jerman, Prof. Kabbaj Mohammad peneliti senior pada Akademi kerajaan Maroko. Mereka duduk bersama menela’ah, mendiskusikan masalah-masalah agama dan para penganutnya.

Salah seorang pemakalah Labica Georges pakar keagamaan dari universitas Paris menyoroti kasus “murtad”-nya orang beragama, kasus perpindahan dari beragama menjadi tidak beragama yang dewasa ini marak terjadi di komuitas masyarakat Eropa, dan banyaknya orang tua yang sengaja menjauhkan anak-anaknya dari ajaran agama, dikarenakan asumsi bahwa doktrin agama kerap membawa manusia pada sikap saling bermusuhan. Maka dia menganggap hal ini diantara fenomena yang harus segera diantisipasi, “ jangan sampai pilihan tidak beragama menjadi sebuah trend pada era ilmu dan teknologi, hanya karena salah persepsi“.

Pada sesi yang lain Prof. Dr. Nuruddin al Khadimi pakar Maqasid Syari’ah dari universitas Ezzitouna mencoba menela’ah masalah budaya berperadaban melalui perspektif Fiqh Islam dan Maqasid. Menurutnya Fiqh at Tahaddur (Fiqh berperadaban) terrepresentasikan pada masalah inovasi kebudayaan yang bersifat religi, interaksi sosial yang dilandaskan pada kemaslahatan bersama, efesiensi waktu dan tenaga dalam beraktivitas agar terciptanya pola seimbang menjaga hubungan vertikal dan horizontal. Sehingga peran komunitas muslim dalam menjadi khalifah Allah dimuka bumi menjadi lebih optimal.

Republik Tunisia yang jumlah penduduknya hanya sekitar 10, 5 juta jiwa (sensus 2006), dan mayoritas penduduknya menganut agama Islam (99, 5 %), di bawah kepemimpinan Presiden Zeine Abidin Ben Ali, sangat gencar mendialogkan antar agama dan peradaban. Substansi ajaran Islam bagi negara Arab di bagian utara benua Afrika dan berseberangan dengan benua Eropa ini dijadikan perangkat untuk menjadikan sebuah bangsa yang peduli terhadap masalah-masalah mendasar kemanusiaan, bukan hanya sekedar saleh dalam ritual. Pengembangan sumber daya manusia pun sangat diprioritaskan, demi mencapai titik berperadaban.

Sebagai bukti, negara ini berhasil menempatkan pada posisi ketiga paling sejahtera se-benua Afrika (setelah Afrika Selatan dan Libya). Walaupun Tunisia tidak memiliki banyak sumber daya alam yang bisa diandalkan seperti minyak bumi atau gas alam. Bahkan laporan tahunan Forum Ekonomi Davos telah menetapkan Tunisia pada urutan ke-31 dari total 104 negara yang maju dalam pembangunan ekonominya. Gambaran umum kondisi kese­jahteraan ini bisa dilihat dari ke­berhasilan pemerintah dalam memperkecil jumlah angka kemiskinan dari 22% pada 1980 menjadi 6,2% pada 1997 dan sekitar 4,2% tahun 2004. Tingkat harapan hidup juga meningkat menjadi 73 tahun, diban­ding­ tahun 1999 yang hanya berkisar 72 tahun.

Pada November 2005 Tunisia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Masyarakat Informasi (World Summit on the Information Society - WSIS), merupakan negara berpenduduk muslim pertama yang dipercaya untuk menjadi tuan rumah gawe besar organisasi yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Acara ini dihadiri oleh lebih dari 50 kepala negara dan pemerintahan. Kehadiran 175 delegasi Negara (termasuk Indonesia) memberikan aspek positif bagi sektor keuangan secara umum dan upaya modernisasi melalui penggunaan teknologi informasi dan komunikasi di Tunisia. Dimana melalui konferensi tersebut direkomendasikan penyamaan hak dalam bidang teknologi informasi antara negara kaya dan negara miskin, serta instruksi pembuatan laptop khusus (murah terjangkau) untuk kalangan menengah kebawah, sasarannya adalah para pelajar di negara-negara miskin.

Untuk membangun hubungan kebersamaan dengan negara-negara tetangga, Tunisia bergabung menjadi anggota dan pendiri Uni Maghreb Arab (UMA) yang didirikan berdasarkan perjanjian Marakech pada 17 Februari 1989, oleh masing-masing kepala negara Aljazair, Libya, Maroko, Mauritania dan Tunisia. UMA sendiri menjadi tonggak diplomasi penting bagi eksistensi negara-negara berpenduduk Islam di benua Afrika secara keseluruhan.

Bahkan ketika para pejuang organisasi pembebasan Palestina (PLO) belum memungkinkan untuk berkiprah penuh di tanah airnya, para pimpinan PLO yang saat itu dimotori oleh Yasser Arafat, memonitor gerakan perlawanannya terhadap sepak terjang Zionis Israel dari bumi Tunisia. Banyak keputusan dan diplomasi penting yang saat itu ditelurkan dari negeri yang terkenal dengan penghasil buah Zaitun ini, walaupun banyak juga kenyataan pahit yang harus dibayar dalam perjuangannya di Tunisia, hal ini saat terbunuhnya dua tokoh penting PLO Abu Jihad (1988), dan Abu Iyad (1991) oleh agen rahasia Israel. Pilihan Tunisia sebagai base camp (setelah gagal di Yordania dan Libanon), setidaknya karena kedekatan Tunisia dengan negara-negara Eropa khususnya Perancis sebagai akses diplomasi ke dunia internasional.

Kalau sejenak menelusuri sejarah Tunisia, kita dapat melihat semenjak dari berdirinya Kerajaan Carthage (Kartago) sekitar tahun 814 SM, hingga pada abad ke-2 SM, Kerajaan Kartago mengalami kehancuran mengakibatkan saling bergantinya kekuasaan asing. Tunisia yang saat itu lebih dikenal dengan nama Afrika kemudian menjadi pusat Kerajaan Romawi di Selatan Mediterania. Kedaulatan­nya meliputi sebagian wilayah kekuasaan Kerajaan Kartago. Antara 439-533 M Tunisia dikuasai oleh pasukan Vandal, sebelum ditak­lukkan kembali oleh Kerajaan Roman Bizantium antara tahun 533 - 647 M.

Pada pertengahan abad ke-7 Masehi Uqbah bin Nafi r.a, seorang sahabat Rasulullah SAW memasuki Tunisia bersama pasukannya. Dan pada tahun 647 M pasukan Uqbah r.a. berhasil menaklukkan Sbeitla (Sufetula) yang menandai bermulanya era Arab-Islam di Tunisia. Tiga belas tahun kemudian, yaitu pada tahun 670 M Uqbah r.a. berhasil menaklukkan kota Kairouan –sekitar 156 km selatan ibu kota Tunisia– dan kemudian menja­di­kannya sebagai ibu­kota pemerintahan dan pusat penye­baran Islam di wilayah Afrika Utara.

Di era penjajahan, Perancis berhasil menjadikan Tunisia sebagai wilayah protektoratnya dengan ditandatanganinya Perjanjian Bardo pada 12 Mei 1881. Berbagai upaya dilaku­kan rakyat Tunisia untuk lepas dari protektorat ini. Usaha ini mencapai hasil pada tanggal 20 Maret 1956 dengan dibatalkannya Perjanjian Bardo dan diproklamirkannya kemerdekaan Tunisia. Saat itu pemerintahan tetap dipegang oleh seorang Bey (gelar raja di Tunisia) sebagai kepala negara. Hingga pada tanggal 25 Juli 1957 Bey terakhir diturunkan oleh parlemen. Sejak saat itu Tunisia menjadi Republik dengan dipimpin oleh Habib Bourguiba sebagai Presiden pertamanya.

Pada tanggal 7 November 1987 terjadi peralihan dari kepemimpinan presiden Habib Bourguiba ke presiden kedua Zeine Abidin Ben Ali. Motif peralihan ini disinyalir akibat kondisi fisik Habib Bourguiba yang semakin menurun sebagai konsekuensi usianya yang semakin senja (80 tahun). Peralihan kepemimpinan ini disambut dengan penuh gembira oleh sebagian besar rakyat Tunisia dan juga oleh kalangan dunia Internasional. Dengan tampilnya orde baru ini Tunisia semakin berbenah dalam segala lini kehidupan terutama pendidikan sebagai modal untuk membangun tunas bangsa, pengajaran agama pun kembali dioptimalkan setelah sempat dimarjinalkan pada masa orde lama.

Tunisia – dilihat dari sisi sejarah - sebagai titik pertemuan antara berbagai kebudayan dan peradaban Berber, Romawi, Biznetium, dan Arab telah mampu menciptakan corak tersendiri pada karakter masyarakatnya. Peran aktif bangsa Tunisia – dewasa ini - dalam menyikapi masalah-masalah kontemporer, terutama usahanya yang gigih dalam merukunkan berbagai agama dan peradaban dengan melalui penghayatan terhadap ruh ajaran Islam, secara otomatis turut menepis label negatif pada komunitas muslim yang sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Maka, dialog antar agama dan peradaban yang gencar disosialisasikan oleh pemerintah Tunisia dibahwa kepemimpinan presiden Zeine Abidin Ben Ali, pada tataran praktis akan membangun image di mata dunia internasional bahwa masyarakat muslim adalah masyarakat yang santun, bijaksana serta peduli dengan masalah-masalah mendasar kemanusiaan. Bukan tidak mungkin dari langkah ini ajaran Islam akan menjadi sumber inspirasi alternatif untuk membangun peradaban umat manusia yang lebih harmonis. Dimana letak geografis Tunisia sangat strategis menjadi gerbang dialog antara budaya Timur dan Barat yang kerap dijadikan dikotomi peradaban umat manusia.


* Tulisan ini dipublikasikan di bulletin Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Tunisia

Sunday, June 10, 2007

Refleksi setahun bencana lumpur

Oleh: Arwani Syaerozi*

Lebih dari dua tahun bangsa Indonesia dirundung berbagai bencana dan musibah, pasca Tsunami Aceh dan pulau Nias (2004), bencana dan musibah tidak henti-hentinya datang silih berganti. Masyarakat dan pemerintah jatuh bangun menghadapinya. Kemarau menimbulkan kekeringan dan kebakaran hutan, musim penghujan tanah longsor dan bencana banjir datang menerjang, belum lagi berbagai musibah seperti jatuhnya pesawat dan tenggelamnya kapal laut beberapa waktu yang lalu.

Yang paling mengenaskan adalah semburan lumpur di Sidoarjo Jawa Timur, bencana nasional yang terjadi semenjak akhir Mei 2006 dan terus berkelanjutan hingga saat ini, efeknya sangat dirasakan oleh masyarakat daerah sekitar terjadinya bencana. Di samping telah menengggelamkan rumah-rumah, bangunan infrastruktur serta memaksa warga kampung angkat kaki, luapan lumpur juga mengganggu lalu lintas darat daerah tersebut.

Ada kesan ketidakberdayaan pemerintah dalam penanganan bencana ini, terlebih yang berkaitan dengan masa depan para korban yang sampai saat ini berada dalam pengungsian darurat, sebagian kalangan menganggap presiden talah melakukan kekeliruan struktural dalam penanganan bencana alam, akibat keputusannya dalam mempetahankan perpres no. 83 tahun 2005, peraturan ini disinyalir tidak bisa menanggulangi bencana secara efektif. padahal keberlarutan bencana dan musibah memiliki dampak yang serius bagi lingkungan hidup, sosial masyarakat, maupun sosial ekonomi para korban.

Terlepas dari itu semua, berlarutnya bencana lumpur jelas memiliki imbas sangat buruk bagi kesinambungan tekad baik pemerintah dalam menata kembali kondisi bangsa yang dewasa ini terpuruk, setidaknya hal ini bisa kita lihat dari dua point berikut:

Pertama, sisi lingkungan hidup, inti permasalahan yang ditimbulkan oleh bencana, berbagai wabah penyakit saat dan pasca bencana rentan menyebar, seperti Demam berdarah, kolera, dan lain sebagainya. lahan-lahan yang semestinya bisa dijadikan sebagai produksi pertanian atau peternakan pun tidak bisa dioptimalkan lagi, parahnya jumlah lahan produktif yang terendam oleh luapan lumpur tidak sedikit sekitar 600 ha, jelas akan mengurangi produksi pangan terutama beras yang dihasilkan oleh daerah tersebut. Padahal pemerintah saat ini sedang mengupayakan program swasembada beras, dengan lambatnya penanganan bencana ini target pemerintah untuk memaksimalkan sektor pertanian menjadi terbengkalai.

Kedua, sosial masyarakat, disamping kerugian sandang, pangan dan papan yang merupakan kebutuhan primer bagi setiap manusia, ternyata warga desa yang tertimpa bencana juga harus rela kehilangan pekerjaan. Ini menjadi pelengkap penderitaan para korban yang sampai sekarang masih hidup dalam pengungsian. Bahkan yang lebih tragis, ternyata dalam momen bencana ini rentan terjadi berbagai modus kejahatan, yang sempat diekspos oleh media adalah penipuan terhadap koordinator pengungsi korban Lumpur oleh dua orang yang mengaku sebagai staf menteri sosial, dengan dalih akan memberikan bantuan uang. (Antara 12/6/2006). Belum lagi aksi mogok makan puluhan korban yang menuntut jatah makan dalam bentuk uang, karena beberapa kali makanan yang mereka terima tidak layak. jelaslah berlarutnya bencana Lumpur menimbulkan berbagai problem sosial masyarakat yang tidak sedikit.

Bantuan materi :

Pemerintah walaupun telah memutuskan bencana Lumpur Lapindo sebagai bencana nasional, namun bukan berati pengalokasian dana bantuan untuk para korban akan dapat mencukupi dengan keputusan tersebut. Sekitar 25 ribu korban membutuhkan empat hal yang harus segera dipenuhi. Pertama, pekerjaan, lapangan pekerjaan harus disiapkan oleh pemerintah daerah maupun pusat, tidak kurang dari 30 pabrik dengan 1.873 tenaga kerja terhenti aktivitasnya akibat bencana ini, alternatif lain pemerintah mengadakan program transmigrasi khusus korban bencana lumpur ke daerah lain. Kedua, kesehatan, sangat naif jika upaya perbaikan kondisi masyarakat korban bencana tanpa dibarengi dengan pelayanan kesehatan yang memadai, sebagai gambaran efek buruk yang terjadi adalah mewabahnya berbagai penyakit yang diakibatkan bencana, maka otomatis pembasmian wabah tersebut harus diprioritaskan. Ketiga, bantuan dana untuk para korban, dana ini tidak harus berupa uang tunai, akan tetapi bisa berupa modal usaha dalam bentuk barang atau pinjaman lunak.

Setidaknya laporan media yang meliput buruknya kondisi hidup para pengungsi bencana Lumpur, menjadi bukti kuat akan perlunya perhatian ekstra pemerintah terhadap pengelolaan bencana. Walaupun di satu sisi group Bakri sebagai induk perusahaan yang bertanggung jawab telah menyanggupi untuk mengalokasikan dana sebesar 7 triliun sebagai konpensasi masyarakat yang terkena bencana, dan perusahaan Multi indah menyetujui untuk menyumbang 5 miliar sebagai usaha pemulihan kondisi lingkungan, namun hal ini tidak akan banyak manfaatnya jika tidak dibarengi dengan langkah nyata pengembalian kelayakan hidup korban sekaligus pengadaan lapangan kerja bagi mereka yang telah kehilangan pekerjaan.

Dukungan ruhani:

Rakyat Indonesia masih kental dengan watak relegius, dengan demikian masyarakatnya yang terkena imbas bencana perlu ditenangkan pula oleh para rohaniawan Islam, Kristen, Budha, Hindu dan Konghucu sesuai dengan penganutnya.

Kita bisa membayangkan bagaimana hidup para korban yang terus menerus berada dalam suasana penampungan darurat. Bukankah kehidupan secara normal dalam lingkungan yang alami juga berhak mereka rasakan? Sejauh mana kepedulian para rohaniawan (ulama, pastur, biksu) dalam mensupport sisi ruhani para korban, sebab disamping bantuan materi, saya yakin kebutuhan terhadap siraman ruhani tidak kalah urgennya. Paling tidak jika dalam jiwa para korban tertanam rasa sabar dalam melihat kenyataan hidup, proses penanganan yang terus diupayakan oleh pemerintah dan berbagai pihak akan dihargai di mata mereka walaupun hasilnya belum maksimal.

Untuk itulah tidak ada istilah santai dalam penanganan bencana Lumpur, kerja keras menjadi keharusan bagi pemerintah dan masyarakat, apa pun dalihnya keteledoran dalam penanganan baik dari pemerintah maupun masyarakat adalah salah satu bentuk pelecehan terhadap bangsa. Sebuah bangsa yang sedang dilanda multi bencana dan membutuhkan keseriusan dalam penangananya.


* Tulisan ini dipublikasikan di situs www.hadhramaut.info/indo

Monday, June 4, 2007

Peran santri di era reformasi

Oleh: Arwani Syaerozi*

Memang bulan Mei 1997 lebih dikenal sebagai start point bagi kalangan akademis dan civitas dalam menunjukkan kekuatannya di mata publik di masa orde baru, dengan desakan reformasi-nya yang mahadahsyat telah berhasil menumbangkan rezim tirani Soeharto, sebenarnya melalui reformasi ini juga komunitas kaum sarungan (santri) turut bersemi menunjukkan potensi dan eksistensinya di tengah masyarakat luas.

Bagaimana tidak, beberapa santri tulen semisal KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) turut tampil dalam pergolakan tersebut, atau Nur Cholis Majid (Cak Nur) cendekiawan yang mengenyam lama penididikan pesantren, sangat diperhitungkan partisipasinya dalam proses bergulirnya reformasi. Namun kaum sarungan sepetinya luput dari bidikan wartawan, peran santri tidak terrekam dengan baik dalam pita sejarah reformasi.

Sepuluh tahun reformasi bergulir, sepanjang itu pula nyatanya kiprah kaum sarungan (santri) semakin diperhitungkan dalam interaksi riil sosial, politik dan budaya. Dalam kancah politik, kaum santri tidak lagi menjadi obyek dari kepentingan sesaat politisi dan partai politik, akan tetapi dinamika perpolitikan Indonesia diwarnai pula oleh politisi santri yang tidak lagi menutupi identitas kesantriannya, atau munculnya partai-partai politik yang berbasis massa kaum sarungan seperti PKB, PKU, PNU, PBR, dan PKNU yang baru-baru ini dideklarasikan oleh beberapa ulama sepuh NU.

Gaung komunitas santri dalam dedikasinya terhadap kondisi masyarakat yang tidak segegap gempita image akademis dan civitas, perlu kita baca kembali dengan realita dipegangnya beberapa pos strategis pemerintahan oleh kaum sarungan, KH. Abd. Rahman Wahid adalah prseiden RI ke 4, ayahnya KH. Wahid Hasyim pernah menjabat sebagai Menteri agama, begitu juga. Mukti Ali dan Saefullah Yusuf adalah sosok santri senior yang sempat tampil dalam birokrasi pemerintahan pusat.

Dalam dunia seni dan budaya, kita akan mengenal Acep Zamzam Noor (penyair asal pesantren Cipasung), atau KH. Musthafa Bisri (budayawan asal pesantren Rembang), dimana kreasi dan inovasi mereka sangat mempengaruhi atmosfir seni dan budaya di nusantara, bahkan Musthafa Bisri adalah budayawan nasional yang kerap dijadikan rujukan umat bukan hanya dalam lini kebudayaan.

Lingkup sosial masyarakat, setidaknya kita bisa melihat peran ormas NU, beserta perangkat dan badan-badan otonomnya banyak mendampingi grass root dalam mengusung agenda reformasi agar benar-benar menyentuh kalangan bawah. Begitu juga bermunculannya lembaga swadaya masyarakat (LSM) banyak yang dimotori oleh kaum sarungan, baik LSM yang konsentrasi di bantuan hukum, lingkungan hidup, kerukunan umat beragama, ekonomi maupun yang bergerak di bidang pendidikan.

Sayangnya dengan realitas sejarah di atas, data sejarah reformasi yang kita kenal selama ini masih menyimpulkan peran kaum santri tetap termarjinalkan dalam ruang publik, saya melihat hal ini disebabkan oleh tiga faktor berikut:

Pertama, minimnya publikasi, peran media dalam menciptakan opini publik sangat dominan, sekecil apapun berita dan peristiwa yang dikemas oleh para kuli tinta dan diekspos melalui media massa (baik cetak maupun elektronik) akan menciptakan opini yang kuat di tengah masyarakat yang mengkonsumsinya. Sayangnya semangat “keikhlasan” yang tertanam dalam pribadi-pribadi kaum santri telah menggusur urgensi unsur propaganda media, padahal inti publikasi itu sendiri sebagai usaha dalam menumbuhkan sikap ghirah (tertarik untuk melakukan) pada orang lain dalam hal yang positif. Sementara di sisi lain tidak jarang komuintas tertentu berani membayar pers demi kepentingan membangun image.

Kedua, Lemah dalam sistematis jaringan, lazimnya lembaga maupun organisasi yang mapan, sistematis networks adalah hal krusial dalam membangun link dengan pihak lain. Sebagai contoh: sekelompok santri yang peduli terhadap lingkungan hidup melalui program ro’an (kerja bakti) mingguan, biasanya hanya mengandalkan potensi internal komunitasnya saja, tanpa mencoba mengembangkan sayap kerja dengan berbagai pihak yang se-bidang, baik instansi pemerintah, swasta, maupun Lsm. Jaringan kerjasama dengan pihak eksternal mutlak dibutuhkan dalam rangka melebarkan sayap kerja, yang secara otomatis masyarakatpun akan merasa lebih diayomi oleh para santri. Dengan relasi kerja ini pula, sekelompok santri peduli lingkungan dalam contoh di atas akan terdeteksi peran dan kontribusinya, akan terbaca lebih luas oleh masyarakat segala kiprahnya.

Ketiga, agenda temporer dan kondisional, inilah faktor terkahir yang menyebabkan peran kontribusi kaum sarungan tampak kurang optimal. Kalau kita amati lebih jauh, ternyata banyak jenis kegiatan yang dimotori oleh kaum sarungan sifatnya hanya kondisional, pendidikan poilitik, hanya sebatas menjelang tibanya pemilu, selepas gegap gempita pesta demokrasi, program yang semestinya diadakan berkesinambungan di komunitas lenyap begitu saja. Atau pembekalan manajemen ekonomi dan bisnis, konsistensinya tidak menjadi target dalam mengadakan program kerja. Flash activities inilah yang sebenarnya akan membuahlkan hasil yang serba tanggung, akhirnya masyarakat pun tidak sepenuhnya memahami apa yang ditargetkan oleh agenda kaum sarungan.

Kalau saja tiga faktor di atas diperhatikan oleh kaum santri, saya yakin kontribusi kyai dan santri dalam mengusung agenda reformasi akan lebih terbaca luas oleh publik, bukankah dari 220 juta jiwa penduduk Indonesia 85 persennya adalah muslim? Dan bukankah dari sekian banyak kaum muslim Indonesia mereka adalah kaum sarungan? Lantas yakinkah kontribusi dan peran santri dalam dunia nyata selama ini sangat minim? Untuk itulah saya yakin bahwa kaum santri telah banyak berpartisipasi, walaupun secara kasat mata jarang yang mengapresiasi jerih payah mereka. Wallahu A’lam.


* Tulisan ini dipublikasikan di situs www.pesantrenvirtual.com